Bima kembali ke Hastina

tubuhnja, diajun-ajunkannja dan dibantingnja di atas batu besar, hingga hantjur beterbangan. Rukmaka dan Rukmakala telah mati kedua-duanja, tetapi majat mereka hilang seketika itu djuga, karena sesungguhnja mereka itu adalah dewata semua, Sang Endra dan Sang Baju. Karena bersalah kepada Sang Dewaradja, mereka dikutuk, hingga berubah sifat mendjadi raksasa dan berdiam di gua Tjandramuka. Wrekodara meneruskan usahanja. Bukit-bukit dibongkar, gua-gua digempur, tetapi Tirtaprawita tak dapat diketemukannja. Matahari semakin tjondong, semakin turun di angkasa barat. Alam semesta mulai terlihat suram, kabur terselubung kabut sendja. Achirnja sang surja silam sama sekali. Seluruh hutan Tikbrasara menjadi gelap gulita, menggelisahkan kalbu Bima, jang belum memperoleh air sutji. Wrekodara mengaso bersandar pada pohon beringin. Tiba-tiba terdengar olehnja berseru: “Hai, tjutjuku jang sedih, kamu mencari air sutji dan tidak mendapatnja, karena gurumu tidak memberikan petundjuk sebenarnja tentang tempat Tirtapawitra itu. Segala usahamu sia-sia belaka.” “Ia, tuan,” demikian sahut Bima gelisah, “Siapakah tuan ini? Hamba mendengar suara tuan, tetapi wadjah tuan hamba tak dapat melihatnja. Adakah tuan bermaksud untuk mengachiri hidup hamba? Silakan tuan lekas melaksanakannja. Lebih baik mati dari pada pulang tidak membawa Tirtaprawira.” “Tjutjuku,” jawab suara sambil tertawa gembira, “Kalau kamu belum mengenal kami, kami adalah Sang Dewa Endra dan Baju, jang terkutuk oleh Sang Dewaradja hingga berupa raksasa, kami adalah jang mendjadi Rukmaka dan Rukmakala, jang telah kau musnahkan. Sekarang kami berdua telah kembali berupa dewa lagi, kami sangat berterima kasih.” “Tjutjuku, dengarkanlah perkataanku selandjutnja. Air sutji Tirtapawitra itu sungguh ada, tetapi tidak di sini tempatnja, kembalilah kamu kepada Druna, tanjakanlah akan tempat sesungguhnja. Sekianlah tjutjuku. Berbahagialah kamu.” Suara tak terdengar lagi. Wrekodara diam, sesaat tak bergerak, bingung bimbang. Tetapi hanja sedjurus. Dengan segera ia meninggalkan hutan Tikbrasara menudju Negeri Ngastina.

BAGIAN 4 Bima kembali ke Hastina

Perdjalanan kembali ini tak perlu dilukiskan di sini. Dengan singkat Bima telah tiba di negeri Ngastina, tepat pada hari seperti sewaktu ia berangkat. Pada waktu itu kebetulan sekali seluruh keluarga Ngastina sedang berkumpul di istana seperti dulu. Resi Druna, Resi Bisma, Radja Ngawangga, Radja Mandaraka demikian djuga patih Sangkuni, Raden Sudarma, Raden Suranggakara, Raden Kuwirja, Raden Rekadurdjaja dan Raden Djajasusena. Mereka terkedjut melihat Wrekodara masuk istana dan mengutjapkan selamat datang kepadanja. “Bima adinda,” demikian seru mereka, “Mendapat hasil agaknja kamu?” Pendeta Druna menjambungnja ”Bagaimanakah perdjalananmu anakku? Berhasilkah kamu mentjari Tirtapawitra?” “Druna bapakku”, sahut Bima, “Dengan menjesal saja katakan, bahwa di gunung Tjandramuka tak ada Tirtawapitra. Jang ada hanjalah dua raksasa, jang telah saja musnahkan, karena mereka menjerang dan ingin membunuh saja. Bapakku, seluruh bukit-bukit di Tjandramuka saja bongkar, gua-gua saja gempur, tetapi air sutji tak dapat saja ketemukan. Tundjukkanlah kepadaku letak sesungguhnja, supaja tak usah melakukan pekerdjaan jang sia-sia.” “Anakku Bima”, djawab Druna sambil memeluknja, “terlebih dahulu bapak ingin mengudji kesetiaanmu kepada guru. Sekarang telah terbukti, bahwa kamu memegang teguh petundjuk gurumu. Sekarang aku dapat mengatakan tempat sebenarnja dari pada air sutji itu. Anakku, pergilah kamu ke samudera. Kamu akan mendapat Tirtapawitra di tengah-tengah dasar samudera. Apabila kamu sunguh-sunguh berguru kepadaku, djalankanlah petundjukku.” “Druna bapakku“, demikianlah sahut Wrekodara, djangankan di tengah- tengah samudra, sekalipun di atas sorga, maupun di dasar bumi ketudjuh, pasti akan sadja cari air sutji itu. Segala petundjuk bapakku akan sadja lakukan, sungguhpun hingga menemui adjalku.” “Baiklah anakku”, kata sang Druna, “berangkatlah. Kalau kamu dapat menemukannja, segala nenek mojangmu jang telah meninggal dunia akan hidup kekal dan bahagia karena kamu, sedang kamu akan mempunjai kesaktian tertinggi di dunia. Tak ada sendjata jang dapat membunuh kamu. Kesaktian segala sendjata kalah dengan kesaktianmu.” Maharadja Sujudana menjambung, “Aduh, adindaku Bima, apakah jang akan kamu alami nanti dalam perdjalananmu? Air sutji berada di tempat jang terlalu amat berbahaja. Hendaklah kamu sangat berhati-hati, djangan bersikap sebagai anak kecil.” “Sujudana kakanda. Serahkanlah hidupku di tangan Dewata. Ikhlaskanlah aku. Djanganlah kakanda berduka tjita karena kepergianku. Mudah-mudahan usahaku berhasil dan aku dapat kembali dengan selamat.” “Hendaklah Sang Dewata beserta dengan kamu Bima” kata Sang Sujudana. “Terima kasih. Nah, sekianlah. Selamat tinggal” sembah Bima, dan dengan kata terachir ini Wrekodara meninggalkan istana, menudju ke negeri Ngamarta, untuk lebih dulu minta diri dari pada seluruh keluarga Pandawa.

BAGIAN 5 Bima minta diri dari keluarga Pandawa dan Prabu Kresna