39
menemukan hubungan yang linier antara peningkatan susut masak dengan penyusutan sarkomer.
Gambar 16. Perubahan susut masak akibat perbedaan suhu dan nilai Fo pemanasan Akumulasi susut masak yang cukup tinggi terkait dengan nilai pH produk, yaitu
sebesar 6.04. Nilai pH yang semakin mendekati nilai pH isoelektrik 5.0-5.1 menyebabkan daya ikat air daging menjadi rendah dan meningkatkan susut masak. Menurut Soeparno
2005, jus daging bernilai minimal saat nilai pH berada pada kisaran 6.0. Daging dengan pH tinggi akan mempunyai tingkat keempukan yang lebih tinggi dibanding daging dengan pH
rendah. Kekerasan maksimal daging sapi dicapai pada pH 5.9, kemudian semakin menurun sampai kisaran pH 6.0-7.0 Soeparno, 2005.
Semula diduga bahwa selama sterilisasi, daging masih dapat menyerap air dari bumbu sehingga meningkatkan bobot daging pada produk akhir. Akan tetapi, meningkatnya susut
masak akibat sterilisasi menyebabkan bobot daging justru menurun, yaitu hanya 44.67±0.48.
2. Kekerasan Daging
Kekerasan merupakan atribut paling berpengaruh terhadap tekstur daging di antara beberapa atribut lain kekenyalan, elastisitas, kekompakan, daya kunyah Wirakartakusumah
et al. , 1992, karena itu pada penelitian kali ini pengukuran tekstur daging dinyatakan dengan
nilai kekerasan. Nilai tersebut diukur secara empiris menggunakan Texture Analyser TX2 dengan satuan gram force gf.
Perubahan nilai kekerasan daging disajikan dalam Gambar 17. Sampel dengan nilai Fo = 0 menit merupakan sampel yang telah mengalami proses blansir dan belum mengalami
proses sterilisasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perubahan nilai kekerasan akibat peningkatan nilai Fo tidak terjadi secara linier. Memperhatikan besarnya nilai error bar,
tampak bahwa suhu sterilisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan nilai kekerasan daging pada nilai Fo yang sama. Artinya, sterilisasi dengan nilai Fo yang sama
akan memberikan nilai kekerasan yang relatif sama meskipun dilakukan pada suhu yang 0,0
2,0 4,0
6,0 8,0
10,0 12,0
14,0 16,0
3,0 10,7
18,0
a ir
ya n
g k
e lu
a r
d a
ri d
a gi
n g
Fo menit
121 116
111
40
berbeda. Besarnya variasi hasil pengamatan merupakan akibat dari variasi biologis antar-otot dan antara otot yang berbeda Tornberg, 2005.
Gambar 17. Perubahan Kekerasan Daging Akibat Perbedaan Suhu dan Fo Sebagaimana tergambar dalam grafik tersebut, nilai kekerasan daging menurun secara
signifikan pada awal pemanasan sampai nilai Fo = 3 menit, kemudian cenderung meningkat sampai Fo 18 menit, meskipun peningkatannya terlihat tidak signifikan. Penurunan nilai
kekerasan pada awal pemanasan sampai nilai Fo 3 menit diduga berkaitan dengan denaturasi kolagen, yang dapat terjadi pada suhu lebih dari 80° C. Sedangkan peningkatan nilai
kekerasan pada pemanasan lanjut Fo lebih dari 3 menit diduga merupakan akibat dari penyusutan sarkomer yang terjadi secara terus menerus Palka dan Daun, 1999. Melihat
hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses pemanasan dengan nilai Fo=3 menit merupakan proses optimum untuk memperoleh nilai kekerasan daging yang baik lembut.
Berdasarkan pengamatan secara visual terhadap tekstur daging, tampak bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pemanasan, serabut daging semakin besar dan
rapuh, serta semakin mudah dipisahkan satu sama lain. Hal ini diduga karena selama pemasakan protein-protein sarkoplasmik juga teragregasi dan menyebabkan terbentuknya gel
yang menghubungkan serabut-serabut miofibril dalam serabut otot Tornberg, 2005, sementara jaringan ikat dalam lapisan endomisium, perimisium, dan epimisium semakin
rusak sehingga menyebabkan daya ikat antar-serabut daging menjadi rapuh.
3. Warna Bumbu dan Daging