Hipogram ANALISIS PUISI BIMA, SAUDARA KEMBAR, TELINGA,

D. Hipogram

Riffaterre menyatakan bahwa sajak teks yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra teks yang lain disebut hipogram 1978:23. Riffaterre 1978:23 menyatakan bahwa hipogram ada dua macam, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial itu tidak tereksplisitkan dalam teks, tetapi harus diabstraksikan dari teks. Hipogram potensial adalah matriks yang merupakan inti teks atau kata kunci, yang dapat berupa satu kata, frase atau kalimat sederhana. Transformasi pertama matriks atau hipogram potensial adalah model, kemudian ditransformasikan menjadi varian-varian. Hipogram yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah hipogram aktual. Adapun hipogram aktual berupa teks nyata, dapat berupa kata, kalimat, peribahasa atau seluruh teks. Hipogram aktual menjadi latar penciptaan teks baru atau ditransformasikan menjadi teks baru. Hipogram aktual dapat dilihat pada teks yang sudah ada sebelumnya, baik berupa mitos maupun karya sastra. Hikmah yang bisa ditangkap dari kehadiran tokoh Bima di atas, adalah bahwa kesulitan yang menimpa seseorang dan disusul dengan kesulitan berikutnya, maka pada diri orang itu akan timbul kekebalan. Ketahanan seseorang karena sudah terbiasa mendapat cobaan demi cobaan. Kisah kehidupan yang berakhir dengan kegembiraan happy end, setelah mengalami cobaan, ujian dan penderitaan sering terjadi. Hampir tidak ada tokoh dunia yang tampil mulus tanpa pengorbanan dan ujian sebelumnya. Hal tersebut seperti peribahasa: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Artinya bersusah payah dahulu, kemudian baru bersenang-senang Sarwono Pusposaputro, 2003:285. Pengalaman atau peristiwa yang dialami tokoh Bima tersebut mengandung pelajaran seperti halnya ungkapan Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti. Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti berasal dari “Serat Witaradya” karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita, dalam pupuh XXIX-Kinanthi, pada bait 50, yang berbunyi Jagra angawinangun Sudira marjayeng westhi Puwara kasub kawasa Warsita jro Wedha muni: “Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening pangastuti” yang artinya: manungsa iku mungguh panjagane marang hawa napsu lan angkara murka, kudu kay dene wong gagah prakosa kang nedya mbengkas pakewuh kang tembene kasusra, kaya piwulang ing kitab wdha kang nyebutake: Watak angkara murka, kekendelan utawa kadigdayan, senajan kena ingaran linuwih ing jagad, adate kalah karo sipat utawa watak andhap asor, jujur, adil, sarta pangastuti marang Gusti Kang Maha Kuwasa Moechtar dalam Panjebar Semangat no 36, 6 September 2008:7. terjemahannya: manusia itu dalam upaya melawan hawa nafsu dan angkara murka, harus seperti halnya orang yang gagah perkasa yang bertekad membasmi halangan atau rintangan yang merajalela. Seperti ajaran dalam Kitab Weda yang menyebutkan: watak angkara murka, kehebatan atau kekuatan meskipun dapat dikatakan paling hebat di dunia, biasanya kalah dengan sifat atau watak rendah hati, jujur, adil serta berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keinginan dan harapan tokoh Bima untuk mendapatkan makna kehidupan dengan perjuangan dan pengorbanan yang sangat besar, mempunyai kesamaan arti dengan ungkapan: Jer basuki mawa bea. Ungkapan tersebut berarti: setiap kesejahteraan yang diinginkan tentu harus mengeluarkan biaya. Biaya yang dimaksud di sini dapat berupa uang, tenaga, pengorbanan perasaan dan waktu. Budiono Herusatoto, 2003:93. Usaha tokoh Bima dalam hubungannya dengan usaha untuk mencari ilmu dan melaksanakan proses mendapatkannya, seperti yang terkandung dalam tembang Pocung, berasal dari Wedhatama karya Mangkunegara IV. Pocung Ngelmu iku kalakone kanthi laku, Lekase lawan kas, Tegese kas nyantosani, Setya budya pangekese dur angkara. Terjemahan : Ilmu itu, terlaksananya dengan dijalankan, majunya dengan “kas”, arti “kas” menguatkan, setia pada budi untuk memberantas hati jahat. Ilmu itu tercapai karena ada usaha, artinya ilmu itu harus dikerjakan dan diamalkan. Sesulit-sulitnya tindakan mencari, lebih sulit untuk mengamalkan. Ilmu jika tidak diamalkan tidak ada gunanya, bahkan ilmu kadang-kadang bisa menyusahkan. Proses pengenalan diri, dalam upaya mengenal Tuhan, sebagaimana makna kata mutiara “man arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” yang artinya barang siapa mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya. Hal itu juga ditransformasikan dari ayat-ayat suci Al Quran. Dengan demikian hipogram aktual dari Al Quran adalah sebagai berikut. i Keutamaan zikir atau mengingat Allah swt. Surat Al Baqarah ayat 152. Yang artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku”. Surat. Al Hasyr ayat 19. Yang artinya: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik”. Surat. Ar Ra’d ayat 28. Yang artinya: “yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah- lah hati menjadi tenteram”. Surat Al Khafi ayat 24. Yang artinya: “kecuali dengan menyebut: Insya Allah Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini. ii Menahan hawa nafsu puasa Surat Al Ahzab ayat 35. Yang artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. Surat Al Baqarah ayat 83. Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. iii Menjaga kelestarian alam lingkungan Surat Al A’raaf ayat 56. Yang artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut tidak akan diterima dan harapan akan dikabulkan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. Surat Al Qashash ayat 77. Yang artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. iv Sabar Perintah bersabar Surat Al Baqarah ayat 153. Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. Surat Ali ‘Imran ayat 120. Yang artinya: “Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi Jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan”. Hipogram aktual yang secara jelas dikandung dalam puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci adalah cerita Dewaruci. Cerita Dewaruci menjadi hipogram dari puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Karena adanya faktor keterbatasan yang terdapat dalam diri penulis, penulis membatasi penelusuran hipogram puisi tersebut pada salah satu hipogram yaitu cerita Dewaruci. Secara historis Serat Bimasuci atau Dewaruci berkaitan dengan naskah Nawaruci yang ditulis pada zaman Majapahit yang bercorak Hindu. Naskah ini oleh Yasadipura digubah menjadi Serat Bimasuci yang sudah dipengaruhi unsur Islam. Sesudah Yasadipura wafat, Serat Bimasuci terus disalin oleh beberapa tangan, sehingga keberadaannya menjadi banyak variasi Purwadi dan Rahmat Fajri, 2005:31. Para pujangga pun memberi apresiasi yang tinggi terhadap keberadaan cerita Bimasuci. Penyalinan Serat Bimasuci dilakukan secara berulang-ulang. Tiap-tiap pujangga dan penyalin mempunyai selera yang berbeda dalam menuangkan buah pikirannya. Dari hal itu, terdapat suatu kewajaran apabila terjadi penyimpangan, baik yang berupa penambahan dan pengurangan terhadap naskah pertama Serat Bimasuci. Perpustakaan yang memuat koleksi naskah Serat Bimasuci di antaranya Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta, Sana Budaya Yogyakarta, Perpustakaan Nasional Jakarta, dan Perpustakaan Universitas Leiden. Variasi naskah yang memuat cerita Dewaruci atau Bimasuci terdapat kurang lebih 29 naskah Poerbatajraka dalam Purwadi, 2002:15. Dari 29 naskah Serat Bimasuci itu, ada 19 naskah yang menjadi koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda Marsono dalam Purwadi, 2002:15. Beberapa variasi naskah Serat Bimasuci sebagai berikut. a. Dewaruci Tembang Gedhe Cerita Dewaruci yang paling tua ditulis pada abad ke-15. Cerita Dewaruci itu berbentuk tembang gedhe dengan bahasa Jawa Tengahan. Isi cerita Dewaruci yang tertua ini tidak begitu panjang. Cerita ini diawali dengan kepergian Bima ke samudera kemudian bertemu dengan Dewa Ruci. Akhir cerita yaitu Bima mendapat wejangan dari Dewa Ruci tentang usaha untuk mencapai kesempurnaan hidup Purwadi, 2002:15. Poerbatjaraka menyatakan serat Dewaruci tembang gedhe yang berbahasa Jawa Tengahan ini belum diketahui penciptanya serta belum jelas keterangan waktu dikarang. Gaya bahasanya masih menggunakan cara kuno, menggunakan sekar ageng tanpa guru lagu Purwadi, 2002:15. b. Nawaruci Kitab Nawaruci berbahasa Jawa Tengahan, yaitu bahasa yang timbul pada zaman kejayan Majapahit. Kitab Nawaruci ditulis antara tahun 1500-1619 M oleh empu Siwamurti. Dengan demikian diperkirakan Nawaruci dibuat di lingkungan luar keraton. Nama lain dari kitab Nawaruci adalah Sang Hyang Tattwajnana yang dapat diterjemahkan sebagai kitab tentang hakikat hidup Woro Aryandini dalam Purwadi, 2002:16. Kitab Nawaruci ini merupakan karya saatra religius yang terpengaruh mistik Hindu. Lahirnya kitab Nawaruci bersamaan dengan masa penyebaran dan perkembangan agama Islam di kalangan masyarakat Jawa. Mistik Islam yang dikenal oleh masyarakat jawa pada waktu itu telah memberikan inspirasi untuk digarap menjadi lakon wayang. Kitab Nawaruci ini sudah dibahas dalam bentuk Disertasi oleh Prijohoetomo pada tahun 1934. Dalam Disertasi tersebut dikemukakan perbandingan antar kitab Nawaruci dengan kitab Dewaruci. Simpulannya, bahwa kitab Nawaruci itulah yang menjadi sumber dari lakon Dewaruci yang semakin populer dalam dunia pewayangan Singgih Wibisono dalam Purwadi, 2002:18. Serat Nawaruci banyak mengandung unsur Hindu, sedangkan Serat Dewaruci mulai ditambah dengan unsur Islam. c. Dewaruci Jarwa Pada abad ke-18, yaitu sekitar tahun 1796, pujangga Yasadipura I menggubah teks Dewaruci tembang gedhe yang bercorak Hindu-Budha ke dalam Serat Dewaruci macapat dengan berbahasa Jawa Baru dan mengandung nafas Islam Haqq dalam Purwadi, 2002:18. Teks Serat Dewaruci macapat karya Yasadipura I tersebut diterbitkan oleh Mas Ngabehi Kramaprawira dengan pencetakan Van Dorp di Semarang pada tahun 1870, 1873, 1880 dengan huruf Jawa Marsono dalam Purwadi, 2002;18. Isi teks Dewaruci macapat dan Dewaruci tembang gedhe pada dasarnya sama yaitu mengisahkan tekad perjalanan bima dalam mencari air suci tirtapawitra yang diperintahkan gurunya, begawan Durna. Cerita ini menggambarkan lika-liku perjalanan manusia dalam menuju kesempurnaan hidup untuk menemukan identitas dirinya Marsono dalam Purwadi, 2002:19. Cabang Bagian Bahasa atau Urusan Adat-Istiadat dan Cerita Jawatan Kebudayaan Departemen PPK Yogyakarta pada tahun 1960 menerbitkan kitab Dewaruci berbahasa Indonesia yang merupakan gubahan dari serat Dewaruci jarwa sekar macapat Yasadipuran Marsono dalam Purwadi, 2002:20. Adhikara pada tahun 1983 menerjemahkan cerita Dewaruci dengan menggunakan bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh penerbit ITB tahun 1984. Adhikara menyatakan karya tersebut merupakan terjemahan tulisan pujangga Yasadipura I pada tahun 1803, tetapi terjemahan ini tidak disertai dengan suntingan teks, analisis, dan interpretasi Purwadi, 2002:20. Prawiradiwara di Yogyakarta pada tahun 1945 menyalin suluk Dewaruci berwujud sekar macapat dengan tulisan tangan. Serat ini terdiri dari lima pupuh. Pupuh I = 18 pada, pupuh II = 44 pada, pupuh III = 18 pada, pupuh IV = 19 pada dan pupuh V = 39 pada. Serat karya Prawiradiwara ini juga merupakan modifikasi serat Bimasuci karya Yasadipura I Marsono dalam Purwadi, 2002:20. d. Serat Bimasuci Kidung Basa Mardawa Balai Pustaka pernah menerbitkan Serat Bimasuci Kidung Basa Mardawa pada tahun 1979. Induk serat Bimasuci ini berasal dari gubahan Kyai Yasadipura I. penyalinannya disertai pengantar dengan tahun sengkalan: niring sikara wiku tunggal atau tahun 1720 pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana IV. Penyalinan pertama kali dengan sengkalan: Muluking her pangandikane sang aji atau tahun 1776, masih zaman sunan PB IV. Penyalinan kedua kalinya dengan pengantar sengkalan: rasa pandhita sabda ji atau tahun 1776 pada masa pemerintahan sunan PB VII Purwadi, 2002:21. Kedua serat Bimasuci itu masih ditulis dalam aksara Jawa. Tapi saat ini, telah dialihaksarakan ke dalam huruf latin yang diteliti oleh Tanaya dengan sengkalan: Kalepasaning buddhi nembus pangunggal atau tahun 1910. Cerita Bimasuci berisi tentang ilmu kasampurnan, dapat dijumpai dalam serat Purwawasana gubahan Kapujanggan Surakarta tahun Kawi Jumakir 1826 dengan sengkalan: raksa mulat esthine maring pribadi. Cerita Bima muksa pada zaman Karimataya dan Bima berwenang membuka alam gaib juga dibicarakan dalam serat Purwawasana Purwadi, 2002:21. Lakon Bimasuci di pedalangan ringgit purwa terbitan Surakarta diciptakan pada awal abad ke-20. Lakon Bimasuci yang ditambahi tokoh burung gemak, perkutut dan pelatuk dapat dijumpai dalam serat suluk Bimasuci, Dewaruci gubahan tahun Alif 1827 dan Dewaruci tahun Be 1872 Purwadi, 2002:22. Ki Manteb Soedarsono menciptakan pakem pedalangan lengkap dengan judul lampahan Dewaruci dan lampahan Bimasuci. Untuk pakem pedalangan sejenis, Soekatno juga membuat lampahan Bimasuci yang diterbitkan oleh Cendrawasih Surakarta. Penerbit ini juga menghimpun wejangan, wewarah, bantah, cangkriman, piwulang kaprajan Marwanto dalam Purwadi, 2002:22. Hal yang perlu diperhatikan dari versi Dewaruci dan Nawaruci adalah “Dilihat dari lakon wayang komposisi Serat Dewaruci lebih baik karena ada klimaks. Sebelum Werkudara mendapat pelajaran dari Dewa Ruci dan masuk ke dalam tubuhnya, ia harus mengalami dua kali percobaan ialah berperang melawan raksasa dan kemudian berperang melawan naga di tengah samodra” Poerbatjaraka dalam Sudewa, 1991. Sudewa menerangkan “…bahwa Serat Dewaruci disusun pada zaman pemerintahan Paku Buwana IV ketika Yasadipura mempunyai kedudukan sebagai pujangga terkemuka” 1991:345. Pada abad ke-18, yaitu sekitar tahun 1796, Yasadipura I menggubah teks Dewaruci tembang gedhe ke dalam serat Dewaruci macapat” Hagg dalam Purwadi, 2007:13. Oleh karena itu, penulis memilih cerita Dewaruci karya Yasadipura I sebagai hipogram dari puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Hubungan intertekstual atau hipogramatik seringkali bukan merupakan sebuah proses kesadaran atau kesengajaan dari seorang penyair. Lintasan-lintasan peristiwa, pengalaman, dan perenungan, merupakan potongan-potongan kejadian yang kabur hubungannya antara satu dan yang lain, dan sebuah judul yang tiba- tiba terlintas dalam pikiran penyair untuk dijadikan sebagai judul sajak bisa saja merupakan potongan sebuah teks karya orang lain. Untuk memberi makna sebuah karya sastra, prinsip intertekstualitas perlu diterapkan, yaitu dengan membandingkan antara suatu karya sastra dan hipogramnya. Karya sastra yang menjadi hipogram diserap dan ditransformasikan ke dalam teks sastra sesudahnya yang menunjukkan adanya kesamaan. Dengan menyejajarkan sebuah teks dengan teks lain yang menjadi hipogramnya maka teks tersebut menjadi jelas, baik teks tersebut mengikuti atau menentang hipogramnya Rachmat Djoko Pradopo, 2002:55. Penulis mengawali penelusuran hubungan intertektual atau hipogramatik dengan menyertakan ikhtisar Bima dalam buku Ensiklopedia Wayang Indonesia yang ditulis oleh Tim Penulis Sena Wangi, kemudian dilanjutkan dengan tahap penelusuran hubungan intertekstual atau hipogramatik puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci dengan cerita Dewaruci. Untuk mempermudah proses penelusuran dengan cerita Dewaruci, penulis menggunakan cerita Dewaruci karangan gubahan Yasadipura I dalam buku Kitab Dewaruci, yang disadur dan di-Indonesiakan oleh Cabang Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan di Yogjakarta. Cerita tentang tokoh Bima ini terdapat dalam buku Ensiklopedi Wayang Indonesia yang disusun oleh Tim Penulis Sena Wangi tahun 1999 halaman 294. Kebulatan hati dan sifatnya yang pantang menyerah dibuktikan Bima waktu Pandita Drona menyuruhnya mencari Tirta Pawitrasari. Selain selalu menjunjung tinggi perintah gurunya, Bima sendiri memang bertekad tidak akan berhenti berusaha sebelum apa yang dicarinya diperoleh. Dalam pengembaraan mencari air suci Pawitrasari itu Bima harus menghadapi berbagai rintangan dan tantangan. Semuanya dihadapi dan ditanggulanginya. Di antaranya, di Gunung Candramuka ia harus melawan dua raksasa sakti bernama Rukmuka dan Rukmakala. Setelah kedua penghalang itu dikalahkan, mereka berubah ujud menjadi Batara Endra dan Batara Bayu. Sewaktu harus pergi ke Teleng Samudra, Telengsamudra artinya Pusat Samudra atau Inti Samudra, ia dicegat seekor ular naga bernama Nawawata atau Nemburnawa. Dengan kuku Pancanaka naga itu dibunuhnya. Akhirnya Bima berjumpa dengan Dewaruci, seorang dewa kerdil yang amat mirip dengan dirinya. Dewa Bajang itu menyuruh Bima masuk ke dalam telinganya. Walaupun perintah itu tidak masuk akal, karena Bima percaya, ia menurutinya. Di dalam tubuh Dewa Ruci yang kecil itu, Bima justru dapat menyaksikan alam semesta yang maha luas. Dewa Ruci memberinya berbagai wejangan berharga yang bermanfaat untuk mengenali diri pribadinya, dan mengerti akan makna hidupnya. Bima mempunyai banyak nama, dan tiap nama-nama tersebut mempunyai makna. Makna Bima mengacu pada salah satu tokoh Pandawa, yaitu Bima. Tokoh Bima dalam pewayangan mempunyai banyak nama antara lain: i Bima, maknanya sangat setia pada budi satu yang luhur. kalau sudah menjadi tekadnya, siapa saja akan sulit mempengaruhinya, bahkan untuk mencapai cita-citanya itu, meskipun sampai mati akan ditempuh juga. Orang Jawa mengibaratkan Bima kalau sedang kaku bisa untuk teken atau tongkat, kalau sedang kendur bisa untuk dhadhung atau tali. ii Raden Arya Sena, maknanya ketika lahirnya masih berwujud bungkus, dan dipecahkan oleh Gajah Sena di hutan Minangsraya. iii Bratasena, maknanya pamungkas laku. Dia sering membereskan berbagai masalah, rawe-rawe rantas malang-malang putung, dengan tetap berlandaskan kebenaran dan keadilan. iv Bimasena, maknanya panglima yang memimpin perang, jenderal atau senapati yang menjadi handalan Pandawa ketika sedang bertemu dengan musuh-musuhnya. v Jodipati, maknanya raja prajurit yang bisa dihandalkan karena kesaktiannya dalam menguasai ilmu perang. Bima tidak mau menaklukan musuh dengan tipu muslihat. vi Jayalaga, maknanya unggul dalam setiap peperangan, kalau sudah berperang dia malu dikalahkan, hanya saja kemenangannya tidak semata- mata untuk kenikmatan sendiri. vii Kusumayuda, maknanya menjadi bunga, bintang, pemenang dalam setiap peperangan. Bima berperang dengan segenap kelincahan dan keanggunannya. viii Kusumadilaga, maknanya dia selalu menjadi bintang dan kembang dalam gelanggang apa saja, termasuk pertempuran dan persidangan. Pendapat- pendapat yang dikemukakan Bima selalu mendasar dan argumentatif. ix Wayuninda, maknanya suka angin. Bila sedang mengeluarkan tenaga selalu disertai angin topan yang hebat. Angin topan merupakan salah satu senjata bawaan Bima. x Bayuputra, karena Bima juga menjadi salah satu murid dan putra Bathara Bayu. Saudara seperguruan lain yang juga terkenal adalah Anoman yang menjadi panglima perang Prabu Rama. xi Gandawastratmaja, karena dia pernah diangkat menjadi putra Prabu Gandawastra yang paling terkasih. xii Pandhusiwi, karena putra Pandhu Dewanata raja di Astina. xiii Kunthisunu, karena putra Dewi Kunthi Talibrata, seorang Ibu yang berhasil mendidik anak-anaknya, tanpa pilih kasih antara anak kandung dengan anak tiri. Sumasaputra dalam Purwadi, 2007:98—100. Cerita Dewaruci terdapat beberapa macam redaksinya. Untuk memudahkan proses penelusuran, penulis memilih salah satu cerita Dewaruci yang dikarang digubah oleh Yasadipura I dalam yaitu Kitab Dewaruci, yang disadur dan di-Indonesiakan oleh Cabang Bagian Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan di Yogjakarta. Alasan penulis mengambil cerita Dewa Ruci tersebut yaitu sebagaimana keterangan yang terdapat dalam bagian Pendahuluan buku itu, “Karena mengenai tjeritera Dewarutji Tembang Matjapat itu ada beberapa macam redaksinja, maka kami mengambil jang kami pandang terbaik, jaitu jang dikarangkan oleh almarhum Kjai Ngabehi Jasadipura I dari Surakarta” Prawiraatmadja, 1954:4. Dalam analisis penulis menyertakan biodata ringkas para penyair. Hal ini untuk membuktikan anggapan penulis bahwa penyair-penyair tersebut merupakan penyair yang mempunyai nama besar di dunia perpuisian Indonesia modern. 1. Hubungan Intertekstual atau Hipogramatik Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga dan Dewa Ruci dengan Cerita Dewaruci a. Puisi Bima BIMA karya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Matinggo Di dalam pengelanaannya dilihatnya tiada yang kekal pada bahasa yang tinggal mati Hutan jati hilang kumandangnya dan sudut kota habis diperkata juga langit telah hangus terbakar di nyala matahari Maka diputuskannya untuk meninggalkan tanah kapur dan tidur dengan naga yang tak jadi dibunuhnya di samudra angan-angan Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi -- makhluk kecil itu berhuni di lubuk hati Matanya cerah seperti punya bocah yang hidup abadi Subagio Sastrowardoyo dilahirkan di Madiun, Jawa Timur, 1 Februari 1924, meninggal di Jakarta 18 Juli 1995. berpendidikan HIS di Bandung dan Jakarta, HBS, SMP, SMA di Yogyakarta, Fakultas Sastra UGM tamat 1958, dan meraih M.A. dari Departement of Comparative Literature, Universitas Yale, AS 1963. Pernah menjadi Ketua Jurursan Bahasa Indonesia Kursus B-1 di Yogyakarta 1954-1958, kemudian mengajar di Fakultas Sastra UGM 1958- 1961, SESKOAD Bandung 1966-1971, Salisbury Teachers College, Australia Selatan 1971-1974 dan Universitas Flinders, Australia Selatan 1974-1981. Di samping pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta 1982-1984, SS adalah anggota kelompok kerja sosial budaya Lemhanas dan Direktur Muda Penerbitan PN Balai Pustaka 1981-1994. Cerpennya, “Kejantanan di Sumbing”, mendapat Hadiah Pertama majalah Kisah tahun 1995; sajaknya, “Dan Kematian Makin Akrab”, meraih hadiah majalah Horison untuk sajak-sajak yang dimuat di majalah itu tahun 19661967; dan kumpulan eseinya, Sastra Hindia Belanda dan Kita 1983, memperoleh Hadiah Sastra DKJ 1983. Karyanya yang lain: Simphoni ks, 1957, Kejantanan di Sumbing kc, 1965, Bakat Alam dan Intelektualisme ke, 1972, Keroncong Motinggo ks, 1975, Buku Harian ks, 1979, Sosok Pribadi dalam Sajak s, 1980, Hari dan Hara ks, 1982, Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan ke, 1989, Sekilas Soal Sastra dan Budaya ke, 1992, Dan Kematian Makin Akrab ks, 1995. Studi mengenai sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo: Tim Peneliti Fakultas Sastra UGM, Memahami sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo 1978 dan Wahyu Wibowo, Menyingkap Dunia Subagio Sastrowardoyo. Tahun 1970 ia menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI untuk kumpulan sajaknya, Daerah Perbatasan 1970. Tahun 1991 menerima Hadiah Sastra ASEAN. Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada 18 Juli 1995 Pamusuk Eneste, 2001: 225. Subagio melalui puisi Bima menggambarkan perjalanan hidup tokoh Bima dalam menjalani kehidupan, menyelami dan memaknainya. Tokoh Bima dalam mengembara atau berkelana bertujuan untuk mencari ilmu yang dapat membawa ke arah kemampuan yang melebihi kebanyakan orang. Rangkaian perjalanan hidup Bima tersebut terjadi semenjak Bima muda hingga dewasa. Baris pertama puisi tersebut “Di dalam pengelanaannya” mempunyai kaitan dengan cerita Dewa Ruci. Bima berguru kepada salah satu guru, yaitu guru Durna. Dalam masa tersebut Bima diberitahu oleh gurunya, Durna, untuk mencari air kehidupan yang dapat membuat Bima menjadi sempurna hidupnya. Hal itu seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 1 paragraf 1 dan 11. Sjahdan tatkala Bima, ksatria Pandawa jang kedua, mendjadi siswa Resi Druna, ia disuruh olehnja mencari Tirtaprawira, air sutji jang dapat menjutjikan hidupnja. “Wahai anakku”, demikianlah Druna, “Hendaklah kamu pergi mencari air sutji Tirtaprawira, jang akan menyucikan hidupmu. Apabila terdapat, kamu akan mendjadi bersih, tak bertjatjat dan akan menguasai hidup. Dengan itu kamu mempunjai wasiat sempurna. Di seluruh dunia tidak ada makhluk jang sepadan dengan kamu. Kamu dapat melindungi serta memberi kebahagiaan kepada orang tuamu, kebahagiaan jang terbesar dalam tribuana ketiga dunia dan kekal adanja”. Bima dengan keteguhan dan ketetapan hati memutuskan untuk mencari air kehidupan. Bima meninggalkan keluarga dana negaranya untuk mencari air kehidupan tersebut. Maka diputuskannya untuk meninggalkan tanah kapur Ketetapan hati Bima tidak dapat diubah lagi. Bima tetap ingin mencari air kehidupan tersebut. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 5 paragraf 1 , 11 dan 16. Dalam pada itu di negeri Ngamarta suasana duka cita sedang meliputi istana. Raja Judistira dan saudara Pandawa lain-lainnja sangat bersedih, karena ditingggalkan Bima. Mereka mengerti, bahwa Ngastina ingin memusnahkan dia, bahkan seluruh Pandawa. Tetapi Bima tidak menghiraukan segala petundjuk baik. Ia masih djuga meneruskan kemauannja, berguru kepada pendeta Druna jang memihak Ngastina. Wrekodara menjahut: “Tidak usah diadakan pesta. Saja tidak dapat menunggu lama. Segera saja akan berangkat lagi. Saja hanja akan datang untuk memberitahukan tentang kepergianku selandjutnja. …….. Wrekodara tak dapat ditahan. Semua jang memegangnja dilemparkannja. Bima keluar dari istana, terus berangkat menudju ke samudera. Bima pergi menuju ke samudera, terjun ke dalam samudera dan akhirnya bertemu dengan seekor naga. Bima pun berkelahi dengan naga tersebut. seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 6 paragraf 1, dan bagian 7 paragraf 1, 2, 4, 7, 8, 9, 10, dan 11. Bima telah meninggalkan ibu kota Ngamarta dan melandjutkan perdjalanannja melalui dusun-dusun. Penduduk jang didjumpainja takut serta heran melihat Wrekodara berdjalan tjepat serupa naga murka. Karena pesat dijalanja seakan-akan Bima tak menapak tanah dan dalam beberapa saat sadja ia telah djauh perdjalanannja. ………. Tibalah Bima dipantai. Melihat kedahsjatan samudera, sekedjap mata timbullah rasa ragu-ragu. Teringatlah ia akan peringatan saudara- saudaranja. Segala perkataan Pendeta Druna adalah tipu muslihat belaka, jang mengandung maksud untuk memusnahkan Bima dan selandjutnja seluruh Pandawa. Tetapi Bima adalah seorang ksatria. Ia telah melahirkan kesanggupannja untuk menganut petundjuk gurunja. Bagi seorang ksatria berat sekali untuk mengingkari djandji. Itulah sebabnja, maka segera timbullah keputusannja jang tegas. Lebih baik hantjur lebur disamudera dari pada mundur, kembali ke negeri Ngamarta. Wrekodara menjingsingkan kain serta tjelananja dan terdjun ke air. Ombak samudera mengempas-empas dipahanja, gelombang mentjampak dimukanja Tetapi pertjobaan Sang Dewata terhadap kesetiaan Bima belum habis djuga. Wrekodara baru sadja melandjutkan beberapa langkah, timbullah kesukaran baru. Dari djauh terdengar suara mendesis-desis serta mengikik-kikik. Wrekodara melihat sesuatu benda hitam jang terapung-apung di air, jang makin dekat makin besar bentuknja. Sebuah pulaukah itu, atau sebuah perahu jang tergulingkah? Tetapi suara jang terdengar semakin gemuruh dashjat. Setelah dekat sekali ternjatalah bahwa jang dilihat Bima itu adalah seekor ular raksasa, jang menjembur-njemburkan bisa. Kedua belah matanja membelalak merah, mengkilat menjala-jala seolah-olah kan membasmi Bima. Gigi taring terlihat berkilau-kilau sebagai pisau, menggerut-gerut. Wrekodara tak dapat mentjamkannja lama, karena naga raksasa itu setjepat kilat menggulat dan membelit bulat tubuhnja, sambil menghambur-semburkan bisa ke mukanja. Wrekodara merasa akan menemui adjalnja, bingung mentjari akan untuk meloloskan diri. Makin keras kemauannja untuk melepaskan diri, makin kuat pula naga raksasa membelit tubuhnja. Bima hampir tak dapat bernafas lagi. Bima dengan seluruh kekuatan dan kesaktiannya melawan naga tersebut. Dalam puisi Bima terdapat larik yang menyatakan bahwa Bima tidak jadi membunuh naga yang ditemuinya. yang tak jadi dibunuhnya di samudera angan-angan Hal tersebut berbeda dengan cerita Dewaruci, yang mana Bima pada akhirnya berhasil membunuh naga yang hampir membunuhnya. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 7 paragraf 14. Tetapi………..pada saat Bima tidak mempunjai harapan untuk hidup itu, datanglah pertolongan dari Atas. Sekonjong-konjong ia teringat akan kuku wasiatnja Pantjanaka. Seketika itu djuga Bima mengumpulkan segala kekuatan jang masih ada padanja. Segera ditusuknjalah naga raksasa dengan Pantjanakanja dan dirobek- robeknja. Darah berhambur-hamburan ke mana-mana, bagaikan hudjan. Sedjauh penglihatan mata laut tampak merah. Naga raksasa telah mati. Samudera mendjadi terang. Bima telah berhasil mengalahkan sang naga. Bima melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampai pada alam yang sunyi di mana di situ terdapat makhluk kecil. Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi -- makhluk kecil itu berhuni di lubuk hati Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 1 dan 2. Sementara itu Sang Bima terus melandjutkan perdjalanannja. Sampailah ia sudah di tengah-tengah samudera. Suasana pada waktu itu tenang . Udara djernih. Angin sepoi-sepoi menghembus silir-semilir. Wrekodara mengisap udara segar. Kebingungannja semakin reda. Achirnja lenjap sama-sekali. Tenang keadaan alam, tenang kalbu Bima. segala sesuatu menundjukkan akan datangnja saat jang membawa kebahagiaan bagi Wrekodara. Dengan tidak diketahui dari mana datangnja sekonjong-konjong Bima berhadapan dengan seorang dewa kerdil, Dewarutji namanja. Tampaknja hanja sebagai anak berdjalan-djalan bermain-main. Dengan adanya penelusuran puisi dengan cerita Dewaruci di atas semakin jelaslah gambaran keteguhan dan ketetapan hati Bima untuk mencari air kehidupan sebagaimana yang diperintahkan oleh gurunya, yaitu Durna. Bima meninggalkan keluarga dan negaranya. Dalam perjalanan berikutnya Bima menuju samudera dan masuk ke dalam samudera, hingga bertemu dengan seekor naga. Penyair puisi, Subagio, menggambarkan kehadiran tokoh Bima dalam puisi tersebut sebagai tokoh manusia yang penuh keteguhan dan keyakinan dalam menjalani dan memahami kehidupan. Terdapat perbedaan antara puisi dengan cerita Dewaruci , yaitu pada larik puisi tidak mengalahkan atau membunuh naga tersebut, hal itu berbeda dengan yang ada dalam cerita Dewaruci. Dalam cerita Dewaruci, dengan keberanian dan ketangguhan, Bima berhasil membunuh naga yang melawannya. Pada akhirnya, Bima berhasil membunuh naga tersebut. Kisah selanjutnya kembali terdapat persamaan antara kisah yang dikandung puisi dengan cerita Dewaruci. Bima dalam puisi ini adalah suatu bentuk yang mengikuti dan menentang konvensi dari hipogramnya yaitu cerita Dewaruci. b. Puisi Saudara Kembar SAUDARA KEMBAR karya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Matinggo tiba-tiba sebagai kilat cermin di tangannya mengingatkan dia kepada lubuk laut lain di mana ia pernah menjenguk dan berjumpa dengan gambar muka seperti saudara kembar begitu serupa tercipta dari ilham yang sama ia tidak bertukar kata hanya tahu ia ditunggu sejak dulu rindu yang dahsyat lalu membuatnya berpaling Puisi Saudara Kembar menggambarkan keadaan tokoh Bima untuk mengingatkan kembali kejadian yang dialaminya. Kejadian yang mengingatkan tokoh Bima untuk selalu berinterospeksi diri terhadap perbuatan yang telah dilakukan dalam kehidupannya. Bima teringat akan peristiwa atau kejadian yang menimpanya, ketika tokoh Bima berada di dasar samudera. mengingatkan dia kepada lubuk laut lain Kandungan larik puisi tersebut seperti yang ada dalam cerita Dewaruci. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 1. Sementara itu Sang Bima terus melandjutkan perdjalanannja. Sampailah ia sudah di tengah-tengah samudera. Di tempat tersebut Bima bertemu dengan sesosok makhluk yang mempunyai bentuk dan rupa yang sama dengan Bima. Bima bertemu dengan Dewa Ruci di mana ia pernah menjenguk dan berjumpa dengan gambar muka seperti saudara kembar begitu serupa tercipta dari ilham yang sama Bima bertemu dengan sosok yang mempunyai bentuk sama dengan dirinya tetapai dalam ukuran yang kecil. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 2 dan 5. Dengan tidak diketahui dari mana datangnja sekonjong-konjong Bima berhadapan dengan seorang dewa kerdil, Dewarutji namanja. “Orang apakah ini”, fikir Wrekodara, “besarnja hanja sekelingkingku. Sikapnja sangat sombong. Ia sudah tahu namaku”. Dewarutji meneruskan katanja: Di dalam kandungan puisi, setelah bertemu dengan Dewa Ruci, Bima hanya diam saja tidak mengerti artinya. ia tidak bertukar kata hanya tahu ia ditunggu sejak dulu Bima tidak tahu kejadian yang tiba-tiba dialaminya. Kedatangan Bima di dasar samudera telah ditunggu oleh Dewa Ruci. Dewa Ruci pun tahu siapa sebenarnya Bima. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 3—9. “Hai, Wrekodara”, tegurnja, “untuk apa kamu datang kemari? Apakah maksudmu? Tempat ini adalah sunji senjap, tak berisi apapun djuga. Makanan tak ada, pakaian tak ada. Saja hanja makan, apabila ada daun melajang djatuh di mukaku”. Mendengar teguran itu sesaat Bima tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Ia keheran-heranan, bahwa di tempat sesunji itu ada seorang katik tak berkawan sama sekali. “Orang apakah ini”, fikir Wrekodara, “besarnja hanja sekelingkingku. Sikapnja sangat sombong. Ia sudah tahu namaku”. Dewarutji meneruskan katanja: “Ketahuilah bahwa tempat ini adalah penuh mara bahaja. Kenjataan disini djauh berlainan dengan angan-anganmu. Kamu hanja bertemu dengan kesunjian sadja, lain tak ada. Kamu tidak sajang kepada djiwamu, Bima”. Wrekodara semakin mengerti, bahwa ia berhadapan dengan seorang dewa. Sikapnja diperbaiki dan dengan sangat sopan ia bersembah: “Ja tuan, hamba jakin bahwa tuan tak chilaf akan maksud kedatangan hamba disini”. “Hai Bima”, sahut Sang Resi, “aku tidak heran melihat keberanian serta ketabahan hatimu, karena aku tahu silsilahmu. Kamu adalah keturunan Sang Dewataradja. Sang Jang Guru berputera Sang Jang Brama, jang menurunkan segala radja, djuga ajahmu Radja Pandu adalah keturunannja. Adapun ibumu adalah keturunan Sang Jang Wisnu. Ibumu Kunti dengan ajahmu berputera tiga orang. Kakakmu Radja Judistira putera jang sulung, kamu jang kedua, Ardjuna adalah jang ketiga. Nakula dan Sadewa adalah putera Madrim, ibumu kedua. Lengkap lima orang djumlahnja, kamu semua adalah Pandawa, karena keturunan Pandu”. Pertemuan dengan Dewa Ruci adalah hal yang sangat diinginkan oleh Bima, dan Dewa Ruci pun juga suka atau senang kepada Bima. Hak itu dalam puisi diyatakan sebagai “rindu yang dahsyat”. Dengan kerinduan yang terjadi pada diri keduanya, Dewa Ruci memberikan petuah dan sesuatu yang diinginkan oleh Bima. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 10—17. Wrekodara semakin besar pengharapannja akan mendapatkan apa jang ditjarinja. “Bima anakku”, demikian landjutnja sabda Sang Resi “kamu datang ke mari karena disuruh oleh Pendeta Druna mentjari air sutji Tirtapawitra. Perintah gurumu ini berat sekali, karena kamu tak tahu djalannja. Sungguh sukar hidup di dunia. Anakku, djanganlah kamu pergi, apa bila belum mengetahui tempat tudjuanmu. Djanganlah makan makanan, jang belum pernah kamu makan. Djanganlah mengenakan pakaian, djika kamu belum tahu namanja. Kamu dapat mengetahui barang sesuatu dengan djalan bertanja. Orang dapat mendjalankan barang sesuatu dengan djalan meniru lebih dulu, achirnja bertindak sendiri. Djanganlah bersikap sebagai si bodoh jang datang dari gunung ingin membeli emas kepada seorang pandai emas, diberi kertas kuning disangkanja emas indah. Demikian pula orang berbakti. Apabila belum mengetahui tempat jang diberi bakti, pasti mudah saat djalannja, mudah ditipu”. Wrekodara menerima petuah-petuah itu semua dengan senang hati, tetapi disamping ini merasa djuga akan kekeliruannja, melakukan perintah dengan tidak mengerti tempat tudjuannja. “Tuan”, sembahnja “sudi apalah kiranja tuan mengatakan kepada hamba, siapakah tuan ini dan mengapa tuan hanja seorang diri sadja”. “Nama saja Dewarutji”, djawab Sang Batara. “Ja, tuan”, sembah Bima selandjutnja, “djika demikian hamba mohon, sudi apalah kiranja tuan memberikan kepada hamba segala sesuatu jang hamba perlukan. Hamba masih seperti binatang liar, tidak mempunjai pengetahuan sama sekali, lebih-lebih tenang berbakti. Hamba belum mengerti pula, apakah badan sutji itu sesungguhnja. Hamba merasa masih muda bodoh bebal, mendjadi tjelaan dunia. Seperti keris jang tidak bersarung. Apabila bertjakap-tjakap tidak mengingat tempat dan suasana”. Kemudian Bima disuruh untuk masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Dewa Ruci memberikan wejangan dan keterangan dari apa yang dilihat oleh Bima. Dengan bentuk kerinduan Bima terhadap apa yang diinginkannya, Bima mendengarkan apa yang Dewa Ruci katakan. Bima pun mendapatkan kenikmatan dan kebahagian atas itu semua. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 18—49. Dengan ramah-tamah, penuh rasa kasih mesra Dewarutji mendjawab : “Anakku Bima, lekaslah kamu masuk kedalam tubuhku” Wrekodara mendengar sabda Sang Dewarutji amat terkedjut. Sambil tertawa ia bersembah : “Maaflah, tuan bagaimanakah perintah tuan ini dapat hamba djalankan. Tuan bersifat kerdil, sedang hamba besar seperti gunung. Bagaimanakah hamba dapat masuk kedalam tubuh tuan, kelingking hamba sadja tak akan dapat masuk”. “Bima”, sahut Sang Dewa Katik, “manakah lebih besar, kamu atau dunia ini. Sedangkan dunia ini dengan segala isinja, dengan gunung- gunungnja, dengan seluruh samuderanja, dengan rimba hutannja, semua dapat masuk dan tak akan sesak”. Mendengar keterangan demikian ini Bima merasa heran tetapi takut lalu bersembah : “Baiklah tuan hamba akan masuk kedalam tubuh tuan”. Dewarutji memiringkan kepala sambil bersabda : “Di sanalah djalannja. Masuklah melalui telinga kiri ” Wrekodara mendekati telinga kiri Sang Batara. Sekonjong- konjong lubang telinga tampak sebagai pintu gerbang terbuka lebar. Dengan tidak ragu-ragu lagi Bima masuk ke dalam tubuh Sang Dewarutji. Tampaklah di hadapan Bima samudera jang luas sekali, hingga seakan-akan tak bertepi sama sekali. Hanja tjakrawalalah jang merupakan batas kelilingnja, kelihatan djauh sajup-sajup dimata. Sang Dewarutji berkata : “Wrekodara, apakah jang kamu lihat sekarang?” Bima bersembah : hamba tak melihat apapun djuga, ketjuali pandangan jang sangat djauh tak terbatas. Hamba merasa berdjalan di angkasa, jang luas bukan buatan. Hamba sangat bingung tidak mengetahui utara, selatan, timur dan barat. Demikian pula kiri kanan, di muka, di belakang, di atas dan di bawah. Bagi hamba segala-galanja sama, tak ada perbedaannja sama sekali”. “Anakku Bima”, demikian Sang Dewarutji, “djanganlah kamu takut”. Dengan utjapan ini Sang Batara sekonjong-konjong menampakan diri di muka Wrekodara. Sang Dewarutji kelihatan bersinar berkilau-kilau. Pada saat itu djuga Bima tidak bingung lagi, telah dapat mengenal segala djurusan. Ia melihat Sang Surja lagi diangkasa. Hati Wrekodara mendjadi tenang kembali, sekalipun ia merasa berada di dunia terbalik. Dewarutji bersabda lagi : “Bima, silakan kamu melihat-lihat. Apakah jang sekarang tampak di mukamu” ? “Ja, tuan”, sembah Bima, “pada saat ini hamba melihat pemandangan tjatur warna : hitam, merah, kuning dan putih. Adapun jang tadi tampak, sudah tidak kelihatan lagi dan hamba tidak tahu namanja”. “Ketahuilah, Bima”, djawab Sang Batara, “jang kamu lihat pertama kali adalah tjahaja mengkilat, pantjamaja namanja. Pantjamaja itu adalah hati, jang mendjadi pemuka badan dan disebut mukasifat artinja hati jang membawa kepada sifat jang luhur, sifat jang sedjati. Hati ini selalu mendjadi petundjuk djalan. Dari sebab itu ikutilah pantjamaja itu. Tunduklah kepada larangannja. Djanganlah ragu-ragu akan pimpinannja. Tjamkanlah sifat-sifatnja, kekuasaannja serta chasiatnja. Petundjuk pantjamaja itu selalu menudju ke arah jang sedjati”. Wrekodara senang sekali mendengarkan wedjangan Sang Batara, karena sangat haus kalbunja akan air sutji itu, bagaikan kuntum bunga jang kena sinar matahari mulai kembang. Dewarutji melandjutkan sabdanja : “Adapun tjatur warna jang kamu lihat, merah, hitam, kuning dan putih itu adalah bahaja-bahaja jang terdapat dalam kalbu manusia dan jang menudju kedunia dengan segala isinja. Warna merah, hitam dan kuning itu merupakan penghalang bagi manusia dalam mendjalankan perbuatan baik. Barang siapa dapat melepaskan diri dari pada ketiga bahaja itu akan bersatu padu dengan Sang Gaib, ketiga-tiganja itu adalah musuh para pertapa serta mendjadi perintang tjipta karsa jang luhur, jaitu untuk memperoleh perpaduan tersebut dengan Sang Sukma Mulia. Dari sebab itu hendaklah kamu awas dan waspada akan bahaja-bahaja itu. Ketahuilah kekuasaannja masing- masing. Warna jang hitam itu mempunjai kekuatan besar sekali. Sifatnja mudah marah. Segala sesuatu digusari. Tjaranja marah luar biasa. Warna hitam adalah hati jang selalu menghalang-halangi maksud jang baik. Adapun jang berwarna merah itu pekerdjaannja menutup hati jang awas dan waspada. Segala keinginan jang tidak baik timbul dari padanja. Sifatnja senang marah djuga serta tjemburu. Warna jang kuning selalu merintangi angan-angan dan tindakan jang menudju ke arah keselamatan, sebaliknja setudju dengan perbuatan- perbuatan jang merusak dan membawa kedjurusan kesengsaraan. Hanja warna jang putihlah jang terbaik serta mempunjai sifat-sifat jang luhur : tenang, sutji, tidak banjak bitjara, tetapi banjak kerdja. Berani mendjalankan tindakan utama, tetapi melakukan perbuatan djahat. Warna putih itu adalah hati jang dapat menerima ilham tentang rupa sedjati, memperoleh anugerah luhur dapat bersatu padu kekal dengan Sang Gaib. Tetapi hati putih ini berhadapan dengan musuh jang kuat-kuat jakni hati merah, hitam dan kuning, sedang sihati putih hanja seorang diri sadja. Dari sebab itu perangnja selalu kalah. Tetapi apabila dapat memperoleh kemenangan dan dapat menghantjurkan musuh ketiga- tiganja, akan djadilah perpaduan dengan Sang Gaib. Tidak dengan petundjuk sudah mengetahui djalan ke arah persatuan manusia dan Sang Suksma Kawekas”. Wrekodara semakin sungguh-sungguh tjaranja mendengarkan serta semakin besar hasratnja untuk mengetahui kesudahan hidup dan kesempurnaan perpaduan. Setelah pemandangan empat matjam hilang, tampaklah di muka Bima sebuah njala berwarna delapan. Segera hal ini dimohonkan keterangan kepada Sang Dewarutji. “Ja, tuan”, sembah Bima, “sudi apalah kiranja Sang Dewa memberikan makna tentang pemandangan ini. Diantara delapan warna itu manakah jang sedjati. Ada jang gemerlapan seperti ratna, ada pula jang kelihatan terang samar-samar dan ada djuga jang serupa sinar djamrud”. “Ketahuilah, Bima”, sabda Sang Batara “jang kamu lihat itu adalah persatuan jang sedjati. Segala warna itu sudah ada padamu. Segala warna itu artinja isi alam semesta ini tergambar oleh seluruh tubuhmu, hingga tak ada perbedaan antara manusia sebagai dunia ketjil dengan dunia besar ini. Timur dan barat, utara dan selatan, atas dan bawah, semua mata angin ini terdapat tidak hanja di dunia besar sadja, melainkan djuga di dunia ketjil. Warna merah, hitam dan kuning serta warna putih jang mendjadi hidupnja dunia itupun terdapat dalam kedua-duanja. Apabila sifat-sifat dunia tersebut hilang, akan tak adalah segala jang ada. Sesungguhnja segala sesautu itu terkumpul berupa satu, bukan wanita bukan lelaki, seperti anak lebah, jang tampak bagaikan boneka gading. Lihatlah, Wrekodara, apakah jang tampak di mukamu ” Bima melihat boneka gading, mengkilat gemerlapan. “Ja, tuan”, sembah Bima, “hamba melihat sebuah boneka gading, jang elok gemerlapan : Apakah ini udjud Tirtapawitra, jang hamba tjari ?” “Anakku Bima”, sahut Dewarutji lemah lembut, “boneka itu bukan jang kamu tjari. Adapun jang kamu maksudkan itu adalah sesuatu, jang menguasai segela hidup. Itu tidak dapat kamu lihat, karena tak berudjud dan tak berwarna serta tak bertempat kedudukan. Hanja orang jang waspada dapat mengerti di mana tempatnja, karena hanja menampakkan diri berupa alamat-alamat dan tanda-tanda, jang tak dapat diraba. Adapun boneka gading jang berkilat-kilat bagaikan mutiara itu bernama Sang Pramana, jang mendjadi hidupnja badan, djadi bersatu dengan badan. Tetapi Sang Pramana itu tidak ikut bersusah, apabila manusia bersedih hati, tidak ikut menderita. Tidak ikut makan serta tidur. Kalau Sang Pramana ini terpisah dari manusia, maka tubuh akan tak berdaja lagi, lemah lesu tak berkekuatan sama sekali. Djadi teranglah, bahwa Sang Pramana itu adalah jang berkuasa dalam kehidupan manusia, karena jang membawa hidup manusia. Tetapi, Bima, Sang Pramana itu djuga tidak dapat hidup sendiri, melainkan menerimanja dari Sang Sukma, jang memegang hidup, jang mendjadi inti dari pada dhat zat. Sang Sukma ini ada padamu,sebagai simbar jang tumbuh dipohon-pohonan. Apabila manusia meninggal dunia, maka Sang Pramana ikut hilang djuga, tetapi Sang Sukma tetap ada. Memang Sang Sukma inilah jang bersifat njata”. “Ja, tuan”, sembah Wrekodara seterusnja, “sudi apalah kiranja tuan hamba memberikan keterangan, manakah udjud Sang Sukma, jang njata itu ?”. “Anakku, Bima”, sahut Sang Dewarutji, “itu tidak dapat kamu peroleh dengan kedjasmanianmu. Tjara untuk memperolehnja kadang- kadang mudah, tetapi ada kalanja sukar diduga”. Wrekodara bersembah, “Ja, tuan, hamba mohon, hendaklah tuan memberi wedjangan lebih landjut. Hamba ingin sekali mengetahui hal ini sesempurna-sempurnanja. Hamba ingin sekali memperoleh pakaian rohani jang njata ini. Berikanlah itu kepada hamba, ja tuan. Djanganlah sampai sia-sia kesusah-pajahan hamba. Hamba mempersembahkan hidup mati hamba kehadapan tuan. Apabila tuan hamba tidak melandjutkan wedjangan tuan, hamba tidak akan meninggalkan tempat ini. Hamba telah merasa enak disini. Di sini tidak ada kesusahan dan penderitaan, tidak ada kesukaran dan tidak ada kesakitan, tidak merasa lapar dan tidak memerlukan tidur. Jang ada hanjalah kenikmatan dan kesedjahteraan”. Bima harus meninggalkan tempat tersebut untuk kembali ke tempat asalnya. Bima harus kembali ke negara dan keluarganya karena di situ bukan tempat Bima. Di dalam puisi disebutkan dengan “lalu membuatnya berpaling”. Kandungan tersebut seperti yang ada dalam cerita Dewaruci. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 50, 69, dan 75. “Hai, anakku”, sabda Sang Dewata, “kamu tidak boleh menetap disini sebelum kamu meninggal dunia”. Setelah Sang Dewatarutji menjampaikan segala sabdanja, Wrekodara keluar kembali ke alam biasa, tetapi pada saat itu djuga Sang Guru minta diri dengan utjapan : “Nah, selamat tinggal, anakku”. Pulanglah Wrekodara ke negeri Ngamarta. Dengan singkat Bima telah tiba di negerinja dan bertemu dengan seluruh keluarga Pandawa dalam keadaan selamat. Suasana gembira raja meliputi seluruh keraton Ngamarta. Mereka mengadakan pesta perajaan besar-besaran. Semuanja bersuka tjita, karena Sang Bima telah kembali dengan selamat. Judul puisi ini adalah ”saudara kembar”, saudara kembar yang dimaksudkan adalah menunjukkan kepada tokoh yang mempunyai bentuk rupa sama tetapi lebih kecil dari Bima, yaitu Dewa Ruci, yang dijumpai Bima di dasar samudera. Puisi tersebut menyiratkan makna kehadiran tokoh Bima sebagai tokoh yang dapat berinterospeksi diri atas perbuatan yang telah dilakukan. Bima menjadi seperti itu karena teringat akan peristiwa penting yang pernah dialaminya. Bima teringat akan kejadian yang dialaminya yaitu ketika berada di daasar samudera da berjumpa dengan Dewa Ruci. Di sana Bima mendapat wejangan tentang makna kehidupan. Kemudian, Bima pun harus kembali ke asalnya teringat untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Tokoh Bima menurut penyair puisi, Subagio, merupakan manusia yang ingat akan hidup dan tanggung jawabnya. Bima dalam “Saudara Kembar” merupakan yang mengikuti dan mengukuhkan konvensi sastra sesuai dengan kisah Bima dalam cerita Dewaruci. c. Puisi Telinga TELINGA karya Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni “Masuklah ke telingaku,” bujuknya. Gila: ia digoda masuk ke telinganya sendiri agar bisa mendengar apa pun secara terperinci – setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis yang menciptakan suara. “Masuklah,” bujuknya. Gila Hanya agar bisa menafsirkan sebaik- baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri. Sapardi Djoko Damono dilahirkan di Solo, 20 Maret 1940. menyelesaikan pendidikan di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra UGM 1964, kemudian memperdalam pengetahuan di Universitas Hawaii, Honolulu, AS 1970-1971, dan meraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia 1989. Pernah mengajar di IKIP Malang cabang Madiun 1964-1968, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro 1968-1974, dan sejak 1975 mengajar di Fakultas Sastra UI. Sejak tahun 1994 menjadi guru besar pada Fakultas Sastra UI dan tahun 1996-1999 menjadi Dekan Fakultas Sastra UI. Pernah menjadi redaktur majalah Basis 1969- 1975, redaktur majalah Horison 1973-1992 dan Tenggara kuala lumpur, Malaysia. Pernah mengikuti festival penyair internasional di Rotterdam 1976, festival seni di Adelaide, Australia 1978 dan Beinnale Internasionale de Poezie XIII di Belgia 1979. Balladanya, “Ballada Matinya Seorang Pemberontak”, mendapat hadiah pertama majalah Basis tahun 1963. Kumpulan sajaknya, Sihir Hujan 1984, meraih hadiah pertama hadiah puisi II Malaysia 1983, dan kumpulan sajaknya yang lain, Perahu Kertas 1983, menggondol hadiah sastra dkj 1983. Karyanya yang lain: DukaMu Abadi ks, 1969, Mata Pisau ks, 1974, Akuarium ks, 1974, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas 1978, Novel Indonesia Sebelum Perang s, 1979, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan ke, 1983, Suddenly the Night ks, 1988, Hujan Bulan Juni 1994, arloji ks, 1999, Politik Ideologi dan Sastra Hibrida ke, 1999, Sihir Rendra: Permainan Makna ke, 1999, dan Ayat-Ayat Api ks, 2000. Selain itu, ia juga menjadi editor buku: Tifa Budaya bersama kasijanto, 1981, Seni dalam Masyarakat Indonesia bersama edi sedyawati, 1983, dan H.B. Jassin 70 Tahun 1987. Sapardi juga banyak menerjemahkan karya sastra asing. Terjemahannya: Lelaki Tua dan Laut n Hemingway, 1973, Puisi Brazillia Modern ks, 1973, Daisy Manis n Henry James, 1975, Sepilihan Sajak Georhe Seferis ks, 1975, Puisi Klasik Cina ks, 1976, Lirik Klasik Parsi ks, 1977, Kisah-Kisah Sufi karya Idries Shah, 1986, dan Afrika Yang Resah karya okot p’Bitek, 1988. Tahun 1986 Sapardi memperoleh Hadiah Sastra ASEAN dan tahun 1990 menerima hadiah seni dari pemerintah RI Pamusuk Eneste, 2001:209. Sapardi menggambarkan puisi Telinga yang merupakan bentuk kiasan telinga sebagai tanda untuk menunjukkan bagian yang harus dilewati Bima untuk masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci dalam cerita pewayangan. Dalam puisi Telinga, tokoh Bima dihadirkan secara implisit atau tersirat. Telinga merupakan organ yang mampu mendeteksi atau mengenal suara dan juga banyak berperan dalam keseimbangan serta posisi tubuh. Suara merupakan bentuk energi yang bergerak melewati udara, air atau benda lainnya, dalam bentuk gelombang. “Masuklah ke telingaku,” bujuknya. Gila: Di dalam samudera Bima bertemu dengan Dewa Ruci. Bima disuruh masuk ke telinga Dewa Ruci. Masuk ke dalam telinga Dewa Ruci mempunyai arti masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Hal ini seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci. Hal itu seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 18—23. Dengan ramah-tamah, penuh rasa kasih mesra Dewarutji mendjawab : “Anakku Bima, lekaslah kamu masuk kedalam tubuhku” Wrekodara mendengar sabda Sang Dewarutji amat terkedjut. Sambil tertawa ia bersembah : “Maaflah, tuan bagaimanakah perintah tuan ini dapat hamba djalankan. Tuan bersifat kerdil, sedang hamba besar seperti gunung. Bagaimanakah hamba dapat masuk kedalam tubuh tuan, kelingking hamba sadja tak akan dapat masuk”. “Bima”, sahut Sang Dewa Katik, “manakah lebih besar, kamu atau dunia ini. Sedangkan dunia ini dengan segala isinja, dengan gunung- gunungnja, dengan seluruh samuderanja, dengan rimba hutannja, semua dapat masuk dan tak akan sesak”. Mendengar keterangan demikian ini Bima merasa heran tetapi takut lalu bersembah : “Baiklah tuan hamba akan masuk kedalam tubuh tuan”. Dewarutji memiringkan kepala sambil bersabda : “Di sanalah djalannja. Masuklah melalui telinga kiri ” Wrekodara mendekati telinga kiri Sang Batara. Sekonjong- konjong lubang telinga tampak sebagai pintu gerbang terbuka lebar. Dengan tidak ragu-ragu lagi Bima masuk ke dalam tubuh Sang Dewarutji. Bima masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci untuk mendengar apapun, yaitu Bima diberi penjelasan mengenai air hidup yang sedang dicarinya, tentang kehidupan, tentang asal mula dan akhir kehidupan. agar bisa mendengar apa pun secara terperinci – setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis “Secara rinci setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis” merupakan kiasan rangkaian proses kehidupan manusia di dunia. Proses kehidupan manusia di dunia terdiri dari tiga pase, yaitu: lahir, belajar, dan mati. Kandungan puisi tersebut seperti halnya yang ada dalam cerita Dewaruci. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 52—66. “Anakku Bima”, demikian sabda Dewarutji seterusnja, “keinginannmu itu adalah baik sekali. Kelak akan terkabul djuga. Dari sebab itu hendaklah kamu selalu awas akan adanja perintang-perintang jang membahajakan perdjalanan hidupmu. Berdjalanlah terus, bersikaplah waspada. Kalau kamu sudah memiliki segala wedjangan ini, hendaklah kamu simpan baik-baik dan kamu rahasiakan. Berhati-hatilah dalam kamu bertjakap-tjakap, djangan sampai membitjarakannja dengan orang lain, ketjuali djika orang ini telah mendapat anugerah dari Sang Dewata. Karena apabila tidak demikian akan mudah timbul perselisihan faham. Dalam hal ini hendaklah kamu mengalah, djangan kamu mempertahankan diri, biar pembitjaraan lekas selesai. Selandjutnja djanganlah kamu melekat kepada ratjun hidup. Sebaliknja peganglah teguh hasratmu untuk selalu mengabdi kepada Sang Dewata, Sang Hidup sedjati. Sang Hidup itu berada di dunia besar ini dan hidup, tidak ada jang memberi hidup dan ada, tetapi tak ada jang merasa akan adanja. Sang Hidup itu sesungguhnja ada padamu djuga dan tak dapat dipisahkan dengan kamu. Ketahuilah, bahwa asal usulmu itu dari padanja. Itulah sebabnja maka kamu mempunjai sifat jang mirip dengan Sang Hidup itu. Segala perbuatannja, pantjainderanja adalah padamu djuga. Hanja sadja Sang Sukma itu melihat tidak dengan mata djasmani dan mendengar tidak dengan telinga djasmani. Adapun telinga dan mata jang dipakainja sudah ada padamu. Kelahiran dan kebatinan Sang Sukma itu ada padamu. Hal ini dapat digambarkan sebagai kaju terbakar, asap dan kaju tidak dapat dipisahkan. Demikian pula air dan alun tak dapat dtjeraikan. Djuga dapat dimisalkan sebagai minjak jang tidak dapat dipisahkan dari air susu. Demikianlah keadaanmu, dengan segala tjipta rasa karsamu, apabila kamu telah memperoleh anugerah dapat bersatu padu dengan Sang Sukma. Seterusnja, djika perpaduan itu telah tertjapai sungguh-sungguh, segala hasrat keinginanmu akan terlaksana. Kamu selandjutnja hanja bersikap sebagai wajang kulit jang, diwajangkan oleh Sang Sukma sebagai dalang jang ada didalammu. Segala tingkah lakumu, semua gerak-gerikmu ditentukan oleh Sang Dalang. Dunia ini merupakan panggung dan lajar putih, jang digunakan untuk memainkan wajang. Memang besar sekali kekuasaan Sang Dalang itu. Perpaduan Manusia-Dewata atau Abdi-Gusti itu tak dapat digambar-gambarkan, karena tak berudjud. Tetapi kenjataannja sudah ada padamu. Perpaduan itu bagaikan orang bertjermin. Jang bertjermin itu Sang Sukma, sedangkan kamu merupakan bajangannja. Supaja lebih mudah, hal ini akan saja terangkan lebih landjut sebagai berikut : Manusia itu mempunjai dua matjam badan, badan djasmani dan badan rohani. Badan djasmani itu udjud lahir jang kelihatan, jang dapat diterima oleh pantjaindera. Adapun badan rohani terdapat di dalam tjermin, tetapi bukan tjermin biasa, melainkan tjermin di dalam kalbu. Itulah udjud kita sendiri jang tertjetak didalam hati. Apabila badan djasmani menutup segala pantja inderanja, akan besar sekali faedahnja, karena semua godaan hidup tidak berpengaruh terhadap dia. Sungguh besar sekali arti perpaduan antara badan djasmani dan badan rohani itu. Manusia jang telah memperoleh persatuan ini mempunjai tingkatan hidup jang tinggi sekali, memiripi Sang Maha Dewata. Kalau pada sesuatu saat kedua-duanja mengadakan pertemuan, dan badan djasmani melahirkan keinginan-keinginannja, badan rohani pasti dapat mengabulkannja, asal tidak berlebih-lebihan sifat keinginan- keinginan itu. Badan rohani itu djuga berada di dalam anak mata. Adapun rasa itu dibagi-bagi mendjadi tiga golongan : rasa luar, rasa dalam dan rasa kadim. Ras luar adalah rasa badan, rasa dalam itu rasa jang dialami mulut, sedang rasa kadim adalah rasa dalam impian. Ketiga-tiganja itu dikuasai oleh Sang Dewa Agung, jang bersifat hidup kekal dan jang mengadjak tidur, bangun, tenang, bergerak serta jang memberi ketjakapan bernafas. Djuga jang menerima keluar masuknja nafas. Sang Hidup kekal itu bertachta dalam badanmu dan menguasai badan itu. Rambut itu dapat dapat hidup karena kulit, kulit hidup karena daging, daging karena darah, darah karena nafas. Adapun jang mendjadi sumber nafas itu adalah ubun- ubun. Dari sini hidup itu mengalir ke seluruh tubuh. Dari sebab itu, apabila sumber tadi ditutup, hingga si hidup tak dapat mengalir, maka tubuh akan lemah lemas tak berdaja sama sekali. Tetapi, anakku Bima, ketahuilah, bahwa segala-galanja itu hanja merupakan alat jang tidak kekal adanja. Karena hidup itu dikuasai oleh jang menjebabkan hidup, sedang jang menjebabkan hidup itu masih dikuasai lebih landjut oleh Sang Pembentuk Hidup, jang tidak dapat dilihat oleh mata kepala djasmani, bahkan tidak dapat diraba oleh budi manusia. Sang Pembentuk Hidup itu hanja dapat dilihat oleh manusia jang telah kosong sunji, artinja sudah tidak menggunakan alat sama sekali. Djadi orang dapat melihat Sang Hidup kekal itu hanja dengan melalui satu djalan sadja, jaitu dengan membulatkan kesatuan diri pribadi, hingga tidak terkena oleh pengaruh lain-lainnja, jang dapat membelokkan tekadnja. Ingatlah, anakku, bahwa segala tindakan itu ditimbulkan oleh bergeraknja kehendak. Dari sebab itu dengan singkat dapat saja katakana, bahwa dalam pokoknja orang harus berani mematikan diri, melepaskan diri dari segala nafsu, jang menghalang-halangi maksud pokoknja. Apabila orang tidak berani mematikan diri, maka setiap usahanja kandas, maksudnja gagal, tudjuannja tak tertjapai. Kelepasan itu besar sekali artinja, lebih besar dari pada dunia besar ini. Lebih halus dari pada air dan lebih ketjil dari pada kuman. Lebih besar, karena dapat menguasai segala sesuatu. Lebih halus dan lebih ketjil, karena dapat mendjelma mendjadi besar dan ketjil. Dapat berudjud binatang besar, tetapi djuga berkuasa untuk mendjadi serangga jang ketjil. Sungguh luar biasa kelepasan itu, melebihi dugaan jang menerimanja, hingga sukar untuk dipertjaja, karena luar biasanja. Anakku, usahakanlah dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh petundjuk-petundjuk dan pengetahuan jang njata. Latihlah dirimu dengan sekuat tenagamu, hingga achirnja dapat mengetahui tingkah laku jang gaib. Petundjuk atau ilmu itu bagaikan benih, sedang jang menerimanja adalah tempat tumbuhnja. Benih katjang dan kedelai jang disebar dibatu, kalau tak ada tanahnja, kehudjanan dan kena panas terik matahari, nistjaja tidak akan dapat tumbuh. Apabila kamu telah memperoleh kebidjaksanaan, hilangkanlah penglihatanmu biasa, supaja kamu dapat melihat setjara rohani. Selandjutnja wudjud dan suaramu itu sesungguhnja bukan milikmu sendiri. Itu semua adalah barang pindjaman. Kembalikanlah kelak kepada jang kamu pindjami. Djanganlah kamu mempunjai kesenangan lain, melainkan kesenangan untuk bersatu padu dengan Sang Dewa Agung. Dengan demikian kamu telah berbadan dewata. Segala gerak-gerik dan tingkah lakumu adalah gerak-gerik dan tingkah laku Sang Dewata djuga. Djanganlah kamu merasa lagi, bahwa Sang Maha Sukma dan kamu itu dua. Djika masih merasa dua, maka ini mendjadi bukti, bahwa kamu masih ragu-ragu, belum mempunjai kebulatan tekad. Sang Maha Tinggi akan bermuram durdja kepada kamu. Sebaliknja, apabila kamu sudah memperoleh perpaduan sungguh- sunguh, segala karsa terlaksana, segala tjipta terudjud, karena kamu telah menguasainja. Alam semesta sudah di tanganmu, karena kamu mendjadi pengganti Sang Dewata. Bersikaplah teguh dan sanggup. Apabila kamu telah memiliki ilmu kelepasan, simpanlah ilmu itu sebaik-baiknja, djanganlah kamu bersikap tjongkak, sombong, bahkan tutupilah dengan sikap rendah diri. Tetapi dalam hatimu tak boleh kamu lupakan sama sekali. Anakku Bima, masih ada satu hal jang akan kukatakan kepadamu, jang kamu perlukan di sini dan di sana, di dunia ini dan di zaman achir, jaitu tentang mati dalam hidup dan hidup dalam mati. Hal ini demikian maksudnja : Hidup itu langsung adanja. Adapun jang mati itu hawa nafsu, jang didjalankan oleh badan djasmani. Mati dalam hidup dan hidup dalam mati berarti, bahwa selama manusia berada di dunia fana ini harus dapat mengalahkan segala hawa nafsu. Mati dalam hidup bermakna : Manusia harus dapat bersikap mati terhadap segala godaan-godaan dan keinginan- keinginan jang buruk, selama ia didunia ini. Hidup dalam mati : Manusia utama dapat tetap hidup dan memegang pendiriannja jang sutji, sekalipun terkepung oleh musuh-musuh rohani. Wrekodara, barang siapa dapat bersikap demikian, membuktikan, bahwa ia telah memperoleh perpaduan jang njata”. Dari wejangan yang diberikan oleh Dewa Ruci, bima diharapkan dapat menafsirkan, memahami, dan melaksanakannya. Hal itu dilakukan agar Bima dapat menyadari akan dirinya. Di sinilah sistem yang dalam manusia berjalan secara keseluruhan. Walaupun telinga yang mendeteksi suara, fungsi dan interpretasi dilakukan di otak dan sistem saraf pusat. Bima pun ingat akan arti hidupnya. Hal ini seperti kandungan dalam cerita Dewaruci. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 70 dan 71. Dengan sabda ini menghilanglah Sang Dewatarutji, Bima tinggal seorang diri, berdiri tegak di tengah samudera. Masih terkenanglah wadjah Sang Guru, djundjungannja. Rasa hati ingin mengikuti Sang Dewatarutji ke alam kedewaan, tetapi lalu teringatlah ia akan keluarga Pandawa jang masih sangat memerlukan dia. Teringatlah pula ia akan terdjadinja perang besar Baratajuda, jang akan menentukan timbul tenggelamnja Pandawa. Makin jakinlah Bima akan usaha djahat keluarga Ngastina, jang dengan pertolongan Pendeta Druna ingin memusnahkan dia dari muka bumi. Tetapi Sang Maha Dewatalah jang memimpin segala gerak-gerik hidup. Maksud Ngastina jang djahat itu bahkan dipergunakannja untuk menjampaikan anugerah luhur kepada Bima. Bima mengutjap beribu-ribu sjukur kepada Sang Maha Agung, jang telah memberikan kekuatan lahir batin untuk mentjapai air sutji Tirtapawitra. Dengan terperolehnja ini Bima merasa mendjadi manusia baru, jang menguasai segala kesaktian. Judul puisi ini adalah ”telinga”, telinga yang dimaksudkan adalah telinga Dewa Ruci yang merupakan media Bima untuk masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci dan selanjutnya menerima wejangan dari Dewa Ruci. Telinga merupakan organ manusia yang digunakan untuk mendengar. Manusia pada saat setelah lahir di dunia maka salah satu aktivitas yang dapat dikerjakan pertama kali adalah mendengar. Puisi tersebut menyiratkan makna kehadiran tokoh Bima sebagai manusia yang berusaha untuk meempelajari dan memahami makna kehidupan. Proses pemahaman manusia tersebut diawali dengan mendengar, belajar dan memahami, serta dapat melaksanakan sesuai dengan keyakinannya. Tokoh Bima menurut Sapardi dalam puisi ini adalah bentuk manusia dalam usaha untuk mendengar dan memahami serta dapat melakukan apa yang menjadi harapannya. Bima dalam “Telinga” merupakan bentuk yang mengikuti atau mengukuhkan konvensi sastra sesuai dengan kisah Bima dalam cerita Dewaruci. d. Puisi Dewa Ruci DEWA RUCI karya Saini K.M. dalam kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci - Aku adalah engkau yang telah mendamba yang pernah dinista, ditipu dan disesatkan Engkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu. Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima - Tapi akulah yang kau temukan anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu Yang lain tiada, kecuali aku. Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima - Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa kau dapat menerima atau menolakku dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu. Saini K.M. dilahirkan di Sumedang Jawa Barat, pada 16 Juni 1928. pendidikan terakhir: tamat jurusan Sastra Inggris IKIP Bandung 1977. Pernah menjadi anggota DPRD Jawa Barat. Redaktur majalah Mangle. Redaktur kebudayaan harian Harapan Rakyat 1967-1969. Anggota Dewan Pertimbangan Kebudayaan Jawa Barat. Pernah mengajar di Akademi Seni Tari Indonesia ASTI Bandung. Tahun 1988-1991 menjadi Direktur ASTI Bandung. Menjadi Direktur Kesenian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1995-1999. Sejumlah dramanya memperoleh hadiah Sayembara Penulisan Drama DKJ, yaitu Pangeran Sunten Jaya 1973, Ben Go Tun 1977, Egon 1978, Sarikat Kacamata Hitam 1980, dan Sang Prabu 1981. Dramanya yang lain, Sebuah Rumah di Argentina 1980, mendapat hadiah sayembara BKPKB DKI Jakarta Raya, sedangkan dramanya Kerajaan Burung 1980 dan Pohon Kalpataru 1981 mendapat hadiah Sayembara Penulisan Drama Anak-Anak Direktorat Kesenian Departemen P K. karyanya yang lain: Pangeran Geusan Ulun d, 1963, Nyanyian Tanah Air ks, 1968, Puragabaya n, 1976, Siapa Bilang Saya Godot d, 1977, Restoran Anjing d, 1979, Rumah Cermin ks, 1978, Beberapa Gagasan Teater 1981, Dramawan dan Karyanya 1984, Apresiasi Kesusastraan bersama Jakob Sumardjo, 1986, Antologi Apresiasi Kesusastraan editor bersama Jakob Sumardjo, 1986, Protes Sosial dalam Sastra ks, 1986, Ken Arok d, 1987, Teater Indonesia Modern dan Beberapa Masalahnya ke, 1988, Sepuluh Orang Utusan ke, 1989, Seni Teater 1-6 bersama Ade Puspa dan Isdaryanto 1989 dan 1990, Puisi dan Beberapa Masalahnya: Pilihan dari Karangan Pertemuan Kecil Pikiran Rakyat ke, 1993, dan Nyanyian Tanah Air ks, 2000. Terjemahannya: Percakapan dengan Stalin karya Milovan Djilas, 1963 dan Bulan di Luar Penjara ks, Ho tji Minh, 1965. Saini KM. juga menulis dalam bahasa Sunda. Pamusuk Eneste, 2001:205. Saini melaluii puisi yang berjudul “Dewa Ruci” ini, menggambarkan Dewa Ruci yang berarti tokoh Dewa Ruci dalam pewayangan dan cerita Dewaruci. Tokoh Bima dalam usaha mencari air kehidupan pada akhirnya bertemu dengan tokoh Dewa Ruci. Dalam cerita pewayangan, yakni pada lakon Dewaruci, atau Nawaruci, terdapat tokoh yaitu Dewa Ruci dengan ukuran tubuhnya hanya sebesar kelingking Bima, yang dijumpai ksatria Pandawa bertubuh tinggi besar di pusat samudra. Walau tubuhnya sangat kecil telinganya dapat dimasuki oleh Bima yang bertubuh tinggi besar, di dalam tubuh Dewa Ruci, Bima merasa dapat menyaksikan matahari, bulan, dan jagat raya. Di situlah Bima mendapat wejangan mengenai apa sebenarnya arti hidup dan hakekat kehidupan. Dewa kerdil itu juga dikenal dengan Dewa Bajang atau Sang Marbudingrat Tim Penulis Sena Wangi, 1999:447. Lakon Dewaruci sepenuhnya menceritakan perlambang manusia mencari pribadinya, mencari kebenaran sejati. Dewa Ruci dianggap sebagai perlambang dari pribadi Bima yang sesungguhnya, yang dalam pewayangan diistilahkan dengan sejatining pribadi. Tokoh Dewa Ruci hanya muncul sebagai pemeran utama dalam lakon saja, meskipun dalam berbagai lakon yang menyangkut Bima, nama Dewa Ruci kadang kala juga disebut-sebut. Tokoh Dewa Ruci tidak terdapat dalam Kitab Mahabarata, karena lakon carangan ini merupakan pelajaran filsafat khas Jawa yang dikarang oleh para budayawan dulu. Jadi, Dewa Ruci merupakan tokoh khas pewayangan. Itulah sebabnya, tidak jelas mengenai siapa orang tua dan asal usul Dewa bajang tersebut. Di sebagian masyarakat Jawa, Dewa Ruci sering dianggap sebagai lambang hati nurani yang ada pada setiap manusia. Dengan adanya nurani, maka manusia dapat menimbang yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Sebagian dalang yang beragama Islam, terkadang juga memasukkan bagian ajaran Islam dalam wejangan yang disampaikan Dewa Ruci pada Bima. Di antaranya, tentang kelengkapan rukun Islam terutama tentang syahadat Tim Penulis Senawangi, 1999:447-448. Pada awal puisi ini terdapat kandungan bahwa Bima telah bertemu dengan Dewa Ruci dan menanyakan siapakah sebenarnya Dewa Ruci. Baris pertama puisi tersebut, “Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci”. Kejadian tersebut sama seperti yang terdapat dalam cerita Dewaruci. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 15 dan 16. “Tuan”, sembahnja “sudi apalah kiranja tuan mengatakan kepada hamba, siapakah tuan ini dan mengapa tuan hanja seorang diri sadja”. “Nama saja Dewarutji”, djawab Sang Batara. Kemudian dijelaskan oleh Dewa Ruci bawah Dewa Ruci adalah Bima yang telah mendamba, sangat menginginkan sesuatu sesuai dengan harapannya. Baris kedua puisi terebut, “- Aku adalah engkau yang telah mendamba”. Hal itu seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci, seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 10, 11, dan 17 Wrekodara semakin besar pengharapannja akan mendapatkan apa jang ditjarinja. “Bima anakku”, demikian landjutnja sabda Sang Resi “kamu datang ke mari karena disuruh oleh Pendeta Druna mentjari air sutji Tirtapawitra. Perintah gurumu ini berat sekali, karena kamu tak tahu djalannja. “Ja, tuan”, sembah Bima selandjutnja, “djika demikian hamba mohon, sudi apalah kiranja tuan memberikan kepada hamba segala sesuatu jang hamba perlukan. Hamba masih seperti binatang liar, tidak mempunjai pengetahuan sama sekali, lebih-lebih tenang berbakti. Hamba belum mengerti pula, apakah badan sutji itu sesungguhnja. Hamba merasa masih muda bodoh bebal, mendjadi tjelaan dunia. Seperti keris jang tidak bersarung. Apabila bertjakap-tjakap tidak mengingat tempat dan suasana”. Dewa ruci menambahkan penjelasan kepada Bima bahwa Bima sebenarnya telah ditipu dan disesatkan agar Bima menemui ajal. “yang pernah dinista, ditipu dan disesatkan”. Hal itu seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci, seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 9, 10, dan 11. “Bima anakku”, demikian landjutnja sabda Sang Resi “kamu datang ke mari karena disuruh oleh Pendeta Druna mentjari air sutji Tirtapawitra. Perintah gurumu ini berat sekali, karena kamu tak tahu djalannja. Sungguh sukar hidup di dunia. Anakku, djanganlah kamu pergi, apa bila belum mengetahui tempat tudjuanmu. Djanganlah makan makanan, jang belum pernah kamu makan. Djanganlah mengenakan pakaian, djika kamu belum tahu namanja. Kamu dapat mengetahui barang sesuatu dengan djalan bertanja. Orang dapat mendjalankan barang sesuatu dengan djalan meniru lebih dulu, achirnja bertindak sendiri. Djanganlah bersikap sebagai si bodoh jang datang dari gunung ingin membeli emas kepada seorang pandai emas, diberi kertas kuning disangkanja emas indah. Demikian pula orang berbakti. Apabila belum mengetahui tempat jang diberi bakti, pasti mudah saat djalannja, mudah ditipu”. Bima ditipu oleh keluarga Kurawa agar pihak Pandwa dalam perang Baratyudha esok mengalami kekalahan. Hal itu karena kesatria yang palin kuat pihak Pandawa adalah Bima. Hal itu seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 1 paragraf 17, dan 18. Seluruh rapat agung tersenyum. Radja Mandaraka berkata ”Bagaimanakah Bima nanti djadinja. Gua Tjandramuka itu sangat berbahaja, karena didiami dua orang raksasa sakti, hingga tak ada seorangpun jang berani mengindjak daerah itu. Bima pasti menemui adjalnja”. Para hadirin tertawa semua, karena merasa memperoleh tipu muslihat sebaik-baiknja untuk melenjapkan Bima dari muka bumi. Selandjutnja di istana diadakan pesta besar-besaran. Dewa Ruci menjelaskan kembali bahwa Bima telah membunuh naga yang berada dalam dasar laut yang telah dilalui oleh Bima, ”Engkau yang telah membunuh naga dalam dasar lautmu”. Bima telah membunuh naga yang menghadang Bima ketika Bima berada di dalam samudera. Hal ini seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 7 paragraf 7— 14. Tetapi pertjobaan Sang Dewata terhadap kesetiaan Bima belum habis djuga. Wrekodara baru sadja melandjutkan beberapa langkah, timbullah kesukaran baru. Dari djauh terdengar suara mendesis-desis serta mengikik-kikik. Wrekodara melihat sesuatu benda hitam jang terapung-apung di air, jang makin dekat makin besar bentuknja. Sebuah pulaukah itu, atau sebuah perahu jang tergulingkah ? Tetapi suara jang terdengar semakin gemuruh dashjat. Setelah dekat sekali ternjatalah bahwa jang dilihat Bima itu adalah seekor ular raksasa, jang menjembur-njemburkan bisa. Kedua belah matanja membelalak merah, mengkilat menjala-jala seolah-olah kan membasmi Bima. Gigi taring terlihat berkilau-kilau sebagai pisau, menggerut-gerut. Wrekodara tak dapat mentjamkannja lama, karena naga raksasa itu setjepat kilat menggulat dan membelit bulat tubuhnja, sambil menghambur-semburkan bisa ke mukanja. Wrekodara merasa akan menemui adjalnja, bingung mentjari akan untuk meloloskan diri. Makin keras kemauannja untuk melepaskan diri, makin kuat pula naga raksasa membelit tubuhnja. Bima hampir tak dapat bernafas lagi. Perahu-perahu jang pada waktu itu berlajar dekat tempat Bima bergulat, mengelak mengambil djalan lain, untuk menghindari jang disangkanja bahaja. Sebentar lagi tak ada sebuahpun jang terlihat lagi. Sementara itu Bima meneruskan usahanja supaja dapat terlepas dari pembelitan naga. Tetapi segala daja dan upaja tak berguna, kekuatan Bima semakin berkurang. Dalam kalbunja ia telah menjerahkan djiwanja di tangan Sang Dewata. Tetapi………..pada saat Bima tidak mempunjai harapan untuk hidup itu, datanglah pertolongan dari Atas. Sekonjong-konjong ia teringat akan kuku wasiatnja Pantjanaka. Seketika itu djuga Bima mengumpulkan segala kekuatan jang masih ada padanja. Segera ditusuknjalah naga raksasa dengan Pantjanakanja dan dirobek- robeknja. Darah berhambur-hamburan ke mana-mana, bagaikan hudjan. Sedjauh penglihatan mata laut tampak merah. Naga raksasa telah mati. Samudera mendjadi terang. Segala isinja seakan-akan ikut bersukaria. Dalam air jang semakin mendjernih itu kelihatan ikan beratus- ratus kedjar mengedjar, tangkap-menangkap. Binatang-binatang lainndja ada di antaranja jang mengambang tenang, menikmati udara samudera jang telah tenteram kembali, hela-menghela lagi, melarikan diri, membelok kembali……….. Bima kurang berterima atas jawaban Dewa Ruci. Bima mengatakan kepada Dewa Ruci bahwa bukan Dewa Ruci yang ia cari. Tapi dijawab oleh Dewa Ruci bahwa Dewa Rucilah yang ditemukan oleh Bima. Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima - Tapi akulah yang kau temukan Bima menemukan Dewa Ruci ketika Bima berada di dasar samudera. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci bagian 9 paragraf 1 dan 2. Sementara itu Sang Bima terus melandjutkan perdjalanannja. Sampailah ia sudah di tengah-tengah samudera. Suasana pada waktu itu tenang. Udara djernih. Angin sepoi-sepoi menghembus silir-semilir. Wrekodara mengisap udara segar. Kebingungannja semakin reda. Achirnja lenjap sama-sekali. Tenang keadaan alam, tenang kalbu Bima. segala sesuatu menundjukkan akan datangnja saat jang membawa kebahagiaan bagi Wrekodara. Dengan tidak diketahui dari mana datangnja sekonjong- konjong Bima berhadapan dengan seorang dewa kerdil, Dewarutji namanja. Tampaknja hanja sebagai anak berdjalan-djalan bermain-main. Pertemuan Bima dengan Dewa Ruci merupakan anugerah bagi Bima yang telah ditebus dengan pengorbanan yang berat. Dewa Rucilah yang memberi wejangan kepada Bima. anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu Yang lain tiada, kecuali aku. Kejadian yang menimpa Bima itu Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 70 dan 71. Dengan sabda ini menghilanglah Sang Dewatarutji, Bima tinggal seorang diri, berdiri tegak di tengah samudera. Masih terkenanglah wadjah Sang Guru, djundjungannja. Rasa hati ingin mengikuti Sang Dewatarutji ke alam kedewaan, tetapi lalu teringatlah ia akan keluarga Pandawa jang masih sangat memerlukan dia. Teringatlah pula ia akan terdjadinja perang besar Baratajuda, jang akan menentukan timbul tenggelamnja Pandawa. Makin jakinlah Bima akan usaha djahat keluarga Ngastina, jang dengan pertolongan Pendeta Druna ingin memusnahkan dia dari muka bumi. Tetapi Sang Maha Dewatalah jang memimpin segala gerak-gerik hidup. Maksud Ngastina jang djahat itu bahkan dipergunakannja untuk menjampaikan anugerah luhur kepada Bima. Bima mengutjap beribu-ribu sjukur kepada Sang Maha Agung, jang telah memberikan kekuatan lahir batin untuk mentjapai air sutji Tirtapawitra. Dengan terperolehnja ini Bima merasa mendjadi manusia baru, jang menguasai segala kesaktian. Tanpa sajap ia dapat mengelilingi dunia dalam sekedjap mata. Bahkan triloka dengan segala isinja telah dikuasaninja. Hidup dan matipun di tangannja djuga. Bima dapat digambarkan sebagai sekuntum bunga, jang sekarang sudah berkembang, bertambah indah rupa warnanja dan bertambah pula keharuman baunja, semerbak merata. Kemudian, Bima menanyakan kembali apa manfaat atau guna Bima setelah bertemu dengan Dewa Ruci. Dewa Ruci menjelaskan bahwa dengan apa yang setelah Bima peroleh dapat dipergunakan Bima sesuai keinginannya. Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima - Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa kau dapat menerima atau menolakku dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu. Bima telah memperoleh semua pengetahuan tentang makna kehidupan. Bima pun bisa bersih dari nafsu namun juga dapat bergelut dengan nafsunya kembali jka Bima tidak memperhatikan atau tidak bisa mengendalikan. Seperti yang dikisahkan dalam cerita Dewaruci karya Yasadipura I pada bagian 9 paragraf 72—74. Wrekodara setelah memperoleh pantjaratna itu kalbunja berubah mendjadi sutji djudjur, karena terpengaruh olehnja, bagaikan terusap oleh minjak kesturi. Seterusnja segala nafsu telah lenjap sama sekali. Segala sifat- sifat dunia dengan segala gerak-geriknja diketahuinja, bahkan sorga neraka dikuasanja. Bima tahu pula, bila dan bagaimana tjaranja ia akan meninggalkan dunia fana ini. Karena Wrekodara telah memperoleh milik rohani jang tertinggi ini, maka tenanglah kalbunja. Dan ini bukannja ketenangan orang jang menjerah kepada keadaan, melainkan sebaliknja. Bima telah memiliki ketenangan sedjati, karena menguasai segala keadaan. Itulah jang menjebabkan ia kelihatan seakan-akan mengenakan pakaian sutera jang halus indah, dikembang-kembang dengan emas serta dihias dengan ratna mutu mannikam, hingga tamapak elok gemerlapan, bersinar-sinar terang, sebagai bukti, bahwa Bima mengetahui segala gerak-gerik manusia. Bima bersifat halus lemah-lembut bagaikan bunga pandan jang terkembang, harum semerbak baunja, bau kesturi sedjati. Ini mendjadi bukti, bahwa ketadjaman budi Wrekodara menembus segala jang gelap, pengetahuan jang sulit-sulit diseluruh dunia, bahkan jang gaib sekalipun, telah dimiliki olehnja. …………. Sesungguhnja tatkala Bima lahir, keluar dari bungkusnja, telah bertjawat tjaturwarna, merah, hitam, kuning dan putih. Maksud Sang Hjang Guru, supaja tjawat itu mendjadi kekuatan rohani jang besar, jang dapat mengalahkan kesombongan, ketjongkakan dan tekebur. Hal ini oleh Bima selama hidup selalu diperhatikan. Puisi Dewa Ruci menghadirkan tokoh Bima secara tersurat sebagai manusia dengan usaha yang penuh kesabaran dan ketaguhan, melalui dan menghadapi cobaan-cobaan berat untuk memperoleh makna kehidupan. Tokoh Bima oleh penyair puisi ini digambarkan sebagai manusia yang tabah dan tegar menghadapi cobaan berat untuk memperoleh sesuatu yang diharapkan. Bima dalam “Dewa Ruci” merupakan bentuk yang mengikuti konvensi sastra sesuai dengan kisah Bima dalam cerita Dewaruci. 2. Hubungan Intertekstual atau Hipogramatik antar Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga dan Dewa Ruci Dari pembahasan sebelumnya dan pemaknan isi yang terkandung dalam keempat puisi tersebut diketahui bahwa keempat puisi itu memiliki persamaan makna tentang kehadiran tokoh Bima dalam memahami hidup dan kehidupan dengan proses yang dialami tokoh Bima bertemu dengan Dewa Ruci. Penulis menganggap dari hal tersebut bahwa keempat puisi yaitu puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci terdapat hubungan intertekstual atau hipogramatik. Hal pendukung yang menunjukkan hubungan intertekstual atau hipogramatik adalah ekspresi, imajinasi dan ide penyair dalam pengggunaan kata- kata kiasan sehingga menyebabkan adanya hubungan intertekstual atau hipogramatik dari keempat puisi dengan cerita Dewa Ruci. Pengunaan judul yaitu “Bima”, “Saudara Kembar”, “Telinga”, dan “Dewa Ruci” menyiratkan bahwa keempat puisi tersebut menghadirkan tokoh Bima di dalamnya. Penyair menangkap wacana Dewaruci dan dengan bahasannya, diwujudkan dalam bentuk puisi. Penulis dalam usaha untuk menentukan hipogram dari keempat puisi tersebut penulis menunjuk pada tahun penulisan puisi danatau tahun penerbitan puisi jika dalam keterangan teks puisi tidak terdapat angka tahun. BIMA karya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Matinggo Di dalam pengelanaannya dilihatnya tiada yang kekal pada bahasa yang tinggal mati Hutan jati hilang kumandangnya dan sudut kota habis diperkata juga langit telah hangus terbakar di nyala matahari Maka diputuskannya untuk meninggalkan tanah kapur dan tidur dengan naga yang tak jadi dibunuhnya di samudra angan-angan Di sana ia bisa bertatapan dengan sunyi -- makhluk kecil itu berhuni di lubuk hati Matanya cerah seperti punya bocah yang hidup abadi Sumber data: Subagio Sastrowardoyo. 1985. Keroncong Matinggo. Jakarta: Balai Pustaka Halaman 101 SAUDARA KEMBAR karya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan puisi Keroncong Matinggo tiba-tiba sebagai kilat cermin di tangannya mengingatkan dia kepada lubuk laut lain di mana ia pernah menjenguk dan berjumpa dengan gambar muka seperti saudara kembar begitu serupa tercipta dari ilham yang sama ia tidak bertukar kata hanya tahu ia ditunggu sejak dulu rindu yang dahsyat lalu membuatnya berpaling Sumber data: Subagio Sastrowardoyo. 1985. Keroncong Matinggo. Jakarta: Balai Pustaka Halaman 100 TELINGA karya Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni “Masuklah ke telingaku,” bujuknya. Gila: ia digoda masuk ke telinganya sendiri agar bisa mendengar apa pun secara terperinci – setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis yang menciptakan suara. “Masuklah,” bujuknya. Gila Hanya agar bisa menafsirkan sebaik- baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri. 1982 Sumber data: Sapardi Djoko Damono. 1994. hal.87. Hujan Bulan Juni. Jakarta: Grasindo DEWA RUCI karya Saini K.M. dalam kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air Siapakah engkau, Sang Bima bertanya pada Dewa Ruci - Aku adalah engkau yang telah mendamba yang pernah dinista, ditipu dan disesatkan Engkau yang membunuh naga dalam dasar lautmu. Kau bukanlah yang saya cari, ujar Sang Bima - Tapi akulah yang kau temukan anugerah yang kau tebus dengan duka-deritamu Yang lain tiada, kecuali aku. Apa gunanya saya mendapatkanmu, tanya Sang Bima - Untuk segala-galanya atau tidak untuk apa-apa kau dapat menerima atau menolakku dan hidup selama-lamanya bergulat dengan nagamu. 1974 Sumber data: Saini K.M. 2000.Nyanyian Tanah Air. Jakarta: Grasindo Dari keterangan angka tahun yang terdapat pada keempat puisi, tertera angka tahun dari tiap-tiap puisi. Keterangan tahun pada puisi Bima dan Saudara Kembar karya Subagio Sastrowardoyo yaitu tahun 1985, pada puisi Telinga karya Sapardi Djoko Damono yaitu tahun 1982, dan puisi Dewa Ruci karya Saini KM. adalah tahun 1974. Penulis menganggap bahwa secara berurutan penulisan puisi yaitu diawali puisi Dewa Ruci, puisi Telinga, puisi Saudara Kembar, dan puisi Bima. Dari keterangan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa puisi Dewa Ruci merupakan hipogram dari puisi Telinga, puisi Saudara Kembar, dan puisi Bima; selain itu, puisi Dewa Ruci, puisi Telinga, dan puisi Saudara Kembar, merupakan hipogram dari puisi Bima. 151

BAB V PENUTUP

A. Simpulan

Sesuai dengan perumusan masalah yang telah disajikan pada bab sebelumnya, maka penelitian ini diperoleh suatu simpulan, yaitu sebagai berikut. 1. Unsur-unsur yang membangun puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci yaitu baris, bait, rima, tipografi, dan bunyi yang tersusun dalam bentuk kata-kata, serta arti atau makna, tema, asosiasi-asosiasi, citra, dan emosi. 2. Puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci merupakan pengejawantahan yang kreatif dari cerita Dewaruci. Cerita Dewaruci menjadi hipogram dari puisi Bima, Saudara Kembar, Telinga, dan Dewa Ruci. Keempat puisi yang menghadirkan tokoh Bima mengikuti hipogramnya yaitu cerita Dewaruci, kecuali pada puisi berjudul Bima karya Subagio Sastrowardoyo yang menentang hipogramnya. 3. Makna kehadiran tokoh Bima, Bima, Saudara Kembar, Telinga dan Dewa Ruci adalah sebagai gambaran manusia biasa, pengingat dan teladan, serta wujud kebesaran Tuhan.

B. Saran

Penulis pada waktu mengerjakan skripsi ini menemui kendala yaitu kurang lengkapnya buku-buku yang dapat dijadikan referensi skripsi. Peneliti mengalami hambatan karena minimnya buku-buku yang diperlukan dalam penelitian ini baik di perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa maupun perpustakan pusat UNS. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan pengadaan buku dan referensi