19
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas daging sapi bagian has luar sirloin,  bumbu  kalio,  bahan  pengemas  berupa  kaleng  berukuran  307x113,  serta  bahan-bahan
kimia untuk analisis proksimat.
Peralatan  yang  digunakan  meliputi  peralatan  masak,  peralatan  proses  pengalengan, instrumen pengukuran sifat fisik, serta peralatan kimia untuk analisis proksimat. Peralatan proses
pengalengan terdiri atas boiler, exhauster, double seamer, retort, termokopel, dan termorekorder; Instrumen  analisis  fisik  yang  digunakan  terdiri  atas  Minolta  Chromameter  CR-310  dan
Microstable Texture Analyser
TX-2.
B. METODE PENELITIAN
Tujuan  penelitian  ini  adalah  mengaplikasikan  teknologi  pengalengan  pada  kalio,  serta melihat  pengaruh  nilai  sterilitas  Fo  pemanasan  pada  berbagai  kombinasi  suhu  dan  waktu
terhadap perubahan sifat fisik produk dan kesukaan panelis untuk menentukan proses pemanasan optimum.
Skema  tahapan  proses  penelitian  disajikan  dalam  Gambar  8.  Tahap  pertama  yaitu standarisasi  formula  dan  proses  pembuatan  kalio  untuk  proses  pengalengan.  Formula  dan
prosedur  standar  yang  diperoleh  dari  tahap  tersebut  digunakan  selama  penelitian.  Selanjutnya dilakukan  evaluasi  penetrasi  panas  pada  produk  untuk  memperoleh  parameter  penetrasi  panas
berupa nilai f
h
dan j
h
. Keduanya digunakan dalam perancangan jadwal proses untuk mendapatkan nilai Fo 3, 10.7, dan 18 menit pada berbagai suhu 111° C, 116° C, dan 121° C.
Tahap berikutnya dilakukan proses produksi dengan jadwal proses  yang telah ditentukan. Pada produk kalio dari kesembilan perlakuan tersebut, dilakukan analisis susut masak, sifat fisik,
serta mutu  organoleptiknya.  Sifat  fisik  yang  diamati  meliputi  warna  bumbu,  warna  daging,  dan tekstur daging. Sedangkan evaluasi organoleptik yang dilakukan adalah uji afektif, yang bertujuan
menilai  respon  subjektif  panelis  dalam  hal  penerimaan  atau  preferensi  terhadap  produk  dan beberapa atribut sensorinya. Berdasarkan kedua analisis tersebut diperoleh nilai terukur dari sifat-
sifat  fisik  yang  memiliki  respon  nilai  kesukaan  paling  tinggi.  Hal  ini  dijadikan  sebagai  dasar dalam penentuan proses pengalengan kalio yang optimum. Terakhir, dilakukan analisis proksimat
terhadap produk yang dihasilkan dari proses optimum.
20
Gambar 8. Diagram alir tahapan penelitian
Penelitian utama Penelitian
pendahuluan
Standarisasi formula dan proses pembuatan kalio untuk proses pengalengan
Karakteristik fisik mendekati produk acuan?
Prosedur standar pengalengan kalio
Evaluasi penetrasi panas ke dalam produk
Parameter penetrasi panas f
h
dan j
h
Perancangan scheduled process sterilisasi untuk mendapatkan Fo 3, 10.7, dan 18 menit pada berbagai suhu 111° C, 116° C, dan 121° C
Proses Produksi Analisis sifat fisik produk tekstur dan warna daging, serta warna bumbu
Analisis Organoleptik
Proses sterilisasi optimum
Analisis proksimat terhadap produk terpilih produk dari proses sterilisasi yang optimum
Ya Tidak
21
1. Standarisasi Formula dan Proses Pembuatan Kalio dalam kaleng
Tahap ini bertujuan menentukan formulasi dan proses pengolahan  kalio untuk proses pengalengan yang menghasilkan produk dengan karakteristik mendekati produk kalio dengan
pemasakan konvensional. Karakteristik yang dimaksud meliputi karakteristik sensori warna, aroma, rasa, kekerasan daging dan sifat fisik terukur viskositas bumbu, warna bumbu dan
daging, serta nilai kekerasan daging. Metode pengukuran sifat fisik secara objektif dengan instrumen dipaparkan lebih lanjut pada sub bab berikutnya.
Penentuan  formula  dan  proses  pengolahan  standar  dilakukan  dengan  benchmarking terhadap  beberapa  karakteristik  terukur  dari  produk  acuan,  yang  diperoleh  dari  tiga  rumah
makan khas Padang di Lingkungan Kampus IPB Darmaga. Karena itu mula-mula dilakukan penilaian terhadap karakteristik yang dimaksud, meliputi penampakan produk secara visual,
pengukuran objektif terhadap viskositas bumbu, warna bumbu, dan nilai kekerasan daging.
Selanjutnya dilakukan standarisasi formula bumbu kalio. Standarisasi formula dimulai dengan pengujian formula menggunakan metode pemasakan konvensional untuk memastikan
bahwa  karakteristik  sensori  dari  produk  yang  diperoleh  cukup  baik.  Untuk  memudahkan proses  produksi  dan  standarisasi  mutu produk,  dilakukan  penggantian  santan  alami  dengan
santan  kental  siap pakai
merek “Kara”. Komposisi lengkap santan Kara dapat dilihat pada lampiran  1.  Penyesuaian  jumlah  santan  siap  pakai  dilakukan  beberapa  kali,  dengan asumsi
awal bahwa sejumlah 200 ml santan kental siap pakai setara dengan santan dari separuh butir kelapa.
Setelah  diperoleh  formula  standar,  selanjutnya  dilakukan  standarisasi  proses pembuatan  kalio  dalam  kaleng.  Penyesuaian  kondisi  pemasakan  yang  dilakukan  meliputi
tingkat kematangan bumbu dan daging pada saat  filling, serta perbandingan bobot keduanya. Tahap ini juga dilakukan beberapa kali sampai ditemukan kondisi proses yang menghasilkan
kalio dengan karakteristik fisik dan sensori mendekati kalio acuan.
2. Evaluasi Penetrasi Panas pada Produk dan Perancangan Jadwal Proses
Evaluasi  penetrasi  panas  dilakukan  menggunakan  termokopel  yang  dihubungkan dengan termorekorder. Termokopel disisipkan melalui dinding kemasan yang telah dilubangi
dan  ujung  kawatnya  diarahkan  ke  titik  terdingin,  yaitu  di  tengah  dimensi  kemasan.  Untuk mencegah kebocoran, termokopel dipasang dengan skrup dan diberi ring karet serta perekat.
Ujung  termokopel  ditusukkan  pada  potongan  daging  dengan  volume  paling  besar.  Skema pemasangan termokopel disajikan pada Gambar 9. Evaluasi penetrasi panas difokuskan pada
titik terdingin dalam retort, yaitu di sepertiga tinggi retort diukur dari atas retort Darmadi, 2010.
22
Gambar 9. Ilustrasi Pemasangan Termokopel pada kaleng Data yang terkumpul berupa waktu pola peningkatan suhu retort T
r
dan suhu produk T,  dengan  interval  waktu  satu  menit.  Data  ini  diolah  dengan  metode  umum  dan  metode
formula  untuk  menentukan  total  Fo  selama  pemanasan,  serta  karakteristik  penetrasi  panas yang  mencakup  parameter  respon  suhu  f
h
dan  lag  factor  j
h
.  Teknik  perhitungannya tercantum dalam Gambar 12 dan persamaan 1 sampai 13.
Karakteristik  penetrasi  panas  dalam  produk  f
h
dan  j
h
yang  diperoleh  selanjutnya digunakan  dalam  perancangan  scheduled  process.  Waktu  operator  ditentukan  dengan
persamaan 15 dan 16.
3. Analisis Susut Masak Soeparno, 2005
Analisis susut masak dilakukan untuk melihat penyusutan bobot daging akibat proses blansir  dan  sterilisasi.  Hal  ini  dilakukan  dengan  menimbang  bobot  daging  sebelum  dan
setelah pemasakan, kemudian dihitung dengan persamaan 17.
Susut masak bb  =
Bobot  sebelum   pemasakan −Bobot  setelah  pemasakan
Bobot  sebelum  pemasakan
x100 17
½ tinggi kaleng
termorekorder
23
4. Analisis Sifat Fisik Produk
Tahap pendahuluan melibatkan analisis fisik berupa viskositas bumbu serta warna dan tekstur  kekerasan  daging  dari  produk  acuan  dan  sampel  percobaan.  Sedangkan  pada
penelitian utama, dilakukan analisis fisik berupa warna bumbu, warna bumbu, dan kekerasan daging.
a. Viskositas Faridah et al. 2009
Pengukuran  viskositas  dilakukan  dengan  menggunakan  Brookfield  Viscometer. Digunakan spindle nomor 4 dengan kecepatan putaran 3 rpm. Sebanyak 100 ml sampel
ditempatkan  dalam  gelas  ukur  100  ml,  kemudian  spindle  yang  telah  terpasang  pada viscometer
dicelupkan  ke  dalam  sampel  sampai  tanda  garis  tercelup.  Pengukuran dilakukan dengan menekan tombol ON dan membiarkan spindle berputar sampai detik
ke-30,  kemudian  dihentikan  dengan  menekan  tuas  penjepit  sehingga  jarum  penunjuk tidak  berubah  posisi.  Nilai  yang  terbaca  berupa  persen  torque,  yaitu  persentase  dari
kecepatan  maksimum  rotasi  spindle.  Nilai  ini  dikalikan  dengan  faktor  konversi  pada Tabel 1 untuk menghasilkan nilai viskositas dalam satuan cP atau  mPa.s.
Tabel 1. Faktor Konversi Penetapan Viskositas
Speed rpm Spindle
1 2
3 4
0.3 200
1000 4000
20000 0.6
100 500
2000 10000
1.5 40
200 800
4000 3.0
20 100
400 2000
6.0 10
50 200
1000 12.0
5 25
100 500
30.0 2
10 40
200 60.0
1 5
20 100
b. Warna Faridah et al. 2009
Pengujian sifat fisik warna dilakukan dengan menggunakan alat Minolta Chroma Meters
CR310.  Sebelum  digunakan,  terlebih  dahulu  dilakukan  kalibrasi  alat menggunakan  standar  warna  putih,  dengan  nilai  Y  =  92,89;  x  =  0,3178;  serta  y  =
0,3338.  Nilai-nilai  tersebut  terdapat  pada  penutup  bagian  dalam  pelat  kalibrasi.  Data kalibrasi  tersebut  dima
sukkan  setelah  menekan  tombol  “calibrate”.  Dilakukan pengukuran  terhadap  pelat  kalibrasi  dengan  menekan  tombol  “measure”  atau  tombol
yang  terletak  pada  measuring  head  saat  measuring  head  sudah  diletakkan  pada  pelat kalibrasi.  Alat  secara  otomatis  melakukan  3  kali  pengukuran,  kemudian  akan
menyimpan data kalibrasi dalam memorinya.
Pengukuran  contoh dilakukan  dengan  meletakkan measuring head pada  contoh yang akan diukur, kemudian menekan tombol “measure” atau tombol yang terletak pada
measuring  head.  Pengukuran  dilakukan  pada  3  titik  di  permukaan  contoh.  Nilai pengukuran ditampilkan dalam skala Lab CIE 1976, karena skala ini yang paling
24
mudah  diinterpretasikan  dan  paling  banyak  digunakan.  Konversi  nilai  Yxy  ke  dalam skala Lab dilakukan secara otomatis oleh alat dengan persamaan 15, 16, dan 17.
L = 10 Y
18 a = 17,5
1,02X −Y
Y
19 b = 7
Y −0,847 Z
Y
20 Nilai  L  menunjukkan  tingkat  kecerahan  yang  memiliki  nilai  antara  0  hitam
sampai 100 putih. Nilai a menunjukkan warna kromatik merah sampai hijau. Nilai + a positif  mempunyai  kisaran  0  sampai  100 untuk  warna merah dan nilai
– a negatif dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Nilai b menunjukkan warna kromatik biru sampai
kuning dengan kisaran 0 sampais +70 untuk warna kuning dan nilai 0 sampai -70 untuk warna biru.
c. Tekstur Faridah et al., 2009
Pengukuran  tekstur  daging  rendang  dilakukan  secara  empiris  menggunakan Texture Analyzer tipe TX21 dengan probe knife blade. Sampel dengan ketebalan 1 cm
dan lebar 3 cm diletakkan pada piringan, dan plunger diaktifkan dengan menekan TA quick run  as  test  atau  tombol  Ctrl  dan  Q  pada  komputer.  Sebelum  digunakan terlebih
dahulu  harus  diatur  jarak  masuk  dan  kecepatan  masuk  probe  ke  dalam  sampel  yang diukur.  Probe  akan  bergerak  ke  bawah  dan  memotong  sampel  secara  melintang,
kemudian  kembali  ke  tempat  semula.  Hasil  pengukuran  akan  terekam  dalam  bentuk kurva. Berikut disajikan parameter proses pengukuran yang diterapkan.
Test mode and option : Measure force in compression
Parameter   : Pre test speed
: 1,5 mms Test speed
: 1,5 mms Post test speed
: 10,0 mms Rupture test distance
: 1,0 mm Distance
: 30,0 mm Force
: 100 g Time
: 5 s Count
: 5 Trigger
: Type
: auto Force
: 40 g Stop plot at  : final
Auto tare : yes
Break detect : off
25
5. Evaluasi Organoleptik Waysima dan Adawiyah, 2008
Evaluasi  organoleptik  yang  dilakukan  adalah  uji  afektif,  yaitu  uji  rating  hedonik menggunakan skala kategori 7 poin. Digunakan sebanyak 70 orang panelis tidak terlatih yang
merupakan  representasi  dari  populasi  target  konsumen.  Panelis  diminta  memberikan penilaian terhadap kesukaan pada atribut warna, aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan produk
over all, serta penilaian subjektif terhadap kelayakan produk disebut sebagai kalio. Berikut skala kategori yang digunakan.
1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka
3 = agak tidak suka 4 = netral
5 = agak suka 6 = suka
7 = sangat suka
Data  yang  diperoleh  dianalisis  dengan  analisis  ragam.  Jika  ditemukan  perbedaan signifikan  terhadap  nilai  kesukaan  panelis,  dilakukan  uji  lanjut  dengan
Duncan’s  Multiple Comparison  Test
DMRT.  Pengolahan  data  dilakukan  menggunakan  software  SAS  9.1.3. Portable
. Selain  penilaian  tingkat  kesukaan  terhadap  masing-masing  atribut,  panelis  juga
diminta menentukan atribut sensori apa yang paling menentukan kesukaan mereka terhadap produk  secara  keseluruhan.  Dengan  diketahuinya  atribut  sensori  penentu  kesukaan  panelis
ini, diharapkan penentuan proses optimum dapat dilakukan dengan lebih tepat sasaran.
6. Analisis Proksimat dan Pengukuran pH
a. Kadar Air AOAC, 1995
Cawan  aluminium  dikeringkan  dalam  oven  selama  15  menit  dan  didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang A. Sampel ditimbang sebanyak ± 2 g
dalam  cawan  B.  Cawan  beserta  isi  dikeringkan  dalam  oven  100
o
C  selama  6  jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta
isinya  dikeringkan  kembali  sampai  diperoleh  berat  konstan  C.  Perhitungan  kadar  air disajikan pada persamaan 20.
Kadar Air bb  =
B −C−A
B
x100 21
b. Kadar Protein AOAC, 1995
Sampel  sebanyak  ±  100-250 mg dimasukkan kedalam  labu  Kjeldahl,  ditambah dengan  1  ±  0.1  g  K
2
SO
4
,  40  ±  10  mg  HgO  dan  2  ±  0.1  ml  H
2
SO
4
pekat.    Sampel didestruksi  selama  30  menit  sampai  cairan  jernih.    Pindahkan  isi  labu  ke  dalam  alat
destilasi dan bilas 5-6 kali dengan air destilata sebanyak 1-2 ml dan tambahkan 8-10 ml
26
campuran  larutan  60    NaOH-    5  Na
2
S
2
O
3
.  Sambungkan  labu  tadi  dengan  alat destilasi  dan  kondensor  yang  telah  dilengkapi  dengan  penampung  yang  berisi  larutan
H
3
BO
3
.    Destilasi  sampai  volume  destilat  15  ml  kemudian  titrasi  dengan  NaOH  0.1N sampai  larutan  kuning  titk  akhir.  Total  nitrogen  dan  kadar  protein  kasar  dihitung
dengan persamaan 22 dan 23.
Total Nitrogen bb  =
ml  HCl −ml  blanko   .N HCl  .14,007 gr  sampel
.100   22 Kadar protein  =  Total Nitrogen  x faktor konversi
23 Keterangan :
Faktor konversi = 6.25
c. Kadar Lemak AOAC,  1995
Labu  lemak  disediakan  sesuai  dengan  ukuran  alat  ekstraksi  soxhlet  yang digunakan.  Labu  dikeringkan  dalam  oven  dengan  suhu  105-110
o
C  selama  15  menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang A. Ditimbang sebanyak ± 5 g
sampel  B  dalam  kertas  saring,  kemudian  ditutup  dengan kapas  bebas  lemak.  Kertas saring  beserta  isinya  dimasukkan  ke  dalam  ekstraksi  soxhlet  dan  dipasang  pada  alat
kondensor.  Pelarut heksana  dituangkan  ke  dalam  labu  soxhlet  secukupnya.  Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang
tersisa  dalam  labu  lemak  didestilasi  dan  kemudian  labu  dipanaskan  dalam  oven  pada suhu  105
o
C.  Setelah  dikeringkan  sampai  berat  tetap  dan  didinginkan  dalam  desikator kemudian  labu  beserta  lemak  ditimbang  C  dan  dilakukan  perhitungan  kadar  lemak.
Perhitungan kadar lemak dilakukan dengan persamaan 23.
Kadar Lemak bb  =
C −A
B
x100 24
d. Kadar Abu AOAC, 1995
Disiapkan  cawan  untuk  melakukan  pengabuan,  kemudian  dikeringkan  dalam oven  selama  15  menit  lalu  didinginkan  dalam  desikator  dan  ditimbang  A.  Sampel
ditimbang sebanyak ± 3 g dalam cawan B, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak  mengeluarkan asap lagi.  Selanjutnya  dilakukan  pengabuan  di dalam tanur  listrik
pada  suhu  400-600
o
C  selama  4-6  jam  sampai  terbentuk  abu  berwarna  putih  atau memiliki  berat  yang  tetap.  Abu  beserta  cawan  didinginkan  dalam  desikator  kemudian
ditimbang C. perhitungan kadar abu disajikan dalam persamaan 24.
Kadar Abu bb  =
C −A
B
x100 25
e. Kadar Karbohidrat by difference
Karbohidrat dihitung berdasarkan metode by difference dengan persamaan 25. Kadar Karbohidrat  bb = 100 - P + A + Ab +L
26
27
Keterangan : P    =  kadar protein  bb
A   =  kadar air  bb Ab  =  kadar abu  bb
L    =  kadar lemak  bb
f. Pengukuran pH Apriyantono, et al, 1989
Sebelum  pengukuran,  pH  meter telah  dinyalakan dan  distabilkan  selama  15-30 menit, kemudian dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer pada pH 4 dan pH 7.
elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas pengering.
Sebanyak  10  gram  contoh  yang  telah  dihaluskan  ditambah  dengan  10  ml  air destilat  dan  dicampur  sampai  merata.  Elektroda  pH  meter  kemudian  dicelupkan  ke
dalam  sampel dan dibiarkan hingga  menunjukkan angka  yang  stabil.  Nilai  pH  diukur secara duplo.
28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. STANDARISASI FORMULA DAN PROSES PEMBUATAN KALIO
DALAM KALENG 1.
Pengukuran Sifat Fisik dan Penilaian Sensori Kalio Komersil
Penentuan  karakteristik  produk  optimum  pada  uji  formulasi  dilakukan  dengan benchmarking
terhadap  karakteristik  terukur  kalio  komersial  dari  beberapa  rumah  makan khas  padang  di  lingkungan  kampus  IPB  Darmaga.  Karakteristik  terukur  yang  dimaksud
meliputi viskositas bumbu, warna daging, serta nilai kekerasan daging, yang disajikan dalam Tabel 3. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1,3, dan 5.
Tabel 2. Rekapitulasi nilai sifat fisik terukur dari produk acuan
Parameter Pengukuran
Produsen Rataan
SD SEM
RM. 1 RM. 2
RM. 3
Viskositas Bumbu cP
1,435.00 1,505.00
1,615.00 1,518.33
90.74 52.39
Warna Daging L
41.29 41.22
41.17 41.23
0.06 0.03
A 8.43
9.19 6.63
8.08 1.32
0.76 B
23.93 17.17
12.70 17.93
5.66 3.27
Kekerasan Daging
20,830.10  Overload 21,362.35  21,096.23
376.36 266.13
Secara  visual,  ketiga  produk  rendang  tersebut  berwarna  kuning  kecoklatan  dan mengkilat karena kandungan minyak di dalamnya.
2. Standarisasi ResepFormula Rendang
Standarisasi  formula  dimulai dengan  melakukan  pengujian resep  dengan  pemasakan konvensional.  Resep  kalio  yang  digunakan  disajikan  dalam  Tabel  4.  Secara  umum,  kalio
yang  diperoleh  dengan  pemasakan  tradisional  ini  memiliki  karakter  sensori  yang  baik  dan layak disebut sebagai kalio. Menurut Mainofri 1990, daging has luar menghasilkan rendang
dengan tekstur yang lebih baik dibanding lamusir.
Pada  tahap  ini  dilakukan  pula  penggantian  santan  alami  dengan  santan  kental  siap pakai
merek “Kara”. Penggunaan santan komersil yang telah terstandarisasi ini memudahkan proses  produksi  dan  standarisasi  mutu  produk.  Dilakukan  percobaan  dengan  basis  bobot
bumbu  kalio  mentah  sebanyak  500  g,  dengan  penyesuaian  jumlah  masing-masing  bumbu mengacu  pada  Tabel  3.  Variasi  jumlah  santan  yang digunakan  yaitu  30,  40, 50,  dan
60. Hasil percobaan tersebut disajikan dalam Tabel 4.
29
Tabel 3. Perbandingan komposisi bumbu kalio
Komponen Bumbu Resep Untuk 2 Kg Daging
Cabe merah 250 g
Bawang merah 500 g
Bawang putih 250 g
Kunyit 1 ruas jari
Lengkuas 100 g
Jahe 50 g
Sereh 6 lembar
Daun jeruk 10 lembar
Daun kunyit 2 lembar
Kulit jeruk limau 4 butir
Kapulaga
1 genggam Kayumanis
Cengkih Pekak
Pala Jinten
Merica Santan
dari 3 butir kelapa berukuran sedang Serundeng
200 g Garam
Secukupnya
Tabel 4. Hasil percobaan penggantian santan alami dengan santan kental siap pakai
Jumlah Santan Karakteristik Organoleptik
30 Rasa kurang gurih, secara keseluruhan lebih mirip dengan balado
40 Rasa kurang gurih, belum mendekati karakteristik kalio yang
diinginkan 50
Rasa gurih pas, secara keseluruhan mendekati karakteristik kalio yang diinginkan
60 Rasa terlalu gurih, rasa dan aroma rempah kurang tajam
Berdasarkan  hasil  percobaan  seperti  yang  disajikan  dalam  Tabel  5,  digunakan proporsi  santan  sebanyak  50  yang  menghasilkan  karakteristik  sensori  mendekati  produk
acuan. Dengan demikian, diperoleh proporsi bumbu standar sebagai berikut Tabel 5.
3. Standarisasi Proses Pembuatan Kalio untuk Proses Pengalengan
Setelah  dilakukan  standarisasi  formula  kalio,  selanjutnya  dilakukan  standarisasi proses  pembuatan  rendang  dalam  kaleng,  yang  meliputi  penyesuaian  tingkat  kematangan
bumbu dan daging pada saat filling, perbandingan jumlah bumbu dan daging filled weight, serta  lama  waktu  blansir  daging  dan  exhausting.  Penyesuaian  kondisi  proses  pengalengan
dilakukan untuk memperoleh produk kalio dalam kaleng yang memiliki karakteristik sensori mendekati kalio dengan pemasakan konvensional.
30
Tabel 5. Proporsi bumbu kalio standar yang digunakan
Komponen Bumbu Jumlah
Cabe merah 8.0
Bawang merah 16.0
Bawang putih 8.0
Kunyit 0.4
Lengkuas 3.4
Jahe 1.7
Sereh 1.7
Daun jeruk 0.4
Daun kunyit 1.2
Kulit jeruk limau 0.4
Kapulaga 0.2
Kayumanis 0.2
Cengkih 0.2
Pekak 0.2
Pala 0.2
Jinten 0.2
Merica 0.6
Santan 50.0
Serundeng 5.0
Garam 2.0
Total 100
Mula-mula  dilakukan  penentuan  tingkat  kematangan  daging  pada  saat  pengisian  ke dalam kaleng. Dilakukan dua perlakuan percobaan tingkat kematangan daging, yaitu mentah
dan tanpa proses blansir a dan dimasak setengah matang bersama bumbu selama 30 menit b.  Skema  dari  kedua  perlakuan  tersebut  disajikan  dalam  Gambar  10  dan  11.  Bumbu  I
meliputi rempah-rempah yang dihaluskan, yaitu cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit,  lengkuas,  jahe,  kapulaga,  pala,    jinten,  dan  merica.  Sedangkan  bumbu  II  meliputi
rempah-rempah yang tidak dihaluskan.
Proses  blansir  tidak  diikutsertakan  pada  perlakuan  a  dengan  pertimbangan  bahwa proses exhausting dengan suhu 80° C selama 5 menit yang dilakukan mampu menghilangkan
udara yang terperangkap dalam daging. Selain itu dihawatirkan proses blansir yang dilakukan dengan  suhu  minimum  80°  C  akan  menyebabkan  denaturasi  protein  daging.  Denaturasi
protein ini,  selain  menyebabkan  keluarnya  sebagian  cairan  daging  bersama  komponen  gizi larut air, juga dihawatirkan akan merubah struktur daging dan menghambat pentrasi bumbu
ke  dalam  daging  selama  pemanasan  di  dalam  retort.  Sedangkan  perlakuan  b  dilakukan dengan tujuan meresapkan bumbu ke dalam daging sebelum dilakukan proses pemanasan di
dalam  retort,  sehingga  diharapkan  bumbu  akan  lebih  meresap  ke  dalam  daging.  Selain  itu juga menghindari kehilangan kehilangan komponen gizi larut air.
31
Gambar 10. Diagram alir pengalengan kalio langsung dari daging mentah perlakuan a
Pemasakan  bumbu  bertujuan  membentuk  warna  dan  aroma  rendang  sebelum dimasukkan  ke  dalam  kaleng.  Lama  waktu  pemasakan  sangat  bergantung  pada  banyaknya
bahan yang dimasak. Sebanyak 500 g bumbu mentah memerlukan waktu pendidihan santan selama  5  menit,  pemasakan  I  selama  15  menit,  dan  pemasakan  II  selama  10  menit.
Pemasakan  II  dihentikan  saat  mulai  tercium  aroma  rendang  dan  fraksi  minyak  dari  santan mulai terpisah. Demikian pula untuk pemasakan bumbu yang disertakan daging di dalamnya.
Hasil pengamatan terhadap kedua perlakuan tersebut disajikan dalam Tabel 6. Retort
Double seamer Exhaust Box
Alat masak
Produk rendang daging sapi dalam kaleng
Daging Pemasakan
sampai mendidih
Pendinginan Pengisian ke dalam kaleng
Pemasakan I
Sterilisasi 121
o
C, t
P
60 menit Exhausting
80
o
, ± 5 menit
Double seaming Blender
Bumbu I
Penghancuran dan pencampuran
Bumbu II Santan
Pemasakan II Serundeng
32
Gambar 11. Diagram alir pengalengan kalio dari daging  yang dimasak terlebih dahulu bersama bumbu perlakuan b
Retort Double
Exhaust Box Alat
masak
Produk rendang daging sapi dalam kaleng
Pemasakan sampai mendidih
Pendinginan Pengisian ke dalam kaleng
Pemasakan sampai daging
setengah Pemasakan I
Sterilisasi 121
o
C, t
P
60 menit Exhausting
80
o
, ± 5 menit
Double seaming Blender
Bumbu I
Penghancuran dan pencampuran
Daging Bumbu II
Santan
Pemasakan II Serundeng
33
Tabel 6. Hasil Pengamatan Terhadap Percobaan Standarisasi Pengalengan Tahap 1
No. Atribut
Sensori Deskripsi Sensori
Perlakuan a dari daging mentah
Perlakuan b dari daging setengah matang
1 Tekstur daging
Keempukan  tidak  berbeda secara  signifikan,  tetapi  lebih
“juicy” Keempukan tidak berbeda
secara signifikan, tetapi daging terkesan lebih “kering”
2 Konsistensi
bumbu Sangat encer
Sedikit lebih kental, tetapi masih belum mendekati
konsistensi bumbu kalio komersil
3 Rasa
Lebih ringan dibanding b Lebih gurih
4 Warna
Kuning kecoklatan, agak pucat 5
Aroma Khas kalio
, tetapi terlalu “ringan” 6
Penyerapan bumbu
Cukup baik, bumbu sedikit terasa di bagian dalam daging Perlakuan  a  menghasilkan  konsistensi  bumbu  yang  sangat  encer,  karena  air  dari
dalam  daging  keluar  selama  sterilisasi.  Hal  ini  juga  ber akibat  pada  “pengenceran”  rasa
bumbu,  sehingga  menjadi  lebih  “ringan”  dibanding  perlakuan  b.  Berdasarkan  penilaian secara  subjektif,  dari  segi  keempukan  daging,  warna,  aroma,  serta  secara  keseluruhan,
keduanya  tidak  berbeda,  tetapi  belum  diperoleh  karakteristik  produk  yang  diinginkan. Pengukuran  terhadap  konsistensi  bumbu,  warna  daging,  dan  kekerasan  daging  tidak
dilakukan secara objektif menggunakan instrumen  karena secara visual  telah tampak sangat jauh berbeda dengan produk acuan.
Dengan pertimbangan bahwa proses pengalengan  kalio langsung dari daging mentah akan  lebih  sederhana,  baik    dalam  hal  persiapan  bahan  sebelum  filling  maupun  penentuan
perbandingan bahan saat filling, maka digunakan prosedur tersebut untuk tahap selanjutnya.
Memperhatikan  konsistensi  bumbu  yang  masih  sangat  encer,  maka  dilakukan percobaan  berikutnya  untuk  memperoleh  konsistensi  bumbu  yang  diinginkan,  yaitu  dengan
menyertakan proses blansir pada daging dan menyesuaian perbandingan jumlah daging dan bumbu saat filling. Proses blansir dalam hal ini terutama bertujuan untuk mengurangi air dari
dalam  daging  yang  dapat  keluar  saat  sterilisasi  dan  berakibat  pada  pengenceran  bumbu. Perlakuan selengkapnya disajikan dalam Tabel 8. Pemasakan bumbu dilakukan dengan basis
seperti pada tahap pertama, yaitu 500 g bumbu mentah.
Penggembungan  yang  mengakibatkan  terjadinya  buckling  pada  perlakuan a2 diduga akibat masih terdapatnya udara dalam daging mentah yang tidak keluar secara sempurna oleh
proses  exhausting,  sehingga  saat  sterilisasi  keluar  dan  memenuhi  headspace,  kemudian memuai karena panas dan mendesak volume kaleng sehingga terjadi penggembungan.  Nilai
viskositas bumbu produk acuan adalah 1,518.33 ± 52.39 cP, dengan demikian perlakuan a1 lebih mendekati produk acuan dibanding perlakuan a2.
34
Tabel 7. Perlakuan dan Hasil Pengamatan Terhadap Percobaan Standarisasi Pengalengan Tahap 2
Keterangan Perlakuan a1
Perlakuan a2
P er
lak u
an
Pemasakan I sebelum penambahan serundeng
100° C, 15 menit 100° C, 15 menit
Pemasakan II setelah penambahan serundeng
100° C, 10 menit 100° C, 20 menit
Blansir pada daging sebelum filling
5 menit dengan medium uap jenuh
pada suhu 90° C, Tidak dilakukan
Perbandingan jumlah daging : bumbu saat filling
5 : 6 8 : 3
H as
il
Buckling Tidak
Ya Konsistensi Bumbu
Lebih kental, 1,770.00 cP
Lebih encer, 885.00 cP
Karakteristik sensori warna, aroma, dan rasa
Khas kalio, tidak berbeda Proses  blansir  dengan  uap  jenuh  pada  suhu  90°  C  menyebabkan  denaturasi  protein
dalam  daging  sehingga  menyebabkan  perubahan  struktur  dan  secara  tidak  langsung menyebabkan perubahan tingkat kekerasan daging.  Perubahan struktur daging pada  kisaran
suhu  70-80°  C  terutama  terkait  dengan  denaturasi  termal  protein  miosin  40-60°  C,  aktin 66-73°  C,  dan  penyusutan  kolagen  56-62°  C.  Kontraksi  protein  ini  menyebabkan
pengeluaran  air  dari  dalam  daging,  yang  lazim  disebut  dengan  susut  masak  cooking  loss Martens  1982  dalam  Palka  dan  Daun  1999.  Susut  masak  akibat  proses  blansir  yang
dilakukan pada penelitian ini berkisar antara 39.9 sampai 40.3.
Denaturasi  protein  daging  yang  semula  dihawatirkan  akan  menghambat  penetrasi bumbu  ke  dalam  daging,  ternyata  tidak  terlalu  berpengaruh.  Berdasarkan  penilaian  secara
subjektif,  tingkat  peresapan  bumbu  ke  dalam  daging  pada  keduanya  tidak  berbeda.  Secara keseluruhan, perlakuan a1 memberikan karakter produk yang lebih baik dibanding perlakuan
a2, tidak menyebabkan penggembungan kaleng dan timbulnya  buckling. Karena itu standar proses  pengalengan  yang  diberlakukan  untuk tahap  berikutnya  mengacu  pada  perlakuan a1
tersebut.  Diagram  alir  standar  proses  pengalengan  yang  dimaksud  disajikan  dalam  Gambar 12.
Waktu yang diperlukan untuk setiap tahap pemasakan pada Gambar 12 berbeda untuk jumlah bumbu yang berbeda. Sebanyak 500 g bumbu mentah memerlukan waktu pemasakan
I  dan  II  masing-masing  selama  15  dan  10  menit,  sedangkan  untuk  2  kg  bumbu  mentah memerlukan  waktu  pemasakan  I  dan  II  masing-masing  selama  30  dan  25  menit.  Selama
pemasakan  I  dan  II,  rata-rata  air  yang  menguap  dari  bumbu  sebanyak  39.1-41.9. Standardisasi konsistensi bumbu dilakukan dengan menambahkan air ke dalam bumbu jika
air menguap terlalu banyak, dan dengan menguapkan kembali jika air masih terlalu banyak. Hal  ini  dilakukan  karena  di  dalam  bumbu  hampir  tidak  terdapat  komponen  yang  dapat
mengakibatkan  perubahan  konsistensi  bumbu  akibat  perubahan  strukturnya  selama pemanasan, seperti pati. Konsistensi bumbu hanya dipengaruhi oleh proporsi air dan padatan
yang terdapat di dalamnya.
35
Gambar 12. Standar proses pembuatan kalio dalam kaleng
Air mengalir Retort
D ouble seamer
Exhaust Box Blancher
Blender Alat Masak
Santan
Pendidihan Pemasakan I
Pemasakan II
Potongan daging 30-50 g
Blansir 90° C, 5 menit
Pengisian ke dalam kaleng 100 g daging dan 120 g bumbu
Exhausting 80° C, 5 menit
Double seaming
Sterilisasi
Pendinginan Bumbu II
Serundeng Bumbu I
Penghancuran dan pencampuran
Produk kalio daging sapi dalam kaleng siap makan
ready to eat
36
B. EVALUASI PENETRASI PANAS PADA PRODUK
Evaluasi penetrasi panas dilakukan pada suhu 116° C 242° F dengan waktu operator t
P
101 menit. Data yang diperoleh berupa plot suhu retort dan suhu produk terhadap waktu, seperti disajikan  pada  Gambar  13.  Waktu  venting  diperoleh  dari  Darmadi  2010  yang  menggunakan
retort yang sama, yaitu 16 menit. Come up time pada suhu 111° C dan 116° C tercapai pada menit ke-17, sedangkan pada suhu 121° C tercapai pada menit ke-20.
Gambar 13. Profil peningkatan suhu retort dan suhu coldest point produk dalam kemasan kaleng 307x113 pada suhu 116° C 241° F
Produk  kalio  merupakan  produk  semi  basah  dengan  konsistensi  cukup  padat,  sehingga penetrasi  panas  terjadi  secara  konduksi.  Berdasarkan  grafik  tersebut,  tampak  bahwa  penetrasi
panas ke dalam produk terjadi cukup lambat, di mana suhu produk pada titik terdingin baru mulai mendekati suhu proses pada menit ke-100. Selain karena konsistensi produk yang cukup padat,
kandungan lemak dari daging dan santan juga diduga memperlambat perambatan panas ke dalam produk. Pada suhu 100° C, konduktivitas termal minyak hanya sekitar 0.163 Wm.K, sedangkan
konduktivitas termal air sebesar 0.681 Wm.K Toledo, 1991.
Letalitas  proses  Fo  dihitung  dengan  metode  umum  grafik,  yaitu  dengan mengintegrasikan nilai lethal rate Lr terhadap waktu, seperti pada persamaan 1 dan 2. Nilai
z yang digunakan adalah nilai z dari mikroba target, yaitu C. botulinum, sebesar 18° F. Gambar 14 menyajikan grafik letalitas parsial produk dengan interval waktu satu menit.
Perhitungan nilai Fo dengan spreadsheet dilakukan dengan menghitung luas area di bawah Grafik  pada  Gambar  14  dengan  metode  trapesium,  seperti  pada  persamaan  3.  Perhitungan
lengkap  disajikan  pada  Lampiran  8.  Nilai  Fo  yang  diperoleh  dengan  metode  grafik  ini  adalah sebesar 11.42 menit. Artinya, proses pemanasan yang dilakukan memberikan efek letalitas yang
sama dengan pemanasan konstan pada suhu 121° C 250° F selama 11.42 menit. 0,0
50,0 100,0
150,0 200,0
250,0 300,0
20 40
60 80
100 120
T °
F
waktu pemanasan menit
Suhu Retort Tr Suhu Produk T
Venting time 16 menit CUT 17 menit
37
Gambar 14. Perubahan Lethal Rate Selama Pemanasan Nilai  Fo  dari  metode  grafik  digunakan  sebagai  tolok  ukur  dalam  penentuan  parameter
karakteristik  penetrasi  panas,  yaitu  f
h
dan  j
h
,  yang  akan  digunakan  dalam  perancangan  jadwal proses. Penentuan kedua variabel tersebut dilakukan dengan metode formula, yaitu metode Ball.
Gambar  15  menyajikan  grafik  Tr-T  terhadap  waktu  t.  Persamaan  yang  diperoleh  dari  fase linier pada grafik tersebut yaitu y = 390.9 e
-0.04 x
. Berdasarkan perhitungan yang disajikan dalam Lampiran 9, diperoleh nilai f
h
dan j
h
masing-masing sebesar 57.56 dan 1.68.
Gambar 15. Profil Penetrasi Panas Rendang Daging Sapi dalam Kemasan Kaleng 307x113 pada Suhu 116° C 241° F
Nilai  f
h
dan  j
h
yang  diperoleh  selanjutnya  digunakan  dalam  perancangan  proses.  Kedua nilai ini  dapat  digunakan  untuk  produk  dan  dimensi  kemasan  yang  sama  dengan  suhu medium
pemanas yang berbeda. Nilai f
h
dan J
h
yang tinggi menunjukkan penetrasi panas yang lambat ke dalam produk.  Untuk dimensi kemasan yang berbeda, terdapat persamaan yang dapat digunakan
untuk mengkonversi kedua persamaan tersebut Sharma, S.K., et al, 2000. 0,0000
0,0500 0,1000
0,1500 0,2000
0,2500 0,3000
13 26
39 52
65 78
91 104
117 130
Lr
waktu pemanasan menit
Lethal Rate Lr
y = 390.9e
-0.04x
R² = 0.996 1,0
10,0
100,0
50 100
150
Tr-T F
waktu pemanasan menit
38
C. PERANCANGAN JADWAL PROSES