38
C. PERANCANGAN JADWAL PROSES
Jadwal proses meliputi waktu venting, waktu tercapainya suhu target come-up-time, serta waktu sterilisasi. Waktu venting diperoleh dari Darmadi 2010 yang menggunakan retort yang
sama, yaitu 16 menit. Come-up-time t
C
diperoleh dari pengujian pada masing-masing suhu yang digunakan. Sedangkan waktu Ball diperoleh dari perhitungan dengan metode Ball, menggunakan
nilai f
h
dan j
h
dari evaluasi penetrasi panas. Waktu proses t
P
merupakan waktu Ball t
B
dikurangi dengan 42 come up time. Tabel 8 menyajikan rekapitulasi perancangan proses untuk memperoleh nilai Fo 3, 10.7 dan 18 menit pada berbagai suhu 111° C, 116° C, dan 121° C.
Perhitungan lengkap disajikan dalam Lampiran 12.
Tabel 8. Rekapitulasi perancangan scheduled process
Suhu Fo
menit t
venting
menit t
C
menit t
B
menit t
P
menit
111° C 232° F 3
16 17
122.3 115.1
10.7 16
17 202.1
194.9 18
16 17
275.3 268.1
116° C 241° F 3
16 17
92.8 85.6
10.7 16
17 127.7
120.6 18
16 17
154.4 147.3
121° C 250° F 3
16 20
77.2 68.8
10.7 16
20 96.1
87.7 18
16 20
108.7 100.3
D. SUSUT MASAK DAN SIFAT FISIK KALIO
Sifat fisik terukur yang diamati meliputi susut masak daging, kekerasan daging, warna daging, dan warna bumbu. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13 sampai 16. Sampel
daging yang digunakan untuk nilai Fo = 0 menit adalah sampel daging yang telah diblansir dengan medium uap jenuh pada suhu 90° C selama 5 menit, tetapi belum mengalami proses
sterilisasi. Sedangkan sampel bumbu untuk nilai Fo = 0 menit merupakan bumbu yang telah ditumis dan belum mengalami proses sterilisasi.
1. Susut Masak Daging Selama Sterilisasi
Grafik perubahan persentase susut masak daging disajikan dalam Gambar 16. Seperti tampak pada Gambar tersebut, umumnya susut masak semakin meningkat dengan semakin
meningkatnya nilai Fo, dengan peningkatan yang sangat kecil. Sedangkan perbedaan suhu sterilisasi, dilihat dari error bar dalam grafik, tampak tidak memberikan pengaruh signifikan.
Kurva tersebut memiliki pola yang sama dengan hasil pengamatan Combes et al 2003. Peningkatan suhu lebih dari 80° C dan perpanjangan waktu pemanasan holding
time setelah 40 menit tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap susut masak
daging. Menurut Laroche 1982 dalam Combes et al. 2003, susut masak terjadi secara singkat karena peningkatan suhu dan hanya bergantung pada suhu internal yang tercapai.
Susut masak berkaitan erat dengan perubahan struktur daging, dengan demikian dapat menjelaskan perubahan tekstur daging selama pemasakan. Palka dan Daun 1999
39
menemukan hubungan yang linier antara peningkatan susut masak dengan penyusutan sarkomer.
Gambar 16. Perubahan susut masak akibat perbedaan suhu dan nilai Fo pemanasan Akumulasi susut masak yang cukup tinggi terkait dengan nilai pH produk, yaitu
sebesar 6.04. Nilai pH yang semakin mendekati nilai pH isoelektrik 5.0-5.1 menyebabkan daya ikat air daging menjadi rendah dan meningkatkan susut masak. Menurut Soeparno
2005, jus daging bernilai minimal saat nilai pH berada pada kisaran 6.0. Daging dengan pH tinggi akan mempunyai tingkat keempukan yang lebih tinggi dibanding daging dengan pH
rendah. Kekerasan maksimal daging sapi dicapai pada pH 5.9, kemudian semakin menurun sampai kisaran pH 6.0-7.0 Soeparno, 2005.
Semula diduga bahwa selama sterilisasi, daging masih dapat menyerap air dari bumbu sehingga meningkatkan bobot daging pada produk akhir. Akan tetapi, meningkatnya susut
masak akibat sterilisasi menyebabkan bobot daging justru menurun, yaitu hanya 44.67±0.48.
2. Kekerasan Daging
Kekerasan merupakan atribut paling berpengaruh terhadap tekstur daging di antara beberapa atribut lain kekenyalan, elastisitas, kekompakan, daya kunyah Wirakartakusumah
et al. , 1992, karena itu pada penelitian kali ini pengukuran tekstur daging dinyatakan dengan
nilai kekerasan. Nilai tersebut diukur secara empiris menggunakan Texture Analyser TX2 dengan satuan gram force gf.
Perubahan nilai kekerasan daging disajikan dalam Gambar 17. Sampel dengan nilai Fo = 0 menit merupakan sampel yang telah mengalami proses blansir dan belum mengalami
proses sterilisasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perubahan nilai kekerasan akibat peningkatan nilai Fo tidak terjadi secara linier. Memperhatikan besarnya nilai error bar,
tampak bahwa suhu sterilisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan nilai kekerasan daging pada nilai Fo yang sama. Artinya, sterilisasi dengan nilai Fo yang sama
akan memberikan nilai kekerasan yang relatif sama meskipun dilakukan pada suhu yang 0,0
2,0 4,0
6,0 8,0
10,0 12,0
14,0 16,0
3,0 10,7
18,0
a ir
ya n
g k
e lu
a r
d a
ri d
a gi
n g
Fo menit
121 116
111
40
berbeda. Besarnya variasi hasil pengamatan merupakan akibat dari variasi biologis antar-otot dan antara otot yang berbeda Tornberg, 2005.
Gambar 17. Perubahan Kekerasan Daging Akibat Perbedaan Suhu dan Fo Sebagaimana tergambar dalam grafik tersebut, nilai kekerasan daging menurun secara
signifikan pada awal pemanasan sampai nilai Fo = 3 menit, kemudian cenderung meningkat sampai Fo 18 menit, meskipun peningkatannya terlihat tidak signifikan. Penurunan nilai
kekerasan pada awal pemanasan sampai nilai Fo 3 menit diduga berkaitan dengan denaturasi kolagen, yang dapat terjadi pada suhu lebih dari 80° C. Sedangkan peningkatan nilai
kekerasan pada pemanasan lanjut Fo lebih dari 3 menit diduga merupakan akibat dari penyusutan sarkomer yang terjadi secara terus menerus Palka dan Daun, 1999. Melihat
hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses pemanasan dengan nilai Fo=3 menit merupakan proses optimum untuk memperoleh nilai kekerasan daging yang baik lembut.
Berdasarkan pengamatan secara visual terhadap tekstur daging, tampak bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pemanasan, serabut daging semakin besar dan
rapuh, serta semakin mudah dipisahkan satu sama lain. Hal ini diduga karena selama pemasakan protein-protein sarkoplasmik juga teragregasi dan menyebabkan terbentuknya gel
yang menghubungkan serabut-serabut miofibril dalam serabut otot Tornberg, 2005, sementara jaringan ikat dalam lapisan endomisium, perimisium, dan epimisium semakin
rusak sehingga menyebabkan daya ikat antar-serabut daging menjadi rapuh.
3. Warna Bumbu dan Daging
Berdasarkan pengamatan secara visual, warna produk secara keseluruhan didominasi oleh warna bumbu, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 10. Nilai pengukuran warna
bumbu maupun daging dinyatakan dengan skala CIE Lab. Perubahan komponen warna keduanya disajikan dalam Gambar 18. Nilai L menunjukkan kecerahan, nilai a+ positif
menunjukkan warna kromatik merah dengan kisaran 0 sampai +100, sedangkan nilai b+ menunjukkan warna kromatik kuning dengan kisaran 0 sampais +70 Faridah et al., 2009.
0,0 5.000,0
10.000,0 15.000,0
20.000,0 25.000,0
30.000,0 35.000,0
40.000,0 45.000,0
10
Kek e
ra sa
n gf
Fo menit
121 C 116 C
111 C
41
Tabel 9. Penampakan Produk Secara Visual
Suhu Fo = 3 menit
Fo = 10.7 menit Fo = 18 menit
111° C
116° C
121° C
Secara visual, seperti yang tampak pada Tabel 9, warna produk tidak terpengaruh secara signifikan baik oleh perubahan suhu maupun nilai Fo pemanasan. Sedangkan
berdasarkan pengukuran secara objektif, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 23, perbedaan suhu sterilisasi pada nilai Fo yang sama tidak memberikan pengaruh signifikan
terhadap komponen seluruh komponen warna L, a, b dari daging maupun warna bumbu, kecuali nilai kecerahan L bumbu. Untuk warna daging, nilai kecerahan L menurun pada
awal pemanasan sampai Fo=3 menit, kemudian meningkat dengan perubahan yang tidak signifikan; sedangkan nilai a maupun b meningkat pada awal pemanasan, kemudian menurun
dengan perubahan yang juga tidak signifikan. Untuk warna daging, perbedaan suhu di bawah 121° C tidak menunjukkan pengaruh signifikan, sedangkan pada suhu 121° C terlihat
berpengaruh, dengan penurunan yang tidak signifikan akibat meningkatnya nilai Fo pemanasan. Dengan demikian pemanasan dengan suhu 121° C dapat meminimalisir
penurunan nilai kecerahan, sehingga diharapkan kecerahan bumbu dapat terjaga lebih baik.
Warna kecoklatan pada daging yang telah melalui proses pemasakan terutama disebabkan karena denaturasi mioglobin yang membentuk globin hemikromogen pada suhu
80-85° C Soeparno, 2005. Warna bumbu terutama dibentuk oleh komponen rempah berpigmen, seperti kunyit mengandung kurkumin, cabai merah mengandung kapsanthin,
serta beberapa jenis lainnya yang dapat menimbulkan komponen warna akibat pemanasan. Terdapat pula kemungkinan pengaruh warna hemoglobin daging yang tidak keluar sempurna
pada saat proses blansir dan bercampur dengan bumbu saat sterilisasi. Dalam hal ini, optimasi kecerahan warna bumbu masih dapat dilakukan dalam tahap formulasi, yaitu
dengan menambah atau mengurangi komponen yang paling berpengaruh terhadap warna.
42
Dapat juga ditambahkan gula untuk menimbulkan reaksi maillard yang akan membuat bumbu tampak lebih coklat.
Gambar 18. Perubahan Nilai Komponen-Komponen Warna Daging dan Bumbu Akibat Perbedaan Suhu dan Fo
Memperhatikan hasil tersebut, optimasi proses dapat difokuskan pada perubahan tekstur daging. Berdasarkan hasil pengamatan sebelumnya, nilai kekerasan dipengaruhi
secara signifikan oleh perubahan nilai Fo pada berbagai kombinasi suhu dan waktu. Artinya, pada rentang suhu 111-121° C, hanya nilai Fo yang berpengaruh terhadap perubahan
keduanya. Karena itu optimasi proses pada tahap berikutnya, yaitu uji organoleptik, dilakukan dengan menggunakan suhu yang lebih tinggi, yang memerlukan waktu pemanasan
lebih singkat dibanding suhu yang lebih rendah untuk menghasilkan nilai Fo yang sama. 30,0
35,0 40,0
45,0 50,0
55,0 60,0
10 20
N il
a i L
d a
gi n
g
Fo menit
121 C 116 C
111 C 30,0
35,0 40,0
45,0 50,0
55,0 60,0
10 20
N il
a i L
b u
m b
u
Fo menit
121 C 116 C
111 C
5,0 6,0
7,0 8,0
9,0 10,0
11,0
5 10
15 20
N il
a i a
d a
gi n
g
Fo menit
121 C 116 C
111 C 5,00
6,00 7,00
8,00 9,00
10,00 11,00
10 20
N il
a i a
b u
m b
u
Fo menit
121 C 116 C
111 C
10,0 12,0
14,0 16,0
18,0 20,0
22,0 24,0
26,0 28,0
5 10
15 20
N il
a i b
d a
gi n
g
Fo menit
121 C 116 C
111 C 10,00
12,00 14,00
16,00 18,00
20,00 22,00
24,00 26,00
28,00
10 20
N il
a i b
b u
m b
u
Fo menit
121 C 116 C
111 C
43
E. EVALUASI ORGANOLEPTIK
Evaluasi organoleptik yang dilakukan berupa uji afektif menggunakan skala kategori 7 poin. Panelis yang digunakan adalah panelis awam sebanyak 70 orang, yang merupakan
representasi dari target konsumen, antara lain mahasiswa, ibu rumah tangga, wiraswasta, serta karyawan swasta. Respon panelis yang diperoleh adalah nilai kesukaan terhadap produk secara
keseluruhan dan terhadap masing-masing atribut mutu sensori warna, aroma, rasa, tekstur. Lembar kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 16.
Tabulasi data uji rating hedonik secara keseluruhan dapat dilihat dalam Lampiran 17 dan 18. Dilakukan analisis ragam dengan taraf 5 terhadap nilai kesukaan panelis terhadap ketiga
sampel, kemudian dilanjutkan dengan uji DMRT jika ditemukan perbedaan signifikan. Hasil analisis ragam dapat dilihat dalam Lampiran 20. Secara keseluruhan, perbedaan nilai Fo
pemanasan 3, 10.7, dan 18 menit tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kesukaan panelis terhadap atribut warna, aroma, tekstur, rasa, maupun terhadap produk secara keseluruhan, dengan
skor rata-rata sekitar 5
, atau “agak suka”, kecuali pada nilai kesukaan panelis terhadap warna produk dengan nilai Fo=18 menit, yaitu mendekati 6 atau “suka”. Rekapitulasi nilai-nilai tersebut
disajikan dalam Tabel 12.
Gambar 19. Grafik skor kesukaan panelis terhadap mutu sensori produk Selain nilai kesukaan, diperoleh pula respon panelis terhadap kelayakan produk yang
dihasilkan untuk disebut sebagai kalio, serta atribut sensori yang paling mempengaruhi kesukaan panelis terhadap produk secara keseluruhan. Seperti tampak pada Gambar 19, sebanyak 97 dari
70 orang panelis menyatakan bahwa produk yang dihasilkan layak disebut sebagai rendang. Sebanyak 56 dari kelompok panelis yang menjawab “ya” memilih rasa sebagai atribut sensori
yang paling mempengaruhi kesukaan terhadap produk secara keseluruhan. 1
2 3
4 5
6 7
3,0 10,7
18,0
5,3 5,2
5,6 5,0
4,9 4,8
5,4 5,5
5,4 4,8
4,6 4,6
4,8 4,8
4,8
warna aroma
tekstur rasa
over all
44
Gambar 20. Respon panelis terhadap kelayakan produk disebut sebagai rendang dan atribut sensori yang paling mempengaruhi kesukaan pada produk secara keseluruhan
Memperhatikan hasil tersebut, maka penentuan proses optimum dilakukan dengan mengambil proses yang paling efisien dalam hal waktu dan biaya, yaitu dengan suhu 121° C dan
nilai Fo = 3 menit. Faktor kritis dalam hal ini hanya menyangkut level keamanan produk secara mikrobiologis. Nilai Fo = 3 menit sudah cukup untuk mereduksi 13 siklus log C. botulinum,
dengan demikian sudah memenuhi standar perdagangan dunia menurut USDA-FSIS. Upaya meningkatkan nilai kesukaan konsumen masih dapat dilakukan dengan melakukan optimasi pada
formulasi yang digunakan.
F. ANALISIS PROKSIMAT PRODUK TERPILIH