Puisi Dewa Ruci DEWA RUCI

4. Puisi Dewa Ruci DEWA RUCI

karya Saini K.M. dalam kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci - Aku adalah engkau yang telah mendamba yang pernah dinista, ditipu dan disesatkan Engkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu. Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima - Tapi akulah yang kau temukan anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu Yang lain tiada, kecuali aku. Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima - Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa kau dapat menerima atau menolakku dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu. a. Pembacaan Heuristik Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci. Dewa Ruci menjawab ”Aku adalah engkau yang telah mendamba sangat menginginkan sesuatu, yang pernah dinista dihina, ditipu dibohongi, dan disesatkan dibawa ke arah yang salah. Engkau yang membunuh naga ular besar dalam dasar lautmu tempat yang terdalam. Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima. Dewa Ruci menjawab bahwa tapi akulah yang kau temukan ditemui. Anugerah pemberianganjaran, karunia yang telah kau tebus diperoleh lewat pengorbanan dengan duka-deritamu sedih hati, kesusahan dan kesengsaraan. Yang lain tiada tidak ada, kecuali aku. Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima. Dewa Ruci menjawab bahwa untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa. Kau dapat menerima menganggap atau menolakku tidak menerima, dan hidup selama-lamanya bergulat bergelut dengan nagamu. b. Pembacaan Hermeneutik Judul “Dewa Ruci” merupakan tanda yang menunjukkan pada tokoh Dewa Ruci dalam pewayangan. Dalam puisi Dewa Ruci, tokoh Bima dihadirkan secara eksplisit atau tersirat. Kalimat “Aku adalah engkau yang telah mendamba” mempunyai arti si ‘aku’ adalah si ‘engkau’ yang sangat menginginkan sesuatu, mendambakan sesuatu, merindukan sesuatu, mengharapkan sesuatu. Kalimat “aku adalah engkau” merupakan gaya bahasa metafora. “Aku adalah engkau” berarti si ‘aku’ seperti halnya si ‘engkau’ yang sama dalam bentuk maupun rupa. Kesamaan tersebut selain bersifat jasmani juga bersifat rohani. Dalam sebuah hubungan atau interaksi diperlukan kaidah yang digunakan untuk mengatur pola interaksi dalam masyarakat yaitu prinsip hormat. Prinsip hormat merupakan pola interaksi setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya Suseno, 2001: 60. Sesuai dengan prinsip tersebut, setelah Bima bertemu dengan Dewa Ruci, Bima menanyakan siapakah sebenarnya Dewa Ruci. Bima sebagai seorang kesatria mempunyai sifat yang tegas, dan bersikap hormat kepada orang yang baik kepadanya. Dewa Ruci menjelaskan kepada Bima bahwa dirinya adalah Bima sendiri. Dewa Ruci sebenarnya berada dalam diri Bima, tetapi karena Bima tidak menyadari hal tersebut maka Bima pun tidak tahu dengan Dewa Ruci bersatu di dalam dirinya. Oleh karena itu Bima disuruh Dewa Ruci untuk mengenal dirinya sendiri, karena dengan mengenal diri sendiri akan mengenal pula sifat, kelebihan, dan kekurangan yang ada. Bima disebutkan pernah dinista, ditipu dan disesatkan, dikarenakan karena bahwa dijerumuskan oleh gurunya, yaitu Resi Durna. Hal ini disebabkan kebencian dari Kurawa kepada Pandawa, khususnya kepada Bima. Sebelumnya, Prabu Dhuryudhana memanggil seluruh anggota Kurawa buat melakukan sidang istimewa. Dari perhitungan kertas, Kurawa lebih kuat dari Pandawa kecuali karena satu hal saja; Pandawa memiliki Bima yang sangat sakti. Di samping sangat perkasa, Bima juga ksatria yang jujur, lugu, dan kuat kemauan. Bima harus disingkirkan dan dibuang dari keluarganya. Dikarenakan Bima sangat hormat dan patuh kepada gurunya, yaitu Resi Durna, maka Duryudana berniat mencelakakan Bima dengan menyuruh Resi Durna untuk memerintahkan Bima untuk mencari air kehidupan. Resi Durna mengatakan kepada Bima bahwa manusia yang dapat memperoleh air kehidupan ini, ia akan mencapai tingkat hidup yang sempurna. Dengan hati dan tekad yang kuat dan sikap patuh terhadap gurunya, Bima melaksanakan perintah guru Durna. Bima yang hendak berguru kepada Resi Durna, artinya orang yang ingin mendalami ilmu agama, dia harus berguru kepada orang yang berilmu. Meskipun kadang-kadang ada orang berilmu yang bertabiat kurang terpuji. Dalam mencari ilmu seseorang harus selalu berbaik sangka terhadap guru, seperti yang telah dicontohkan oleh Bima terhadap gurunya Resi Durna. Supaya tujuannya dapat tercapai, Durna menganjurkan Bima untuk mencari tirta pawitra dengan membongkar gunung Reksamuka. Artinya orang yang mendalami ilmu tarikat harus melakukan hal-hal yang berat, seberat membongkar sebuah gunung Purwadi, 2007:105. Misalnya dia harus menghilangkan sifat keduniaannya. Di gunung Reksamuka Bima bertemu dua raksasa besar, Rukmuka dan Rukmakala sewaktu Bima membongkar gunung Reksamuka. Kedua raksasa itu berhasil dikalahkan dan dibunuh oleh Bima. Orang yang berusaha mensucikan diri harus mampu memerangi semua godaan duniawi. Kala Rukmuka melambangkan nafsu pancaindra yang selalu membawa manusia menuju kesesatan. Rukmakala melambangkan akal pikiran yang sering lepas kendali sampai membahayakan bagi keselamatannya sendiri Purwadi, 2007:106. Kedua rintangan besar itu mampu diatasi oleh Bima dengan keperkasaannya. Rukmuka dan Rukmakala dibunuh oleh Bima. Sesudah dibunuh oleh Bima, kedua raksasa itu berubah menjadi dua dewa. Karena keduanya telah ditolong dapat kembali berwujud dewa, Bima diberi anugerah Sabuk Cindhe Wilis dengan bara kembar dan dapat dipakai di paha kanan kiri. Hal itu berarti sudah menjadi kebiasaan bila seseorang yang hendak mensucikan diri itu harus mau menutup mata dan telinga terhadap ejekan orang lain. Lama- kelamaan ejekan yang menjadi beban itu akan lenyap juga. Mereka yang mengejek akhirnya mengakui kebenarannya. Sebagai hadiah Sabuk Bara dengan Cindhe Kembar melukiskan orang yang berpetualang mencari ilmu dengan tekad kuat laksana ikat pinggang cindhe. Bara di kanan menunjukkan perilaku yang harus melepaskan diri dari sifat keduniaan. Bara di kiri melambangkan sikap yang memegang teguh ajaran guru yang diterimanya Purwadi, 2007:106. Di negeri Astina Bima kembali menghadap gurunya, dan Durna memberi wejangan tentang keharusan berbakti kepada Dzat yang harus disembah. Keistimewaan Bima salah satunya adalah lambang kejujuran dan kesetiaan seorang murid kepada gurunya Barnas Sumantri dan Kanti Waluyo, 1999:83. Oleh karena itu, Bima melaksanakan perintah gurunya untuk mencari Tirta Pawitra Sari di dasar lautan. Semakin kuat orang menuju hal yang baik, maka suatu yang menjadi penghambatnya semakin besar. Adapun tempat Tirta Pawitra Sari di dasar laut memberi makna bahwa untuk sampai pada tingkat tinggi memang sukar, jauh dan dalam. Maka dia harus terjun dan menyelam dalam lautan. Ini berarti bahwa orang itu harus menyucikan sifat- sifat Allah seperti tersurat dalam Asmaul Husna atau nama-nama yang mulia di sisi Tuhan Purwadi, 2007:107. Di negeri Amarta Bima mengejutkan keluarganya. Mendengar niat Bima pergi ke samudera, ibunya dan para Pandawa menangis berusaha mencegahnya. Tetapi tekad Bima tidak bisa dikendorkan, Bima tetap pada pendiriannya. Dia bersedia melepaskan diri dari segala hal yang paling dicintainya, terutama keluarganya. Kalimat “Engkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu” merupakan gaya bahasa metafora. Naga diibaratkan sebagai cobaan atau kesukaran yang sangat berat. Kalimat ini berarti bahwa tokoh Bima telah berhasil menghadapi cobaan kesukaran berat yang menyelimuti batinnya. Dasar laut sebagai kiasan dasar perasaan yaitu batin. Di samudera, Bima menemui halangan, dibelit Naga Nemburnawa yang hampir saja merengut nyawa Bima, akan tetapi setelah didasari dengan kepasrahan dan kerelaan karena ingin mencapai tujuan, Bima dengan kuku Pancanaka membunuh naga dan akhirnya naga tersebut tewas. Keberhasilan Bima membunuh naga dalam dasar laut melambangkan bahwa Bima berhasil membunuh nafsu duniawi dalam batinnya yang menghambat tujuan mendekatkan diri dengan Tuhan Barnas Sumantri dan Kanti Waluyo, 1994:84. Manusia diharapkan untuk selalu mengolah kemampuan batinnya untuk dapat mengatasi segi lahiriah atau nafsunya, yaitu dengan sepi ing pamrih, yang terkait dengan hal sebagai berikut. Pertama, sikap eling, merupakan suatu sikap untuk selalu ingat akan asal-usulnya bahwa manusia berasal dari Yang Ilahi dan dengan rendah hati tahu sikap dirinya. Kedua, adalah sikap sabar. Sikap ini terwujud dalam keadaan tidak tergesa-gesa, tidak khawatir dalam menghadapi sesuatu. Ketiga, adalah sikap nrimo. Sikap ini bukan dalam arti asal menerima saja nasib yang menimpanya tetapi memiliki arti yang lebih mendalam. Manusia harus tetap bereaksi secara wajar dan bisa membawa diri dalam situasi serta menunjukkan kemampuan untuk menerima keadaan. Keempat, adalah sikap ikhlas, yaitu sikap untuk merelakan apa saja jika memang menjadi tuntutan tanggung jawab atau tuntutan nasibnya Sardjono,1995:20. Seseorang yang hendak mencapai suatu tujuan baik biasanya mendapat godaan berat dari nafsu yang menyertainya. Agar berhasil maka harus mampu mengatasinya dengan sabar dan tabah. Bima pun pada akhirnya bisa mengalahkan nafsu yang ada dalam dirinya. Bima mengatakan kepada Dewa Ruci bahwa Dewa Ruci bukanlah yang Bima cari. Bima mencari air kehidupan seperti yang telah gurunya perintahkan. Bima menyangkal bahwa bukan si Dewa Ruci yang Bima cari, namun kenyataannya bahwa Dewa Rucilah yang Bima temukan. Dewa Ruci merupakan anegerah bagi tokoh Bima. Hal itu merupakan permulaan yang ironis bertentangan bagi tokoh Bima. Dewa Ruci menerangkan bahwa air itu hidup dan akan selalu hidup karena hidup adalah salah satu sifat Tuhan Allah. Dia-lah yang memberi hidup kepada semua makhluk yang ada di dunia. Dewa Ruci pun mengatakan kepada Bima bahwa dirinyalah yang Bima temukan. Dewa Rucilah yang akhirnya ditemukan oleh Bima setelah Bima hampir menemui kematian. Pertemuan antara Bima dan Dewa Ruci di dasar samodra mengandung makna perbuatan berat yang dilakukan oleh seorang manusia, dengan disiplin yang keras dapat memiliki kesempurnaan hidupnya. Untuk mencapai anugerah Tuhan harus dengan jalan sesuai dengan lahir batinnya Purwadi, 2003:39. Dewa Ruci memaparkan hakikat makna tirta pawitra digambarkan dengan wujud Bima dalam bentuk kecil dengan suatu lambang bahwa manusia telah menemukan Aku nya sendiri. Maksudnya bahwa kesempurnaan hidup dapat ditemukan pada diri sendiri setelah mampu mengalahkan hawa nafsu dengan prihatin, mengekang diri, pengenalan diri, keuletan dan keteguhan hati serta disiplin yang kuat. Bima telah melepaskan segala-galanya untuk memperoleh air hidup. Begitu bersatu sehingga dia berani mati. Dalam hal ini Bima adalah lambang manusia yang bertapa dan bersemadi untuk mengalahkan nafsu-nafsu rendah dan memurnikan tekad batinnya. Kalimat “anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu” merupakan gaya bahasa metafora dan hiperbola. Metafora “anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu” berarti ganjaran atau karunia yang diperoleh atas usaha atau pengorbanan yang telah dilakukan. Hiperbola “anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu” menyatakan proses yang dilalui untuk mendapat anugerah dilakukan dengan sangat berat, harus ditebus atau diperoleh dengan pengorbanan besar dengan melewati penderitaan dan kesusahan. Pertemuan Bima dengan Dewa Ruci merupakan anugerah bagi Bima. Hal ini dimaksudkan bahwa kejadian tersebut merupakan pemberian yang dapat memberikan kesejahteraan dan kenikmatan kepada Bima. Bima berada dalam keadaan memprihatinkan karena telah melalui cobaan hidup sangat berat. Bima tidak tahu tujuan akhir perjalanannya sampai akhirnya sesuatu terwujud yaitu bertemu dengan Dewa Ruci dari tindakan Bima yang membutuhkan akan air dan makna kehidupan. Kalimat “Yang lain tiada, kecuali aku” merupakan bentuk ambiguitas yang mempunyai arti tidak ada yang lain kecuali si ‘aku’, yang lain tidak mempunyai kepentingan kecuali si aku, tidak ada yang berkenan lainnya, tidak ada pihak atau makhluk lain, tidak ada yang menyamai, bersifat tunggal. Dewa Ruci mengaku bahwa dirinyalah yang menjadi tujuan keinginan Bima, yang lainnya tidak ada, kecuali Dewa Ruci. Di sini berarti bahwa Dewa Ruci sebagai sifat tunggal yang berarti sejati, dan akhirnya Dewa Ruci sebagai guru sejati Bima. Dewa Rucilah yang dapat memberikan dan memenuhi keinginan Bima untuk menemukan air kehidupan dan makna dari air kehidupan tersebut. Bima memperoleh yang dicarinya sebagai air hidup, asal-usul dirinya sendiri dan sangkan paraning dumadi di dasar batin sendiri. Sangkan paran- nya adalah Yang Ilahi dan Bima akhirnya bersatu dengan Tuhannya di dasar suksmanya sendiri. Bima telah mencapai manunggaling kawula Gusti. Manunggaling kawula Gusti adalah ilmu tingkat tinggi orang Jawa utnuk memperoleh derajat kasampurnan. Di sana diterangkan konsep mengenai sangkan paraning dumadi, yaitu asal mula hakikat kehidupan, dengan tujuan utamanya adalah mencapai khsunul khotimah yang bermuara pada kenikmatan surgawi Purwadi, 2005:iii. Tataran pengalaman Bima mencapai kemanunggalan antara kawula dan Gusti diistilahkan dengan sifat manusia di dalam Tuhan Zoetmulder, 2001:213. Di sanalah tempatnya yang sejati, ke sanalah ia harus kembali. Dengan kembali ke tempat sejatinya berarti telah terleburnya manusia di dalam Tuhan. Tempat tersebut merupakan asal-usul manusia. Bima kembali bertanya kepada Dewa Ruci tentang kegunaan Bima mendapatkan Dewa Ruci. Hal ini dimaksud tentang sesuatu yang diperoleh Bima setelah Bima bertemu dan akhirnya masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Bima menanyakan guna atau manfaat dari tokoh Bima mendapatkan si ‘aku’. Si ‘aku’ menerangkan bahwa kegunaan tersebut adalah untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa. Jawaban yang keluar tersebut tidak sesuai dengan kenyataan bahwa semestinya ketika orang menanyakan manfaat atau kegunaan maka semestinya dijawab dengan jelas manfaat atau kegunaan baiknya bagi orang yang bertanya. Dengan memperoleh jawaban yang jelas, maka orang mudah menerima atau memahami. Di dalam tubuh Dewa Ruci, terjadi dialog antara Dewa Ruci dan Bima yang membahas tentang hakikat kehidupan. Bima mengenal asal mula adanya hidup hingga akhir dari hidup dan kehidupan. Ilmu atau pengetahuan yang diperoleh Bima dapat digunakan atau tidak digunakan oleh Bima. Bima dapat menerima atau menolak, yaitu Bima dapat menerima atau menolak ilmu yang telah diberikan oleh Dewa Ruci. Ilmu atau pengetahuan yang diperoleh Bima dapat menentramkan hati dan bermanfaat bila digunakan secara benar. Dengan ilmu yang didapat tersebut, jika digunakan dengan tidak dengan semestinya atau tidak benar, Bima dapat kembali hidup dengan naganya yaitu nafsunya, dengan bentuk atau tindakan menyombongkan diri. Kalimat “dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu” merupakan bentuk ambiguitas yang mempunyai arti hidup selamanya bergumul atau bergelut dengan naga, hidup selamanya dengan kesukaran, hidup dengan penuh rintangan, hidup penuh dengan kesusahan, hidup dengan penuh penderitaan, hidup dengan penuh perjuangan, hidup dengan penuh kesulitan. Manusia selain mempunyai akal dan perasaan, juga mempunyai nafsu, yaitu i nafsu menangnya sendiri, ii nafsu benarnya sendiri,dan nafsu perlunya sendiri. Nafsu menangnya sendiri, yaitu manusia yang memaksakan semuanya ingin serba nomor satu, dan pada akhirnya menjadi serakah. Nafsu benarnya sendiri, yaitu manusia merasa bahwa dialah yang paling benar. Nafsu perlunya sendiri, yaitu manusia yang hanya memperhatikan sisi keperluannya sendiri serta tidak peduli orang lain Soeparno dan Soesilo, 2007:115-116. Manusia dapat mencapai kesempurnaan, apabila memiliki ilmu yang luas dan kesadaran yang tinggi. Ilmu yang luas adalah perilaku yang baik dan perbuatan yang luhur, sedangkan kesadaran yang tinggi yaitu dapat mengendalikan hawa nafsunya dan tidak emosional. Pada bait pertama, terdapat penggunaan kata ganti orang yaitu ‘engkau’ yang menonjol yang memberi arti untuk mempertegas bentuk individu yang ada dalam puisi Dewa Ruci. Pada bait kedua, juga terdapat penggunaan kata ganti orang yaitu ‘kau’ dan ‘aku’ yang menonjol. Penggunaan tersebut untuk mempertegas bentuk individu personal yang ada dalam puisi Dewa Ruci. Adanya penggunaan kata ‘yang’ diulang pada baris ke-1, ke-2, ke-3 memberi kesan berirama dan menjelaskan kata sebelumnya. Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas penting, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya Rachmat Djoko Pradopo, 1993:22. Variasi bunyi t dalam baris ketiga “….. dinista, ditipu dan disesatkan”, menciptakan arti memperkeras suasana dan keadaaan yang tidak menyenangkan. Pada bait ketiga, bunyi a tampak dominan. Bahkan hampir di tiap baris terdapat bunyi a. Terdapat bentuk asonansi bunyi a, yang terdapat pada: Apa gunanya saya … dan segala-galanya… apa-apa. Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima - Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa kau dapat menerima atau menolakku dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu. Bunyi a yang dominan dan bentuk asonansi bunyi a memberi kesan berirama dan membuat liris penuh perasaan. Homologues terdapat pada bait ketiga baris ke-2 dan ke-3. - Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa kau dapat menerima atau menolakku Dari persejajaran bentuk tersebut menimbulkan persejajaran arti bahwa dengan menerima hal itu dapat digunakan untuk menghadapi segala bentuk permasalahan yang datang sehingga bisa mendapatkan penyelesaian, namun juga bisa untuk tidak mempergunakannya. Puisi Dewa Ruci tersebut penuh dengan keseimbangan simitri. Keseimbangan tersebut terdapat pada rima akhirnya, baris-baris dalam baitnya, dan antar bait yang satu dengan bait yang lain. Baris dan bait puisi Dewa Ruci tersusun dalam bentuk yang rapi. Hal ini menyiratkan suasana dialog antara tokoh Bima dan Dewa Ruci yang nyaman dan kondusif. Puisi Dewa Ruci berbentuk dialog, yaitu dialog Sang Bima dan Dewa Ruci. Puisi Dewa Ruci memiliki tipografi yang dibuat seimbang dan teratur. Pemakaian jumlah baris dan pengaturannya dalam tiap bait seimbang, sehingga secara visual tipografi puisi Dewa Ruci terlihat rata. Hal ini melukiskan bahwa dialog atau percakapan antara tokoh Bima dan Dewa Ruci terbentuk keteraturan dan keselarasan suasana.

C. Matriks, Model, dan Varian-varian