Al-Syaukâny dan Isrâ`iliyyât

5. Al-Syaukâny dan Isrâ`iliyyât

Salah satu kesalahan yang kerap dilakukan dalam tafsir yang disandarkan kepada riwayat adalah masuknya isrâ`iliyyât yang tidak

59 Nama lengkapnya adalah Abû Nashr Ismâ‘il ibn Nashr bin Hammâd, seorang leksikograf Arab yang memiliki asal-usul Turki. Karya terbesarnya adalah al-Shihâh. Lihat L.

Kopf, “al-Djawhari”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition.

60 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. III. s. 502.

berdasar. 61 Tafsir Fath al-Qadîr, karya al-Syaukâny, dianggap sebagai salah satu kitab tafsir yang relatif steril dari isrâ`iliyyât. 62 Pada bagian ini, kita akan menguji anggapan tersebut melalui uraian tentang penafsiran al-Syaukâny terhadap ayat-ayat tertentu yang seringkali dimasuki unsur isrâ`iliyyât.

Al-Syaukâny bukan sama sekali tidak mencantumkan isrâ`iliyyât dalam kitab tafsirnya. Ketika menafsirkan ayat 102 dari surah al-Baqarah, misalnya, dia mengutip beberapa riwayat yang mengandung isrâ`iliyyât. Ayat itu sendiri berbunyi,

                                                                                   “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada

masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitanlah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang

61 Al-Dzahaby, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 2, s. 115 62 Seperti yang dikatakan oleh al-Ghumary, bahwa tafsir Fathul Qadîr adalah kitab

tafsir yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan kitab-kitab tafsir yang lain karena sangat sedikit sekali riwayat israiliyyat di dalamnya. Bahkan mungkin tidak ada berita israiliyyat didalam kitab tafsir tersebut kecuali untuk menolak sebuah pendapat. Lihat, Al- Syaukâny, Fathul Qadîr, juz I, s. 56 tafsir yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan kitab-kitab tafsir yang lain karena sangat sedikit sekali riwayat israiliyyat di dalamnya. Bahkan mungkin tidak ada berita israiliyyat didalam kitab tafsir tersebut kecuali untuk menolak sebuah pendapat. Lihat, Al- Syaukâny, Fathul Qadîr, juz I, s. 56

Dalam penafsirannya, al-Syaukâny mencantumkan banyak riwayat yang mengandung kisah-kisah tentang Harut dan Marut. 63 Lalu, dengan

mengutip pendapat Ibn Katsir, al-Syaukâny menyatakan bahwa sebagian besar kisah tersebut bersumber dari tâbi’în dan tidak ada satu pun yang memiliki sanad bersambung hingga Rasulullah. Maka, tulisnya, “kita mengimani apa yang tertera dalam al-Qur`an sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah swt., dan Dia lebih mengetahui kenyataan yang sebenarnya.” 64

Sikap al-Syaukâny terhadap isrâ`iliyyât terlihat lebih jelas dalam penafsirannya atas 248 dari surah al-Baqarah berikut ini.             

63 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz 1, s. 243-246. 64 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz 1, s. 246.

“Dan nabi mereka mengatakan kepada mereka, "Sesungguhnya tanda dia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.”

Setelah mengutip banyak riwayat yang mengisahkan makna kata ﺔﻨﯿﻜﺳ

dalam ayat di atas, al-Syaukâny kemudian menyatakan, “Tafsir-tafsir yang saling bertentangan satu sama lain ini barangkali

sampai kepada para tâbi’în melalui orang-orang Yahudi—semoga Allah menghinakan mereka. Orang-orang Yahudi mendatangkan

kisah-kisah tersebut demi tujuan mempermainkan kaum muslimin dan membuat mereka ragu…Adalah hal yang tidak mungkin bahwa riwayat-riwayat yang saling bertentangan itu berasal dari Rasulullah saw.. Dan tidak mungkin pula ia berasal dari pendapat para sahabat dan tâbi’în karena mereka tidak pernah melakukan tafsir bi al-ra`yi dalam hal-hal yang tidak mengandung kemungkinan untuk ijtihad. Dengan demikian, Anda tentu tahu bahwa yang wajib kita lakukan adalah kembali kepada makna linguistik dari kata ‘al-sakînah’ itu sendiri…Seandainya dalam pemaknaan kata ‘al-sakînah’ itu terdapat tafsir yang shahih dari Rasulullah saw., maka kita wajib berpegang kepadanya. Namun riwayat yang shahih dari beliau itu tidak ada….” 65

Kutipan-kutipan itu menunjukkan bahwa al-Syaukâny bersikap sangat hati-hati dalam persoalan isrâ`iliyyât. Tampaknya, dia menyadari bahwa sebagian besar kritik terhadap karya-karya tafsir bi al-Ma`tsûr di masa lalu

65 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz 1, s. 458. Komentar yang hampir sama dapat ditemukan dalam penafsiran al-Syaukâny terhadap ayat 83 dari surah al-Kahfi. Persoalan

yang dibahas di sana adalah tentang siapakah yang dimaksud dengan Dzul Qarnain dalam ayat tersebut. Al-Syaukâny kemudian menyatakan sikap yang tepat terhadap riwayat-riwayat dari ahlul kitab itu adalah dengan tidak mempercayai mereka serta tidak pula mendustakan mereka. Lihat, Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz 3, s. 427.

ditujukan kepada pola pencantuman riwayat yang tidak selektif. Karena itu, hampir semua kisah isrâ`iliyyât yang tercantum dalam kitab tafsirnya tak luput dari komentar dan penilaian kritis.

Untuk mengakhiri uraian tentang penggunaan metode al-Riwâyah oleh al-Syaukâny, perlu dicatat beberapa poin generalisasi berikut ini.

Pertama, sama seperti mayoritas mufassir, al-Syaukâny juga menganut pola hirarki riwayat yang ketat. Penafsiran Rasulullah saw. berada pada status yang tertinggi, diikuti kemudian oleh penafsiran para sahabat dan

tâbi’în. Konsekuensinya, jika pertentangan terjadi antara riwayat-riwayat dalam tiga kategori yang berbeda tersebut, maka riwayat yang memiliki status lebih tinggi harus didahulukan sepanjang riwayat itu memiliki sanad yang bisa dipertanggungjawabkan.

Kedua, selain posisi masing-masing riwayat dalam hirarki tadi, al- Syaukâny juga memberlakukan kriteria kesesuaian dengan lafaz dan makna linguistik ayat untuk menerima atau menolak sebuah riwayat. Tetapi, sebagaimana akan dijelaskan nanti, riwayat yang bersumber dari Rasulullah saw. dalam pendapat al-Syaukâny tidak mungkin ditolak demi alasan-alasan linguistik. Dengan demikian, kriteria kesesuaian dengan lafaz dan makna linguistik ayat hanya berlaku bagi sebagian riwayat yang berasal dari sahabat atau tâbi’în. Pernyataan al-Syaukâny sendiri dalam bagian muqaddimah dari kitab tafsirnya berikut ini mencerminkan dengan bagus bagaimana dia menyikapi riwayat-riwayat dalam tiga kategori tersebut.

“Jika sebuah tafsir bisa dipastikan berasal dari Rasulullah saw., maka ia wajib dipegang dan didahulukan. Hanya saja, riwayat yang benar- benar shahih dalam kategori ini hanya sedikit dibandingkan dengan “Jika sebuah tafsir bisa dipastikan berasal dari Rasulullah saw., maka ia wajib dipegang dan didahulukan. Hanya saja, riwayat yang benar- benar shahih dalam kategori ini hanya sedikit dibandingkan dengan

66 para imam yang datang setelah mereka.

Ketiga, meski al-Syaukâny tidak mencantumkan sanad hadits yang dikutipnya dan seringkali tidak melakukan tarjîh terhadap riwayat-riwayat yang beragam, namun dia bersikap sangat selektif dalam menerima atau menolak sebuah riwayat. Kitab tafsirnya pun relatif bersih dari isrâ`iliyyât. Dalam persoalan selektivitas ini, al-Syaukâny bisa dibandingkan dengan Ibn Katsîr. Bahkan penelitian ini menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, tafsir al-Syaukâny mesti dipandang sebagai lebih selektif daripada tafsir Ibn Katsîr.

Demikianlah penjelasan tentang metode riwâyah dalam tafsir al- Syaukâny. Selanjutnya, pada bagian berikut ini, kita akan mengkaji penggunaan metode dirâyah dalam tafsir yang sama.

66 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz 1, s. 70.