Sebaran Permukaan SPL pada Kondisi Normal dan ENSO

Kisaran SPL yang diperoleh pada ketiga kondisi tersebut tidak bervariasi. Kejadian El Nino umumnya memiliki kisaran suhu yang lebih rendah dibandingkan La Nina dan normal. Pada El Nino 1 dapat dilihat bahwa SPL berkisar antara 29,48 - 29,72 o C dengan rata-rata 29,62 o C dan deviasi sebesar 0,07 o C. Sedangkan pada kondisi Normal 2 SPL lebih tinggi berkisar antara 30,05 - 30,33 o C dengan rata-rata 30,20 o C dan deviasinya sebesar 0,09 o Gambar 14 Sebaran SPL pada kondisi El Nino, La Nina dan Normal berdasarkan anomali SPL wilayah Nino 3.4 A=El Nino Desember 1997; B=Normal Mei 1998; C=La Nina Januari 2000; D=Normal Juni 2001; E=El Nino Nopember 2002; F=Normal April 2003. C. Kondisi La Nina umumnya memiliki SPL yang tidak jauh berbeda dengan kondisi normal. Hal ini terjadi karena saat El Nino massa air hangat bergerak ke timur menjauhi perairan utara Papua. Semakin kuat dan lama kejadian El Nino maka air hangat tersebut juga akan makin jauh bergerak ke timur. Hal ini berarti bahwa SPL di perairan utara Papua juga akan semakin rendah dari kondisi normalnya. Gambar 15 Lanjutan G=El Nino September 2004; H=Normal April 2007; I=La Nina Februari 2008. 4.6. Sebaran Permukaan Klorofil-a pada Kondisi Normal dan ENSO Hasil anailisis statistik dari sebaran kandungan klorofil-a di perairan utara Papua pada kondisi El Nino, La Nina dan Normal disajikan pada Tabel 7. Pola sebaran permukaan klorofil-a disajikan pada Gambar 16. Kandungan klorofil-a saat kondisi El Nino lebih tinggi dibanding kondisi La Nina dan Normal. El Nino 1 memiliki kandungan klorofil-a tertinggi berkisar antara 0,088 - 0,391 mgm 3 dengan rata-rata 0,121 mgm 3 dan deviasi sebesar 0,029 mgm 3 . Kandungan klorofil-a terendah dapat dilihat pada La Nina 1 yang merupakan kejadian La Nina kuat dimana nilainya berkisar antara 0,062 - 0,092 mgm 3 dengan rata-rata 0,072 mgm 3 dan deviasi sebesar 0,005 mgm 3 . Jika dibandingkan kedua kondisi tersebut terlihat bahwa saat terjadinya El Nino kandungan klorofil-a akan meningkat dibanding kondisi normalnya dan saat kejadian La Nina akan turun dari kondisi normalnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa massa air hangat yang bergerak ke timur divergensi menyebabkan kekosongan massa air di perairan utara Papua sehingga terjadi upwelling. Hal ini berkebalikan dengan saat kondisi Normal dan La Nina dimana massa air hangat menumpuk di perairan utara Papua konvergensi. Tabel 7 Kisaran kandungan klorofil-a di perairan utara Papua pada kondisi El Nino, La Nina dan Normal berdasarkan Anomali SPL wilayah Nino 3.4 No Fenomena Bulan Kandungan Klorofil-a mgm 3 Minimum Rata-rata Maksimum Std. Deviasi 1 El Nino 1 Des 97 0,088 0,121 0,391 0,029 2 Normal 1 Mei 98 0,081 0,110 0,267 0,025 3 La Nina 1 Jan-00 0,062 0,072 0,092 0,005 4 Normal 2 Jun 01 0,074 0,091 0,277 0,014 5 El Nino 2 Nop 02 0,090 0,133 0,181 0,021 6 Normal 3 Apr 03 0,072 0,093 0,131 0,010 7 El Nino 3 Sep 04 0,102 0,126 0,164 0,009 8 Normal 4 Apr 07 0,092 0,107 0,129 0,007 9 La Nina 2 Feb 08 0,062 0,100 0,140 0,014 Pola sebaran permukaan yang terbentuk seperti yang disajikan pada Gambar 16 menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a oseanik yang tinggi berada pada sisi barat perairan utara Papua. Saat terjadinya El Nino Gambar 16 A, 16 E dan 16 G konsentrasi klorofil-a oseanik yang tinggi ini bergerak ke timur. Sedangkan pada kondisi La Nina Gambar 16 C dan 16 I konsentasi klorofil-a oseanik yang tinggi makin bergeser ke barat. Hal ini berkaitan dengan pola pergerakan massa air hangat di sepanjang ekuator Pasifik. Saat kejadian El Nino kuat tahun 1998 terlihat jelas bahwa sebaran konsentasi klorofil-a oseanik yang tinggi juga makin jauh bergerak dari barat ke timur. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a di sepanjang pantai utara Papua menunjukkan konsentrasi klorofil-a yang tinggi selalu bergerak dari timur ke barat menyusuri pantai utara Papua. Hal ini disebabkan selain oleh pengaruh daratan juga adanya pergerakan Arus Pantai Papua dan Arus Bawah Pantai Papua yang selalu mengalir dari tenggara menuju barat laut sepanjang waktu. Gambar 16 Sebaran permukaan klorofil-a pada kondisi El Nino dan La Nina serta kondisi Normal berdasarkan anomali SPL Wilayah Nino 3.4. A=El Nino Desember 1997; B=Normal Mei 1998; C=La Nina Januari 2000; D=Normal Juni 2001; E=El Nino Nopember 2002; F=Normal April 2003; G=El Nino September 2004; H=Normal April 2007; I=La Nina Februari 2008.

4.7. Sebaran SPL Berdasarkan Waktu

Pola sebaran SPL berdasarkan waktu pada tiga transek dan sembilan stasiun di perairan utara Papua disajikan pada Gambar 17 – Gambar 19. Gambar 17 merupakan variabilitas SPL pada Transek 1 yang mewakili sisi barat, Gambar 18 mewakili sisi tengah dan Gambar 19 mewakili sisi timur perairan utara Papua. Pola variabilitas SPL yang terbentuk pada tiga stasiun berdasarkan perbedaan lintang cenderung sefase hanya amplitudonya saja yang berbeda. Stasiun 3 memiliki kisaran amplitudo yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 2 dan stasiun 1. Dengan kata lain SPL lebih berfluktuasi makin kearah laut lepas. Pola variabilitas serupa juga ditemui pada Transek 2 Gambar 18 yang mewakili bagian tengah perairan utara Papua dan Transek 3 Gambar 19 yang mewakili sisi timurnya. Hal ini memberikan gambaran bahwa pola pergerakan massa air hangat lebih berpengaruh pada SPL pada lintang yang lebih tinggi di perairan utara Papua. SPL berfluktuasi tinggi saat terjadi El Nino 1 Mei 1997 - Mei 1998, dimana SPL turun hingga mencapai 27,90 o C pada Transek 1 dan Transek 2 serta mencapai 28,19 o C pada Transek 3. Kondisi serupa juga terjadi pada kondisi El Nino 2 Jun 02 - Mar 03 dan El Nino 3 Agustus 2004 - Januari 2005 dimana SPL turun hingga mencapai 28,01 o C dan 27,60 o Gambar 17 SPL bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada Transek 1 Stasiun 1 130,5 BT ; 1, 5 LU, Stasiun 2 130,5 BT ; 3,5 LU dan Stasiun 3 130,5 BT ; 5,5 LU. C. Transek 1 dan transek 2 memiliki variabilitas SPL yang lebih tinggi dibanding Transek 3. Kondisi demikian menunjukkan bahwa sisi barat hingga tengah perairan utara Papua memiliki variabilitas suhu yang lebih tinggi saat terjadinya El Nino dibanding sisi timurnya. Gambar 18 SPL bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada Transek 2 Stasiun 1 137,5 BT ; 1, 5 LU, Stasiun 2 137,5 BT ; 3,5 LU dan Stasiun 3 137,5 BT ; 5,5 LU. Gambar 19 SPL bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada Transek 3 Stasiun 1 144,5 BT ; 1, 5 LU, Stasiun 2 144,5 BT ; 3,5 LU dan Stasiun 3 144,5 BT ; 5,5 LU. 4.8. Sebaran Klorofil-a Berdasarkan Waktu Pola sebaran klorofil-a berdasarkan waktu pada tiga transek dan sembilan stasiun di perairan utara Papua disajikan pada Gambar 20 – Gambar 22. Pola variabilitas pada Stasiun 1 lebih tinggi pada semua transek, atau dengan kata lain kandungan klorofil-a permukaan memiliki fluktuasi yang tinggi mendekati pantai. Jika dibandingkan antar transek maka terlihat juga bahwa Transek 1 memiliki variabilitas yang lebih tinggi dibandingkan Transek 2 dan Transek 3. Hal ini berarti variabilitas kandungan klorofil-a di perairan utara