Hubungan antara Faktor Oseanografi dan Produktivitas Primer Perairan

tingkat dasar dari produktivitas primer yang dapat meningkatkan produktivitas primer hingga 10 kali lebih besar di zona eufotik Tett dan Edwards, 1984. Upwelling atau penaikkan massa air adalah proses naiknya massa air dari lapisan yang lebih dalam ke lapisan yang lebih atas atau permukaan. Massa air yang berasal dari lapisan dalam akan menggantikan kekosongan tempat aliran lapisan permukaan air yang menjauhi pantai Weyl, 1967. Menurut Pariwono et al. 1988, tingginya kadar zat hara akan merangsang perkembangan fitoplankton yang erat kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan, maka proses upwelling selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer suatu perairan. Massa air subur akan menjadi feeding ground bagi ikan yang kemudian menjadi sasaran kegiatan perikanan penangkapan ikan. Pada lokasi terjadinya upwelling, suhu permukaan laut umumnya lebih rendah dari daerah sekitarnya Nontji, 2005. Wyrtki 1961 membagi upwelling menjadi 3 tipe, yaitu : 1. Tipe Stasioner Stasionery Type, Tipe ini terjadi sepanjang tahun namun intensitas berfluktuasi. Contoh : Pantai Peru. 2. Tipe Periodik Periodic Type, upwelling terjadi selama satu musim. Pada musim upwelling massa air di permukaan bergerak menjauhi daerah tersebut dan digantikan oleh massa air yang densitasnya lebih tinggi suhu lebih rendah, salinitas tinggi. Contoh : Pantai Selatan Jawa. 3. Tipe Silih Berganti Alternating Type, Pada tipe ini, upwelling dan downwelling terjadi secara bergantian. Contoh : Laut Banda dan Laut Arafura. Upwelling di perairan lepas pantai maupun perairan katulistiwa juga berperan dalam mendukung ketersediaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Cullen et al. 1992 mengatakan bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktivitas primer meningkat di sekitar katulistiwa, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi katulistiwa. Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen. Joint dan Pomroy 1988 mengatakan bahwa konsentrasi klorofil-a homogen hingga kedalaman 30 m. Sebaran klorofil maksimum di Samudera Pasifik dijumpai pada kedalaman antara 40 – 60 m dengan nilai rata-rata antara 0,30 - 0,35 mgm 3 Hasegawa 2009 menyatakan bahwa SPL 29 Barber and Chaves, 1991. o C saat terjadinya coastal upwelling di perairan utara Papua. Selama bulan Desember 2001 sebelum permulaan kejadian El Nino tahun 20022003 terjadi upwelling di sepanjang pantai utara Papua yang ditandai dengan naiknya massa air dingin dari lapisan dalam ke permukaan. Massa air dingin ini kemudian menyebar ke timur laut bersamaan dengan kuatnya hembusan angin barat laut di sepanjang pantai utara Papua.

2.4. ENSO El Nino Southern Oscillation

ENSO merupakan singkatan dari El-Nino Southern Oscillation pada umumnya para ahli membagi ENSO menjadi ENSO hangat El Nino dan ENSO dingin La Nina. Penggunaan istilah hangat dan dingin berdasarkan pada anomali suhu permukaan laut SPL di daerah Nino di ekuator Samudera Pasifik bagian tengah dan timur. Fenomena ENSO merupakan hasil variabilitas antar- tahunan yang merupakan interaksi atmosfer dan lautan di Pasifik Wells, 1986. Philander 1990 menyatakan bahwa El Nino merupakan suatu fase dari ENSO dimana Angin Pasat Tenggara dan Angin Pasat Timur Laut melemah dan seringkali berbalik arah. Kejadian El Nino diawali dengan turunnya tekanan udara di Pasifik Selatan bagian timur dan bergesernya sirkulasi Walker ke arah timur. Tekanan udara di atas Indonesia dan Samudra Hindia bagian timur menguat. Massa air permukaan yang hangat yang biasanya terdapat di Samudra Pasifik bagian barat menyebar ke arah timur, terkadang sampai 140 °BT. Bergeraknya massa air permukaan yang hangat ke timur akan mengurangi gradien SPL zonal di sepanjang ekuator Pasifik. Akibatnya, Angin Pasat juga semakin lemah diikuti dengan melemahnya Arus Ekuatorial yang bergerak ke arah barat sehingga menguatkan Arus Balik Ekuatorial kearah timur yang memunculkan arus hangat El Nino dan El Nino semakin berkembang. Menurut Quinn et al. 1978, fenomena El Nino memiliki siklus yang tidak teratur dengan periode antara 2 - 7 tahun. Selama terjadi ENSO, ketika anomali angin di Samudera Pasifik ke barat, anomali angin di Samudera Hindia adalah ke timur. Pola angin konsisten dengan anomali divergen lapisan permukaan laut di Indonesia. Pertukaran Angin Tenggara di atas Samudera Hindia pada lintang 15° LS hingga 20° LS melemah selama ENSO, konsisten dengan tekanan barometrik yang lebih tinggi di atas Australia dengan khatulistiwa Meyers, 1996. McPhaden 2004 menyatakan bahwa pemicu terjadinya ENSO yang hingga saat ini diyakini adalah gangguan angin baratan di barat equatorial Lautan Pasifik yang terjadi pada fase awal pembentukan El Nino. Penyebab gangguan angin baratan sebelum terjadinya El Nino masih belum diketahui. Eisenman et al. 2005 menyatakan bahwa gangguan angin baratan bukan sebagai pemicu awal terjadinya El Nino, tetapi merupakan hasil interaksi lautan- atmosfer yang dipicu oleh dinamika El Nino itu sendiri. Hasegawa et al. 2009 menyatakan bahwa hasil analisis bahang berdasarkan data buoy TRITON pada wilayah WSWP Pacific Warm Pool : 5°S– 5°N, 140°E–150°E mengungkapkan bahwa adveksi panas oleh arus yang bergerak ke timur merupakan faktor utama yang mendinginkan lapisan tercampur di daerah WSWP. SPL yang lebih rendah di WSWP menghasilkan gradien positif SPL dengan wilayah sebelah timur. Hal ini berkontribusi menyebabkan peningkatan angin baratan di daerah ini yang menyebabkan terjadinya El Nino tahun 20022003. Fenomena ENSO menimbulkan dampak iklim yang lebih luas tidak hanya di Lautan Pasifik McPhaden et al. 1998. ENSO merupakan kejadian yang sangat komplek melibatkan variabilitas atmosfer-lautan di Lautan Pasifik bagian barat serta interaksi dengan daratan keberadaan ribuan pulau di Indonesia yang juga berasosiasi dengan fenomena Madden Julian Oscilation MJO Pohl dan Matthews, 2007. ENSO juga berasosiasi dengan Tropical Biennial Oscilation TBO Wu dan Kirtman, 2004, muson Li et al. 2007, DM Shinoda et al. 2004; Ashok et al. 2007 dan kemungkinan berinteraksi dengan Pacific Decadal Oscilation PDO Roy et al. 2003; Yon dan Yeh 2010. Berbagai indeks yang digunakan untuk memantau ENSO adalah Multivariate ENSO Index MEI, Southern Oscilation Index SOI, dan Nino 3.4 Index. Anomali SPL Nino 3.4 merupakan indikator kondisi El Nino di tengah Samudra Pasifik tropis. Indeks ini dihitung berdasarkan nilai rata-rata suhu pada wilayah Nino 3.4 pada area batas 170° W - 120° W, 5° S - 5° N Gambar 1 dikurangi suhu rata-rata pada area tersebut selama 30 tahun. Trenberth 1997 menggunakan anomali suhu pada wilayah Nino 3.4 untuk menentukan kondisi El Nino dan La Nina, dimana anomali suhu ± 0,4 o C dan bertahan selama 6 bulan. Anomali positif dinyatakan sebagai kondisi El Nino dan anomali negatif sebagai kondisi La Nina. Sedangkan National Oceanic dan Atmospheric Administration NOAA pada tahun 2003 NOAA, 2003 memberikan definisi El Nino dan La Nina berdasarkan indeks Nino 3.4 adalah jika anomali suhu positifnegatif lebih dari 0,5 o C berturut-turut bertahan selama 3 bulan maka kondisi tersebut dikatakan sebagai kejadian El Nino La Nina.