Puisi Saudara Kembar SAUDARA KEMBAR

2. Puisi Saudara Kembar SAUDARA KEMBAR

karya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Motinggo tiba-tiba sebagai kilat cermin di tangannya mengingatkan dia kepada lubuk laut lain di mana ia pernah menjenguk dan berjumpa dengan gambar muka seperti saudara kembar begitu serupa tercipta dari ilham yang sama ia tidak bertukar kata hanya tahu ia ditunggu sejak dulu rindu yang dahsyat lalu membuatnya berpaling a. Pembacaan Heuristik Menurut KBBI 1989:788 saudara merupakan orang yang seibu seayah, orang yang bertalian keluarga. Kembar merupakan sama rupanya keadaaanya, dilahirkan bersama-sama dari satu ibu 1989:415. Tiba-tiba, sebagai kilat kilatan cahaya, dalam waktu singkat, cermin di tangannya telah mengingatkan dia kepada lubuk laut bagian laut yang terdalam lain, di mana ia pernah menjenguk dan berjumpa dengan gambar muka tiruan wajah orang seperti saudara kembar, begitu serupa sama rupanya yang tercipta dari ilham petunjuk dari Tuhan yang timbul dari dalam hati yang sama.. Di tempat tersebut, ia tidak bertukar kata bicara. Ia hanya mengetahui bahwa ia ditunggu sejak dahulu. Hal itu menjadi kerinduan rasa ingin bertemu yang dahsyat hebat, karena suatu hal, lalu membuatnya berpaling berpisah. b. Pembacaan Hermeneutik Judul “Saudara Kembar” sebagai tanda untuk menunjukkan tokoh yang mempunyai bentuk rupa sama tetapi lebih kecil dari Bima, yaitu Dewa Ruci, dalam cerita pewayangan. Dalam puisi Saudara Kembar, tokoh Bima dihadirkan secara implisit atau tersirat. Kalimat “sebagai kilat” merupakan gaya bahasa simile. Kalimat “sebagai kilat” merupakan bentuk ambiguitas yang mempunyai arti seperti cahaya yang berkelebat dengan cepat di langit, dalam waktu singkat, dengan cepat, datangnya sulit diterka, membuat terkejut, menjadi ketakutan, menjadi terdiam. “Sebagai kilat” merupakan kiasan yang menunjukkan sifat cepat seperti halnya cepatnya suatu kilat, yang membuat orang terkejut, kaget dan menjadi waspada dan sadar dari keadaan sebelumnya. Sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan, maka harus sadar akan dirinya dan tujuan manusia dilahirkan di dunia. Oleh karena itu, ia harus selalu ingat, sadar, akan diri dan hidupnya. Bima ingat akan dirinya sebagai seorang manusia yang hidup dalam suatu masyarakat. Kalimat “cermin di tangannya” mempunyai arti kaca bening yang salah satu sisi dicat dengan air raksa sehingga memperlihatkan bayangan benda yang ditaruh di depannya, sesuatu bayangan, bayangan perasaan, isi hati, keadaan batin. Rasa rumangsa merupakan inti wawasan psikologi Jawa Suwardi Endraswara, 2006:214. Melalui rasa rumangsa, orang Jawa akan mengukur diri. Cermin diri orang jawa, baik cermin buram maupun bening tetap penting. Rasa rumangsa merupakan endapan rasa, yang mencoba melihat diri sendiri dan orang lain Dengan bercermin dan rumangsa, orang dapat melihat bayangan dirinya sendiri, dan dapat mengetahui serta memikirkan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan dalam kehidupannya, yang selanjutnya berusaha untuk tidak berbuat kesalahan lagi. Sebagai seorang makhluk yang mempunyai akal dan perasaan, tentulah akan berupaya untuk berusaha menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya. Hal demikian ini terjadi pada diri Bima. Bima dengan cepat teringat dan sadar akan peristiwa yang terjadi pada dirinya. Kalimat “kepada lubuk laut lain” merupakan gaya bahasa metonimia. “Kepada lubuk laut lain” mempunyai arti tempat berupa laut tempat terjadi peristiwa yang menyangkut diri tokoh Bima. Bima berada di lubuk laut yaitu dasar laut atau samudera, tempat Bima mencari hakikat hidup. Di tempat itu, Bima “berjumpa dengan gambar muka”, yang merupakan gaya bahasa personifikasi dan sinekdoke pars pro toto. Personifikasi kalimat “berjumpa dengan gambar muka” berarti berjumpa dengan sebuah gambar muka yang diibaratkan berjumpa dengan muka seseorang manusia. Sinekdoke pars pro toto “berjumpa dengan gambar muka” menyatakan gambar muka yang mewakili bentuk keseluruhan tubuh yang berarti berjumpa dengan bentuk manusia atau makhluk. Kalimat “seperti saudara kembar” merupakan gaya bahasa simile. Kalimat “seperti saudara kembar” menyatakan perihal seperti saudara kembar yang mempunyai bentuk tubuh dan keadaan sama, yang dilahirkan bersama- sama, yang mempunyai pertalian darah serta perasaan. Hal ini berarti gambar muka tersebut merupakan seseorang yang mempunyai rupa sama dengan dirinya, seperti halnya saudara kembar. Seseorang yang mempunyai bentuk dan rupa yang sama tersebut adalah Dewa Ruci. Dewa Ruci memiliki bentuk dan rupa seperti Bima tetapi mempunyai tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan Bima. Makhluk atau Dewa Ruci tersebut “tercipta dari ilham yang sama”. Kalimat “tercipta dari ilham yang sama” menyatakan kiasan adanya kesamaan tentang petunjuk dari Tuhan yang menggerakkan untuk menciptakannya. Terdapat persamaan substansi yang diwujudkan baik dalam jasmani maupun rohani. Pertemuan Bima dengan Dewa Ruci merupakan jalan bagi diri Bima untuk mengetahui semua hal. Dewa Ruci sebenarnya berada dalam diri Bima, tetapi Bima tidak mengetahui. Dewa Ruci menjelaskan pada Bima sebab ketidaktahuan Bima. Hal itu dikarenakan Bima mengunakan matanya hanya untuk memandang yang jauh, sehingga kesatuan antara Bima dan Dewa Ruci tidak dirasakan oleh Bima. Oleh karena itu, Bima disuruh untuk mengenal diri sendiri. Dengan mengenal dirinya sendiri, Bima akan mengenal sifat, kelebihan dan kekurangannya. “Ia tidak bertukar kata” merupakan bentuk kontradiksi yang menyatakan perihal atau keadaan setelah bertemu yang tidak melakukan hal atau perbuatan yang selayaknya dua orang saling bertemu atau berjumpa. Bahwa ia tidak bertukar kata, berarti ia hanya diam, tidak menyapa, tidak berkomunikasi dan melakukan tindakan seperti orang bertemu yang seharusnya bersalaman, berpelukan atau sekedar membungkukkan badan. Bima tidak bertukar kata, dikarenakan Bima berada dalam keadaan tidak tahu akan semua yang terjadi Bima. Bima disuruh Dewa Ruci untuk bersemedi. Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta dan rasa hening, penuh dengan ketenangan. Diperlukan ketenangan batin dalam proses tersebut. Dengan batin yang tenang maka akan dapat memahami makna dari hidup. Bima tanpa ragu-ragu sedikitpun melakukan semua hal yang memang harus dilaksanakannya. Hal ini karena kesungguhan kehendak dan hati Bima untuk mengetahui makna kehidupan. Oleh karena itu, Bima berhasil melewati cobaan-cobaannya, dan telah ditunggu oleh Dewa Ruci. Pertemuan antara Bima dan Dewa Ruci merupakan bentuk “rindu yang dahsyat”. Kalimat “rindu yang dahsyat” merupakan gaya bahasa hiperbola. Kalimat “rindu yang dahsyat” menyatakan sebuah keadaan rindu dua pihak yang disebabkan tidak bertemu dalam jangka waktu yang lama sehingga menjadi sangat rindu. Hal ini menyatakan tentang Bima yang sangat mengharapkan pencerahan tentang hidup dan kehidupan. Dalam proses rindu tersebut, Bima melalui perjalanan yang panjang dan sangat berat, dan akhirnya bertemu dengan Dewa Ruci. “Rindu yang dahsyat lalu membuatnya berpaling” merupakan bentuk kontradiksi yang memberikan pengertian atas kerinduan besar antara dua insan yang telah lama tidak berjumpa, namun karena suatu hal membuat kedua berpisah kembali. Hal itu tidak seperti orang yang rindu, tidak bertemu dalam jangka waktu yang lama, maka setelah bertemu akan melepas kerinduan tersebut dengan berduaan dalam jangka waktu yang lama, bahkan dimungkinkan untuk hidup bersama untuk selamanya. Setelah Bima bertemu dengan Dewa Ruci karena kerinduan yang dahsyat atau sangat diinginkan oleh Bima, Dewa Ruci memberikan pelajaran bermacam-macam tentang asal muasal kehidupan. Bima mengetahui tentang asal mula dan akhir dari kehidupan. Bima merasakan kenikmatan kebahagiaan lahir batin ibarat memperoleh surga. Kenikmatan dan ketentraman tersebut membuat Bima betah di sana dan tidak mau kembali ke asalnya, namun dilarang oleh Dewa Ruci. Karena untuk merasakan kenikmatan hakiki harus dalam keadaan mati atau ruh saja, dan Bima belum mati Hal ini “membuatnya berpaling”. Kalimat “lalu membuatnya berpaling” merupakan metafora yang berarti bahwa Bima kembali ke asal atau tempat sebelumnya, tempat asal sebelum bertemu dan melepas kerinduan. Bima pun kembali ke tempat asalnya karena mempunyai kewajiban terhadap masalah yang lain. Bima harus menunaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang kesatria untuk membela nusa dan bangsa. Bima tidak hanya mementingkan kebatinan saja, namun juga peduli dengan soal-soal lahiriah duniawi berupa problem sosial dan kenegaraan yang perlu diselesaikan berhubung posisi dirinya sebagai prajurit, pendidik, abdi negara, pemuka masyarakat Amarta, dan satria agung. Bima mempunyai kewajiban untuk membentuk kembali keadaan yang buruk menjadi baik kembali, baik manusia maupun lingkungannya. Bima tidak diperkenankan tetap tinggal dalam batin Dewa Ruci, melainkan harus pulang kepada keluarganya dan negaranya. Manusia hendaknya memenuhi kewajibannya dalam dunia., bekerja untuk keluarga, bekerja untuk masyarakat, bekerja untuk kemanusiaan. Tindakan manusia bukan berarti mengubah dunia, melainkan menjaga keselerasannya. Dalam hal ini Bima, melakukan seperti seorang kesatria dan sebagai seorang pribadi, dan warga masyarakat harus mampu menempatkan dirinya. Sikap terhadap dunia disebut memayu hayuning bawana Suseno, 2001:147. Memayu hayuning bawana merupakan watak dan perbuatan yang senantiasa mewujudkan dunia selamat, sejahtera, dan bahagia Suwardi Endraswara, 2006:50. Manusia, dalam hal ini Bima, bekerja untuk kepentingan bersama. Manusia berbuat sesuatu untuk kepentingan sesama dan orang banyak, bukan kepentingan individu. Karena itu segala perilakunya ke arah ketentraman individu, bukan konflik terus-menerus. Sikap dan perilaku baik jasmani maupun rohani, perlu dilandasi kehendak untuk menghiasi dunia. Bima yang telah mencapai tingkat yang tinggi dalam usahanya memahami makna kehidupan, mau dan bersedia untuk bertindak atau melakukan perbuatan serta aktivitas seperti manusia biasa. Seseorang manusia yang telah sampai pada puncaknya, maka ia akan kembali ke titik awal. Ia berusaha untuk kembali menjadi manusia biasa yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Ia bekerja seperti manusia pada umumnya, juga bergaul, makan, minum, berkeluarga dan seterusnya. Namun, sesungguhnya ia diam-diam telah menyimpan segala rahasia-Nya di dalam lubuk hati batin yang paling dalam. Kesadaran bahwa batin merupakan kenyataan yang sebenarnya terungkap dalam spekulasi tentang makrokosmos jagad gedhe dan mikrokosmos jagad cilik. Makrokosmos dalam mistik Jawa dimaksud alam lahir, sedangkan mikrokosmos adalah jasad manusia Suseno, 2001:118. Diri atau jasad manusia merupakan gambaran alam semesta, yang berarti diri manusia menjadi miniatur alam semesta. Berkaitan dengan hal tersebut, Dewa Ruci sebagai makrokosmos dan Bima sebagai mikrokosmos. Bentuk bait dan rima puisi Saudara Kembar yang berbeda menciptakan arti bahwa terdapat perbedaan waktu dan suasana dari peristiwa yang terjadi. Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas penting, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya Rachmat Djoko Pradopo, 1993:22. Pada baris puisi Bima terdapat persamaan bunyi yang menambah suasana yang terjadi di dalamnya. Pada baris ketiga dan keempat terdapat persamaan bunyi a. cermin di tangannya mengingatkan dia Kombinasi bunyi an dan a memberikan kesan berirama dan memperjelas suasana muram yang terjadi pada tokoh tersebut. Persamaan bunyi a terdapat pada baris 9 dan 10 begitu serupa tercipta dari ilham yang sama Persamaan bunyi a pada baris tersebut menyebabkan berirama dan memberi kesan liris penuh perasaan. Kombinasi bunyi u terdapat pada baris 12 dan13 hanya tahu ia ditunggu sejak dulu Persamaan bunyi u memberikan kesan suasana yang tenang dan membuat liris. Puisi Saudara Kembar mempunyai bentuk tipografi yang khas, yaitu bentuk penyusunan baris dan bait puisi tersebut menyerupai bentuk wajah manusia dilihat dari sisi samping, hal ini adanya kaitan dengan kandungan puisi.

3. Puisi Telinga TELINGA