Cerita selengkapnja menurut Dewarutji Tembang Macapat ciptaan Kjai Ngabehi Jasadipura I
BAGIAN I Bima diberi tugas oleh Druna untuk mentjari air sutji Tirtapawitra
Sjahdan tatkala Bima, ksatria Pandawa jang kedua, mendjadi siswa Resi Druna, ia disuruh olehnja mencari Tirtaprawira, air sutji jang dapat menjutjikan
hidupnja. Dengan segera Wrekodara kembali ke negeri Ngamarta ialah negeri Pandawa untuk minta diri kepada kakaknja Raja Judistira dan seluruh kerabatnja.
Setibanja di istana Ngamarta, kebetulan sekali semua sedang hadir menghadap Seri Radja. Atas permintaan diri Bima untuk melaksanakan perintah
Pendeta Druna mencari air sutji, timbullah rasa sak wasangka dalam kalbu Seri Judistira dan mengira bahwa Wrekodara akan menghadapi bahaja besar.
“Kanda”, demikianlah sembah Ardjuna, saudara pandawa ketiga kepada Sang Radja, “Djanganlah kanda mengidjinkannja, karena kakanda Wrekodara
pasti akan mengalami peristiwa jang tidak enak.” “Ja kakanda Maharaja”, sambung Nakula dan Sadewa, saudara keempat
dan kelima dari pada Pandawa, “Djanganlah kakanda mengidjinkannja, kakanda tahu, bagaimanakah tabiat kakanda Raja Durjudana di Ngastina. Ini pasti
perbuatan Pendeta Druna, jang diminta pertolongannja untuk memusnahkan Pandawa.”
Tetapi Bima menjahut dengan tegas “Saja tidak akan dapat dicegah. Hidupku ini adalah kepunjaanku sendiri. Saja ingin sekali mencari djalan supaja
dapat mempersatukan diri dengan Sang Maha Dewata, djangan dihalang-halangi.” Dengan perkataan ini Bima dengan tergesa-gesa meninggalkan istana
menudju ke Ngastina untuk minta keterangan lebih landjut tentang tempat letaknja air sutji kepada Pendeta Druna.
Wrekodara berjalan seorang diri saja, hanja bertemankan angin topan jang biasa menjertai Bima dalam perdjalanannja, hingga di tempat-tempat jang dilalui
timbul gaduh riuh, katjau balau bukan kepalang. Orang-orang jang terdjumpainja melontjat takut ke tepi, mendjongkok menyembah ksatria sakti Wrekodara, seraja
mengaturkan berdjenis-djenis djamuan. Tetapi Bima sama sekali tidak memperdulikannja. Keras kemauannja untuk selekas mungkin tiba di negeri
Ngastina. Bima berdjalan tjepat laksana kilat.
Dari jauh tampak putih gemerlapan puncak mutiara pintu gerbang negara Ngastina, muntjul mentjungul menondjol di angkasa, seolah-olah mengadu diri
dengan sang surja. Pada waktu itu Seri Durjudana di Ngastina sedang mengadakan
pembitjaraan dengan pendeta Druna. Hadir djuga dalam pertemuan agung ini Raja Salja di negeri Mandaraka, Narpati Karna, radja dari negeri Ngawangga, Narpati
Djajadjatra dari negeri Sindusena. Selanjutnja menghadap pula patih Sangkuni, Resi Bisma dan para pangeran saudara maharadja Durjudana, antara lain Raden
Dursasana, Raden Kuwirja, Raden Djajasusena, Raden Rekadurdjaja. Adapun jang menjadi pokok pembicaraan ialah dengan djalan bagaimanakah mereka dapat
mengalahkan Pandawa. Seluruh rapat agung ini berpendapat, alangkah baiknja apabila Pandawa dapat dimusnahkan dengan djalan jang halus tidak berperang.
Hal ini juga disetudjui oleh Raden Sudarmana dan Raden Suranggakara. Tetapi
Radja Durjudana tidak begitu setudju dengan memusnahkan Pandawa, karena mereka masih keluarga sendiri.
Tengah-tengah mereka berapat ini sekonyong-konyong menghadaplah Wrekodara. Semua jang hadir terperandjat dan bergerak. “Wrekodara, hendaklah
dinda duduk dekat kanda di sini”. Demikianlah sabda sambutan Maharadja Durjudana.
Setelah diadakan sambutan-sambutan seperlunja, Bima dengan lekas menghadap kepada Pendeta Druna. Dipeluknjalah Bima olehnja.
“Wahai anakku”, demikianlah Druna, “Hendaklah kamu pergi mencari air sutji Tirtaprawira, jang akan menyucikan hidupmu. Apabila terdapat, kamu akan
mendjadi bersih, tak bertjatjat dan akan menguasai hidup. Dengan itu kamu mempunjai wasiat sempurna. Di seluruh dunia tidak ada makhluk jang sepadan
dengan kamu. Kamu dapat melindungi serta memberi kebahagiaan kepada orang tuamu, kebahagiaan jang terbesar dalam tribuana ketiga dunia dan kekal
adanja”.
“Ja, bapakku jang mulia,” sembah Bima, “Sudi apalah kiranja bapak memberi petunjuk tentang letak air sutji itu”.
“Bima anakku”, jawab Pendeta Druna, “tjarilah air sutji itu di hutan Tikbrasara, dalam gua di gunung Tjandramuka, di bawah gunung Gadamana.
Hingga sekarang belum ada jang mengetahui tempatnja”. Wrekodara senang sekali mendengar jawaban itu. Dengan segera ia minta
diri kepada hadirin untuk berangkat. “Wrekodara dindaku”, pesan Durjudana, hendaklah kamu berhati-hati,
djangan sampai sesat djalanmu. Ketahuilah, bahwa tempat jang kamu datangi itu amat berbahaja’.
“Kanda jang mulia, djanganlah kakanda mengchawatirkan hidupku. Saja akan melaksanakan perintah guruku dengan berhati-hati”. Demikianlah djawab
Bima. Setelah itu ia meninggalkan istana dengan tjepat-tjepat. Seluruh rapat agung tersenyum. Radja Mandaraka berkata ”Bagaimanakah
Bima nanti djadinja. Gua Tjandramuka itu sangat berbahaja, karena didiami dua orang raksasa sakti, hingga tak ada seorangpun jang berani mengindjak daerah
itu. Bima pasti menemui adjalnja”. Para hadirin tertawa semua, karena merasa memperoleh tipu muslihat
sebaik-baiknja untuk melenjapkan Bima dari muka bumi. Selandjutnja di istana diadakan pesta besar-besaran.
BAGIAN 2 Bima berangkat ke hutan Tikbrasara