Al-Syaukâny dan Mayoritas Pendapat Ahlul Hadits

a. Al-Syaukâny dan Mayoritas Pendapat Ahlul Hadits

Al-Syaukâny adalah seorang ahli di bidang hadits. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, dia menulis beberapa karya dalam disiplin keilmuan ini, seperti Nail al-Authâr dan al-Fawaâ`id al-Majmû’ah fî al-Ahâdîts al-Maudlû’ah. Karena itu, tidak mengherankan jika rujukan terhadap hadits-hadits Rasulullah dalam kitab tafsirnya menempati porsi yang sangat ekstensif.

Penggunaan hadits Rasulullah oleh al-Syaukâny terlihat, misalnya, dalam penafsirannya terhadap ayat 60 dari surah al-Anfal yang berbunyi,             

                       “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang

kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”

Untuk menafsirkan kata ةﻮﻗ dalam ayat di atas, al-Syaukâny mengutip hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dan beberapa muhaddits lainnya melalui jalur periwayatan ‘Uqbah bin ‘Âmir. Dalam hadits tersebut, ’Uqbah mengisahkan bahwa dirinya pernah mendengar Rasulullah membaca ayat “wa a’iddû lahum min quwwah” di atas mimbar. Beliau kemudian Untuk menafsirkan kata ةﻮﻗ dalam ayat di atas, al-Syaukâny mengutip hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dan beberapa muhaddits lainnya melalui jalur periwayatan ‘Uqbah bin ‘Âmir. Dalam hadits tersebut, ’Uqbah mengisahkan bahwa dirinya pernah mendengar Rasulullah membaca ayat “wa a’iddû lahum min quwwah” di atas mimbar. Beliau kemudian

Dalam beberapa hal, al-Syaukâny memegang teguh pandangan- pandangan yang diyakini secara umum oleh mayoritas ulama hadits. Itu terlihat dalam penafsirannya terhadap kisah Nabi Musa dan Khidir yang tercantum dalam ayat 60-70 dari surah al-Kahfi. Setelah menyatakan bahwa kisah-kisah tentang Musa dan Khidir itu tercantum dalam banyak literatur hadits, al-Syaukâny kemudian menegaskan bahwa dirinya berpegang kepada

hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim saja karena apa yang tercantum dalam kedua kitab tersebut “membuat rujukan kepada kitab-kitab lain tidak diperlukan.” 2 Hal ini tentu selaras dengan pandangan mayoritas ulama hadits tentang otoritas yang dimiliki oleh Shahih al-Bukhari dan Shahih al-Muslim dibandingkan dengan kitab-kitab hadits lainnya. 3

Para ulama hadits juga biasa memberikan perhatian yang sangat tinggi kepada persoalan sanad. Demikian pula al-Syaukâny sebagaimana terlihat dalam penafsirannya terhadap ayat 8 dari surah al-Tahrîm berikut ini.

1 Dalam ayat tersebut, selain mengutip hadits Rasulullah saw., al-Syaukâny juga mengemukakan penafsiran Ibnu ‘Abbâs yang memaknai kata ةﻮ ﻗ dengan “panah, pedang-

pedang dan senjata-senjata”. Lihat Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. II. s. 460-470.

2 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. III. s. 414. 3 Abu 'Umar dan Ibnu Shalah mengatakan dalam kitab 'Ulum al-Hadist" bahwa kitab

Shahih Bukhary dan Shahih Muslim adalah kitab paling shahih setelah al-Qur'an. Lihat, Ibnu Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî fi Syarh Shahîh al-Bukhârî, (Mesir : Dâr al-Mishr, 1421 H./2001 M.), cet. ke-1, juz. I, s. 8

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhan (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami;

Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Ketika menafsirkan kata-kata ﺎﺣﻮﺼﻧ ﺔﺑﻮﺗ , al-Syaukâny mengutip dua buah hadits; yang pertama berstatus mauqûf dan berasal dari ’Umar bin Khattab, sementara yang kedua marfû’ dan diriwayatkan melalui jalur Ibn Mas’ud. Redaksi kedua hadits itu sama, yaitu bahwa yang disebut taubat sebenar-benarnya adalah taubat yang membuat seseorang berhenti mengulangi dosanya. 4

Tetapi al-Syaukâny memilih untuk berpegang kepada hadits yang

5 mauqûf 6 daripada kepada hadits yang marfû’ dengan alasan bahwa hadits kedua memiliki kelemahan dalam sanadnya. 7

4 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. 5. s. 338 5 Hadits mauquf adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat baik melalui ucapan,

perbuatan, dan semisalnyadari mereka,riwayat ini hanya sampai kepada sahabat saja tidak kepada Rasulullah. Menurut Ibnu Shalah dalam istilah para fuqaha dari Khurâsan pengertian tentang mauquf adalah al-Astar. lihat, 'Utsmân bin 'Andurrahman al-Syahrazûrî atau lebih dikenal Ibnu Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm al-Hadits (Bairut : Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1409 H- 1989 M), t.tc., h. 24.

6 Al-Hadits al-Marfu' adalah segala sesuatu yang disandarkan hanya kepada Rasulullah, al-Khafidz Abu Bakar bin Stsabit berkata : al-Marfu' adalah apa saja yang

Ini adalah bukti bahwa al-Syaukâny adalah memahami tentang hadits yang memang tidak harus diterima begitu saja tanpa ada penelitian terdahaulu, al-Syaukâny dalam banyak kesempatan selalu memberi peringatan tentang pentingnya meneliti serta melakukan kajian yang mendalam dalam masalah sanad. Selanjutanya kita akan melihat bagaimana al-Syaukâny bersikap tentang hadits-hadits dla'if.