PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA, DAN DEWA RUCI Tinjauan Semiotik Riffaterre

(1)

i

PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA,

DAN DEWA RUCI:

Tinjauan Semiotik Riffaterre

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan

guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh AGUS SETYANA

C0202003

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009


(2)

ii Disusun oleh

AGUS SETYANA C0202003

Telah disetujui oleh pembimbing

Pembimbing

Drs. Wiranta, M.S. NIP 131 569 261

Mengetahui

Ketua Jurusan Sastra Indonesia

Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag. NIP 131 859 875


(3)

iii

DAN DEWA RUCI:

Tinjauan Semiotik Riffaterre

Disusun oleh AGUS SETYANA

C0202003

Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal 30 April 2009

Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua

Sekretaris

Penguji I

Penguji II

Dra. Chattri Sigit Widyastuti, M.Hum. NIP 132 086 961

Asep Yudha Wirajaya, S.S. NIP 132 300 849

Drs. Wiranta, M.S. NIP 131 569 261 Dra. Murtini, M.S. NIP 131 281 867

...

...

...

...

Dekan

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Drs. Soedarno, M.A. NIP 131 472 202


(4)

iv Nama : Agus Setyana

NIM : C0202003

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci: Tinjauan Semiotik Riffaterreadalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, 7 April 2007 Yang membuat pernyataan,


(5)

v

Bapak-Ibu

untuk doa dan harapan


(6)

vi

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat, karunia, kekuatan dan sebentuk kesadaran, sehingga skripsi dengan judul Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci: Tinjauan Semiotik Riffaterre dapat selesai. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan semua pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Soedarno, M.A., Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

2. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag., Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini. 3. Dengan segala hormat, Drs. Wiranta, M.S., dosen pembimbing skripsi

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menyusun skripsi, terima kasih telah membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

4. Dra. Hesti Widyastuti, M.Hum., pembimbing akademik yang telah banyak memberikan motivasi, perhatian, petunjuk, dan pengarahan selama perkuliahan.

5. Asep Yudha Wirajaya, S.S., yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini. Semoga beliau diberikan kelancaran dalam menyelesaikan studi S-2.


(7)

vii

Sastra dan Seni Rupa pada umumnya yang telah memberikan ilmunya kepada penulis sehingga bermanfaat dalam menyusun skripsi ini.

7. Seluruh staf serta karyawan perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa dan perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu penulis.

8. Seluruh staf dan karyawan Tata Usaha Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu penulis.

9. Dwi Ayu Febri Kustiyani, terima kasih atas segala bentuk bantuan, semangat, dan pengharapan.

10. Para penyair yang telah menghadirkan tokoh Bima lewat karya puisinya. Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, dan Saini K.M., penulis menyerahkan segala hormat, sebab tanpa puisi mereka tidak mungkin ada skripsi ini.

11. Anung, Dimas, terima kasih atas dorongannya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

12. Semua pihak, dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Akhirnya segala puji dan syukur, hormat dan kuasa serta kemuliaan hanya bagi Allah SWT. Penulis menyadari banyak sekali ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Terlepas dari semua, penulis mengharapkan kiranya skripsi ini dapat berguna bagi pembaca sekalian.

Surakarta, 7 April 2009


(8)

viii

HALAMAN JUDUL ………... i

HALAMAN PERSETUJUAN ………... ii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iii

HALAMAN PERNYATAAN ………. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ………. v

KATA PENGANTAR ……… vi

DAFTAR ISI ………. viii

ABSTRAK ……… xiii

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Pembatasan Masalah……….. 7

C. Rumusan Masalah……….. 8

D. Tujuan Penelitian ……….. 8

E. Manfaat Penelitian ……… 9

1. Manfaat Teoretis ……… 9

2. Manfaat Praktis ………. 9

F. Sistematika Penulisan ……… 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR…….……….. 12

A. Studi Terdahulu ……… 12

B. Landasan Teori ….………. 15

1. Pengertian Semiotik ……..……… 15


(9)

ix

4. Peranan Penyair dalam Puisi ………... 22

C. Kerangka Pikir …….……… 22

BAB III METODE PENELITIAN……….. 24

A. Metode Penelitian ………. 24

B. Pendekatan ……… 24

C. Objek Penelitian ……… 25

D. Sumber Data ………. 25

E. Teknik Pengumpulan Data ………. 25

F. Teknik Analisis Data ……… 26

1. Tahap Pengumpulan Data ………. 26

2. Tahap Analisis……….. 26

3. Tahap Melaporkan………... 26

BAB IV ANALISIS PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR,TELINGA, DAN DEWA RUCI………... 27

A. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi ……….. 27

1. Puisi Bima………. 27

a. Penggantian Arti ……… 28

b. Penyimpangan Arti ……… 32

c. Penciptaan Arti …….………. 34

2. Puisi Saudara Kembar ……… 37

a. Penggantian Arti ………. 37

b. Penyimpangan Arti ………. 39


(10)

x

b. Penyimpangan Arti ……….. 46

c. Penciptaan Arti ……… 47

4. Puisi Dewa Ruci……….. 49

a. Penggantian Arti ……….. 50

b. Penyimpangan Arti ……….. 51

c. Penciptaan Arti ……… 53

B. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik ………. 57

1. Puisi Bima……… 58

a. Pembacaan Heuristik ……… 58

b. Pembacaan Hermeneutik ………. 59

2. Puisi Saudara Kembar………. 71

a. Pembacaan Heuristik ……… 71

b. Pembacaan Hermeneutik ………. 72

3. Puisi Telinga ………. 79

a. Pembacaan Heuristik ……… 79

b. Pembacaan Hermeneutik ………. 80

4. Puisi Dewa Ruci ……… 84

a. Pembacaan Heuristik ……… 86

b. Pembacaan Hermeneutik ……….. 87

C. Matriks, Model, dan Varian-varian ……… 98

1. Matriks, Model, dan Varian-varian Puisi Bima……….. 98


(11)

xi

4. Matriks, Model, dan Varian-varian Puisi Dewa Ruci ……… 103

D. Hipogram ……….. 105

1. Hubungan Intertekstual atau Hipogramatik Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan Cerita Dewaruci …….. 118

a. Puisi Bima ……… 118

b. Puisi Saudara Kembar ………. 124

c. Puisi Telinga ……… 132

d. Puisi Dewa Ruci ……….. 139

2. Hubungan Intertekstual atau Hipogramatik puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci……….. 147

BAB V PENUTUP ……… 151

A. Simpulan ………. 151

B. Saran ………. 151

DAFTAR PUSTAKA ………. 153

LAMPIRAN………. 156

1. Data Puisi ………. 157

2. Biografi Ringkas Penyair Puisi ……… 161

3. Biografi Ringkas Yasadipura I ………... 164

4. Bima, dalam Ensiklopedia Wayang Indonesia ………... 167

5. Gambar Tokoh Bima dalam Ensiklopedi Wayang Indonesia ……… 178 6. Cerita Dewarutji (Kitab Dewarutji tembang Macapat ciptaan

Kjai Ngabehi Yasadipura I), disadur dan diindonesiakan oleh Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian


(12)

(13)

xiii

Agus Setyana. C0202003. 2009. Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci: Tinjauan Semiotik Riffaterre. Skripsi. Jurusan Sastra Indonesia. Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu (1) bagaimana gambaran unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci? (2) Bagaimana hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci? (3) Bagaimana deskripsi makna kehadiran tokoh Bima yang dikandung puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci?

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. (2) Mengungkapkan hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci. (3) Mendeskripsikan makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan jenis penelitian yang bersifat deskriptif. Sumber data dalam penelitian ini adalah puisi-puisi pilihan yang menghadirkan tokoh Bima, yaitu puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka. Teknik analisis data dalam penelitian ini melalui tahapan pengumpulan data, tahap analisis, dan tahap melaporkan.

Dari hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci yaitu baris, bait, rima, tipografi, dan bunyi yang tersusun dalam bentuk kata-kata, serta arti atau makna, tema, asosiasi-asosiasi, citra, dan emosi. Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci merupakan pengejawantahan yang kreatif dari cerita Dewaruci. Cerita Dewaruci menjadi hipogram dari puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Keempat puisi yang menghadirkan tokoh Bima mengikuti hipogramnya yaitu cerita Dewaruci, kecuali pada puisi berjudul Bima karya Subagio Sastrowardoyo yang menentang hipogramnya. Makna kehadiran tokoh Bima, Bima, Saudara Kembar, Telinga dan Dewa Ruci adalah sebagai gambaran manusia biasa, pengingat dan teladan, serta wujud kebesaran Tuhan.


(14)

1

A.

Latar Belakang Masalah

Dalam khasanah perpuisian di Indonesia nuansa pewayangan menjadi salah satu dimensi yang telah memperkayanya. Salah satu nuansa tersebut adalah cerita Dewaruci. Cerita Dewaruci menjadi sebuah wacana bagi penyair sebagai tema puisi yang kemudian menjadi inspirasi penyair untuk mencipta sebuah puisi.

Cerita Dewaruci mengandung kefilsafatan serta keagamaan yang dalam karena menggambarkan seorang kesatria dengan kemauan keras mencari jalan sebaik-baiknya untuk dapat membawa manusia kepada kebahagiaan yang kekal di surga. Dalam usaha memperoleh cita-cita, kesatria tersebut menjumpai bermacam-macam kesukaran, tetapi berkat ketabahan hati dan disertai dengan kemauan tidak mengenal menyerah akhirnya kesatria tersebut dapat mencapai yang diidam-idamkan. Kesatria tersebut tidak hanya menerima petunjuk tentang kehidupan di dunia fana saja, tetapi juga memperoleh keterangan mengenai dunia yang baka serta tentang cara dapat masuk ke surga (Prawiraatmadja, 1954:4).

Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra memiliki fungsi dalam penciptaannya. Fungsi tersebut seperti yang dikemukakan Horatius dalam Ars Poetica-nya yang dikutip Teeuw, “tujuan penyair ialah berguna atau memberi nikmat, ataupun sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaidah untuk kehidupan”. Horatius memakai kata utile dan dulce bersama-sama bagi tujuan penyair atau efek puisi yang dihasilkan: menggabungkan yang bermanfaat dan yang enak (Teeuw: 1984:183). Dengan demikian karya sastra (puisi) diciptakan


(15)

bukan tanpa maksud, melainkan karya sastra (puisi) berusaha memberikan sesuatu kepada pembacanya seperti nasihat, amanat, atau pelajaran.

Dengan bahasa yang dimiliki, penyair mencoba mengungkapkan permasalahan sejelas-jelasnya dan seindah-indahnya sebagai upaya untuk menarik hati pembaca. Untuk hal ini penyair memilih kata yang tepat sehingga dapat menjelmakan jiwanya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:54). Dalam puisi (karya sastra pada umumnya), sebuah kata atau bahasa tidak hanya mengandung aspek denotasinya saja. Bahasa puisi cenderung mengarah kepada makna konotatif (Atmazaki, 1993:12). Dari hal tersebut, konotasi bahasa menjadi ciri yang dominan dalam puisi.

Kata atau bahasa tidak hanya berisi arti yang ditunjuk saja, masih ada arti tambahan yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi (tautan) yang keluar dari denotasinya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:59). Kelebihan puisi sebagai karya kreatif terletak pada bahasa dan unsur-unsur yang saling berinteraksi dengan dunia yang di luarnya. Pilihan kata dan pemanipulasian kata mampu mengkonkretkan imaji-imaji yang memenuhi intuisi seorang penyair. Dalam penelitian ini akan ditekankan pada karya sastra puisi. Ketertarikan penulis pada puisi terletak pada pemilihan dan penataan kata yang cermat dan pemanfaatan simbol atau tanda tertentu. Adanya penggunaan kata tertentu, simbol atau tanda dalam puisi merupakan bentuk pengungkapan batin pengarang dan penegasan maksud puisi.

Puisi meliputi dua wilayah makna (denotatif dan konotatif), sehingga usaha pemberian makna tidak hanya terhenti pada yang tersurat, melainkan juga mencari yang tersirat di dalamnya. Pembaca dihadapkan pada beberapa


(16)

kemungkinan makna yang dirasa cukup mewakili untuk menguraikan simbol dan seperangkat tanda lain dalam puisi. Oleh karena itu, pembaca tidak boleh mengabaikan sistem tanda kesastraan yang mempunyai konvensi sendiri, baik konvensi bahasa maupun konvensi sastra sebagai konvensi tambahan (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:115). Di antara konvensi puisi itu adalah ucapan atau ekspresi tidak langsung. Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi itu dari waktu ke waktu selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang berubah. Namun ada satu esensi yang tetap, yaitu puisi itu menyatakan suatu hal dengan arti yang lain atau puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung.

Penulis tertarik untuk meneliti puisi bertema pewayangan yang salah satu sumbernya dari cerita Mahabaratadengan alasan sebagai berikut. Pertama, bahwa intisari cerita Mahabarata berisi tentang keutamaan-keutamaan, keteladanan, kepahlawanan, kejujuran, dan kebenaran. Warna-warni kehidupan manusia diceritakan dengan segala sebab-akibatnya. Keyakinan, janji, dan sumpah seseorang akan menjadi kenyataan sesuai dengan pernyataan sebelumnya (Purwadi, 2004:5). Nilai-nilai luhur dalam cerita pewayangan dapat digunakan sebagai cermin kehidupan sehari-hari. Kedua, kisah pewayangan mengandung tontonan serta tuntunan yang menjadi dasar moral, kewajiban dan kebenaran. Dalam bahasa Mahatma Gandhi, konflik abadi yang di dalam jiwa diuraikan demikian jelasnya, sehingga menyebabkan untuk berpikir bahwasannya perbuatan-perbuatan yang dilukiskan di dalamnya seolah-olah benar-benar dilakukan oleh manusia (Pendit, 1980:xxiii).

Tindakan dan nasib masing-masing tokoh wayang dalam lakon-lakon tertentu seringkali dipakai oleh orang untuk memahami makna kehidupan atau


(17)

realitas yang dihadapinya. Dalam realitas kehidupan, manusia mempunyai dua dunia yang selalu menyertainya, yaitu lahir dan batin. Segi lahiriah manusia mengikatkan manusia pada dunia materi yang dapat menjadi hambatan, serta menjadi hal yang berbahaya. Hambatan atau bahaya tersebut sebagian besar disebabkan oleh hawa nafsu dan pamrih yang dimiliki manusia (Sardjono, 1995:19).

Penulis memilih puisi dengan judul Bima, Saudara Kembar karya Subagio Sastrowardoyo dari kumpulan puisi Keroncong Motinggo yang diterbitkan oleh PN Balai Pustaka tahun 1985 cetakan pertama; puisi dengan judul Telinga karya Sapardi Djoko Damono dari kumpulan puisi Hujan Bulan Juni yang diterbitkan oleh PT Grasindo tahun 1994 cetakan pertama, dan puisi berjudul Dewa Ruci karya Saini KM dari kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air yang diterbitkan oleh PT Grasindo tahun 2000 cetakan pertama. Dari nama penyair yang mencipta puisi tersebut, menurut anggapan penulis, merupakan nama besar pengarang/penyair dalam dunia puisi Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan begitu banyak karya mereka yang diterbitkan baik puisi, kritik, maupun esai-esai.

Penulis memilih puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci sebagai bahan penelitian dengan alasan sebagai berikut. Pertama, adalah adanya keunikan dalam penggunaan kata atau diksi. Dimulai dari penggunaan judul keempat puisi yang berbeda, kemudian penggunaan kata-kata tertentu yang merupakan tanda bermakna. Hal ini merupakan bentuk kreatif penyair dalam menangkap wacana cerita Dewaruci. Kedua, adalah tipografi. Tipografi merupakan penyusunan baris dan bait sajak. Bentuk tipografi puisi menjadi struktur penceritaan dalam puisi. Dari keempat puisi tersebut, terdapat puisi yang


(18)

berbentuk naratif dan ada yang berbentuk dialog. Ketiga, adalah imaji. Imaji merupakan kilasan bayangan yang muncul dari pembacaan puisi. Keempat, puisi tersebut mempunyai suasana serta imajinasi yang kuat. Hal ini muncul dari kemampuan penyair memanfaatkan segala sarana kepuitisan dengan baik sehingga menimbulkan kilasan bayangan dalam pikiran pembaca.

Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci mengingatkan pada sebuah karya sastra lama atau cerita Dewaruci. Adapun nama pengarang asli kitab Dewaruci hingga sekarang belum diketahui. Mengenai cerita Dewaruci atau Bimasuci ada beberapa macam redaksinya. Di wilayah Surakarta, karya ini pada mulanya dikarang (digubah) oleh Pujangga Yasadipura I. Serat Bimasuci atau Dewaruci digubah oleh Yasadipura I pada tahun 1720 Jawa atau 1793 Masehi (Purwadi, 2002:1).

Dalam kaitannya pergelaran wayang kulit, cerita Dewaruci diciptakan dalam bentuk pakem pedhalangan lengkap dengan judul Lampahan Dewaruci oleh Ki Manteb Soedharsono (Purwadi, 2002:22). Untuk lampahan sejenis, Sudarko juga membuat lampahan Dewaruci yang diterbitkan oleh Cendrawasih Surakarta. Hal ini menunjukkan cerita Dewaruci masih diminati sampai sekarang.

Cerita Dewaruci merupakan cerita perihal pencarian jati diri yang mengandung pelajaran sebagai berikut. 1). Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti, artinya bahwa sifat pengasih mengalahkan semua bentuk kejahatan atau musuh yang terdapat di dalam dirinya, 2). Sapa temen bakal tinemu, artinya bahwa segala sesuatu akan berhasil jika dilakukan dengan sungguh-sungguh. Di samping itu, lakon atau cerita Dewaruci merupakan lakon atau cerita yang banyak berbicara mengenai masalah kebatinan dalam pewayangan (Wawan Susetya,


(19)

2007:200). Semua lakon dalam wayang kulit selalu dikemas dan dibungkus dengan metafora atau perlambang, sehingga pemahamannya bergantung dari keluasan pandang masing-masing orang.

Pemegang peranan terpenting dalam cerita Dewaruci adalah tokoh Bima. Tokoh Bima merupakan tokoh yang terdapat dalam cerita Mahabarata. Tokoh Bima telah memerankan peran sebagai seorang individu dalam hal moralitas kemasyarakatan yang berkaitan dengan kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Tokoh Bima telah mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan, namun rela menanggalkan sikap egoisnya demi perjuangan dan pengabdian kepada negara dan masyarakatnya.

Penulis menganggap tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci sebagai tokoh utama. “Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian” (Burhan Nurgiyantoro, 2000:177). Altenbernd dan Lewis menyatakan bahwa tokoh yang dikagumi merupakan tokoh dengan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita (Burhan Nurgiyantoro, 2000:178). Tokoh Bima merupakan alat yang digunakan penyair untuk menyampaikan pesan-pesan moralnya. “Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan pengarang kepada pembaca” (Burhan Nurgiyantoro, 2000:167). Oleh karena itu, penulis ingin mengungkap makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci

Penulis menggunakan pendekatan semiotik Riffaterre dalam menemukan makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan


(20)

Dewa Ruci. Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji tentang tanda. Bahasa merupakan sistem tanda dan sebagai suatu tanda, bahasa bersifat mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Pendekatan semiotik Riffaterre relevan digunakan dalam penelitian ini karena puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci banyak menampilkan kata maupun bahasa dan aspek di luar kebahasaan yang menjadi tanda dan sistem tanda. Hal ini juga disebabkan adanya ketidaklangsungan ekspresi yang terdapat dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Riffaterre (1978:1) menyatakan bahwa puisi itu pengertian–pengertian atau hal-hal secara tidak langsung, yaitu menyatakan sesuatu hal yang lain.

Sebuah karya sastra biasanya bermakna penuh dalam hubungan atau pertentangan dengan karya lain (Teeuw, 1983:65). Oleh karena itu, selanjutnya puisi tersebut akan ditelusuri hipogramnya dengan cerita Dewaruci. Berdasarkan uraian di atas penelitian ini berjudul Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci:Tinjauan Semiotik Riffaterre.

B. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ini dimaksudkan untuk membatasi masalah sehingga tujuan penelitian ini menjadi lebih jelas dan terarah. Penelitian ini dibatasi pada unsur-unsur struktur puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci, meliputi metafora, pembaitan, rima, enjambemen dan tipografi yang membentuk kepaduan puisi; hubungan intertekstual atau hipogramatik antara puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci; serta makna kehadiran tokoh Bima yang terdapat pada puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.


(21)

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana gambaran unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci?

2. Bagaimana hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci? 3. Bagaimana deskripsi makna kehadiran tokoh Bima yang dikandung

puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki sasaran yang sesuai dengan pemilihan judul dan permasalahan sebagai tujuan untuk memecahkan masalah yang ada. Sejalan dengan rumusan masalah yang ada, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

2. Mengungkapkan hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci.

3. Mendeskripsikan makna kehadiran tokoh Bima puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.


(22)

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mewujudkan bentuk penerapan teori semiotik dalam karya sastra khususnya puisi, dan teori ini dapat dimanfaatkan untuk menangkap makna kehadiran tokoh Bima yang teraktualisasi dalam puisi yaitu pada puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah dapat menambah wawasan dan pemahaman terhadap karya sastra. Selain itu, dengan mengetahui tema dan makna yang dikandung puisi dapat memberikan tambahan wawasan tentang pentingnya mengolah segi batin dan lahir manusia dalam bersikap hidup, hubungannya dengan kedudukan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.

F. Sistematika Penelitian

Sistematika penelitian pada hakikatnya akan mempermudah dan mengarahkan hasil penelitian tidak menyimpang dari pembahasan yang akan diteliti. Penelitian yang sistematis akan banyak membantu penelitian dan pembacaaan serta pemahaman terhadap hasil penelitian. Sistematika penulisan penelitian ini dapat disusun sebagai berikut.

Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang penulis mengambil kajian semiotik untuk meneliti puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Pembatasan masalah yang berupa makna kehadiran tokoh Bima yang terdapat pada puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.


(23)

Perumusan masalah yang berupa makna apa yang terdapat pada kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Tujuan penelitian yang berguna untuk menjawab rumusan masalah. Manfaat penelitian diharapkan dapat menambah khazanah penelitian terutama puisi dengan menggunakan pendekatan semiotik, dan sistematika penelitian untuk memudahkan dalam proses analisis permasalahan sehingga lebih sistematis.

Bab kedua adalah kajian pustaka dan kerangka pikir, berisi penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian-penelitian ini serta kajian teori tentang teori semiotik. Teori semiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotik Riffaterre. Teori semiotik Riffaterre berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu mengenai makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

Bab ketiga adalah metode penelitian yang memberikan gambaran proses penelitian yang di dalamnya diuraikan mengenai metode penelitian, pendekatan yang digunakan, objek penelitian, sumber data, metode, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik penarikan simpulan.

Bab keempat adalah analisis puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan menggunakan teori semiotik Riffaterre. Tahap yang dilakukan dalam analisis yaitu bentuk ketidaklangsungan ekspresi puisi, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik, dilanjutkan dengan pencarian matriks, dan dilakukan penelusuran hubungan intertekstual atau hipogramatik yang menjadi latar proses penciptaan puisiBima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.


(24)

Bab kelima adalah penutup. Bab ini berisi simpulan dari hasil analisis dan dilengkapi dengan saran. Penelitian ini dilengkapi dengan daftar pustaka yang digunakan sebagai acuan atau referensi dalam melakukan penelitian, dan lampiran yang berupa puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci, biografi pengarang puisi, biografi Yasadipura I, cerita dan gambar tokoh Bima dalam pewayangan dari buku Ensiklopedi Wayang Indonesia,cerita Dewa Ruci karangan (gubahan) Yasadipura I yang diterbitkan oleh Cabang Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Yogyakarta.


(25)

12

KAJIAN PUSTAKA DAN

KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Studi Terdahulu

Penelitian terdahulu mengenai sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo menurut sepengetahuan penulis adalahMenyingkap Dunia Kepenyairan Subagio Sastrowardoyo oleh Wahyu Wibowo diterbitkan PN Balai Pustaka tahun 1984. Pokok permasalahan dalam penelitian tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama adalah gagasan cipta puisi Subagio Sastrowardoyo. Ekspresi pengalaman lahir maupun batin penyair, dalam hubungan ini berupa pengalaman lahir maupun batin yang sudah diolah oleh sejumlah kemampuan diri penyair. Berdasarkan kemampuan diri ditambah pandangan hidup yang positif, Subagio Sastrowardoyo “meramunya” menjadi niat dasar dalam menciptakan puisi-puisinya. Bayangan batin yang terjadi setelah melalui proses penglihatan bayangan batin disebut Subagio Sasytrowardoyo sebagai ilham. Obsesi Subagio Sastrowardoyo terhadap kematian, secara nyata menonjol pada citra-citra yang tampak pada puisi-puisinya.

Kedua, adalah Perempuan yang Berumah Dekat Pantai, sebagai corak pribadi Subagio Sastrowardoyo. Bayangan batin yang berasal dari pengalaman lahir dan batin Subagio Satrowardoyo, senantiasa berpatok pada satu latar belakang peristiwa yakni ketakutannya pada kematian. Kesepian perempuan atau si aku lirik dalam puisi Subagio Sastrowardoyo tersebut adalah kesepian dalam merindukan sesuatu, yaitu maut atau kematian.


(26)

Penelitian terdahulu tentang tokoh Bima menurut sepengetahuan penulis sebagai berikut.

Penelitian yang dilakukan oleh Afendy Widayat (1990) berjudul “Tinjauan Struktur dan Makna Cerita Bima Bungkus karya Can Cu An”, sebagai tulisan Skripsi Sarjana Fakultas Sastra UGM. Penelitian yang dilakukan Afendy Widayat (1990) ini menunjukkan bahwa tokoh Bima dalam Serat Bimapaksa selalu berorientasi kepada kebagiaan (eudaenomisme) dan berdasarkan nilai-nilai religius (theologis). Cerita Bima Bungkus menjelaskan moralitas yang berkaitan dengan nilai kebenaran, kepahlawan, dan ketabahan hidup.

Penelitian yang dilakukan oleh Purwadi (1995) berjudul “Cerita Sena Sinaraya dalam Pendekatan Struktur dan Makna”, sebagai Skripsi Sarjana Fakultas Sastra UGM. Kehidupan Surgawi adalah kehidupan masa muda. Mereka selamat meneliti bayangan surga, kemudahan, kenikmatan dalam bahasa Surgawi, yang di dunia ini dapat dilacak dalam konsekuensi sengsara membawa nikmat. Cerita Sena Sinaraya menjelaskan konsep moral yang berkaitan dengan sikap gagah berani, rela berkorban, dan kebersamaan dalam memperjuangkan cita-cita hidup. Penelitian yang dilakukan Purwadi ini juga menyebutkan bahwa Bima senantiasa mengusahakan tindakan moral yang tujuannya meraih kebahagiaan bersama (eudaemonisme) yang sangat dianjurkan oleh nilai-nilai keagaman (theologis).

Penelitian yang dilakukan oleh Endro Sasmito (1992) berjudul “Cerita Begawan Senaroda karya R.M. Suwandi dalam Pendekatan Struktur dan Makna” sebagai Skripsi Sarjana Fakultas Sastra UGM. Dalam Cerita Begawan Senaroda itu, Bima tampil sebagai Begawan Senaroda. Dia membeberkan ilmu


(27)

kesempurnaan hidup, ilmu sejati, kwaruh begja, dan sangkan paraning dumadi. Dalam cerita tersebut diajarkan bahwa orang hidup hendaknya selaras lahir batin, jiwa raga, cipta-rasa-karsa, dan iman ilmu amal. Cerita Begawan Senaroda menjelaskan konsep moral yang berkaitan dengan budi pekerti, mistik, dan soal kebatinan. Penelitian yang dilakukan oleh Endro Sasmito (1992) juga mempertegas bahwa Bima selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan supaya dapat mencapai kebahagiaan sejati (eudaemonisme) dan memperhatikan moralitas keagamaan.

Yang membedakan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini meneliti jenis karya sastra puisi, berjumlah empat buah puisi. Puisi yang diteliti diambil dari kumpulan puisi oleh 3 penyair, yaitu Bima dan Saudara Kembar karya Subagio Sastrowardoyo, Telinga karya Sapardi Djoko Damono, dan Dewa Ruci karya Saini KM. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan semiotik Riffaterre, dengan analisis melalui beberapa tahapan, yaitu bentuk ketidaklangsungan ekspresi puisi, pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik, pencarian matriks, model, dan varian, serta penelusuran hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi.

Dalam penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci, mengungkapkan hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci, mendeskripsikan makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Penelitian terdahulu oleh penulis digunakan dan dimanfaatkan sebagai tambahan wacana dalam proses penulisan skripsi ini.


(28)

B. Landasan Teoretis

1. Pengertian Semiotik

Kata semiotika diturunkan dari bahasa Inggris: semiotics. Berpangkal pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, bahwa orientasi pembentukan istilah tersebut terdapat pada bahasa Inggris. Akhiran bahasa Inggris –ics dalam bahasa Indonesia berubah menjadi –ik atau –ika (Puji Santosa, 1993: 2).

Kata semotika berasal dari bahasa Yunani semion, yang berarti tanda. Semiotika adalah cabang ilmu tentang tanda dan segala yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:1). Nama lain semiotika adalah semiologi. Kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang sama yaitu sebagai ilmu tentang tanda.

Peletak dasar teori semotik ada dua orang, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Saussure yang dikenal sebagai bapak ilmu bahasa modern mempergunakan istilah semiologi, sedang Peirce yang seorang ahli filsafat memakai istilah semiotik. Kedua tokoh tersebut berasal dari dua benua yang berjauhan, Eropa dan Amerika, dan tidak saling mengenal, sama-sama mengemukakan sebuah teori yang secara prinsipal tidak berbeda (Burhan Nurgiyantoro, 2000:39).

Dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan satu teori semiotik, yaitu dari Michael Riffaterre. Pengunaan semiotik Riffaterre merupakan usaha untuk mengungkap makna serta menelusuri hipogramnya dengan melalui beberapa tahapan, yaitu bentuk ketidaklangsungan ekspresi puisi, pembacaan heuristik


(29)

dengan terdapat kegiatan memparafrasekan (per-bait) puisi. Selanjutnya pembacaan hermeneutik, merupakan proses pembacaan berdasar konvensi sastra (puisi) dan pemberian makna puisi. Tahapan selanjutnya adalah pencarian matriks (kata kunci), model dan varian-varian, serta penelusuran hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi.

2. Semiotik Riffaterre

Dalam buku berjudul Semiotic of Poetry (1978), bahwa untuk mendapatkan makna secara lengkap dan tuntas maka harus diketahui aspek kesejarahan puisi tersebut. Tugas pembacalah untuk menemukan dan menafsirkan respon yang terkandung dalam sajak tersebut. Riffaterre menyatakan bahwa karya sastra (puisi) merupakan a dialectic between text and reader (Riffaterre, 1978:10).

Riffaterre (1978:1) mengangggap puisi adalah sebagai salah satu aktivitas pemroduksian bahasa. Bahasa yang diproduksi tersebut berbicara mengenai sesuatu yang disampaikan secara tidak langsung atau ketidaklangsungan ekspresi. Dikemukakan Riffaterre (1978:1—2) puisi itu menyatakan suatu hal secara tidak langsung. Selanjutnya, Riffaterre menegaskan ketidaklangsungan tersebut disebabkan oleh tiga hal yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).

a. Penggantian Arti (Displacing of Meaning)

Pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, yaitu pada metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Metafora melihat sesuatu dengan perantaraan hal atau benda lain. Secara umum dalam pembicaraan puisi, bahasa kiasan disebut dengan metafora. Dalam


(30)

penggantian arti, suatu kata (kiasan) berarti sesuatu yang lain (tidak menurut arti sesungguhnya) (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:212).

b. Penyimpangan Arti (Distorting of Meaning),

Penyimpangan arti dalam sajak disebabkan ambiguitas, kontradiksi, atau pun nonsense (Riffaterre, 1978:2). Ambiguitas, merupakan kata-kata, frase atau kalimat dalam puisi yang sering kali mempunyai arti ganda sehingga menimbulkan banyak tafsir atau ambigu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:213). Dengan ambiguitas, puisi memberi kesempatan kepada pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan asosiasinya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:215).

Kontradiksi, mengandung arti pertentangan yang disebabkan oleh paradoks dan/atau ironi. Dalam puisi terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud dengan secara berlawanan atau berbalikan. Ironi biasanya digunakan untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:215-216). Paradoks merupakan pernyataan yang tampaknya berlawanan dalam dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, jika dilihat lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran (Panuti Sudjiman, 1990:59).

Nonsense, merupakan bentuk kata-kata yang tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata. Nonsense dapat menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, suasana aneh, suasana gaib, atau suasana lucu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:219).


(31)

c. Penciptaan Arti (Creating of Meaning)

Penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2) terjadi bila ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang secara linguistik tidak ada artinya. Hal ini di antaranya yaitu rima (persamaan bunyi akhir), enjambemen (pemutusan kata/frase di ujung baris dan meletakkan sambungannya pada baris berikutnya), tipografi (penyusunan baris dab bait sajak), atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan posisi dalam bait (homologues) (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:220).

Karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, tanda, dan maknanya, serta konvensi tanda, maka struktur karya sastra tidak dapat dimengerti secara optimal (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:118). Tanda baru memperoleh makna yang optimal apabila mendapatkan apresiasi dari pembaca (Teeuw, 1983:62). Hal tersebut menunjukkan bahwa antara pembaca dengan teks sastra terjadi dialektika dalam pemaknaan karya sastra.

Selanjutnya tahap yang dilakukan untuk memberi makna sajak (puisi) secara semiotik adalah pembacaan heuristik (heuristic reading) dan pembacaan hermeneutik (hermeneutic reading) atau retroaktif (retroactive reading) (Riffaterre, 1978:5—6). Pembacaan heuristik adalah pembacaan yang berdasarkan pada struktur bahasanya atau secara semotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:135).


(32)

Pembacaan heuristik merupakan pembacaan berdasarkan struktur bahasa atau secara sistem semiotik tingkat pertama. Dalam pembacaan heuristik, sajak dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Yang dilakukan dalam pembacaan heuristik yaitu menerjemahkan atau memperjelas arti kata-kata dan sinonim-sinonim. Untuk memperjelas arti bisa diberi sisipan kata atau sinonim kata-katanya yang ditaruh dalam tanda kurung. Begitu juga dengan struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:136).

Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan yang diulang kembali dengan ditafsirkan berdasarkan konvensi sastra (puisi). Konvensi sastra yang memberikan makna itu di antaranya konvensi ketidaklangsungan ucapan (ekspresi) sajak (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:137).

Dalam pemahaman makna karya sastra, pembaca harus memahami bahwa sajak (puisi) bermula dari adanya matriks (Riffaterre, 1978:13). Matriks adalah kata kunci atau inti sari dari serangkaian teks. Selanjutnya, (Riffaterre, 1978:19) mengatakan bahwa matriks bersifat hipotesis yang berupa aktualisasi gramatikal dan leksikal suatu struktur. Matriks tidak muncul dalam suatu kata dalam teks, tetapi diaktualisasikan dalam model, sedangkan model adalah pengembangan teks dengan pemaparan.

Matriks dapat diringkas dalam satu kata tunggal yang tidak terdapat dalam teks. Matriks ini selalu teraktualisasi dalam varian-varian yang berurutan. Bentuk varian-varian ini selalu ditentukan oleh aktualisasi pertama, yaitu model (Riffaterre, 1978:19).


(33)

Dikemukakan Riffaterre dalam bukunya Semiotic of Poetry, bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak yang lain, baik dalam persamaan maupun pertentangannya. Sajak itu baru dapat dipahami makna secara sepenuhnya setelah diketahui hubungannya dengan sajak lain yang menjadi latar penciptaannya. Riffaterre menyatakan bahwa sajak (teks) yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra (teks) yang lain disebut hipogram (1978:23). Setiap teks, termasuk teks sastra merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi dari teks lain (Kristeva dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2002:55).

Hipogram teks ditelusuri untuk mendapatkan makna teks sastra yang optimal secara semiotik. Hipogram bisa berwujud satu kata, frase atau kutipan, atau ungkapan klise yang mereferensi pada kata atau frase yang sudah ada sebelumnya (Riffaterre, 1978:23). Riffaterre (1978:23) menyatakan bahwa hipogram ada dua macam, yaitu potensial dan aktual. Hipogram potensial dapat dilihat pada bahasa atau segala bentuk implikasi makna kebahasaan, baik yang berupa presuposisi maupun makna konotatif yang sudah dianggap umum di dalam karya sastra itu sendiri meskipun tidak diekspresikan secara langsung. Hipogram aktual dapat dilihat pada teks-teks yang sudah ada sebelumnya, baik berupa mitos maupun karya sastra lain. Hipogram aktual menjadi latar penciptaan teks (karya sastra) baru atau ditransformasikan menjadi teks (karya sastra) baru.

Untuk memberi makna sebuah karya sastra, prinsip intertekstualitas perlu diterapkan, yaitu dengan membandingkan suatu karya sastra dan hipogramnya. Karya sastra yang menjadi hipogram diserap dan ditransformasikan ke dalam teks sastra sesudahnya yang menunjukkan adanya kesamaan. Dengan mensejajarkan


(34)

sebuah teks dengan teks lain yang menjadi hipogramnya maka teks tersebut menjadi jelas, baik teks tersebut mengikuti atau menentang hipogramnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:55). Jadi, ada empat hal pokok dalam analisis semiotik Riffaterre (1978), yaitu (1) ketidaklangsungan ekpresi puisi; (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik; (3) matriks, model, dan varian; dan (4) hipogram.

3. Peranan Pembaca dalam Puisi

Konvensi yang mendasari dalam pemberian makna karya sastra (konkretisasi) yaitu pembaca sebagai pemberi makna. Pembaca mempunyai peranan yang penting dalam konkretisasi makna karya sastra. Dalam hal konkretisasi, pembaca tidak boleh mengabaikan sistem tanda kesastraan yang mempunyai konvensi sendiri, baik konvensi bahasa maupun konvensi sastra. (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:115).

Dalam proses konkretisasi terjadi hubungan yang dialektis antara teks karya sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca yang memiliki horison harapan tersendiri terhadap karya sastra yang dibaca. Konkretisasi sebuah karya sastra perlu diperhatikan hasil pembacaan atas sebuah karya dari generasi ke generasi karena ada penambahan apresiasi terhadap karya sastra. Hal itu disebabkan oleh horison harapan pembaca dari tiap generasi selalu berubah karena konsep estetika, kepandaian, dan pengalaman (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:115—116).

Wellek dan Warren menyatakan bahwa pembaca sebagai pembongkar makna harus mempunyai bekal cukup. Pendidikan kepribadian, yang meliputi latar belakang religi, filosofis, iklim budaya serta wawasan kebahasaan yang luas mempengaruhi daya tangkap pembaca terhadap makna puisi (1990:180).


(35)

4. Peranan Penyair dalam Puisi

Kedudukan penyair dalam penafsiran karya sastra dikemukakan oleh Juhl melalui tiga dalil. Pertama, ada kaitan antara sebuah arti karya sastra dan niat penyairnya. Kedua, penyair yang nyata terlibat bertanggung jawab atas proporsi yang diajukan dalam karyanya. Jadi karya sastra tidak otonom, ada perkaitan antara sastra dan kehidupan. Ketiga, karya sastra mempunyai satu arti. Arti tersebut bukan yang dinyatakan secara eksplisit oleh penulis, melainkan yang diniatkan oleh kata-kata yang dipergunakan penyair dalam karyanya. Niat bukan sesuatu yang dipikirkan sebelum penciptaan karya sastra; niat terwujud dalam proses perumusan kalimat yang dipakai dalam karya (Teeuw, 1984:177).

Karya sastra merupakan luapan atau penjelmaan perasaan, pikiran, dan pengalaman (dalam arti luas) pengarangnya. Oleh karena itu, faktor pengarang tidak dapat diabaikan meskipun tidak harus dimutlakkan (Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 114).

C. Kerangka Pikir

Penyimpangan gramatikal merupakan hal yang dikehendaki dalam penulisan puisi. Dalam perpuisian dikenal adanya licentia poetica, yaitu kebebasan penyair untuk menyalahi kaidah-kaidah gramatika. Dengan adanya demikian, puisi yang dihasilkan senantiasa mengandung kelainan, terkesan kontras atau berbeda dengan bahasa masyarakat atau bahasa sehari-hari. Selain terjadi perbedaan dengan bahasa sehari-hari, terdapat tanda-tanda yang mempuyai makna yang terkandung dalam puisi. Dari bentuk penulisan puisi yang tidak gramatikal (sesuai dengan tata bahasa) tersebut, puisi diubah ke dalam bentuk yang gramatikal sebagai usaha untuk memahami dan menafsirkan tanda yang


(36)

bermakna dalam puisi. Oleh karena itu, diperlukan sebuah teori untuk menganalisis puisi dalam usaha untuk mencari makna yang dikandung puisi.

Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga dan Dewa Ruci ditulis oleh penyair dengan bahasa mereka dengan terdapat tanda-tanda yang bermakna. Di dalam puisi tersebut terdapat kata-kata sebagai tanda untuk menunjukkan kehadiran tokoh Bima, dan beserta makna yang dikandungnya. Oleh karena itu digunakan teori semiotik Riffaterre untuk menganalisis teks puisi tersebut.

Penelitian ini menggunakan tahap-tahap analisis semiotik Riffaterre, yaitu ketidaklangsungan ekspresi puisi; pembacaan heuristik dan hermeneutik; pencarian matriks, model, dan varian; serta hipogram (hubungan intertekstual), untuk menemukan unsur-unsur yang membangun puisi, mengungkap makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga dan Dewa Ruci dan menelusuri hubungan intertekstual atau hipogramatik dengan cerita Dewaruci. Dari analisis yang dilakukan, akan diperoleh simpulan mengenai unsur-unsur yang membangun puisi, hubungan hipogram dengan cerita Dewaruci dan makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

Hipogram.

Pencarian matriks, model, dan varian-varian.

Pembacaan heuristik dan hermeneutik. Ketidaklangsungan ekspresi puisi.

Puisi yang menghadirkan tokoh Bima

puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

Teori Semiotik Riffaterre

simpulan

Makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga dan Dewa Ruci. Hubungan intertekstual atau hipogramatik dengan cerita Dewaruci.

Unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.


(37)

24

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan bentuk penelitian yang bersifat deskriptif. Metode kualitatif merupakan jenis penelitian yang data-datanya berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka (Lexi J. Moleong, 2001:6).

Penelitian kualitatif dilakukan dengan tidak mengutamakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris. Penelitian dilakukan secara deskriptif, artinya terurai dalam bentuk kata-kata, bukan berbentuk angka (Suwardi Endraswara, 2003:5).

B. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan semiotik Riffaterre. Alasan peneliti menggunakan pendekatan ini karena pendekatan semiotik Riffaterre sesuai dengan permasalahan yang dianalisis oleh peneliti. Dengan pendekatan Semiotik Riffaterre pemaknaan terhadap puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci tersebut dapat dilakukan dengan maksimal. Hal tersebut dikarenakan pendekatan semiotik Riffaterre menggunakan tahapan-tahapan analisis, yaitu (1) ketidaklangsungan ekspresi karya sastra (puisi) disebabkan oleh tiga hal yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning), (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik, (3) pencarian matriks, model dan varian, serta (4) penelusuran hipogram (hubungan intertekstual).


(38)

C. Objek Penelitian

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci, hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci, dan makna kehadiran tokoh Bima yang dikandung puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

D. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah

1. puisi dengan judul Bima karya Subagio Sastrowardoyo dari buku kumpulan puisi Keroncong Motinggo yang diterbitkan oleh PN Balai Pustaka tahun 1985,

2. puisi dengan judul Saudara Kembar karya Subagio Sastrowardoyo dari buku kumpulan puisi Keroncong Motinggo yang diterbitkan oleh PN Balai Pustaka tahun 1985,

3. puisi dengan judul Telinga karya Sapardi Djoko Damono dari buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni yang diterbitkan oleh PT Grasindo tahun 1944, dan

4. puisi berjudul Dewa Ruci karya Saini KM.dari buku kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air yang diterbitkan oleh PT Grasindo tahun 2000.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka. Teknik pustaka merupakan teknik pengumpulan data dengan


(39)

menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data yang berkaitan dengan puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dan teori semiotik Riffaterre.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini melalui tahapan sebagai berikut. 1. Tahap Pengumpulan Data

Tahap ini merupakan tahap mengumpulkan data-data yang relevan, akurat yang digunakan dalam menemukan makna yang terdapat pada puisi Bima, Saudara Kembar,Telinga, dan Dewa Ruci.

2. Tahap Analisis

Tahap ini merupakan tahap analisis untuk menemukan makna yang terdapat pada puisi Bima, Saudara Kembar,Telinga, dan Dewa Ruci.

3. Tahap Melaporkan

Tahap ini merupakan tahap melaporkan hasil penelitian terhadap makna yang terdapat pada puisi Bima, Saudara Kembar,Telinga, dan Dewa Ruci.


(40)

27

DAN

DEWA RUCI

Dalam bab ini diuraikan mengenai analisis terhadap makna yang dikandung puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Pemaknaan puisi tersebut melalui empat tahap dalam analisis semiotik Riffaterre, yaitu (1) ketidaklangsunagn ekspresi puisi, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik, (3) matriks, model, dan varian, dan (4) hipogram (hubungan intertekstual).

A.

Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi

Ketidaklangsungan pernyataan puisi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal: penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Dalam tahap ini diuraikan mengenai bentuk ketidaklangsungan ekspresi puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci.

1. Puisi Bima BIMA

karya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Motinggo

Di dalam pengelanaannya dilihatnya tiada yang kekal pada bahasa yang tinggal mati Hutan jati hilang kumandangnya dan sudut kota habis diperkata juga langit telah hangus terbakar di nyala matahari

Maka diputuskannya

untuk meninggalkan tanah kapur dan tidur dengan naga

(yang tak jadi dibunuhnya) di samudra angan-angan


(41)

Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi -- makhluk kecil itu

berhuni di lubuk hati

Matanya cerah seperti punya bocah yang hidup abadi

a. Penggantian Arti

Pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, yaitu pada metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Metafora ini untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya, tetapi tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Metafora melihat sesuatu dengan perantaraan hal atau benda lain. Secara umum dalam pembicaran puisi bahasa kiasan disebut dengan metafora. Dalam penggantian arti, suatu kata (kiasan) berarti sesuatu yang lain (tidak menurut arti sesungguhnya) (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:212).

Pada bait pertama, terdapat kalimat “di dalam pengelanaannya” yang merupakan bentuk gaya bahasa metafora. Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat, tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya (Gorys Keraf, 2000: 139). “Pengelanaannya” menyatakan hal mengenai rangkaian perjalanan hidup yang telah dilalui oleh tokoh Bima. Rangkaian hidup tersebut terjadi semenjak tokoh Bima muda hingga pada saat tokoh Bima dapat menyadari hal-hal yang terjadi padanya.

Kalimat “dilihatnya tiada yang kekal” merupakan gaya bahasa sinekdoke. Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) (Gorys Keraf, 2000: 142). Sinekdoke (pars pro toto) kalimat tersebut berarti


(42)

bahwa bentuk “dilihatnya” merupakan aktivitas yang dilakukan dengan menggunakan organ penglihatan yaitu mata. Organ penglihatan ini mewakili dari proses seluruh tubuh manusia beserta perasaan manusia akan suasana hati yang terjadi dari kegiatan melihat tersebut.

Kalimat “pada bahasa yang tinggal mati” merupakan bentuk gaya bahasa metafora dan sinekdoke (pars pro toto). Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat (Gorys Keraf, 2000: 142). Metafora “bahasa” menyatakan bentuk komunikasi dalam hubungan dan interaksi dengan orang lain. Sinekdoke (pars pro toto) “bahasa” menyatakan bahwa bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam masyarakat itu mewakili bentuk hubungan manusia dalam bermasyarakat.

Pada bait kedua, terdapat kalimat “hutan jati hilang kumandangnya” yang merupakan gaya bahasa metafora. Hutan jati merupakan kiasan untuk hal-hal yang baik, hilang kumandangnya berarti hilang gaungnya.

Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati

Ungkapan tersebut mempunyai arti bahwa benih kejahatan merajalela, benih kebaikan mati (Hariwijaya, 2003: 72). Pohon jati merupakan pohon pilihan yang multiguna. Pohon jati dijadikan simbol kebaikan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kebaikan terkalahkan oleh kebatilan baik dari kualitas maupun kuantitas.

Jadi kalimat “hutan jati hilang kumandangnya” mempunyai arti bahwa hal-hal yang baik yang semestinya dilakukan oleh orang atau masyarakat kini tidak dilakukan lagi. Hal baik telah ditinggalkan dan semakin lama menjadi


(43)

tidak ada. Kalimat “sudut kota habis diperkata” merupakan gaya bahasa metafora. “Sudut kota habis diperkata” menyatakan tempat atau keadaan yang telah berubah, yang sebelumnya baik telah berubah menjadi buruk. Kenyataan mengenai perihal baik yang tidak ada lagi pada masyarakat.

Kalimat “langit telah hangus terbakar” merupakan gaya bahasa hiperbola. Hiperbola merupakan semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal (Gorys Keraf, 2000: 135). Kalimat “langit telah hangus terbakar” menyatakan keadaan sangat memprihatinkan dengan keadaan langit atau udara yang telah tercemar dan menyebabkan manusia sulit untuk bernafas serta burung kesulitan untuk terbang. Kalimat “di nyala matahari” merupakan bentuk metafora, yang menyatakan bahwa matahari merupakan tanda kehidupan. Keadaan yang telah berubah karena disebabkan oleh perilaku manusia dalam menjalani hidupnya.

Pada bait ketiga, kalimat “meninggalkan tanah kapur” merupakan gaya bahasa metafora. “Meninggalkan tanah kapur” menyatakan bahwa tokoh Bima meninggalkan tempat yang kini telah kering dari sumber penghidupan dan kering dari hal-hal yang baik. Hal ini dilakukan untuk mencari kebenaran atas kejadian yang terjadi. Kalimat “tidur dengan naga” merupakan gaya bahasa metafora dan gaya bahasa hiperbola. Naga diibaratkan sebagai bentuk cobaan atau rintangan yang sangat berat.

Kalimat “tidur dengan naga” menyatakan bahwa tokoh Bima melakukan perbuatan dengan menenangkan diri untuk menghadapi permasalahan yang berat. Hiperbola “dan tidur dengan naga” berarti tokoh


(44)

Bima melakukan perbuatan atau tindakan yang sangat berat yang tidak dilakukan oleh manusia pada umumnya.

Kalimat “di samudra angan-angan” merupakan gaya bahasa metafora. “Di samudra angan-angan” menyatakan tempat sangat luas manusia jarang mengunjunginya yang telah dicita-citakan oleh tokoh Bima dan menjadi harapan yang terdapat dalam batin tokoh Bima.

Pada bait keempat, kalimat “di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi” merupakan gaya bahasa personifikasi dan metafora. Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Gorys Keraf, 2000:140). Personifikasi “di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi” menyatakan bahwa Bima dapat bertatapan dengan sunyi yang berarti bertatapan dengan keadaan yang tidak ada suara atau bunyi, alam yang kosong, selayaknya manusia yang saling bertatapan. Metafora “bertatapan dengan sunyi” menyatakan suatu tempat atau alam dengan keadaan yang kosong, tidak ada apa-apa, tidak ada kehidupan.

Pada bait kelima, kalimat “matanya cerah seperti punya bocah” merupakan gaya bahasa simile. Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit, langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan tersebut, yaitu dengan menggunakan kata-kata: seperti, sebagai,

bagaikan, laksana, dan sebagianya (Gorys Keraf, 2000: 138). “Matanya cerah seperti punya bocah” menyatakan bahwa tokoh Bima mempunyai mata cerah seperti mata yang dimiliki oleh seorang bocah atau anak kecil. Keadaan yang


(45)

demikian, juga menunjukkan keadaan rohani yang bersih (belum terdapat dosa).

Kalimat “yang hidup abadi” merupakan bentuk gaya bahasa metafora. Kalimat tersebut menyatakan sifat yang tidak dimiliki oleh makhluk, hanya dimiliki oleh Sang Pencipta (Tuhan). Sifat abadi berhubungan dengan keadaan tokoh Bima yang mempunyai mata cerah.

b. Penyimpangan Arti

Ambiguitas

Ambiguitas merupakan kata-kata, frase atau kalimat dalam puisi yang sering kali mempunyai arti ganda sehingga menimbulkan banyak tafsir atau ambigu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:213). Dengan ambiguitas, puisi memberi kesempatan kepada pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan asosiasinya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:215).

Dalam puisi Bima, kalimat “di dalam pengelanaannya” mempunyai arti berkelana, pergi kemana-mana, mengembara, masuk hutan, naik gunung turun gunung. “Di dalam pengelanaannya” juga mempunyai arti pengalaman hidup, cobaan yang datang dan menimpa, kesukaran dan kemudahan, susah, senang bahagia, menderita, dan segala tindakan dan perbuatan baik maupun buruk tokoh Bima dalam menghadapi dan menjalani hidup.

Kalimat “pada bahasa yang tinggal mati” mempunyai arti sistem lambang bunyi yang dipakai sebagai alat komunikasi antar sesama manusia untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran, perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa, percakapan yang baik disertai dengan tindakan yang dapat membuat orang lain nyaman. Kalimat “di samudra angan-angan”


(46)

mempunyai arti pikiran, ingatan, cita-cita, maksud, niat, kehendak, gambaran dalam ingatan, harapan-harapan yang luas, terletak dalam batin.

Kontradiksi

Kontradiksi, mengandung arti pertentangan yang disebabkan oleh paradoks dan/atau ironi. Dalam puisi terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud dengan secara berlawanan atau berbalikan. Ironi biasanya digunakan untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:215-216).

Maka diputuskannya

untuk meninggalkan tanah kapur dan tidur dengan naga

(yang tak jadi dibunuhnya)

Dalam puisi Bima diungkapkan bahwa terdapat yang berlawanan atau berbalikan yaitu bahwa dengan kenyataan dan keadaan buruk yang terjadi, tokoh Bima memilih dan memutuskan untuk meninggalkan lingkungannya tersebut. Semestinya tokoh Bima berusaha untuk memperbaiki hal buruk yang terjadi tersebut. Tokoh Bima memilih pergi dan “tidur dengan naga”.

Hal ini bertentangan dengan kenyataan, ketika orang pergi meninggalkan sesuatu permasalahan semestinya memilih untuk mencari hal atau tempat yang nyaman dan baik. Tetapi tokoh Bima memilih untuk tidur dengan naga, mencari kesukaran yang lebih sulit lagi. Pertentangan kembali berlanjut dengan tokoh Bima setelah “tidur dengan naga”, oleh tokoh Bima “tak jadi dibunuhnya” yang semestinya untuk menyelesaikan bahaya tokoh Bima harus membunuh “naga” tersebut.


(47)

Nonsense

Nonsense, merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata. Nonsense dapat menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, suasana aneh, suasana gaib, atau suasana lucu (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:219). Dalam puisi Bima tidak terdapat bentuk nonsense (bentuk kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti).

c. Penciptaan Arti

Penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2) terjadi bila ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang secara linguistik tidak ada artinya. Hal ini di antaranya yaitu rima (persamaan bunyi akhir), enjambemen (pemutusan kata/frase di ujung baris dan meletakkan sambungannya pada baris berikutnya), tipografi (penyusunan baris dan bait sajak), atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan posisi dalam bait (homologues) (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:220).

Puisi Bima terdiri dari lima bait, yang tiap baitnya memiliki baris berbeda-beda. Pada bait pertama terdapat tiga baris, bait kedua mempunyai empat baris, bait ketiga terdapat lima baris, bait keempat terdapat tiga baris, dan bait kelima mempunyai dua baris. Tiap bait dalam puisi tersebut mempunyai rima yang berbeda-beda.

Biasanya rima ditandai dengan abjad, misal: ab-ab; cde-cde; a-a, dan lain-lain. Penandaan selalu dimulai dengan huruf a, dan setiap bunyi


(48)

berikutnya yang berbeda ditandai dengan urutan abjad: b, c, d, e dan seterusnya (Atmazaki,1993:80). Puisi Bima mempunyai rima dengan berpola:

Di dalam pengelanaannya a

dilihatnya tiada yang kekal b

pada bahasa yang tinggal mati c

Hutan jati hilang kumandangnya a

dan sudut kota habis diperkata a

juga langit telah hangus terbakar d

di nyala matahari e

Maka diputuskannya a

untuk meninggalkan tanah kapur f

dan tidur dengan naga a

(yang tak jadi dibunuhnya) a

di samudra angan-angan g

Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi c

-- makhluk kecil itu h

berhuni di lubuk hati c

Matanya cerah seperti punya bocah i

yang hidup abadi c

Pada bait pertama terdapat rima berpola yang tidak beraturan, yaitu dengan pola a-b-c. Pada bait kedua, mempunyai rima (persamaan bunyi akhir) dengan pola aa-dc. Bait ketiga mempunyai pola af-aag. Bait keempat berpola c-h-c. Bait kelima mempunyai rima dengan pola i-c. Bentuk bait serta rima yang berbeda-beda tersebut menciptakan arti tentang keadaan serta suasana yang menyertai tokoh Bima berbeda dari tiap peristiwa yang dilalui.

Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas penting, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya (Rachmat Djoko Pradopo, 1993:22). Pada bait pertama tampak bunyi u menonjol baris pertama, dan kedua dan rima bunyi a.


(1)

mendjadi pemuka badan dan disebut mukasifat artinja hati jang membawa kepada sifat jang luhur, sifat jang sedjati. Hati ini selalu mendjadi petundjuk djalan. Dari sebab itu ikutilah pantjamaja itu. Tunduklah kepada larangannja. Djanganlah ragu-ragu akan pimpinannja. Tjamkanlah sifat-sifatnja, kekuasaannja serta chasiatnja. Petundjuk pantjamaja itu selalu menudju ke arah jang sedjati”.

Wrekodara senang sekali mendengarkan wedjangan Sang Batara, karena sangat haus kalbunja akan air sutji itu, bagaikan kuntum bunga jang kena sinar matahari mulai kembang.

Dewarutji melandjutkan sabdanja : “Adapun tjatur warna jang kamu lihat, merah, hitam, kuning dan putih itu adalah bahaja-bahaja jang terdapat dalam kalbu manusia dan jang menudju ke dunia dengan segala isinja.

Warna merah, hitam dan kuning itu merupakan penghalang bagi manusia dalam mendjalankan perbuatan baik. Barang siapa dapat melepaskan diri dari pada ketiga bahaja itu akan bersatu padu dengan Sang Gaib, ketiga-tiganja itu adalah musuh para pertapa serta mendjadi perintang tjipta karsa jang luhur, jaitu untuk memperoleh perpaduan tersebut dengan Sang Sukma Mulia. Dari sebab itu hendaklah kamu awas dan waspada akan bahaja-bahaja itu. Ketahuilah kekuasaannja masing-masing.

Warna jang hitam itu mempunjai kekuatan besar sekali. Sifatnja mudah marah. Segala sesuatu digusari. Tjaranja marah luar biasa. Warna hitam adalah hati jang selalu menghalang-halangi maksud jang baik.

Adapun jang berwarna merah itu pekerdjaannja menutup hati jang awas dan waspada. Segala keinginan jang tidak baik timbul dari padanja. Sifatnja senang marah djuga serta tjemburu.

Warna jang kuning selalu merintangi angan-angan dan tindakan jang menudju ke arah keselamatan, sebaliknja setudju dengan perbuatan-perbuatan jang merusak dan membawa kedjurusan kesengsaraan.

Hanja warna jang putihlah jang terbaik serta mempunjai sifat-sifat jang luhur : tenang, sutji, tidak banjak bitjara, tetapi banjak kerdja. Berani mendjalankan tindakan utama, tetapi melakukan perbuatan djahat. Warna putih itu adalah hati jang dapat menerima ilham tentang rupa sedjati, memperoleh anugerah luhur dapat bersatu padu kekal dengan Sang Gaib.

Tetapi hati putih ini berhadapan dengan musuh jang kuat-kuat jakni hati merah, hitam dan kuning, sedang sihati putih hanja seorang diri sadja. Dari sebab itu perangnja selalu kalah. Tetapi apabila dapat memperoleh kemenangan dan dapat menghantjurkan musuh ketiga-tiganja, akan djadilah perpaduan dengan Sang Gaib. Tidak dengan petundjuk sudah mengetahui djalan ke arah persatuan manusia dan Sang Suksma Kawekas”.

Wrekodara semakin sungguh-sungguh tjaranja mendengarkan serta semakin besar hasratnja untuk mengetahui kesudahan hidup dan kesempurnaan perpaduan.

Setelah pemandangan empat matjam hilang, tampaklah di muka Bima sebuah njala berwarna delapan. Segera hal ini dimohonkan keterangan kepada Sang Dewarutji.

“Ja, tuan”, sembah Bima, “sudi apalah kiranja Sang Dewa memberikan makna tentang pemandangan ini. Diantara delapan warna itu manakah jang sedjati. Ada jang gemerlapan seperti ratna, ada pula jang kelihatan terang samar-samar dan ada djuga jang serupa sinar djamrud”.


(2)

“Ketahuilah, Bima”, sabda Sang Batara “jang kamu lihat itu adalah persatuan jang sedjati. Segala warna itu sudah ada padamu. Segala warna itu artinja isi alam semesta ini tergambar oleh seluruh tubuhmu, hingga tak ada perbedaan antara manusia sebagai dunia ketjil dengan dunia besar ini. Timur dan barat, utara dan selatan, atas dan bawah, semua mata angin ini terdapat tidak hanja di dunia besar sadja, melainkan djuga di dunia ketjil.

Warna merah, hitam dan kuning serta warna putih jang mendjadi hidupnja dunia itupun terdapat dalam kedua-duanja. Apabila sifat-sifat dunia tersebut hilang, akan tak adalah segala jang ada. Sesungguhnja segala sesautu itu terkumpul berupa satu, bukan wanita bukan lelaki, seperti anak lebah, jang tampak bagaikan boneka gading. Lihatlah, Wrekodara, apakah jang tampak di mukamu !”

Bima melihat boneka gading, mengkilat gemerlapan. “Ja, tuan”, sembah Bima, “hamba melihat sebuah boneka gading, jang elok gemerlapan : Apakah ini udjud Tirtapawitra, jang hamba tjari?”

“Anakku Bima”, sahut Dewarutji lemah lembut, “boneka itu bukan jang kamu tjari. Adapun jang kamu maksudkan itu adalah sesuatu, jang menguasai segela hidup. Itu tidak dapat kamu lihat, karena tak berudjud dan tak berwarna serta tak bertempat kedudukan. Hanja orang jang waspada dapat mengerti di mana tempatnja, karena hanja menampakkan diri berupa alamat-alamat dan tanda-tanda, jang tak dapat diraba.

Adapun boneka gading jang berkilat-kilat bagaikan mutiara itu bernama Sang Pramana, jang mendjadi hidupnja badan, djadi bersatu dengan badan. Tetapi Sang Pramana itu tidak ikut bersusah, apabila manusia bersedih hati, tidak ikut menderita. Tidak ikut makan serta tidur. Kalau Sang Pramana ini terpisah dari manusia, maka tubuh akan tak berdaja lagi, lemah lesu tak berkekuatan sama sekali. Djadi teranglah, bahwa Sang Pramana itu adalah jang berkuasa dalam kehidupan manusia, karena jang membawa hidup manusia.

Tetapi, Bima, Sang Pramana itu djuga tidak dapat hidup sendiri, melainkan menerimanja dari Sang Sukma, jang memegang hidup, jang mendjadi inti dari pada dhat (zat). Sang Sukma ini ada padamu,sebagai simbar jang tumbuh dipohon-pohonan. Apabila manusia meninggal dunia, maka Sang Pramana ikut hilang djuga, tetapi Sang Sukma tetap ada. Memang Sang Sukma inilah jang bersifat njata”.

“Ja, tuan”, sembah Wrekodara seterusnja, “sudi apalah kiranja tuan hamba memberikan keterangan, manakah udjud Sang Sukma, jang njata itu ?”.

“Anakku, Bima”, sahut Sang Dewarutji, “itu tidak dapat kamu peroleh dengan kedjasmanianmu. Tjara untuk memperolehnja kadang-kadang mudah, tetapi ada kalanja sukar diduga”.

Wrekodara bersembah, “Ja, tuan, hamba mohon, hendaklah tuan memberi wedjangan lebih landjut. Hamba ingin sekali mengetahui hal ini sesempurna-sempurnanja. Hamba ingin sekali memperoleh pakaian rohani jang njata ini. Berikanlah itu kepada hamba, ja tuan. Djanganlah sampai sia-sia kesusah-pajahan hamba. Hamba mempersembahkan hidup mati hamba ke hadapan tuan. Apabila tuan hamba tidak melandjutkan wedjangan tuan, hamba tidak akan meninggalkan tempat ini. Hamba telah merasa enak di sini. Di sini tidak ada kesusahan dan penderitaan, tidak ada kesukaran dan tidak ada kesakitan, tidak merasa lapar dan tidak memerlukan tidur. Jang ada hanjalah kenikmatan dan kesedjahteraan”.


(3)

“Hai, anakku”, sabda Sang Dewata, “kamu tidak boleh menetap di sini sebelum kamu meninggal dunia”.

Sang Dewarutji semakin besar tjintanja kepada Bima jang selalu mendesak, supaja wedjangan dilandjutkan hingga selesai.

“Anakku Bima”, demikian sabda Dewarutji seterusnja, “keinginannmu itu adalah baik sekali. Kelak akan terkabul djuga. Dari sebab itu hendaklah kamu selalu awas akan adanja perintang-perintang jang membahajakan perdjalanan hidupmu. Berdjalanlah terus, bersikaplah waspada. Kalau kamu sudah memiliki segala wedjangan ini, hendaklah kamu simpan baik-baik dan kamu rahasiakan. Berhati-hatilah dalam kamu bertjakap-tjakap, djangan sampai membitjarakannja dengan orang lain, ketjuali djika orang ini telah mendapat anugerah dari Sang Dewata. Karena apabila tidak demikian akan mudah timbul perselisihan faham. Dalam hal ini hendaklah kamu mengalah, djangan kamu mempertahankan diri, biar pembitjaraan lekas selesai.

Selandjutnja djanganlah kamu melekat kepada ratjun hidup. Sebaliknja peganglah teguh hasratmu untuk selalu mengabdi kepada Sang Dewata, Sang Hidup sedjati. Sang Hidup itu berada di dunia besar ini dan hidup, tidak ada jang memberi hidup dan ada, tetapi tak ada jang merasa akan adanja. Sang Hidup itu sesungguhnja ada padamu djuga dan tak dapat dipisahkan dengan kamu. Ketahuilah, bahwa asal usulmu itu dari padanja. Itulah sebabnja maka kamu mempunjai sifat jang mirip dengan Sang Hidup itu. Segala perbuatannja, pantjainderanja adalah padamu djuga. Hanja sadja Sang Sukma itu melihat tidak dengan mata djasmani dan mendengar tidak dengan telinga djasmani. Adapun telinga dan mata jang dipakainja sudah ada padamu. Kelahiran dan kebatinan Sang Sukma itu ada padamu. Hal ini dapat digambarkan sebagai kaju terbakar, asap dan kaju tidak dapat dipisahkan. Demikian pula air dan alun tak dapat dtjeraikan. Djuga dapat dimisalkan sebagai minjak jang tidak dapat dipisahkan dari air susu. Demikianlah keadaanmu, dengan segala tjipta rasa karsamu, apabila kamu telah memperoleh anugerah dapat bersatu padu dengan Sang Sukma. Seterusnja, djika perpaduan itu telah tertjapai sungguh-sungguh, segala hasrat keinginanmu akan terlaksana. Kamu selandjutnja hanja bersikap sebagai wajang kulit jang, diwajangkan oleh Sang Sukma sebagai dalang jang ada didalammu. Segala tingkah lakumu, semua gerak-gerikmu ditentukan oleh Sang Dalang. Dunia ini merupakan panggung dan lajar putih, jang digunakan untuk memainkan wajang. Memang besar sekali kekuasaan Sang Dalang itu.

Perpaduan Manusia-Dewata atau Abdi-Gusti itu tak dapat digambarkan-gambarkan, karena tak berudjud. Tetapi kenjataannja sudah ada padamu. Perpaduan itu bagaikan orang bertjermin. Jang bertjermin itu Sang Sukma, sedangkan kamu merupakan bajangannja. Supaja lebih mudah, hal ini akan saja terangkan lebih landjut sebagai berikut : Manusia itu mempunjai dua matjam badan, badan djasmani dan badan rohani. Badan djasmani itu udjud lahir jang kelihatan, jang dapat diterima oleh pantjaindera. Adapun badan rohani terdapat di dalam tjermin, tetapi bukan tjermin biasa, melainkan tjermin di dalam kalbu. Itulah udjud kita sendiri jang tertjetak didalam hati.

Apabila badan djasmani menutup segala pantja inderanja, akan besar sekali faedahnja, karena semua godaan hidup tidak berpengaruh terhadap dia. Sungguh besar sekali arti perpaduan antara badan djasmani dan badan rohani itu. Manusia jang telah memperoleh persatuan ini mempunjai tingkatan hidup jang tinggi


(4)

sekali, memiripi Sang Maha Dewata. Kalau pada sesuatu saat kedua-duanja mengadakan pertemuan, dan badan djasmani melahirkan keinginan-keinginannja, badan rohani pasti dapat mengabulkannja, asal tidak berlebih-lebihan sifat keinginan-keinginan itu.

Badan rohani itu djuga berada di dalam anak mata. Adapun rasa itu dibagi-bagi mendjadi tiga golongan : rasa luar, rasa dalam dan rasa kadim. Ras luar adalah rasa badan, rasa dalam itu rasa jang dialami mulut, sedang rasa kadim adalah rasa dalam impian. Ketiga-tiganja itu dikuasai oleh Sang Dewa Agung, jang bersifat hidup kekal dan jang mengadjak tidur, bangun, tenang, bergerak serta jang memberi ketjakapan bernafas. Djuga jang menerima keluar masuknja nafas. Sang Hidup kekal itu bertachta dalam badanmu dan menguasai badan itu. Rambut itu dapat hidup karena kulit, kulit hidup karena daging, daging karena darah, darah karena nafas. Adapun jang mendjadi sumber nafas itu adalah ubun-ubun. Dari sini hidup itu mengalir ke seluruh tubuh. Dari sebab itu, apabila sumber tadi ditutup, hingga si hidup tak dapat mengalir, maka tubuh akan lemah lemas tak berdaja sama sekali.

Tetapi, anakku Bima, ketahuilah, bahwa segala-galanja itu hanja merupakan alat jang tidak kekal adanja. Karena hidup itu dikuasai oleh jang menjebabkan hidup, sedang jang menjebabkan hidup itu masih dikuasai lebih landjut oleh Sang Pembentuk Hidup, jang tidak dapat dilihat oleh mata kepala djasmani, bahkan tidak dapat diraba oleh budi manusia. Sang Pembentuk Hidup itu hanja dapat dilihat oleh manusia jang telah kosong sunji, artinja sudah tidak menggunakan alat sama sekali. Djadi orang dapat melihat Sang Hidup kekal itu hanja dengan melalui satu djalan sadja, jaitu dengan membulatkan kesatuan diri pribadi, hingga tidak terkena oleh pengaruh lain-lainnja, jang dapat membelokkan tekadnja. Ingatlah, anakku, bahwa segala tindakan itu ditimbulkan oleh bergeraknja kehendak. Dari sebab itu dengan singkat dapat saja katakan, bahwa dalam pokoknja orang harus berani mematikan diri, melepaskan diri dari segala nafsu, jang menghalang-halangi maksud pokoknja. Apabila orang tidak berani mematikan diri, maka setiap usahanja kandas, maksudnja gagal, tudjuannja tak tertjapai.

Kelepasan itu besar sekali artinja, lebih besar dari pada dunia besar ini. Lebih halus dari pada air dan lebih ketjil dari pada kuman. Lebih besar, karena dapat menguasai segala sesuatu. Lebih halus dan lebih ketjil, karena dapat mendjelma mendjadi besar dan ketjil. Dapat berudjud binatang besar, tetapi djuga berkuasa untuk mendjadi serangga jang ketjil. Sungguh luar biasa kelepasan itu, melebihi dugaan jang menerimanja, hingga sukar untuk dipertjaja, karena luar biasanja.

Anakku, usahakanlah dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh petundjuk-petundjuk dan pengetahuan jang njata. Latihlah dirimu dengan sekuat tenagamu, hingga achirnja dapat mengetahui tingkah laku jang gaib.

Petundjuk atau ilmu itu bagaikan benih, sedang jang menerimanja adalah tempat tumbuhnja. Benih katjang dan kedelai jang disebar dibatu, kalau tak ada tanahnja, kehudjanan dan kena panas terik matahari, nistjaja tidak akan dapat tumbuh.

Apabila kamu telah memperoleh kebidjaksanaan, hilangkanlah penglihatanmu biasa, supaja kamu dapat melihat setjara rohani. Selandjutnja wudjud dan suaramu itu sesungguhnja bukan milikmu sendiri. Itu semua adalah barang pindjaman. Kembalikanlah kelak kepada jang kamu pindjami.


(5)

Djanganlah kamu mempunjai kesenangan lain, melainkan kesenangan untuk bersatu padu dengan Sang Dewa Agung. Dengan demikian kamu telah berbadan dewata. Segala gerak-gerik dan tingkah lakumu adalah gerak-gerik dan tingkah laku Sang Dewata djuga. Djanganlah kamu merasa lagi, bahwa Sang Maha Sukma dan kamu itu dua. Djika masih merasa dua, maka ini mendjadi bukti, bahwa kamu masih ragu-ragu, belum mempunjai kebulatan tekad. Sang Maha Tinggi akan bermuram durdja kepada kamu.

Sebaliknja, apabila kamu sudah memperoleh perpaduan sungguh-sunguh, segala karsa terlaksana, segala tjipta terudjud, karena kamu telah menguasainja. Alam semesta sudah di tanganmu, karena kamu mendjadi pengganti Sang Dewata. Bersikaplah teguh dan sanggup.

Apabila kamu telah memiliki ilmu kelepasan, simpanlah ilmu itu sebaik-baiknja, djanganlah kamu bersikap tjongkak, sombong, bahkan tutupilah dengan sikap rendah diri. Tetapi dalam hatimu tak boleh kamu lupakan sama sekali.

Anakku Bima, masih ada satu hal jang akan kukatakan kepadamu, jang kamu perlukan di sini dan di sana, di dunia ini dan di zaman achir, jaitu tentang mati dalam hidup dan hidup dalam mati. Hal ini demikian maksudnja : Hidup itu langsung adanja. Adapun jang mati itu hawa nafsu, jang didjalankan oleh badan djasmani. Mati dalam hidup dan hidup dalam mati berarti, bahwa selama manusia berada di dunia fana ini harus dapat mengalahkan segala hawa nafsu. Mati dalam hidup bermakna: Manusia harus dapat bersikap mati terhadap segala godaan-godaan dan keinginan-keinginan jang buruk, selama ia didunia ini. Hidup dalam mati : Manusia utama dapat tetap hidup dan memegang pendiriannja jang sutji, sekalipun terkepung oleh musuh-musuh rohani.

Wrekodara, barang siapa dapat bersikap demikian, membuktikan, bahwa ia telah memperoleh perpaduan jang njata”.

Wrekodara merasa telah dapat menerima semua wedjangan Sang Dewarutji. Segala sesuatu kelihatan terang tjuatja. Bagaikan bulan jang tertutup oleh awan, setelah angin meniup, awan tersapu bersih, hingga tampak sita semarak, demikian pula Sang Bima telah mendjadi sutji lahir batin.

Dengan ramah manis Sang Dewatarutji bersabda lagi : “Anakku Bima, kamu sekarang telah menerima segala wedjanganku. Ketahuilah, bahwa dengan ini kamu sudah memperoleh kesaktian luar biasa. Kamu dapat menguasai kesaktian lain-lainnja. Djuga dalam peperangan kamu akan selalu memperoleh kemenangan”.

Setelah Sang Dewatarutji menjampaikan segala sabdanja, Wrekodara keluar kembali ke alam biasa, tetapi pada saat itu djuga Sang Guru minta diri dengan utjapan : “Nah, selamat tinggal, anakku”.

Dengan sabda ini menghilanglah Sang Dewatarutji, Bima tinggal seorang diri, berdiri tegak di tengah samudera. Masih terkenanglah wadjah Sang Guru, djundjungannja. Rasa hati ingin mengikuti Sang Dewatarutji ke alam kedewaan, tetapi lalu teringatlah ia akan keluarga Pandawa jang masih sangat memerlukan dia. Teringatlah pula ia akan terdjadinja perang besar Baratajuda, jang akan menentukan timbul tenggelamnja Pandawa. Makin jakinlah Bima akan usaha djahat keluarga Ngastina, jang dengan pertolongan Pendeta Druna ingin memusnahkan dia dari muka bumi. Tetapi Sang Maha Dewatalah jang memimpin segala gerak-gerik hidup. Maksud Ngastina jang djahat itu bahkan dipergunakannja untuk menjampaikan anugerah luhur kepada Bima.


(6)

Bima mengutjap beribu-ribu sjukur kepada Sang Maha Agung, jang telah memberikan kekuatan lahir batin untuk mentjapai air sutji Tirtapawitra. Dengan terperolehnja ini Bima merasa mendjadi manusia baru, jang menguasai segala kesaktian. Tanpa sajap ia dapat mengelilingi dunia dalam sekedjap mata. Bahkan triloka dengan segala isinja telah dikuasaninja. Hidup dan matipun di tangannja djuga. Bima dapat digambarkan sebagai sekuntum bunga, jang sekarang sudah berkembang, bertambah indah rupa warnanja dan bertambah pula keharuman baunja, semerbak merata.

Wrekodara setelah memperoleh pantjaratna itu kalbunja berubah mendjadi sutji djudjur, karena terpengaruh olehnja, bagaikan terusap oleh minjak kesturi.

Seterusnja segala nafsu telah lenjap sama sekali. Segala sifat-sifat dunia dengan segala gerak-geriknja diketahuinja, bahkan sorga neraka dikuasanja. Bima tahu pula, bila dan bagaimana tjaranja ia akan meninggalkan dunia fana ini. Karena Wrekodara telah memperoleh milik rohani jang tertinggi ini, maka tenanglah kalbunja. Dan ini bukannja ketenangan orang jang menjerah kepada keadaan, melainkan sebaliknja. Bima telah memiliki ketenangan sedjati, karena menguasai segala keadaan. Itulah jang menjebabkan ia kelihatan seakan-akan mengenakan pakaian sutera jang halus indah, dikembang-kembang dengan emas serta dihias dengan ratna mutu mannikam, hingga tamapak elok gemerlapan, bersinar-sinar terang, sebagai bukti, bahwa Bima mengetahui segala gerak-gerik manusia.

Bima bersifat halus lemah-lembut bagaikan bunga pandan jang terkembang, harum semerbak baunja, bau kesturi sedjati. Ini mendjadi bukti, bahwa ketadjaman budi Wrekodara menembus segala jang gelap, pengetahuan jang sulit-sulit diseluruh dunia, bahkan jang gaib sekalipun, telah dimiliki olehnja. Tjelana dan kain Bima berwarna dasar empat matjam, merah, hitam, kuning dan putih, terbelit rangkaian bunga, hingga kelihatan elok permai. Hal ini mendjadi peringatan tentang peristiwa-peristiwa jang dialaminja. Rangkaian bunga itu adalah peringatan tentang pergulatannja dengan naga raksasa di tengah samudera, sedang tjatur warna selalu mengingatkan dia akan empat matjam warna jang disaksikannja dalam tubuh Sang Dewarutji. Warna merah, hitam dan kuning adalah lambang dari pada musuh-musuh rohani manusia, jang mengurungkan terlaksananja tindakan-tindakan baik, sedang warna putih mendjadi lambang tertjapainja maksud-maksud jang baik. Kelima matjam hal tersebut tergambar djelas dipakaian Bima, hingga tak dapat dilupakannja sama sekali. Sesungguhnja tatkala Bima lahir, keluar dari bungkusnja, telah bertjawat tjaturwarna, merah, hitam, kuning dan putih. Maksud Sang Hjang Guru, supaja tjawat itu mendjadi kekuatan rohani jang besar, jang dapat mengalahkan kesombongan, ketjongkakan dan takabur. Hal ini oleh Bima selama hidup selalu diperhatikan.

Pulanglah Wrekodara ke negeri Ngamarta. Dengan singkat Bima telah tiba di negerinja dan bertemu dengan seluruh keluarga Pandawa dalam keadaan selamat. Suasana gembira raja meliputi seluruh keraton Ngamarta. Mereka mengadakan pesta perajaan besar-besaran. Semuanja bersuka tjita, karena Sang Bima telah kembali dengan selamat.

Lenjaplah segala kesusahan, berganti riang gembira. TAMAT.

Sumber:

Kitab Dewarutji. 1954. Yogyakarta: Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian Pendidikan Pengadjaran dan Kebudajaan.