Bima tiba di gunung Tjandramuka

bogem, banas, cempaka, gambir, gandasuli, kanigara. Anggrek bulan, janggawure, worawari, melati, menur dan angsana. Bunga bakung, nagapuspa, angsoka, argulo, tandjung, semata, kemuning dan kenanga. Alam semesta menjambut Bima. Lebah madu, merangkak di kayu, sangat terharu lihat anak Pandu tertipu. Mentjari Tirtapawitra jang tak ada di sana. Sang surja semakin tinggi. Udara semakin panas keringat keluar bertjutjuran membasahi seluruh tubuh, namun sang ksatria perwira tak menghiraukannja. Terus, terus, Bima berdjalan terus. Udara semakin panas, kemudian Bima semakin keras. Djalannja pun semakin tjepat bagaikan kilat, menerobos hutan. Bukan djalan, jadi djalan. Karena amat dahsjat kekuatan Bima, jang sebesar raksasa itu, banjak pohon-pohon terbanting tumbang. Angin topan meniup, keadaan rimba bertambah gaduh. Segalanja isinja katjau balau. Banjak binatang terindjak, terbunuh. Lainnja melontjat lari tunggang-langgang, berpekik- pekuk, mendengking-peking. Banjak kidjang banteng terbanting di djurang. Ular melilit lekat di pohon, lepas terpelanting djauh. Para ajar bubar tersebar kemana-mana, karena pertapaannja kotjar-katjir bertjetjeran terserang badai kentjang. Djuga murid-murid mereka berlari-lari bingung menguasai dusun. Di sana-sini terdengar dengung genta pendeta memudja dewata, menabur bunga di angkasa.

BAGIAN 3 Bima tiba di gunung Tjandramuka

Wrekodara tiba di gunung Tjandramuka, terus menudju ke gua. Batu-batu besar di bongkar, kayu-kayu dikelilingi dengan teliti, Tirtapawitra ditjari. Gua dibuka, Wrekodara masuk sambil mengosak-asik semak-semak. Belum terdapat djuga. Terkedjutlah dua orang raksasa jang berdiam di gua, mendengar suara gemuruh menggelebuk menggelodar, membongkar-bongkar. Raksasa Rukmaka dan Rukmakala mencium bau manusia. Dengan lekas- lekas mereka keluar, berdjumpa Bima di pintu gua. Sambil berteriak-riak kedua raksasa jang marah itu melemparkan gumpalan gunung kepadanja. Mata membelalak, muka merah, mulut ternganga dahsjat. Demikianlah Rukmaka dan Rukmala, laksana Batara Kala kembar akan menelan bumi. Wrekodara menangkis lemparan raksasa seraja berkata: “Hai kamu bedebah djahanam, sangat djahat perbuatanmu, sekonjong-konjong ingin membunuh aku.” “Hai, kamu manusia durhaka, pentjuri perusak tempat kediamanku.” Demikian djawab kedua raksasa sambil menubruk Bima serta mengepruknja dengan batu besar. Wrekodara digigit sekuat-kuatnja. Tetapi segala usaha mereka untuk membunuh Bima sia-sia belaka. Wrekodara berdiri tegak laksana tonggak. Dionggah-onggah, diojak-ojak, sedikitpun tak bergerak. Rukmaka jang telah rompang gigi taringnja segera ditangkap oleh Bima, diikalnja dan dikeprukkannja kepada pohon besar, hingga hancurlah tubuh raksasa dan melajanglah djiwanja. Dengan menggertak dahsjat Rukmakala menjerang, tetapi diterima oleh Bima dengan tamparan jang sangat hebat. Rukmakala djatuh terdjerembap. Dipegangnjalah ia dan dilambungkannja ke angkasa. Achirnja dipegangnja tubuhnja, diajun-ajunkannja dan dibantingnja di atas batu besar, hingga hantjur beterbangan. Rukmaka dan Rukmakala telah mati kedua-duanja, tetapi majat mereka hilang seketika itu djuga, karena sesungguhnja mereka itu adalah dewata semua, Sang Endra dan Sang Baju. Karena bersalah kepada Sang Dewaradja, mereka dikutuk, hingga berubah sifat mendjadi raksasa dan berdiam di gua Tjandramuka. Wrekodara meneruskan usahanja. Bukit-bukit dibongkar, gua-gua digempur, tetapi Tirtaprawita tak dapat diketemukannja. Matahari semakin tjondong, semakin turun di angkasa barat. Alam semesta mulai terlihat suram, kabur terselubung kabut sendja. Achirnja sang surja silam sama sekali. Seluruh hutan Tikbrasara menjadi gelap gulita, menggelisahkan kalbu Bima, jang belum memperoleh air sutji. Wrekodara mengaso bersandar pada pohon beringin. Tiba-tiba terdengar olehnja berseru: “Hai, tjutjuku jang sedih, kamu mencari air sutji dan tidak mendapatnja, karena gurumu tidak memberikan petundjuk sebenarnja tentang tempat Tirtapawitra itu. Segala usahamu sia-sia belaka.” “Ia, tuan,” demikian sahut Bima gelisah, “Siapakah tuan ini? Hamba mendengar suara tuan, tetapi wadjah tuan hamba tak dapat melihatnja. Adakah tuan bermaksud untuk mengachiri hidup hamba? Silakan tuan lekas melaksanakannja. Lebih baik mati dari pada pulang tidak membawa Tirtaprawira.” “Tjutjuku,” jawab suara sambil tertawa gembira, “Kalau kamu belum mengenal kami, kami adalah Sang Dewa Endra dan Baju, jang terkutuk oleh Sang Dewaradja hingga berupa raksasa, kami adalah jang mendjadi Rukmaka dan Rukmakala, jang telah kau musnahkan. Sekarang kami berdua telah kembali berupa dewa lagi, kami sangat berterima kasih.” “Tjutjuku, dengarkanlah perkataanku selandjutnja. Air sutji Tirtapawitra itu sungguh ada, tetapi tidak di sini tempatnja, kembalilah kamu kepada Druna, tanjakanlah akan tempat sesungguhnja. Sekianlah tjutjuku. Berbahagialah kamu.” Suara tak terdengar lagi. Wrekodara diam, sesaat tak bergerak, bingung bimbang. Tetapi hanja sedjurus. Dengan segera ia meninggalkan hutan Tikbrasara menudju Negeri Ngastina.

BAGIAN 4 Bima kembali ke Hastina