Faktor Environment Informed Consent – Testing HIV

efektor imun yang lainnya, daya tahan tubuh menurun sehingga orang yang terinfeksi HIV akan jatuh kedalam stadium yang lebih lanjut. 16 Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan thymus, yang membuat individu yang terinfeksi akan terkena infeksi opurtunistik. Jumlah virus HIV yang masuk sangat menentukan penularan, penurunan jumlah sel limfosit T berbanding terbalik dengan jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh. 16 AIDS adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case Fatality Rate 100 dalam lima tahun, artinya dalam waktu lima tahun setelah diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderita akan meninggal. 27 Proporsi kasus AIDS yang dilaporkan telah meninggal di Indonesia hingga Desember 2009 adalah 19,3. 10

c. Faktor Environment

Menurut data UNAIDS 2009, dalam survei yang dilakukan di negara bagian Sub-Sahara Afrika antara tahun 2001 dan 2005, prevalensi HIV lebih tinggi di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan, dengan rasio prevalensi HIV di kota : pedesaan yaitu 1,7:1. Misalnya di Ethiopia, orang yang tinggal di areal perkotaan 8 kali lebih mudah terinfeksi HIV dari pada orang-orang yang tinggal di pedesaan. 5 Penelitian Silverman, dkk 2006 desain Case records di Mumbai, pada 175 orang perempuan korban perdagangan seks di rumah pelacuran di India, 54,3 diantaranya berasal dari India, 29,7 berasal dari Nepal, 4 berasal dari Bangladesh dan 12 tidak diketahui asalnya. Dari 28,4 perempuan India korban perdagangan seks yang positif HIV, perempuan yang berasal dari Kota Karnataka dan Maharashtra Universitas Sumatera Utara lebih mungkin terinfeksi HIV daripada perempuan yang berasal dari Kota Bengal Barat dengan Odds Ratio OR 7,35. Hal ini dikarenakan Kota Karnataka dan Maharashtra merupakan daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi. Jadi perempuan korban perdagangan seks yang berasal dari daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi kemungkinan untuk telah terinfeksi HIV sebelumnya lebih besar. 29

2.4. Transmisi HIVAIDS

Transmisi HIVAIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIVAIDS dapat diketahui, misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersial dan pelanggannya, serta narapidana. 21

2.4.1. Transmisi Seksual

Transmisi HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV. 15 Universitas Sumatera Utara Cara hubungan seksual ano-genital merupakan perilaku seksual dengan risiko tertinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seorang pengidap HIV. Hal ini disebabkan karena tipisnya mukosa rektum sehingga mudah sekali mengalami perlukaan saat berhubungan seksual ano-genital. Risiko perlukaan ini semakin bertambah apabila terjadi perlukaan dengan tangan fisting pada anusrektum. Tingkat risiko kedua adalah hubungan oro-genital termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap HIV. Tingkat risiko ketiga adalah hubungan genito-genitalhetero seksual, biasanya terjadi pada hubungan suami istri yang salah seorang telah mengidap HIV. 27

2.4.2. Transmisi Non Seksual

HIV dapat menular melalui transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya seperti alat tindik yang terkontaminasi HIV. Penggunaan jarum suntik yang berganti-gantian menyebabkan tingginya kasus HIVAIDS pada kelompok pengguna napza suntik IDU. 27 Pada umumnya, ibukota dan kota-kota metropolitan mempunyai jumlah pengguna napza suntik yang besar. 8 Di negara berkembang, cara ini juga terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan. 27 Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik yang mengandung darah yang terkontaminasi merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV. 15 Transmisi parenteral lainnya adalah melalui donortransfusi darah yang mengandung HIV. Risiko tertular infeksi HIV lewat transfusi darah adalah 90, artinya bila seseorang mendapat transfusi darah yang terkontaminasi HIV maka dapat Universitas Sumatera Utara dipastikan orang tersebut akan menderita HIV sesudah transfusi itu. 27 Di negara maju resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil, hal ini dikarenakan pemilihan donor yang semakin bertambah baik dan pengamatan HIV telah dilakukan. Namun demikian, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman. Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim in utero selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. 15 HIV tidak menular melalui peralatan makanan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai secara bersama-sama, ciuman pipi, berjabat tangan, hidup serumah dengan penderita HIV yang bukan mitra seksual dan hubungan sosial lainnya. Air susu ibu pengidap HIV, salivaair liur, air mata, urin serta gigitan nyamuk belum terbukti dapat menularkan HIVAIDS. 16

2.5. Diagnosis

Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization WHO tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, kedua sistem tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk penentuan tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem WHO untuk infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium, sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi Centers for Disease Control CDC Amerika Serikat. 15

2.5.1. Tes Diagnostik

Universitas Sumatera Utara a. ELISA enzyme-linked immunoabsorbent assay Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA enzyme-linked immunoabsorbent assay. Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain juga bisa menunjukkan hasil positif sehingga menyebabkan false positif, diantaranya penyakit autoimun ataupun karena infeksi. 16 Sensivitas ELISA antara 98,1-100 dan dapat mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam darah. 30 b. Western Blot Western Blot memiliki spesifisitas kemampuan test untuk menemukan orang yang tidak mengidap HIV antara 99,6 - 100. Namun pemeriksaannya cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. 30 Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika test Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka test Western Blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan. 16 c. PCR Polymerase chain reaction PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas. 16

2.5.2. Diagnosis HIV pada orang Dewasa

16 Universitas Sumatera Utara Ada dua sistem klasifikasi yang biasa digunakan untuk dewasa dan remaja dengan infeksi HIV yaitu menurut WHO dan CDC Centre for Diseases Control and Prevention a. Klasifikasi menurut CDC CDC mengklasifikasikan HIVAIDS pada remaja 13 tahun dan dewasa berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh yang dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah supresi kekebalan tubuh ditunjukkan oleh limfosit CD4+. Sistem ini terdiri dari tiga kategori yaitu : a.1. Kategori Klinis A : CD4+ 500 selml Meliputi infeksi HIV tanpa gejala asimptomatik, Limfadenopati generalisata yang menetap, infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut. a.2. Kategori Klinis B : CD4+ 200-499 selml Terdiri atas kondisi dengan gejala simptomatik pada remaja atau orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut yaitu keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan dengan perantara sel cell mediated immunity, atau kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis atau membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV. Universitas Sumatera Utara Termasuk kedalam kategori ini yaitu Angiomatosis basilari, Kandidiasis orofaringeal, Kandidiasis vulvovaginal, Dysplasia leher rahim, Herpes zoster, Neuropati perifer, penyakit radang panggul. a.3. Kategori Klinis C : CD4+ 200 selml Meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS dan pada tahap ini orang yang terinfeksi HIV menunjukkan perkembangan infeksi dan keganasan yang mengancam kehidupannya, meliputi : Sarkoma Kaposi, Kandidiasis bronkitrakeaparu, Kandidiasis esophagus, Kanker leher rahim invasif, Coccidiodomycosis, Herpes simpleks, Cryptosporidiosis, Retinitis virus sitomegalo, Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV, BronkitisEsofagitis atau Pneumonia, Limfoma Burkitt, Limfoma imunoblastik dan Limfoma primer di otak, Pneumonia Pneumocystis carinii. b. Klasifikasi menurut WHO Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia, dalam hal ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan tanda dan gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor ditambah dua gejala minor didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik. Gejala mayor terdiri dari : penurunan berat badan 10, demam yang panjang atau lebih dari 1 bulan, Diare kronis, Tuberkulosis. Gejala minor terdiri dari: Kandidiasis orofaringeal, batuk menetap lebih dari 1 bulan, kelemahan tubuh, berkeringat malam, hilang nafsu makan, infeksi kulit generalisata, Limfadenopati Universitas Sumatera Utara generalisata, Herpes zoster, infeksi Herpes simplex kronis, Pneumonia, Sarcoma Kaposi. WHO mengklasifikasikan HIVAIDS pada orang dewasa menjadi 4 stadium klinis, yaitu : b.1. Stadium I Bersifat asimptomatik, aktivitas normal dan dijumpai adanya Limfadenopati generalisata. b.2. Stadium II Simptomatik, aktivitas normal, berat badan menurun 10, terdapat kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti Dermatitis seroboik, Prorigo, Onikomikosis, Ulkus yang berulang dan Kheilitis angularis, Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir, adanya infeksi saluran nafas bagian atas seperti Sinusitis bakterialis. b.3. Stadium III Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur 50, berat badan menurun 10, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat Kandidiasis orofaringeal, TB paru dalam 1 tahun terakhir, infeksi bakterial yang berat seperti Pneumonia dan Piomiositis. b.4. Stadium IV Universitas Sumatera Utara Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktivitas ditempat tidur 50, terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi opurtunistik seperti Pneumonia Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis otak, Diare Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, Kriptosporidiosis ekstrapulmonal, Retinitis virus sitomegalo, Herpes simpleks mukomutan 1 bulan, Leukoensefalopati multifocal progresif, Mikosis diseminata seperti histopasmosis, Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru, Tuberkulosis di luar paru, Limfoma, Sarkoma Kaposi, serta Ensefalopati HIV. 2.5.3. Diagnosis HIV pada Bayi 16 Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama periode neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan infeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang, Kandidiasis oral, Diare kronis, atau Hepatosplenomegali. Tes paling spesifik untuk mengidentifikasi infeksi HIV pada bayi adalah PCR Polymerase chain reaction, hal ini disebabkan karena antibodi ibu yang masih bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan, maka tes ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV.

2.5.4. Diagnosis HIV pada Anak

16 Anak-anak berusia 18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV sering mengalami infeksi bakteri kambuh-kambuhan, gagal tumbuh atau wasting, Limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring. Universitas Sumatera Utara Terdapat dua klasifikasi yang biasa digunakan untuk mendiagnosis anak dengan HIV yaitu : a. Klasifikasi menurut CDC a.1. Kategori N : gejala ringan Anak yang tidak mempunyai tanda dan gejala sebagai akibat infeksi HIV atau hanya mempunyai satu keadaan yang terdapat pada kategori A. a.2. Kategori A : gejala sedang Anak dengan 2 atau lebih kriteria seperti Limfadenopati 0,5cm, Hepatomegali, Splenomegali, Dermatitis, Parotitis, Infeksi pernafasan bagian atas menetap atau berulang, Sinusitis, atau Otitis media, namun tidak menunjukkan adanya kondisi yang tertera pada kategori B dan C : a.3. Kategori B : gejala sedang Anak dengan gejala selain daripada yang tertera pada kategori A atau C yang menunjukkan adanya infeksi HIV, misalnya Anemia 8gdl, Neutropenia 1000mm 3 , atau Trombositopenia 100.000mm 3 menetap 30 hari, Meningitis bakterial, Pneumonia atau sepsis, Kandidiasis orofaringeal yang menetap 2 bulan pada anak usia 6 bulan, Diare kronis yang berulang, Hepatitis, Stomatitis virus Herpes simplex berulang 2 episode dalam 1 tahun, Bronkitis, Pneumonitis, terserang Herpes zoster sampai 2 kali atau lebih, Leiomiosarkoma, Pneumonia interstitial limfoid atau lymphoid hyperplasia complex, Nefropati, demam lebih dari 1 bulan, Varisella berat. a.4. Kategori C : gejala berat Universitas Sumatera Utara Anak yang menunjukkan gejala seperti yang tertera pada definisi kasus HIV, kecuali Pneumonia interstitial limfoid masuk kategori B. Dijumpai adanya infeksi bakteri berat, sering atau kambuh-kambuh, Kandidiasis esophagus atau paru trakeal, bronkus, dan paru, Coccidiomicosis berat, Pneumonia akibat Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis otak, Diare Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, Ensefalopati, Histoplasmosis berat, Sarcoma Kaposi, Limfoma terutama di otak, Tuberkulosis, Leukoensefalopati multifocal progresif, Tuberkulosis di luar paru, HIV wasting syndrome yaitu penurunan BB 10, disertai diare dan demam 30 hari terus menerus. b. Klasifikasi WHO WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit klinis dengan mengelompokkan tanda dan gejala dalam kriteria mayor dan minor. Seorang anak yang mempunyai 2 gejala mayor dan 2 gejala minor bisa didiagnosis HIV meskipun tanpa pemeriksaan ELISA atau tes laboratorium lainnya. Berikut ini adalah tanda-tanda gejala mayor dan minor untuk mendiagnosis HIV berdasarkan klasifikasi WHO. b.1. Gejala mayor Gagal tumbuh kembang atau penurunan berat badan, Diare kronis, demam memanjang tanpa sebab serta Tuberkulosis. b.2. Gejala minor Universitas Sumatera Utara Limfadenopati, Kandidiasis oral, batuk menetap, Distress pernapasanPneumonia, infeksi berulang, serta infeksi kulit generalisata.

2.6. Metode Pengambilan Darah Tes HIV

31 Terdapat beberapa metode yang biasa digunakan dalam pengambilan darah untuk tes HIV yaitu :

2.6.1. Unlinked Anonymous

Unlinked Anonymous adalah pemeriksaan anti HIV terhadap sampel darah yang diambil untuk pemeriksaan-pemeriksaan lain, dan setelah menghilangkan semua identitas penderita. Hasil pemeriksaan ini tidak dapat dihubungkan kembali dengan si penderita.

2.6.2. Voluntary Anonymous

Metode ini dilakukan dengan pemberian sampel darah secara sukarela oleh seseorang setelah yang bersangkutan menandatangani surat persetujuan. Pada sampel ini hanya diberikan nomor kode. Hasil pemeriksaan dapat dilihat oleh yang bersangkutan dari pengumuman hasil tanpa seorang lainpun mengetahuinya, termasuk petugas surveilans.

2.6.3. Voluntary Confidential

Universitas Sumatera Utara Metode ini dilakukan dengan sukarela oleh seseorang untuk diperiksa darahnya tetapi hasilnya hanya diketahui oleh petugas kesehatan tertentu dan petugas ini harus merahasiakannya.

2.6.4. Mandatory

Metode ini dilakukan terhadap semua orang yang mempunyai maksud tertentu. Pemeriksaan ini dilandasi suatu dasar hukum sehingga tidak ada yang dapat menghindar dari pemeriksaan ini.

2.6.5. Compulsatory

Metode ini biasa dilakukan pada kelompok masyarakat yang kemerdekaannya dibatasi, misalnya seperti narapidana, pusat rehabilitasi narkotika, para resosialisasi PSK. Kelompok ini biasanya diwajibkan untuk mengikuti pemeriksaan anti HIV.

2.7. Pencegahan HIVAIDS

2.7.1. Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap sehat atau mencegah orang sehat menjadi sakit. 32 Pencegahan primer merupakan hal yang paling penting, terutama dalam merubah perilaku. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain : 28 a. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan pendekatan “ABC” yaitu, Abstinence, artinya absen seks ataupun tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah merupakan metode paling aman untuk mencegah penularan HIVAIDS melalui hubungan seksual, jika tidak Universitas Sumatera Utara memungkinkan pilihan kedua adalah Be Faithful, artinya tidak berganti-ganti pasangan. Jika kedua hal tersebut tidak memungkinkan juga, maka pilihan berikutnya adalah penggunaan kondom secara konsisten Use Condom. b. Berhenti menjadi pengguna NAPZA terutama narkotika suntikan, atau mengusahakan agar selalu menggunakan jarum suntik yang steril serta tidak mengunakannya secara bersama-sama. c. Di sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan kewaspadaan universal universal precaution untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui darah. Kewaspadaan universal ini meliputi cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan, penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan, pengelolaan dan pembuangan alat tajam secara hati-hati, pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi dengan benar. d. Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan skrining adanya antibodi HIV, demikian pula semua organ yang akan didonorkan, serta menghindari transfusi, suntikan, jahitan dan tindakan invasif lainnya yang kurang perlu. e. WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu kepada anak yaitu dengan cara mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIVAIDS, apabila sudah terinfeksi HIVAIDS mengusahakan supaya tidak terjadi kehamilan, bila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular Universitas Sumatera Utara dari ibu kepada bayinya dan bila sudah terinfeksi diberikan dukungan serta perawatan bagi ODHA dan keluarganya. 16

2.7.2. Pencegahan Sekunder

28 Infeksi HIVAIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif sehingga muncul berbagai infeksi opurtunistik yang akhirnya dapat berakhir pada kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif. sehingga pengobatan HIVAIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut : a. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik dan pemberian vitamin. b. Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIVAIDS. 28 Jenis-jenis mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa Pneumocystis carinii, Toxoplasma, dan Cryptotosporidium, jamur Kandidiasis, virus Herpes, cytomegalovirusCMV, Papovirus dan bakteri Mycobacterium TBC, Mycobacterium ovium intra cellular, Streptococcus, dll. Penanganan terhadap infeksi opurtunistik ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan terus-menerus. 27 c. Pengobatan antiretroviral ARV, ARV bekerja langsung menghambat enzim reverse transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease. Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi opurtunistik Universitas Sumatera Utara menjadi jarang dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat menyembuhkan pasien HIVAIDS ataupun membunuh HIV.

2.7.3. Pencegahan Tersier

16 Orang yang didiagnosis HIV biasanya banyak menerima diskriminasi saat membutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat, selain itu juga dapat mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. ODHA perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti semulaseoptimal mungkin. Misalnya : a. Memperbolehkannya untuk membicarakan hal-hal tertentu dan mengungkapkan perasaannya b. Membangkitkan harga dirinya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau mengenang masa lalu yang indah c. Menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya d. Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri dan tidak menyalahkan diri atau orang lain e. Selain itu perlu diberikan perawatan paliatif bagi pasien yang tidak dapat disembuhkan atau sedang dalam tahap terminal yang mencakup : pemberian kenyamanan seperti relaksasi dan distraksi, menjaga pasien tetap bersih dan kering, memberi toleransi maksimal terhadap permintaan pasien atau keluarga, pengelolaan nyeri bisa dilakukan dengan teknik relaksasi, pemijatan, distraksi, meditasi, maupun pengobatan antinyeri, persiapan menjelang kematian meliputi Universitas Sumatera Utara penjelasan yang memadai tentang keadaan penderita, dan bantuan mempersiapkan pemakaman.

2.8. VCT Voluntary Counseling and Testing

2.8.1. Definisi VCT

Konseling HIVAIDS adalah dialog antara seseorang klien dengan pelayan kesehatan konselor yang bersifat rahasia, sehingga memungkinkan orang tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasikan diri dengan stress dan sanggup membuat keputusan bertindak berkaitan dengan HIVAIDS. 16 Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIVAIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIVAIDS. 33 VCT adalah proses konseling pra testing, konseling post testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini membantu orang mengetahui status HIV. Konseling pra testing memberikan pengetahuan tentang HIV dan manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan atas isu HIV yang akan dihadapi. Konseling post testing membantu seseorang untuk mengerti dan menerima status HIV+ dan merujuk pada layanan dukungan. 12

2.8.2. Tujuan VCT

16 VCT mempunyai tujuan sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara a. Upaya pencegahan HIVAIDS. b. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsipengetahuan klien tentang faktor-faktor risiko penyebab seseorang terinfeksi HIV. c. Upaya pengembangan perubahan perilaku klien, sehingga secara dini mengarahkan klien menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat.

2.8.3. Tahap VCT a. Sebelum Deteksi HIV Pra Konseling

Pra konseling disebut juga konseling pencegahan AIDS. Dua hal yang penting dalam konseling ini, yaitu aplikasi perilaku klien yang menyebabkan klien dapat berisiko tinggi terinfeksi HIVAIDS dan apakah klien mengetahui HIVAIDS dengan benar. Tujuan konseling pra tes HIV ini adalah agar klien memahami benar kegunaan tes HIVAIDS, klien dapat menilai risiko dan mengerti persoalan dirinya, klien dapat menurunkan rasa kecemasannya, klien dapat membuat rencana penyesuaian diri dalam kehidupannya, klien memilih dan memahami apakah ia akan melakukan tes darah HIVAIDS atau tidak. 16

b. Informed Consent – Testing HIV

Informed Consent Persetujuan Tindakan Medis adalah persetujuan yang diberikan oleh orang dewasa yang secara kognisi dapat mengambil keputusan dengan sadar untuk melaksanakan prosedur tes HIV dan tindakan medik lainnya bagi dirinya atau atas spesimen yang berasal dari dirinya. Juga termasuk persetujuan memberikan informasi tentang dirinya untuk suatu keperluan penelitian. Semua klien Universitas Sumatera Utara sebelum menjalani testing HIV harus memberikan persetujuan tertulisnya. Untuk klien yang tidak mampu mengambil keputusan bagi dirinya karena keterbatasan dalam memahami informasi maka tugas konselor untuk berlaku jujur dan obyektif dalam menyampaikan informasi sehingga klien memahami dengan benar dan dapat menyatakan persetujuannya. 33 Tes HIV adalah tes darah yang dilakukan untuk memastikan apakah seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau belum. Hal ini perlu dilakukan agar seseorang bisa mengetahui secara pasti status kesehatannya, terutama status kesehatan yang menyangkut risiko perilaku seksualnya selama ini. 16 Prinsip Testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaanya. Testing dimaksud untuk menegakkan diagnosis. Testing yang digunakan adalah testing serologis untuk mendeteksi antibodi HIV dalam serum atau plasma. Spesimen adalah darah klien yang diambil secara intravena, plasma atau serumnya. Tujuan testing HIV ada 4 yaitu untuk membantu menegakkan diagnosis, pengamanan darah donor skrining, untuk surveilans, dan untuk penelitian. 33

c. Konseling Pasca Testing