Al-Dirâyah dan Persoalan-persoalan Bahasa

2. Al-Dirâyah dan Persoalan-persoalan Bahasa

Sebagaimana terlihat dari kutipan pernyataan al-Syaukâny dalam bagian muqaddimah kitab tafsirnya, metode al-Dirâyah yang dirumuskannya itu bertumpu pada pendekatan linguistik. Karena itu, tidak ada ayat yang tidak diberinya penafsiran berdasarkan kaidah-kaidah pemaknaan bahasa Arab. Dalam penafsiran setiap ayat, al-Syaukâny terlebih dahulu menjelaskan makna-makna linguistik dari lafaz ayat tersebut sebelum kemudian mencantumkan atsar dan riwayat.

78 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. I. s. 173. 79 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. I. s. 173.

Makna-makna linguistik bahkan kerap dijadikan batasan penafsiran, terutama ketika al-Syaukâny berhadapan dengan ayat-ayat yang kerap memicu perdebatan teologis. Salah satu contohnya adalah ketika al- Syaukâny menafsirkan ayat 54 dari surat al-A’râf yang berkenaan dengan sifat ءاﻮﺘﺳا Allah swt.

                                   “Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit

dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.”

Dalam penafsiran ayat tersebut, al-Syaukâny mengutip empat belas pendapat ulama yang berselisih. Menurutnya, di antara empat belas pendapat itu, hanya satu yang benar dan paling utama, yaitu pendapat madzhab al-Salaf al-Shâlih. Pendapat yang dianggapnya paling benar itu adalah pendapat yang menyatakan bahwa Allah ءاﻮﺘﺳا atau bersemayam di atas 'Arsy, tapi kita tidak bisa mengetahui seperti apa dan bagaimana semayam-Nya itu. Bahkan tak ada bentuk yang pantas untuk menggambarkan istiwâ` Allah karena Dia Mahasuci dari sifat-sifat yang tidak layak untuk disandang-Nya.

Pandangan itu didasarkan kepada uraian tentang kata ءاﻮﺘﺳا dalam

etimologi Arab. Menurut al-Syaukâny, kata tersebut bermakna راﺮﻘﺘﺳﻻاو ّﻮﻠﻌﻟا

yang berarti “tinggi dan menetap”. Selain mengutip dari madzhab al-Salaf al- Shâlih, al-Syaukâny juga mendasarkan pernyataan itu kepada pendapat al-

Jauharî (w. 393 H) 80 , salah seorang ahli Bahasa, yang mengatakan : ﻰﻠﻋ ىﻮﺘﺳا

ﻪﺘﺑاد ﺮﻬﻇ yang berarti “tetap ada di atas pundak hewan”. Dan masih banyak lagi sinonim kata ءاﻮﺘﺳا yang dianalogikan oleh al-Syaukâny dalam tafsirnya itu untuk mendukung pendiriannya. 81

Sedangkan dalam kata شﺮﻌﻟا yang merupakan kalimat selanjutnya dari Q.S. al-A’râf ayat 54 di atas, al-Syaukâny juga mengutip pendapat al-Jauhary yang mengartikan شﺮﻌﻟا dengan “singgasana raja (Tuhan)” yang memiliki konotasi teosentris. Ada juga kata شﺮﻌﻟا yang dimutlakkan dengan kata

selainnya hingga tidak memiliki konotasi pada ketuhanan, seperti ﺖﯿﺒﻟا شﺮﻋ

yang berarti “atap rumah”, ﺮ ﺌ ﺒﻟا شﺮﻋ yang berarti “atap sumur yang terbuat dari kayu”, ﺰﻌﻟاو نﺎﻄﻠﺴﻟاو ﻚﻠﻤﻟا ﻰﻠﻋ شﺮﻌﻟا yang berarti “singgasana raja, presiden dan kekuasaannya”. 82

Dari apa yang dikemukakan di atas, dapat diinferensikan beberapa poin berikut ini tentang metode al-Dirâyah yang digunakan al-Syaukâny dalam tafsirnya. Pertama, konsep al-Dirâyah al-Syaukâny terkait sangat erat dengan persoalan-persoalan bahasa. Yang paling sering dilakukan olehnya

80 Al-Jauhary adalah adalah ahli bahasa Arab yang memiliki asal-usul dari Turki. Dia tercatat sebagai salah seorang murid dari Abu Sa’îd al-Sîrâfy. Lihat L. Kopf, “Al-Djawhar³”,

dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003).

81 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada, Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. V, s. 298. 82 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. V. s. 298.

adalah penjelasan atas makna-makna leksikal dari lafadz-lafadz yang terkandung dalam sebuah ayat al-Qur`an. Tetapi bukan itu saja. Hubungan antara al-Dirâyah dan persoalan-persoalan bahasa juga terlihat dalam sikap al-Syaukâny yang relatif tekstual dalam melakukan tafsir. Perselisihan pendapat di antara para al-Mufassir seringkali disikapi oleh al-Syaukâny dengan cara merujuk kepada makna tekstual-linguistik dari ayat yang bersangkutan.

Kedua, bahasa juga menjadi batas bagi aktivitas rasional dalam tafsir.

Apa yang dilarang dari tafsir bi al-Ra`yi adalah penafsiran yang melampaui kemungkinan-kemungkinan tekstual dan linguistik dari lafaz sebuah ayat. Dengan batasan semacam ini, ruang lingkup al-Dirâyah dalam tafsir al- Syaukâny sebetulnya menjadi lebih luas dari sekedar kutipan terhadap pendapat-pendapat para al-Mufassir terdahulu.

Selanjutnya, kita akan beralih kepada pembahasan mengenai konvergensi antara metode al-Riwâyah dan al-Dirâyah yang dirumuskan al- Syaukâny dalam kitab tafsirnya.