40
berbeda. Besarnya variasi hasil pengamatan merupakan akibat dari variasi biologis antar-otot dan antara otot yang berbeda Tornberg, 2005.
Gambar 17. Perubahan Kekerasan Daging Akibat Perbedaan Suhu dan Fo Sebagaimana tergambar dalam grafik tersebut, nilai kekerasan daging menurun secara
signifikan pada awal pemanasan sampai nilai Fo = 3 menit, kemudian cenderung meningkat sampai Fo 18 menit, meskipun peningkatannya terlihat tidak signifikan. Penurunan nilai
kekerasan pada awal pemanasan sampai nilai Fo 3 menit diduga berkaitan dengan denaturasi kolagen, yang dapat terjadi pada suhu lebih dari 80° C. Sedangkan peningkatan nilai
kekerasan pada pemanasan lanjut Fo lebih dari 3 menit diduga merupakan akibat dari penyusutan sarkomer yang terjadi secara terus menerus Palka dan Daun, 1999. Melihat
hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses pemanasan dengan nilai Fo=3 menit merupakan proses optimum untuk memperoleh nilai kekerasan daging yang baik lembut.
Berdasarkan pengamatan secara visual terhadap tekstur daging, tampak bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pemanasan, serabut daging semakin besar dan
rapuh, serta semakin mudah dipisahkan satu sama lain. Hal ini diduga karena selama pemasakan protein-protein sarkoplasmik juga teragregasi dan menyebabkan terbentuknya gel
yang menghubungkan serabut-serabut miofibril dalam serabut otot Tornberg, 2005, sementara jaringan ikat dalam lapisan endomisium, perimisium, dan epimisium semakin
rusak sehingga menyebabkan daya ikat antar-serabut daging menjadi rapuh.
3. Warna Bumbu dan Daging
Berdasarkan pengamatan secara visual, warna produk secara keseluruhan didominasi oleh warna bumbu, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 10. Nilai pengukuran warna
bumbu maupun daging dinyatakan dengan skala CIE Lab. Perubahan komponen warna keduanya disajikan dalam Gambar 18. Nilai L menunjukkan kecerahan, nilai a+ positif
menunjukkan warna kromatik merah dengan kisaran 0 sampai +100, sedangkan nilai b+ menunjukkan warna kromatik kuning dengan kisaran 0 sampais +70 Faridah et al., 2009.
0,0 5.000,0
10.000,0 15.000,0
20.000,0 25.000,0
30.000,0 35.000,0
40.000,0 45.000,0
10
Kek e
ra sa
n gf
Fo menit
121 C 116 C
111 C
41
Tabel 9. Penampakan Produk Secara Visual
Suhu Fo = 3 menit
Fo = 10.7 menit Fo = 18 menit
111° C
116° C
121° C
Secara visual, seperti yang tampak pada Tabel 9, warna produk tidak terpengaruh secara signifikan baik oleh perubahan suhu maupun nilai Fo pemanasan. Sedangkan
berdasarkan pengukuran secara objektif, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 23, perbedaan suhu sterilisasi pada nilai Fo yang sama tidak memberikan pengaruh signifikan
terhadap komponen seluruh komponen warna L, a, b dari daging maupun warna bumbu, kecuali nilai kecerahan L bumbu. Untuk warna daging, nilai kecerahan L menurun pada
awal pemanasan sampai Fo=3 menit, kemudian meningkat dengan perubahan yang tidak signifikan; sedangkan nilai a maupun b meningkat pada awal pemanasan, kemudian menurun
dengan perubahan yang juga tidak signifikan. Untuk warna daging, perbedaan suhu di bawah 121° C tidak menunjukkan pengaruh signifikan, sedangkan pada suhu 121° C terlihat
berpengaruh, dengan penurunan yang tidak signifikan akibat meningkatnya nilai Fo pemanasan. Dengan demikian pemanasan dengan suhu 121° C dapat meminimalisir
penurunan nilai kecerahan, sehingga diharapkan kecerahan bumbu dapat terjaga lebih baik.
Warna kecoklatan pada daging yang telah melalui proses pemasakan terutama disebabkan karena denaturasi mioglobin yang membentuk globin hemikromogen pada suhu
80-85° C Soeparno, 2005. Warna bumbu terutama dibentuk oleh komponen rempah berpigmen, seperti kunyit mengandung kurkumin, cabai merah mengandung kapsanthin,
serta beberapa jenis lainnya yang dapat menimbulkan komponen warna akibat pemanasan. Terdapat pula kemungkinan pengaruh warna hemoglobin daging yang tidak keluar sempurna
pada saat proses blansir dan bercampur dengan bumbu saat sterilisasi. Dalam hal ini, optimasi kecerahan warna bumbu masih dapat dilakukan dalam tahap formulasi, yaitu
dengan menambah atau mengurangi komponen yang paling berpengaruh terhadap warna.
42
Dapat juga ditambahkan gula untuk menimbulkan reaksi maillard yang akan membuat bumbu tampak lebih coklat.
Gambar 18. Perubahan Nilai Komponen-Komponen Warna Daging dan Bumbu Akibat Perbedaan Suhu dan Fo
Memperhatikan hasil tersebut, optimasi proses dapat difokuskan pada perubahan tekstur daging. Berdasarkan hasil pengamatan sebelumnya, nilai kekerasan dipengaruhi
secara signifikan oleh perubahan nilai Fo pada berbagai kombinasi suhu dan waktu. Artinya, pada rentang suhu 111-121° C, hanya nilai Fo yang berpengaruh terhadap perubahan
keduanya. Karena itu optimasi proses pada tahap berikutnya, yaitu uji organoleptik, dilakukan dengan menggunakan suhu yang lebih tinggi, yang memerlukan waktu pemanasan
lebih singkat dibanding suhu yang lebih rendah untuk menghasilkan nilai Fo yang sama. 30,0
35,0 40,0
45,0 50,0
55,0 60,0
10 20
N il
a i L
d a
gi n
g
Fo menit
121 C 116 C
111 C 30,0
35,0 40,0
45,0 50,0
55,0 60,0
10 20
N il
a i L
b u
m b
u
Fo menit
121 C 116 C
111 C
5,0 6,0
7,0 8,0
9,0 10,0
11,0
5 10
15 20
N il
a i a
d a
gi n
g
Fo menit
121 C 116 C
111 C 5,00
6,00 7,00
8,00 9,00
10,00 11,00
10 20
N il
a i a
b u
m b
u
Fo menit
121 C 116 C
111 C
10,0 12,0
14,0 16,0
18,0 20,0
22,0 24,0
26,0 28,0
5 10
15 20
N il
a i b
d a
gi n
g
Fo menit
121 C 116 C
111 C 10,00
12,00 14,00
16,00 18,00
20,00 22,00
24,00 26,00
28,00
10 20
N il
a i b
b u
m b
u
Fo menit
121 C 116 C
111 C
43
E. EVALUASI ORGANOLEPTIK