Posisi Pendapat Sahabat dalam Tafsir al-Syaukâny

b. Posisi Pendapat Sahabat dalam Tafsir al-Syaukâny

Tafsir yang datang dari sahabat tidak selamanya harus selalu diterima dan dijadikan hujjah (dasar). Hal ini dilakukan oleh al-Syaukâny dalam memposisikan pendapat para sahabat itu dalam metode tafsir yang digunakannya. Setidaknya ada empat alasan yang dikemukan al-Syaukâny untuk tidak menerima penafsiran yang dilakukan oleh sahabat.

34 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. 2. s. 41-42.

1. Apabila riwayat yang datang dari mereka itu beragam.

Hal itu dapat dilihat dari pandangan al-Syaukâny tentang penafsiran huruf-huruf muqattha’ah dalam fawâtih al-suwar. Ketika menafsirkan ayat pertama dari surah al-Baqarah, al-Syaukâny menyatakan bahwa Rasulullah saw. tidak pernah membicarakan makna-makna rahasia yang terkandung dalam fawâtih al-suwar. Satu-satunya penjelasan yang pernah beliau berikan adalah bahwa setiap huruf dalam al-Qur`an mengandung kebaikan, sebagaimana tercantum dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, al-

Tirmidzi, dan al-Hâkim, melalui jalur Ibn Mas’ud berikut ini. Rasulullah saw. bersabda,

“Barang siapa membaca satu huruf saja dari kitâbullâh, maka dia akan memperoleh satu kebaikan, dan kebaikan itu akan dilipatgandakan sepuluh kali lipat. Aku tidak berkata bahwa alif-lâm-mîm adalah satu huruf, melainkan bahwa alif adalah satu huruf, lâm adalah satu huruf, dan mîm adalah satu huruf.” 35

Dengan alasan tersebut, al-Syaukâny menyatakan bahwa pendapat- pendapat sahabat tentang penafsiran fawâtih al-suwar itu bukan berasal dari Rasulullah saw. sehingga, karenanya, tidak wajib untuk kita ikuti. 36 Pada titik ini, al-Syaukâny berhadapan dengan pernyataan para ulama bahwa jika riwayat-riwayat yang berasal dari para sahabat itu menyangkut persoalan- persoalan yang tidak mungkin dimasuki oleh unsur penalaran rasional (lâ

35 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. 1, s. 106. 36 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. 1, s. 107.

majâla li al-ijtihâd fîhi), maka riwayat-riwayat itu dihukumi marfû’. Bukankah persoalan fawâtih al-suwar itu bukan sesuatu yang bisa dipikirkan secara rasional? Lalu mengapa pendapat para sahabat itu tidak dikategorikan sebagai marfû’?

Al-Syaukâny mengemukakan tiga argumen untuk menegaskan bahwa pendapat para sahabat dalam persoalan fawâtih al-suwar itu bukanlah sesuatu yang bisa dihukumi marfû’.

Pertama, tidak semua pendapat sahabat dalam hal-hal yang tidak

mengandung kemungkinan untuk dipikirkan secara rasional bisa dikategorikan sebagai marfû’. Apalagi dalam hal-hal yang sangat urgen seperti tafsir terhadap kalâmullâh ini. Artinya, harus ada alasan yang benar dan pasti (burhân shahîh) untuk mengkategorikan pendapat mereka itu sebagai sesuatu yang marfû’ kepada Rasulullah saw..

Kedua, pendapat para sahabat dalam persoalan fawâtih al-suwar ini bertentangan dan saling bertolak belakang satu sama lain. Jika kita membenarkan sebagian dan menyalahkan sebagian yang lain, maka hal itu adalah keputusan yang tidak berdasar. Tetapi jika kita membenarkan seluruhnya tanpa terkecuali, maka bagaimana mungkin kita membenarkan banyak hal yang saling bertolak belakang?

Ketiga, karena pendapat-pendapat sahabat itu saling bertentangan, maka bisa dipastikan bahwa itu semua tidak berasal dari Rasulullah saw.. Jika Rasulullah saw. pernah menjelaskan makna fawâtih al-suwar itu, maka para sahabat tentu tidak akan mengemukakan penafsiran yang sangat beragam. 37

37 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. 1, s. 107.

Oleh karena itu, menurut al-Syaukâny, sikap yang paling tepat dalam persoalan fawâtih al-suwar itu adalah tidak menafsirkannya dan menyerahkan pemahamannya kepada Allah semata. Pada saat yang sama, kita juga harus meyakini bahwa Allah menurunkan ayat-ayat tersebut demi

hikmah tertentu yang tidak mampu kita pahami secara rasional. 38 Uraian di atas menunjukkan bahwa al-Syaukâny menyikapi pendapat

para sahabat secara selektif. Tidak semua riwayat yang berasal dari mereka harus diterima.

2. Al-Syaukâny juga menolak penafsiran sahabat apabila penafsiran tersebut bertentangan dengan riwayat lain yang berasal dari Rasulullah saw.

Dalam kasus ini sebagaimana terlihat dalam tafsirnya terhadap ayat 284 dari surah al-Baqarah berikut ini.

                               “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada

di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan denganmu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Tentang ayat ini, Sa’id bin Manshur, al-Thabary, Ibn al-Mundzir, dan Ibn Abî Hâtim meriwayatkan sebuah pernyataan dari Ibn ’Abbas bahwa ayat di atas menyinggung orang yang menyembunyikan persaksian (kitmân al-

38 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. 1, s. 107. lihat juga dengan Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. 3, s. 448.

syahâdah) di hati mereka. Tetapi al-Syaukâny menolak pendapat Ibn ’Abbas itu dengan alasan terdapat hadits lain dari Rasulullah yang menyatakan bahwa ayat di atas di-naskh oleh ayat lain setelahnya, yaitu lâ yukallifullâhu nafsan illâ wus’ahâ. Selain itu, tulis al-Syaukâny, jika ayat di atas memang turun sebagai respons atas kitmân al-syahâdah, maka ia tentu tidak akan menyebabkan para sahabat gelisah dan sedih seperti terekam dalam banyak riwayat lain yang mengisahkan proses turunnya ayat tersebut. 39

3. Al-Syaukâny menolak penafsiran seorang sahabat

berdasarkan riwayat lain yang lebih valid secara historis.

Dalam kasus ini terlihat dalam tafsirnya terhadap surah al-Kahfi, ayat 110, berikut ini.                 

        Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang

diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Dalam sebuah riwayat yang berasal dari al-Thabary dan Ibn Mardawaih, Mu’awiyah bin Abu Sufyan menyatakan bahwa ayat di atas merupakan ayat yang terakhir kali diturunkan. Al-Syaukâny berkomentar bahwa pendapat Mu’awiyah tersebut problematis (musykil) karena seluruh bagian dari surah al-Kahfi, termasuk ayat di atas, diturunkan di Mekah.

39 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. 1, s. 514-515.

Dengan mengutip pendapat Ibn Katsir, al-Syaukâny menduga bahwa pernyataan Mu’awiyah telah dikutip secara salah oleh para periwayatnya. Barangkali yang dimaksud oleh Mu’awiyah adalah bahwa tidak ada ayat lain yang me-naskh dan membatalkan ayat di atas. 40

4. Al-Syaukâny menolak penafsiran sahabat lantaran penafsiran tersebut bertentangan dengan makna linguistik

ayat yang bersangkutan.

Seperti terlihat dalam penafsiran ayat 40 dari surah Maryam berikut

ini.            

“Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman.”

Ibn ’Abbas menafsirkan ةﺮﺴﺤﻟا مﻮﯾ dalam ayat di atas sebagai salah satu nama dari sekian banyak nama-nama hari Kiamat. Menurutnya, penafsiran ini didukung oleh ayat lain, yaitu surah al-Zumar, ayat 56, yang berbunyi,

              “Supaya jangan ada orang yang mengatakan, "Amat besar

penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah).”

Akan tetapi al-Syaukâny menolak penafsiran ini. Selain karena di dalam sanad hadits tersebut terdapat ’Ali bin Abi Thalhah yang dla’if, al- Syaukâny juga beralasan bahwa ayat yang digunakan oleh Ibn ’Abbas

40 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz.3, s. 440-441.

sebagai argumen sebetulnya tidak menunjukkan makna yang dimaksud (lâ tadullu ’alâ al-mathlûb), tidak dari segi kesesuaiannya (muthâbaqah), tidak dari segi kandungannya (tadlammun), serta tidak pula dari segi indikasinya (iltizâm). 41

Dari empat alasan yang dikemukan oleh al-Syaukâny penulis dapat menyimpulkan bahwa penafsiran yang datang dari sahabat itu tidak harus selalu diterima, artinya kita harus selektif dalam menerima penafsiran tersebut.