Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam khasanah perpuisian di Indonesia nuansa pewayangan menjadi salah satu dimensi yang telah memperkayanya. Salah satu nuansa tersebut adalah cerita Dewaruci. Cerita Dewaruci menjadi sebuah wacana bagi penyair sebagai tema puisi yang kemudian menjadi inspirasi penyair untuk mencipta sebuah puisi. Cerita Dewaruci mengandung kefilsafatan serta keagamaan yang dalam karena menggambarkan seorang kesatria dengan kemauan keras mencari jalan sebaik-baiknya untuk dapat membawa manusia kepada kebahagiaan yang kekal di surga. Dalam usaha memperoleh cita-cita, kesatria tersebut menjumpai bermacam-macam kesukaran, tetapi berkat ketabahan hati dan disertai dengan kemauan tidak mengenal menyerah akhirnya kesatria tersebut dapat mencapai yang diidam-idamkan. Kesatria tersebut tidak hanya menerima petunjuk tentang kehidupan di dunia fana saja, tetapi juga memperoleh keterangan mengenai dunia yang baka serta tentang cara dapat masuk ke surga Prawiraatmadja, 1954:4. Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra memiliki fungsi dalam penciptaannya. Fungsi tersebut seperti yang dikemukakan Horatius dalam Ars Poetica-nya yang dikutip Teeuw, “tujuan penyair ialah berguna atau memberi nikmat, ataupun sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaidah untuk kehidupan”. Horatius memakai kata utile dan dulce bersama-sama bagi tujuan penyair atau efek puisi yang dihasilkan: menggabungkan yang bermanfaat dan yang enak Teeuw: 1984:183. Dengan demikian karya sastra puisi diciptakan bukan tanpa maksud, melainkan karya sastra puisi berusaha memberikan sesuatu kepada pembacanya seperti nasihat, amanat, atau pelajaran. Dengan bahasa yang dimiliki, penyair mencoba mengungkapkan permasalahan sejelas-jelasnya dan seindah-indahnya sebagai upaya untuk menarik hati pembaca. Untuk hal ini penyair memilih kata yang tepat sehingga dapat menjelmakan jiwanya Rachmat Djoko Pradopo, 1993:54. Dalam puisi karya sastra pada umumnya, sebuah kata atau bahasa tidak hanya mengandung aspek denotasinya saja. Bahasa puisi cenderung mengarah kepada makna konotatif Atmazaki, 1993:12. Dari hal tersebut, konotasi bahasa menjadi ciri yang dominan dalam puisi. Kata atau bahasa tidak hanya berisi arti yang ditunjuk saja, masih ada arti tambahan yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi tautan yang keluar dari denotasinya Rachmat Djoko Pradopo, 1993:59. Kelebihan puisi sebagai karya kreatif terletak pada bahasa dan unsur-unsur yang saling berinteraksi dengan dunia yang di luarnya. Pilihan kata dan pemanipulasian kata mampu mengkonkretkan imaji-imaji yang memenuhi intuisi seorang penyair. Dalam penelitian ini akan ditekankan pada karya sastra puisi. Ketertarikan penulis pada puisi terletak pada pemilihan dan penataan kata yang cermat dan pemanfaatan simbol atau tanda tertentu. Adanya penggunaan kata tertentu, simbol atau tanda dalam puisi merupakan bentuk pengungkapan batin pengarang dan penegasan maksud puisi. Puisi meliputi dua wilayah makna denotatif dan konotatif, sehingga usaha pemberian makna tidak hanya terhenti pada yang tersurat, melainkan juga mencari yang tersirat di dalamnya. Pembaca dihadapkan pada beberapa kemungkinan makna yang dirasa cukup mewakili untuk menguraikan simbol dan seperangkat tanda lain dalam puisi. Oleh karena itu, pembaca tidak boleh mengabaikan sistem tanda kesastraan yang mempunyai konvensi sendiri, baik konvensi bahasa maupun konvensi sastra sebagai konvensi tambahan Rachmat Djoko Pradopo, 1995:115. Di antara konvensi puisi itu adalah ucapan atau ekspresi tidak langsung. Dikemukakan oleh Riffaterre 1978:1 bahwa puisi itu dari waktu ke waktu selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang berubah. Namun ada satu esensi yang tetap, yaitu puisi itu menyatakan suatu hal dengan arti yang lain atau puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Penulis tertarik untuk meneliti puisi bertema pewayangan yang salah satu sumbernya dari cerita Mahabarata dengan alasan sebagai berikut. Pertama, bahwa intisari cerita Mahabarata berisi tentang keutamaan-keutamaan, keteladanan, kepahlawanan, kejujuran, dan kebenaran. Warna-warni kehidupan manusia diceritakan dengan segala sebab-akibatnya. Keyakinan, janji, dan sumpah seseorang akan menjadi kenyataan sesuai dengan pernyataan sebelumnya Purwadi, 2004:5. Nilai-nilai luhur dalam cerita pewayangan dapat digunakan sebagai cermin kehidupan sehari-hari. Kedua, kisah pewayangan mengandung tontonan serta tuntunan yang menjadi dasar moral, kewajiban dan kebenaran. Dalam bahasa Mahatma Gandhi, konflik abadi yang di dalam jiwa diuraikan demikian jelasnya, sehingga menyebabkan untuk berpikir bahwasannya perbuatan-perbuatan yang dilukiskan di dalamnya seolah-olah benar-benar dilakukan oleh manusia Pendit, 1980:xxiii. Tindakan dan nasib masing-masing tokoh wayang dalam lakon-lakon tertentu seringkali dipakai oleh orang untuk memahami makna kehidupan atau realitas yang dihadapinya. Dalam realitas kehidupan, manusia mempunyai dua dunia yang selalu menyertainya, yaitu lahir dan batin. Segi lahiriah manusia mengikatkan manusia pada dunia materi yang dapat menjadi hambatan, serta menjadi hal yang berbahaya. Hambatan atau bahaya tersebut sebagian besar disebabkan oleh hawa nafsu dan pamrih yang dimiliki manusia Sardjono, 1995:19. Penulis memilih puisi dengan judul Bima, Saudara Kembar karya Subagio Sastrowardoyo dari kumpulan puisi Keroncong Motinggo yang diterbitkan oleh PN Balai Pustaka tahun 1985 cetakan pertama; puisi dengan judul Telinga karya Sapardi Djoko Damono dari kumpulan puisi Hujan Bulan Juni yang diterbitkan oleh PT Grasindo tahun 1994 cetakan pertama, dan puisi berjudul Dewa Ruci karya Saini KM dari kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air yang diterbitkan oleh PT Grasindo tahun 2000 cetakan pertama. Dari nama penyair yang mencipta puisi tersebut, menurut anggapan penulis, merupakan nama besar pengarangpenyair dalam dunia puisi Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan begitu banyak karya mereka yang diterbitkan baik puisi, kritik, maupun esai-esai. Penulis memilih puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci sebagai bahan penelitian dengan alasan sebagai berikut. Pertama, adalah adanya keunikan dalam penggunaan kata atau diksi. Dimulai dari penggunaan judul keempat puisi yang berbeda, kemudian penggunaan kata-kata tertentu yang merupakan tanda bermakna. Hal ini merupakan bentuk kreatif penyair dalam menangkap wacana cerita Dewaruci. Kedua, adalah tipografi. Tipografi merupakan penyusunan baris dan bait sajak. Bentuk tipografi puisi menjadi struktur penceritaan dalam puisi. Dari keempat puisi tersebut, terdapat puisi yang berbentuk naratif dan ada yang berbentuk dialog. Ketiga, adalah imaji. Imaji merupakan kilasan bayangan yang muncul dari pembacaan puisi. Keempat, puisi tersebut mempunyai suasana serta imajinasi yang kuat. Hal ini muncul dari kemampuan penyair memanfaatkan segala sarana kepuitisan dengan baik sehingga menimbulkan kilasan bayangan dalam pikiran pembaca. Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci mengingatkan pada sebuah karya sastra lama atau cerita Dewaruci. Adapun nama pengarang asli kitab Dewaruci hingga sekarang belum diketahui. Mengenai cerita Dewaruci atau Bimasuci ada beberapa macam redaksinya. Di wilayah Surakarta, karya ini pada mulanya dikarang digubah oleh Pujangga Yasadipura I. Serat Bimasuci atau Dewaruci digubah oleh Yasadipura I pada tahun 1720 Jawa atau 1793 Masehi Purwadi, 2002:1. Dalam kaitannya pergelaran wayang kulit, cerita Dewaruci diciptakan dalam bentuk pakem pedhalangan lengkap dengan judul Lampahan Dewaruci oleh Ki Manteb Soedharsono Purwadi, 2002:22. Untuk lampahan sejenis, Sudarko juga membuat lampahan Dewaruci yang diterbitkan oleh Cendrawasih Surakarta. Hal ini menunjukkan cerita Dewaruci masih diminati sampai sekarang. Cerita Dewaruci merupakan cerita perihal pencarian jati diri yang mengandung pelajaran sebagai berikut. 1. Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti, artinya bahwa sifat pengasih mengalahkan semua bentuk kejahatan atau musuh yang terdapat di dalam dirinya, 2. Sapa temen bakal tinemu, artinya bahwa segala sesuatu akan berhasil jika dilakukan dengan sungguh-sungguh. Di samping itu, lakon atau cerita Dewaruci merupakan lakon atau cerita yang banyak berbicara mengenai masalah kebatinan dalam pewayangan Wawan Susetya, 2007:200. Semua lakon dalam wayang kulit selalu dikemas dan dibungkus dengan metafora atau perlambang, sehingga pemahamannya bergantung dari keluasan pandang masing-masing orang. Pemegang peranan terpenting dalam cerita Dewaruci adalah tokoh Bima. Tokoh Bima merupakan tokoh yang terdapat dalam cerita Mahabarata. Tokoh Bima telah memerankan peran sebagai seorang individu dalam hal moralitas kemasyarakatan yang berkaitan dengan kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Tokoh Bima telah mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan, namun rela menanggalkan sikap egoisnya demi perjuangan dan pengabdian kepada negara dan masyarakatnya. Penulis menganggap tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci sebagai tokoh utama. “Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian” Burhan Nurgiyantoro, 2000:177. Altenbernd dan Lewis menyatakan bahwa tokoh yang dikagumi merupakan tokoh dengan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita Burhan Nurgiyantoro, 2000:178. Tokoh Bima merupakan alat yang digunakan penyair untuk menyampaikan pesan-pesan moralnya. “Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan pengarang kepada pembaca” Burhan Nurgiyantoro, 2000:167. Oleh karena itu, penulis ingin mengungkap makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci Penulis menggunakan pendekatan semiotik Riffaterre dalam menemukan makna kehadiran tokoh Bima dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Semiotik merupakan ilmu yang mengkaji tentang tanda. Bahasa merupakan sistem tanda dan sebagai suatu tanda, bahasa bersifat mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Pendekatan semiotik Riffaterre relevan digunakan dalam penelitian ini karena puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci banyak menampilkan kata maupun bahasa dan aspek di luar kebahasaan yang menjadi tanda dan sistem tanda. Hal ini juga disebabkan adanya ketidaklangsungan ekspresi yang terdapat dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Riffaterre 1978:1 menyatakan bahwa puisi itu pengertian–pengertian atau hal-hal secara tidak langsung, yaitu menyatakan sesuatu hal yang lain. Sebuah karya sastra biasanya bermakna penuh dalam hubungan atau pertentangan dengan karya lain Teeuw, 1983:65. Oleh karena itu, selanjutnya puisi tersebut akan ditelusuri hipogramnya dengan cerita Dewaruci. Berdasarkan uraian di atas penelitian ini berjudul Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci: Tinjauan Semiotik Riffaterre.

B. Pembatasan Masalah