sebuah teks dengan teks lain yang menjadi hipogramnya maka teks tersebut menjadi jelas, baik teks tersebut mengikuti atau menentang hipogramnya
Rachmat Djoko Pradopo, 2002:55. Jadi, ada empat hal pokok dalam analisis semiotik Riffaterre 1978, yaitu 1 ketidaklangsungan ekpresi puisi; 2
pembacaan heuristik dan hermeneutik; 3 matriks, model, dan varian; dan 4 hipogram.
3. Peranan Pembaca dalam Puisi
Konvensi yang mendasari dalam pemberian makna karya sastra konkretisasi yaitu pembaca sebagai pemberi makna. Pembaca mempunyai
peranan yang penting dalam konkretisasi makna karya sastra. Dalam hal konkretisasi, pembaca tidak boleh mengabaikan sistem tanda kesastraan yang
mempunyai konvensi sendiri, baik konvensi bahasa maupun konvensi sastra. Rachmat Djoko Pradopo, 1995:115.
Dalam proses konkretisasi terjadi hubungan yang dialektis antara teks karya sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca yang memiliki horison harapan
tersendiri terhadap karya sastra yang dibaca. Konkretisasi sebuah karya sastra perlu diperhatikan hasil pembacaan atas sebuah karya dari generasi ke generasi
karena ada penambahan apresiasi terhadap karya sastra. Hal itu disebabkan oleh horison harapan pembaca dari tiap generasi selalu berubah karena konsep estetika,
kepandaian, dan pengalaman Rachmat Djoko Pradopo, 1995:115—116. Wellek dan Warren menyatakan bahwa pembaca sebagai pembongkar
makna harus mempunyai bekal cukup. Pendidikan kepribadian, yang meliputi latar belakang religi, filosofis, iklim budaya serta wawasan kebahasaan yang luas
mempengaruhi daya tangkap pembaca terhadap makna puisi 1990:180.
4. Peranan Penyair dalam Puisi
Kedudukan penyair dalam penafsiran karya sastra dikemukakan oleh Juhl melalui tiga dalil. Pertama, ada kaitan antara sebuah arti karya sastra dan niat
penyairnya. Kedua, penyair yang nyata terlibat bertanggung jawab atas proporsi yang diajukan dalam karyanya. Jadi karya sastra tidak otonom, ada perkaitan
antara sastra dan kehidupan. Ketiga, karya sastra mempunyai satu arti. Arti tersebut bukan yang dinyatakan secara eksplisit oleh penulis, melainkan yang
diniatkan oleh kata-kata yang dipergunakan penyair dalam karyanya. Niat bukan sesuatu yang dipikirkan sebelum penciptaan karya sastra; niat terwujud dalam
proses perumusan kalimat yang dipakai dalam karya Teeuw, 1984:177. Karya sastra merupakan luapan atau penjelmaan perasaan, pikiran, dan
pengalaman dalam arti luas pengarangnya. Oleh karena itu, faktor pengarang tidak dapat diabaikan meskipun tidak harus dimutlakkan Rachmat Djoko
Pradopo, 1995: 114.
C. Kerangka Pikir