1. Puisi Bima BIMA
karya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Motinggo Di dalam pengelanaannya
dilihatnya tiada yang kekal pada bahasa yang tinggal mati
Hutan jati hilang kumandangnya dan sudut kota habis diperkata
juga langit telah hangus terbakar di nyala matahari
Maka diputuskannya untuk meninggalkan tanah kapur
dan tidur dengan naga yang tak jadi dibunuhnya
di samudra angan-angan
Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi -- makhluk kecil itu
berhuni di lubuk hati
Matanya cerah seperti punya bocah yang hidup abadi
b. Pembacaan Heuristik Di dalam pengelanaannya, dilihatnya tiada yang kekal abadi. Hal
tersebut terjadi pada bahasa komunikasi yang tinggal mati tidak dipergunakan lagi.
Hutan jati hilang kumandangnya gaungnya, dan sudut kota telah habis diperkata. Langit telah hangus terbakar hitam banyak asap, terlihat di
nyala matahari siang hari. Maka diputuskannya untuk meninggalkan tanah kapur tanah cadas,
dan akhirnya tidur dengan naga ular besar, yang tak jadi dibunuhnya di samudra lautan angan-angan maksud atau pikiran.
Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi tidak ada bunyi, hening. Ia bertemu makhluk kecil yang berhuni mendiami di lubuk hati batin, dalam
hati. Matanya mata Bima cerah seperti mata seorang bocah, yang hidup
abadi kekal. c. Pembacaan Hermeneutik
Judul “Bima” sebagai tanda menunjukkan tokoh Bima yang ada dalam cerita pewayangan. Dalam puisi Bima, tokoh Bima dihadirkan secara eksplisit
atau tersurat. Kalimat “di dalam pengelanaannya” yang merupakan bentuk gaya bahasa metafora. Kalimat “di dalam pengelanaannya” merupakan bentuk
ambiguitas yang mempunyai arti berkelana, pergi ke mana-mana, mengembara, masuk hutan, naik gunung turun gunung. “Di dalam
pengelanaannya” juga mempunyai arti pengalaman hidup, cobaan yang datang dan menimpa, kesukaran dan kemudahan, susah, senang bahagia, menderita,
dan segala tindakan dan perbuatan baik maupun buruk tokoh Bima dalam menghadapi dan menjalani hidup.
Di dalam kehidupan Bima, dalam pengelanaannya merupakan metafora mengenai rangkaian perjalanan hidup yang telah dilalui Bima. Bima
mengembara atau berkelana untuk mencari ilmu yang dapat membawa ke arah kemampuan melebihi kebanyakan orang. Bima melalui tahap ketika manusia
berupaya untuk meningkatkan taraf hidupnya. Hal yang dilakukan Bima adalah dengan menuntut ilmu. Dari ilmu yang diperoleh maka selanjutnya
dipergunakan ilmu tersebut untuk bekal hidup Bima. Dalam menuntut ilmu, diperlukan usaha atau bentuk laku untuk menjalani prosesnya.
Usaha dalam sehari-hari, di dalam bahasa Jawa disebut ngudi atau ngupaya mencari Purwadi, 2003:159. Di dalam suatu kehidupan, berjalan
mengembara atau berkelana dilakukan pada waktu usia menginjak dewasa untuk mencari ilmu dalam arti mencari guru yang dapat membimbing ke arah
lebih baik. Rangkaian perjalanan hidup Bima tersebut terjadi semenjak Bima muda hingga dewasa. Ketika beranjak dewasa pada saat itulah Bima
menyadari hal-hal yang terjadi padanya. Bima dapat memahami arti suatu hubungan. Bima menyadari bahwa dirinya tidak hidup sendiri, Bima berada
dalam lingkungan masyarakat yang saling berhubungan dan berkaitan dengan alam sekitarnya.
Dalam waktu interaksi yang dilakukan oleh Bima, terdapat peristiwa yang menarik diri Bima. Bima melihat, merasakan, dan kemudian menyadari
bahwa semua yang ada tidak ada yang kekal atau abadi. Manusia mengalami mati, begitu juga dengan alam sekitar yaitu lingkungan tempat tinggal Bima
mengalami perubahan dan tidak kekal. Hal tersebut berlaku pada benda mati maupun makhluk hidup. Alam lingkungan dengan semua isinya tidak ada
yang kekal, pasti semua akan hilang, rusak dan musnah. Begitu juga dengan yang ada di sekitar hidup Bima. Orang tua, saudara, kerabat yang setiap hari
saling bersapa, berkasih sayang, berbicara, melakukan pekerjaan bersama. Kalimat “pada bahasa yang tinggal mati” merupakan bentuk
ambiguitas yang mempunyai arti sistem lambang bunyi yang dipakai sebagai alat komunikasi antar sesama manusia untuk mengungkapkan perasaan dan
pikiran, perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa, percakapan disertai dengan tindakan yang dapat membuat orang lain nyaman. Kalimat
“pada bahasa yang tinggal mati”, yang merupakan bentuk gaya bahasa metafora dan sinekdoke pars pro toto. Metafora “bahasa” menyatakan
bentuk komunikasi atau hubungan, dan interaksi dalam hidup. Sinekdoke pars pro toto “bahasa” menyatakan bahwa bahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi dalam masyarakat itu mewakili bentuk hubungan manusia dalam bermasyarakat.
Sebagai mahkluk hidup seharusnya menyadari bahwa setiap orang atau manusia mempunyai bentuk hubungan kepada sang Pencipta. Dalam hal
ini, setiap orang atau manusia harus melaksanakan kewajiban atau perbuatan yang seharusnya dilakukan, seperti seorang mahkluk menyembah pada
Tuhannya. Manusia harus sadar akan dirinya sendiri dan sadar kewajibannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Di samping itu, setiap orang mempunyai
kedudukan sebagai makhluk sosial. Setiap orang atau manusia mempunyai keluarga yang di dalamnya terdapat hubungan atau interaksi. Keluarga
merupakan tempat awal terbentuk sifat atau watak manusia atau orang sebelum melakukan hubungan dengan masyarakat.
Sebagai makhluk sosial, setiap orang atau manusia mempunyai hubungan dan komunikasi dengan orang lain. Masyarakat merupakan tempat
orang untuk saling berkomunikasi dan melakukan perbuatan untuk suatu tujuan bersama. Di dalamnya, terdapat sikap untuk saling menghargai dan
menghormati dalam upaya untuk membentuk kerukunan dan kenyamanan. Sosok manusia utama dalam konsep religiusitas Jawa berdimensi pada
dua wilayah: 1 kepada sesama manusia horisontal, dan 2 kepada Tuhan vertikal Mulyana, 2006:4. Pergaulan manusia yang bersifat horisontal
terwujud dalam simbol bahasa untuk dapat beradaptasi dan memahami. Sementara itu, dimensi horisontal dilihat dari pemahaman dan tindakan
manusia sebagai makhluk Tuhan. Simbol kebahasaan tersebut berupa taat kepada Tuhan, menjalankan perintah-Nya, serta memahami orang lain.
Hal ini tidak terjadi secara semestinya. Pergaulan dan perbuatan yang baik telah ditinggalkan oleh manusia. Manusia telah lupa terhadap kewajiban
yang dimilikinya. Manusia tidak lagi menjaga hubungan serta komunikasi dengan anggota keluarganya. Manusia telah melupakan dirinya sendiri, dan
meninggalkan kewajiban kepada Tuhan. Dalam bermasyarakat, manusia tidak lagi menjaga kerukunan, tidak saling menghargai antara sesama anggota
masyarakat. Hal itu dikarenakan manusia lebih mementingkan dirinya sendiri. Ketidakkekalan juga berlaku pada hal-hal yang ada dalam hidup Bima.
Hal itu disebutkan dengan “hutan jati hilang kumandangnya”, yang merupakan gaya bahasa metafora. Hutan jati merupakan kiasan untuk hal-hal
yang baik, hilang kumandangnya berarti hilang gaungnya. Hutan jati hilang kumandangnya merupakan kiasan yang mempunyai arti bahwa perbuatan baik
yang semestinya dilakukan oleh orang atau masyarakat kini tidak dilakukan lagi. Perbuatan baik telah ditinggalkan dan semakin lama menjadi hilang atau
tidak lagi dilakukan oleh manusia. Hal ini merupakan kenyataan mengenai perbuatan baik yang tidak ada
lagi pada masyarakat, dan merupakan sisi sifat baik yang ada pada manusia telah berubah dan hilang. Hal kurang baik tersebut dikuatkan dengan keadaan
yang sangat memprihatinkan yang terjadi pada alam sekitar manusia pada waktu itu.
Kalimat “sudut kota habis diperkata” merupakan gaya bahasa metafora. Sudut kota habis diperkata merupakan kiasan tempat atau wilayah
yang telah berubah keadaan dari kenyataan yang sebelumnya terjadi. Keadaan berubah dari tempat bersih dan terjaga berubah menjadi kotor dan tidak lagi
diperhatikan, ditinggalkan oleh orang-orang. Orang-orang tidak lagi menjaga kebersihan, keamanan dan kenyamanan lingkungan. Begitu juga dengan
tempat yang seharusnya mendapat perhatian lebih kini telah dilupakan begitu saja.
Keadaan yang buruk juga terlihat dengan adanya kalimat “langit telah hangus terbakar”, yang merupakan gaya bahasa hiperbola. Kalimat “langit
telah hangus terbakar” menyatakan keadaan sangat memprihatinkan dengan keadaan langit atau udara yang telah tercemar dan menyebabkan manusia sulit
untuk bernafas serta burung kesulitan untuk terbang. Udara yang dihirup manusia dan langit tempat burung terbang telah hangus karena polusi udara
yang sangat hebat. Keadaan yang demikian menjadikan suasana yang tidak nyaman dan kondusif.
Kalimat “di nyala matahari” merupakan bentuk metafora, yang menyatakan bahwa matahari merupakan tanda kehidupan. Suatu kehidupan
yang terdapat manusia dan alam sekitar yang saling melengkapi. Keadaan yang telah berubah karena disebabkan oleh perilaku manusia dalam menjalani
hidupnya. Manusia tidak lagi menjaga alam lingkungannya. Mereka bertindak sesuai kehendaknya sendiri, tanpa mempertimbangkan akibat buruk dari yang
dilakukan. Alam sekitar telah berubah menjadi tidak baik lagi dan menuju kehancuran. Keadaan seperti itulah yang terjadi dan masuk ke dalam pikiran
Bima. Bima pun menjadi berpikir akan hal tersebut.
Ahli pikir Philosopers menyatakan bahwa dengan akal dan pikiran, alam yang luas dan besar terdiri dari bumi, langit, matahari, bulan dan berjuta-
juta bintang, pasti ada yang menciptakan yaitu Tuhan. Karena alam termasuk manusia yang ada dan diciptakan maka sifatnya tidak sempurna, sedangkan
Tuhan yang menciptakan maka sifatnya sempurna Barnas Sumantri dan Kanti Waluyo, 1999:85.
Inilah salah satu sifat yang terdapat pada makhluk hidup ciptaan, yaitu mati atau tidak kekal. Manusia pasti akan mati, begitu juga dengan
makhluk yang lain dan oleh sebab itu hendaknya manusia bisa sadar akan pentingnya hidup. Oleh karena itu, dalam setiap kondisi hendaknya manusia
berlaku “aja dumeh, eling lan waspada”. Aja dumeh adalah kata dalam bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti jangan mentang-mentang. Eling
artinya bukan sekedar mengingat-ingat saja tetapi juga menyadari keadaan diri dan sekelilingnya. Waspada, berarti tidak hati-hati saja tetapi juga sebagai
manusia hendaknya selalu teliti dalam hidupnya Soeparno dan Soesilo, 2007:78. Hal tersebut terjadi pada diri Bima. Bima menjadi sadar akan
dirinya, tujuan dari hidupnya di dunia. Bima memutuskan meninggalkan tanah kapur, hal itu merupakan
kiasan tempat yang telah kering dari sumber penghidupan dan kering dari hal- hal baik. Hal ini merupakan bentuk kontradiksi bahwa dengan kenyataan dan
keadaan buruk yang terjadi, tokoh Bima memilih dan memutuskan untuk meninggalkan lingkungannya tersebut. Semestinya tokoh Bima berusaha
untuk memperbaiki hal buruk yang terjadi tersebut.
Hal ini dilakukan untuk mencari hakikat atau kebenaran atas yang terjadi. Di dalam melakukan perjalanan hidup maka setiap orang harus
memiliki keteguhan dan kemantapan hati agar tidak tergoyahkan oleh segala ujian dan godaan selama di perjalanan. Bima pergi menghadapi rintangan
berat melewati tempat yang jarang dikunjungi oleh manusia. Akhirnya, perjalanan Bima sampai dengan bertemu atau tidur dengan seekor naga.
Kalimat “tidur dengan naga” merupakan gaya bahasa metafora dan gaya bahasa hiperbola. Naga diibaratkan sebagai bentuk cobaan atau rintangan
yang sangat berat, yaitu nafsu duniawi. Keberhasilan menyingkirkan naga melambangkan bahwa Bima berhasil mengalahkan nafsu duniawi yang
menghambat tujuan mendekatkan diri dengan Tuhan Barnas Sumantri dan Kanti Waluyo, 1994:84. Naga merupakan kiasan untuk menunjuk pada
bentuk perjuangan Bima dalam mencari harapannya. Kalimat “tidur dengan naga” menyatakan bahwa tokoh Bima
melakukan perbuatan dengan menenangkan diri untuk menghadapi permasalahan yang berat. Hiperbola “dan tidur dengan naga” berarti tokoh
Bima melakukan perbuatan atau tindakan yang sangat berat yang tidak dilakukan oleh manusia pada umumnya. Inilah bentuk tindakan yang dilalui
Bima. Bima harus mengalahkan nafsu yang ada dalam dirinya. Hidup manusia dikuasai oleh empat jenis nafsu, yakni aluamah,
amarah, sufiah, dan mutmainah Suwardi Endraswara, 2006:71. Keempat nafsu tersebut saling berebut menang dalam diri manusia. Ketiga nafsu lain
selalu ingin merobohkan nafsu mutmainah, nafsu yang baik yang terdapat dalam sanubari, bersifat tenang dan berwarna putih. Adapun nafsu amarah
biasanya kemarahan, berwarna merah, suka pada hal-hal yang tidak baik. Nafsu aluamah berwarna hitam nafsu makan, yang tak mau berusaha, dan
nafsu sufiah berwarna kuning nafsu terhadap keindahan. Dalam hidup, seharusnya manusia mengikuti nafsu mutmainah, yang mengarah kepada
kebaikan, sabar dalam tingkah laku dan perbuatan. Bima tidak jadi membunuh naga tersebut, hal ini berarti bahwa Bima
tidak membunuh, namun hanya mengalahkan dan mengendalikan. Bahwa nafsu yang ada dalam diri manusia tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan,
hanya dapat dikalahkan dan dikendalikan. Hal itu berarti bahwa dengan menjalani cobaan berat tersebut menjadikan Bima sampai dengan tahap atau
bentuk kesabaran Bima untuk menjalani semua, dan hanya Bima saja yang mampu mengalaminya.
Kalimat “di samudra angan-angan” mempunyai arti pikiran, ingatan, cita-cita, maksud, niat, kehendak, gambaran dalam ingatan, harapan-harapan
yang luas, terletak dalam batin. “Di samudra angan-angan” merupakan gaya bahasa metafora untuk menyatakan tempat sangat luas dengan manusia jarang
mengunjunginya yang telah dicita-citakan oleh tokoh Bima dan menjadi harapan yang terdapat dalam batin tokoh Bima. Dengan bersabar dan penuh
perjuangan, Bima dapat mengalahkan nafsu yang berada dalam batinnya. Keberhasilan Bima mengalahkan hawa nafsu duniawinya itulah yang akhirnya
membawa kepada keadaan batin yang tenang. Bima menuju ke perjalanan berikutnya, yaitu ia bisa bertatapan
dengan sunyi. Kalimat “di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi” merupakan gaya bahasa personifikasi dan metafora. Personifikasi “di sana ia bisa
bertatapan dengan sunyi” menyatakan bahwa Bima dapat bertatapan dengan sunyi yang berarti bertatapan dengan keadaan tidak ada suara atau bunyi, alam
kosong dan hening, selayaknya manusia saling bertatapan. Metafora “bertatapan dengan sunyi” menyatakan suatu tempat atau alam dengan
keadaan yang kosong, tidak ada apa-apa, tidak ada kehidupan. Bahwa dengan perjalanan yang telah Bima lakukan, akhirnya Bima
sampai pada tempat atau alam yang kosong dan sunyi dengan keadaan dan suasana di situ tidak ada suara atau bunyi, suasana hampa. Kosong merupakan
simbol dari awal dan akhir suatu kehidupan. Di tempat tersebut Bima mengenal asal mula adanya hidup hingga akhir dari hidup dan kehidupan. Di
dalam alam tersebut, Bima bertemu dengan mahkluk yang kecil, yaitu bertemu dengan Dewa Ruci yang mempunyai badan kecil dibandingkan
dengan Bima. Makhluk kecil tersebut berhuni di lubuk hati, merupakan kiasan bahwa Dewa Ruci sebenarnya berada di dalam diri Bima yaitu batin Bima.
Sesudah memasuki batinnya sendiri Bima teringat bahwa dasar hakikatnya ia berasal dari Ilahi. Dalam ingatan itu ia kembali menghayati
kesatuan hakikinya dengan asal-usul Ilahi, kesatuan hamba dan Tuhan. Melalui kesatuan itu manusia mencapai suatu tahap yang orang Jawa disebut
dengan kawruh sangkan paraning dumadi: pengetahuan tentang asal dan tujuan segala yang diciptakan Suseno, 2001: 117.
Dalam diri manusia terdapat segi lahir dan batin. Kedua segi tersebut bersatu dalam diri manusia. Sebagai makhluk alam atau ciptaan, manusia
merupakan makhluk jasmani, manusia memiliki bentuk lahir atau wujud dan dimengerti orang lain pertama kali melalui lahir atau wujudnya. Di belakang
jasmaninya terdapat segi batin. Segi lahir manusia terdiri atas tindakan- tindakan, gerakan-gerakan, omongan dan sebagainya. Segi batin manusia
menyatakan tentang bentuk kesadaran manusia. Bentuk kesadaran tentang diri sendiri, sadar akan asal dan tujuan hidup.
Waktu Bima memasuki batinnya sendiri, semula ia kehilangan orientasinya. Ia menemukan diri dalam kekosongan tanpa batas, tidak ada atas
dan bawah, tidak ada arah mata angin. Kekosongan itu, awang-uwung, dalam mistik Jawa merupakan lambang Ilahi Suseno, 2001: 119. Jiwa manusia
dipahami sebagai dasar batin manusia, merupakan ungkapan jiwa Ilahi yang menyeluruh. Apabila manusia sampai pada batin sendiri, maka ia tidak hanya
mencapai kenyataannya sendiri melainkan kenyataan Yang Ilahi. Dengan pengolahan batin yang tepat, maka manusia dapat menyadari semuanya.
Bima akhirnya mencapai pada keadaan yang lebih baik dan sempurna setelah mengalami kejadian itu. Kejadian tersebut membuat Bima seakan
terlahir kembali, menjadi manusia baru. Terlahir kembali seperti anak kecil. Dengan kata lain, Bima telah mampu memahami hakikat Tuhan atau Gusti
sebagai pencipta dan kawula ciptaan-Nya sehingga mampu menemukan jati dirinya dalam bentuk yang masih kecil bayi dan asih murni atau suci.
Kalimat “matanya cerah seperti punya bocah” merupakan gaya bahasa simile. “Matanya cerah seperti punya bocah” menyatakan bahwa tokoh Bima
mempunyai mata cerah seperti mata yang dimiliki oleh seorang bocah atau anak kecil. Keadaan yang demikian, juga menunjukkan keadaan rohani yang
bersih belum terdapat dosa. Dikatakan bahwa ‘yang hidup abadi’ merupakan kiasan bahwa sifat kekal atau abadi merupakan sifat Tuhan Allah. Bima
dalam keadaan tersebut telah mengenal dirinya, dan dengan mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya. Dalam mengenal Tuhan, bukan seperti
melihat dengan jelas karena tidak ada manusia yang bisa bertemu dengan Tuhan. Oleh karena itu Bima mempunyai terlahir kembali dengan keadaan
seperti anak kecil, karena telah dapat mengenal diri dan Tuhannya. Pengalaman Bima ini, Bima mampu menemukan jati dirinya, sehingga ia
merupakan tokoh “manunggaling kawulo-Gusti”. Konsep Kejawen tentang manunggaling kawula Gusti bukan berarti
manunggalnya badan fisik manusia dengan Tuhan. Tapi, dalam konteks ini diartikan sebagai manunggalnya cipta, rasa dan karsa antara Tuhan dengan
manusia Wawan Susetya, 2007:340. Pemaknaan konsep mengenai ke- manunggal-an seorang hamba dengan Tuhannya mengisyaratkan tingginya
dzikir eling kepada Allah. Artinya, orang yang selalu berdzikir dalam segala posisi dan kondisi, dia akan memiliki akhlak, jiwa, cipta, rasa, dan karsa
sesuai dengan Asma dan SifatNya. Itulah yang disebut manunggal dengan- Nya. Artinya, manusia bisa mengatasi dan menyatukan rasa senang dan susah
di dalam dirinya. Bentuk bait serta rima yang berbeda-beda dari puisi Bima
menciptakan arti tentang keadaan serta suasana yang menyertai tokoh Bima berbeda dari tiap peristiwa yang dilalui. Bunyi di samping hiasan dalam puisi,
juga mempunyai tugas penting, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas,
menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya Rachmat Djoko Pradopo, 1993:22.
Pada bait pertama tampak bunyi u menonjol baris pertama, dan kedua dan rima bunyi a. Kombinasi bunyi u dan a menciptakan arti memperjelas suasana
dari keadaan suram atau tidak baik. Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi
-- makhluk kecil itu berhuni di lubuk hati
Matanya cerah seperti punya bocah yang hidup abadi
Rima bunyi i yang dimiliki larik puisi pada bait tersebut memberikan kesan suasana yang tenang, nyaman dan teratur. Bunyi a menciptakan arti
memperjelas suasana yang tenang, nyaman dan teratur tersebut. Bunyi nya dan ah menciptakan arti tentang kejelasan keadaan bocah kecil. Kombinasi
bunyi a, uk, i, dan nya menciptakan arti berirama dan liris penuh perasaan. Terdapat tanda -- yang memberikan maksud adanya hubungun antara
“sunyi” dengan “makhluk kecil”. Bahwa dalam kesunyian tersebut terdapat makhluk kecil yang mendiaminya.
Homologues persamaan posisi dalam puisi Bima terdapat pada Hutan jati hilang kumandangnya
dan sudut kota habis diperkata Dalam bait tersebut menimbulkan persejajaran arti: bahwa keadaan yang
terjadi sangat tidak baik, hal baik telah hilang, begitu juga dengan keadaan alam lingkungan yang rusak dan parah. Tipografi puisi Bima mempunyai
bentuk yang tidak rapi. Hal tersebut melukiskan adanya kaitan tentang suasana hati tokoh Bima dari kebimbangan menuju ketegasan dan akhirnya
ketenangan seperti yang terkandung dalam puisi Bima.
2. Puisi Saudara Kembar SAUDARA KEMBAR