Puisi Telinga TELINGA Pembacaan Heuristik Dan Hermeneutik

Persamaan bunyi u memberikan kesan suasana yang tenang dan membuat liris. Puisi Saudara Kembar mempunyai bentuk tipografi yang khas, yaitu bentuk penyusunan baris dan bait puisi tersebut menyerupai bentuk wajah manusia dilihat dari sisi samping, hal ini adanya kaitan dengan kandungan puisi.

3. Puisi Telinga TELINGA

karya Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni “Masuklah ke telingaku,” bujuknya. Gila: ia digoda masuk ke telinganya sendiri agar bisa mendengar apa pun secara terperinci – setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis yang menciptakan suara. “Masuklah,” bujuknya. Gila Hanya agar bisa menafsirkan sebaik- baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri. a. Pembacaan Heuristik Menurut KBBI 1989:919 telinga merupakan organ tubuh untuk mendengar; alat pendengar yang tampak di kanan kiri kepala manusia. “Masuklah ke telingaku,” bujuknya. Gila: Ia merasa hal itu adalah hal yang tidak mungkin dilakukan. Ia digoda diajak supaya masuk ke telinganya sendiri. Hal itu dilakukan agar ia bisa mendengar mengindahkan apa pun, secara terperinci – setiap kata ujaran bicara, setiap huruf lambang bunyi, bahkan letupan pecahan yang mengeluarkan bunyi dan desis bisikan yang menciptakan suara perkataan. “Masuklah,” bujuknya. Gila Ia menjadi semakin tidak percaya Hal itu dilakukan hanya agar ia bisa menafsirkan menangkap maksud sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannya diberitahu secra diam-diam kepada dirinya sendiri. b. Pembacaan Hermeneutik Judul “telinga” sebagai tanda untuk menunjukkan bagian yang harus dilewati Bima untuk masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci dalam cerita pewayangan. Dalam puisi Telinga, tokoh Bima dihadirkan secara implisit atau tersirat. Kalimat “masuklah ke telingaku,” merupakan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto. Kalimat tersebut menyatakan kontradiki, hal tidak semestinya bahwa orang dibujuk untuk masuk ke dalam telinga, padahal organ tubuh telinga mempunyai lubang yang kecil yang secara nalar tidak mungkin bisa dimasuki badan manusia “Masuklah ke telingaku” menyatakan pusat tempat untuk mendengar dan menerima suara atau bunyi masuk ke dalam tubuh. “Telinga” digunakan untuk mewakili keseluruhan bentuk atau tubuh manusia. Bima disuruh masuk ke telinga Dewa Ruci. Masuk ke dalam telinga Dewa Ruci mempunyai arti masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Telinga merupakan salah satu organ yang digunakan Bima untuk masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Bima masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui telinga sebelah kiri. Telinga kiri berfungsi membersihkan noda- noda kotoran Barnas Sumantri dan Kanti Waluyo, 1999:87. Hal ini dikarenakan dalam jiwa manusia, yaitu Bima, melekat noda-noda kotor nafsu angkara. Bima akan masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci yang merupakan alam suci tidak ada noda sedikitpun. Hal ini berarti bahwa manusia jika akan masuk ke tempat suci atau melakukan hal yang baik dan suci harus bersuci dahulu atau membersihkan kotoran yang melekat pada tubuhnya. Kata “Gila:” merupakan bentuk gaya bahasa hiperbola. “Gila:” dan “Gila” merupakan bentuk ambiguitas yang berarti: tidak masuk akal, kurang waras, tidak sehat, aneh, tidak biasa, tidak seperti mestinya, tidak wajar. Penggunaan “gila” menunjukkan bahwa di situ terdapat hal yang dirasa sangat kurang masuk di akal sehingga menjadi heran Bima merasakan ketidakwajaran mendengar ajakan Dewa Ruci, ini berarti bahwa terjadi kebimbangan pada diri Bima akan hal tersebut. Hal ini karena tubuh Dewa Ruci sangat kecil dibandingkan tubuh Bima yang sangat besar. Ini merupakan sifat yang dimiliki manusia dan kewajaran yang melihat sesuatu dari bentuk atau wujudnya, karena belum tahu dari sebenarnya yang dilihat. Kalimat “agar bisa mendengar apa pun” merupakan gaya bahasa sinekdoke totum pro parte. “Agar bisa mendengar apa pun” menunjukkan semua atau seluruh hal yang dapat didengar. Pengunaan “apa pun” digunakan untuk mewakili bunyi, suara, yang berupa ucapan maupun perkataan baik dan buruk yang semua dapat diterima. Bima masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci untuk mendengar apapun, yaitu Bima diberi penjelasan oleh Dewa Ruci mengenai air hidup yang sedang dicarinya, tentang kehidupan, tentang asal mula dan akhir kehidupan. “Secara terperinci setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis” merupakan bentuk gaya bahasa metafora. Kalimat “setiap kata, setiap huruf” berarti perkataan mengenai rangkaian proses hidup yang terdapat dalam kehidupan manusia di dunia. Kalimat “bahkan letupan dan desis” merupakan proses yang melibatkan udara dan suara yang keluar atau yang dihasilkan. Udara dan suara merupakan tanda kehidupan. “Secara rinci setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis” merupakan kiasan rangkaian proses kehidupan manusia di dunia. Proses kehidupan manusia di dunia terdiri dari tiga pase, yaitu: i lahir, mereka hanya bisa menangis, dan tidak punya apa- apa, ii belajar, tahap untuk mengerti apa-apa, belajar, dan iii mati, manusia hidup di dunia pasti mati Soeparno dan Soesilo, 2007:85. Kalimat “yang menciptakan suara” merupakan bentuk ambiguitas yang berarti: bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia, ucapan, perkataan, bunyi ujaran, pendapat, pernyataan. “Yang menciptakan suara” merupakan metafora untuk sifat mencipta, yang merupakan salah satu sifat Tuhan Allah. Dia-lah yang menciptakan semua kehidupan di alam semesta, serta memberi hidup kepada semua makhluk yang hidup di dunia. Untuk mengenalnya maka Bima harus mengetahui rahasianya. Dalam proses ini, Bima dipersilakan masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui lubang telinga kiri. “Gila” merupakan bentuk gaya bahasa hiperbola. Kata diulang lagi untuk memperjelas keanehan hal itu, Bima disuruh masuk ke dalam telinga Dewa Ruci, atau tidak wajar sehingga menjadi tidak percaya. Bima diperintah untuk kedua kalinya oleh Dewa Ruci untuk masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Dewa Ruci mengajak Bima untuk memasuki batinnya melalui telinganya . Walaupun Bima merasa ragu-ragu namun Bima taat dan mau mengikuti perintah tersebut. Bima yang pada mulanya bimbang menjadi tidak percaya karena badan Bima yang besar harus masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci yang sangat kecil. Dewa Ruci menjelaskan beberapa petunjuk kepada Bima agar Bima berkonsentrasi. Setelah berhasil masuk lewat telinga Dewa Ruci, Bima mendapati suatu keadaan yang kosong. Di dalamnya, Dewa Ruci kemudian menjelaskan makna dari yang dilihat oleh Bima dan makna dari kehidupan . Dewa Ruci memberi pelajaran tetang asal muasal dan akhir kehidupan. Bima pun memahami tentang pengetahuan yang dijelaskan oleh Dewa Ruci. Semula, Bima menemukan diri dalam keadaan kekosongan tanpa batas dan kehilangan segala orientasi. Namun sesudahnya, Bima dapat beradaptasi dan mengendalikan dirnya. Bima mengerti bahwa dalam tubuh kecil Dewa Ruci seluruh alam luar secara terbalik. Bima menyadari bahwa hakikat yang paling dalam adalah menyatu dengan yang Ilahi Tuhan. Sesudah memasuki batinnya sendiri Bima teringat bahwa dasar hakikatnya ia berasal dari Ilahi. Dalam ingatan itu ia kembali menghayati kesatuan hakikinya dengan asal-usul Ilahi itu, kesatuan hamba dan Tuhan. Melalui kesatuan itu manusia mencapai suatu tahap yang orang Jawa disebut dengan kawruh sangkan paraning dumadi: pengetahuan tentang asal dan tujuan segala yang diciptakan Suseno, 2001: 117. Bima diharuskan untuk dapat menafsirkan yang dibisikkan kepada dirinya, yang berarti Bima harus dapat memahami dengan baik wejangan dari Dewa Ruci. Wejangan Dewa Ruci berisi tentang makna kehidupan. Di dalamnya terdapat isi tentang tatanan aturan hidup bagi manusia. Aturan hidup ini merupakan pedoman pokok dalam mengarungi hidup sehingga dengan tatanan tersebut apabila diterapkan dengan benar maka manusia dapat memperoleh manfaat serta keutamaan. Ilmu yang didapatkan dari Dewa Ruci sebagai suatu kegiatan manusia untuk mengetahui tentang diri dan alam sekitarnya. Tujuannya, untuk mengenal manusia sendiri, perubahan yang dialaminya dan mencegahnya nafsu, serta mengarahkan kehendak dengan baik sehingga dapat mengambil manfaatnya. Dengan demikian, maka Bima merupakan satu-satunya kesatria yang dapat manunggal dan mengenal dengan hidup dan kehidupannya. Dalam kesadaran itu Bima mencapai kesatuan hamba dan Tuhan. Pernyataan tersebut menggambarkan akan manunggaling kawulo Gusti. Manunggaling kawulo Gusti merupakan perwujudan sikap manembah. Manembah adalah menghubungkan diri secara sadar, mendekat, menyatu, dan manunggal dengan Tuhan Suwardi Endraswara, 2006:47. Proses ini menciptakan ketenangan batin manusia, yang berarti ada titik temu yang harmonis antar manusia dengan Tuhan, dengan menghadap Tuhan melalui batin. Bait puisi Telinga yang berjumlah satu dengan jumlah baris yang banyak tersebut mempunyai arti bahwa peristiwa yang terkandung puisi itu terdapat pada satu peristiwa dalam jangka waktu yang lama. Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas penting, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya Rachmat Djoko Pradopo, 1993:22. Bunyi t kuat tampak pada baris 5, 6, dan 7. secara terperinci – setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis yang menciptakan suara. Variasi bunyi t tersebut memberi kesan berirama dan menyiratkan ketegasan. Bunyi a tampak menonjol pada baris 9, 10, dan 11. Gila Hanya agar bisa menafsirkan sebaik- baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri Persamaan bunyi a menyebabkan berirama dan membuat liris. Persejajaran arti tampak pada baris ‘“Masuklah ke telingaku,” bujuknya’ dengan ‘“Masuklah,” bujuknya’ yang kemudian menimbulkan arti baru, selain bermakna masuk ke dalam tempat untuk mendengar suara juga bermakna tempat yang memang sudah disediakan baginya. Pengulangan kata gila pada baris kedua dan kesembilan, “Gila:” dan “Gila” mempunyai arti untuk menunjuk ketidakmungkinan terhadap hal yang akan diketahui berikutnya dan dipertegas ketidakmungkinan tersebut setelah tahu hal yang telah diketahuinya. Pada baris ketiga dan kedelapan ada persejajaran yang menciptakan makna baru: “agar bisa mendengar apa pun” menjadi bermakna baru karena disejajarkan dengan “hanya agar bisa menafsirkan sebaik-”. Baris tersebut mempunyai arti dapat menerima dan mengamalkan nasehat atau ajaran yang diberikan. Puisi Telinga mempunyai bentuk tipografi yang unik, yaitu seperti irisan telinga. Hal ini untuk merujuk pada organ telinga manusia yang dikaitkan dengan judul serta kandungan puisi.

4. Puisi Dewa Ruci DEWA RUCI