Pengertian Al-Dirâyah

1. Pengertian Al-Dirâyah

Istilah al-Dirâyah menurut al-Zarqâny adalah nama lain dari tafsîr bi al-Ra`yi. 66 Sedangkan al-Khâlidy memberikan beberapa istilah baru yang

diserupakan dengan istilah ra`yi, yaitu al-Tafsîr al-‘aqlî, al-Nazharî. 67 Sementara al-Dzahaby berpendapat bahwa istilah al-Ra`yu digunakan untuk

istilah "al-I’tiqâd", "al-Ijtihâd", dan "al-Qiyâs". Ada yang berkata dengan istilah ashhâb al-Ra`yi yang berarti adalah orang-orang yang suka menggunakan qiyâs (analogi). 68

Dalam menggunakan istilah-istilah tersebut, penulis lebih memilih istilah al-Ra`yi dan al-Ijtihâd. Secara etimologis, kata ra`yu diderivikasikan dari kata "ra`â" – "yarâ" – "ra`yân", yang berarti secara makna dasar adalah penglihatan, pandangan, persaksian, seperti dalam ungkapan “ra`âhu”, yang

66 Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. II, s.11; Hal senada juga dikemukakan oleh W â sim Fathull â h dalam karyanya, Al-Ikhtilâf fi al-Tafsîr: Haqîqatuhû wa Asbâbuh , s. 5. 67 Ta’rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, s. 414.

68 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. II, s. 183.

berarti dia atau ia melihat dengan matanya. Kata al-Ra`yu juga mempunyai beberapa arti atau makna, yaitu al-I’tiqâd (keyakinan), al-Ijtihâd (bersungguh-

sungguh), al-Qiyâs (analogi). 69 Kata itu kadang-kadang juga digunakan dalam pengertian "al-Tadabbur", "al-tafakkur", "al-Nazhar", dan "al-Ta`ammul". 70

Dalam Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia menyebutkan bahwa kata al-Ra`yu memiliki bentuk plural yang sinonim dengan kata al-Ârâ` yang memiliki arti al-Fikr, yang berarti maksudnya adalah pikiran, pendapat. 71

Demikian pula kata ﺔﯾارد – يرﺪﯾ – ىرد yang memiliki arti atau diartikan

dengan mengerti, mengetahui dan memahami. 72 Al-Dzahaby memberikan pengertian tentang tafsîr bi al-Ra`yi sebagai

penafsiran al-Qur`an dengan metode ijtihad oleh seorang mufassir yang memahami bahasa Arab, baik lafazd maupun maknanya, mengetahui asbâb al-Nuzûl, memahami nâsikh wa al-Mansûkh serta perangkat ilmu-ilmu lainnya yang dibutuhkan dalam aktivitas menafsirkan al-Qur`an. 73

Dalam kaitannya dengan penggunaan dan terminologi di atas, al- Zarqâny berargumen bahwa al-Ra`yu adalah media atau alat untuk

69 Al-Fairuz Abâdî, Majiduddîn Muhammad bin Ya‘qûb, Kamus al-Muhîth (untuk selanjutnya Kamus al-Muhîth), (Bairut : Dâr al-Jail, t.th.), juz. IV., s. 33; lihat juga,

'Abdurrahman al-'Ak, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ'iduhu, s. 168. 70 Ahmad Hasan al-Ziyyât wa Farîqih, Al-Mu’jam al-Wasîth, (Al-Qahirah : Majma' al- Lughat al-'Arabiyah, t.th.), s. 320. Bandingkan dengan al-Khâlidy dalam, Ta’rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, s. 413; lihat juga, Al-Najjâr, Manâhij Tafsiriyah, s. 261.

71 A. Warson Munawir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (untuk selanjutnya al- Munawwir Kamus Arab-Indonesia), yang telah ditelaah dan dikoreksi oleh KH. Ali Ma'sum

dan KH. Zainal Abidin Munawir, (Surabaya : Pustaka Progresif, 2002), cet. 25, edisi II, hlm. 461.

72 Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, hlm. 401. 73 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. II, s. 183.

berijtihad, dan karenanya, jika ijtihad dapat dijadikan metode dalam istinbâth (menetapkan) hukum, maka al-Ra`yu dapat pula dijadikan sebagai alat untuk memahami makna al-Qur`an asalkan ijtihad itu jauh dari kesesatan dan kebodohan. Maka, tafsir yang dilandasi oleh dasar ini dianggap sebagai tafsir

yang baik atau diterima. 74 Sedangkan menurut Mannâ’ al-Qatthân, tafsîr bi al-Ra`yi adalah tafsir

yang dalam menjelaskan maknanya mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan istinbâth yang didasarkan kepada ra`yu semata. 75

Menurut Khâlid al-‘Ak, tafsîr bi al-Ra`yi adalah penafsiran dengan pemahaman yang mendalam sembari memusatkan perhatian kepada makna lafazh-lafazh al-Qur`an berdasarkan pengetahuan tentang signifikasi ungkapan (madlûl al-‘Ibârât) al-Qur`an yang dibentuk oleh lafazh-lafazh tersebut. 76

Dari istilah dan pengertian di atas, penulis memiliki kecenderungan untuk mengatakan bahwa tafsîr bi al-Ra`yi adalah kegiatan atau aktivitas penafsiran al-Qur`an yang didukung oleh seperangkat ilmu pengetahuan seperti bahasa Arab, asbâb al-Nuzûl, nâsikh wa mansûkh, dan ilmu bantu lain yang diperlukan dalam proses penafsiran tersebut.

74 Al-Zarqany, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. II, s. 49. 75 Mannâ' al-Qaththân, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an (untuk selanjutnya Studi Ilmu-ilmu

Al-Qur’an), yang telah dialihbahasakan oleh Drs. Mudzakir AS. (Jakarta : Litera AntarNusa, 2004), cet.8, h. 488.

76 'Abdurrahman al-'Ak, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâiduhu, s. 161.

2. Pembagian Tafsîr Dirâyah Telah ditegaskan di sub sebelumnya, bahwa istilah dirâyah dapat disebut atau memiliki sebutan lain tafsîr bi al-Ra`yi. Tafsîr bi al-Ra`yi terbagi menjadi dua macam :

1. Al-Tafsîr bi al-Ra`yi al-Jâiz

2. Al-Tafsîr bi al-Ra`yi ghairi al-Jâiz. 77 Tafsîr bi al-Ra`yi al-Jâiz adalah tafsir yang dilakukan dengan proses

yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, tidak bertentangan dengan

al-Qur`an dan sunnah dan memenuhi syarat-syarat penafsiran. Dalam kaitannya dengan tafsîr bi al-Ra`yi al-Jâiz seorang mufassir disyaratkan memiliki pengetahuan seperti ilmu bahasa (mufradât dan madlûlât), ilmu nahwu, sharf, ma’ânî, bayân, qiraat, ushûluddîn, asbâb al-Nuzûl, nâsikh wa

mansûkh, fiqh, mujmal wa mubham dan ilmu mûhibbah. 78 Apabila seorang ingin menafsirkan al-Qur`an dengan ra`yu, maka sudah seharusnya ia melakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Mencari rujukan dari al-Qur`an,

b. Mencari rujukan dari hadis, dengan memperhatikan hadis yang dla’îf dan maudlû’.

77 Istilah tafsîr bi al-Ra’yi al-Jâiz wa ghairu al-Jâiz di atas adalah istilah yang digunakan oleh al-Zarqâny dalam Manâhil-nya, 'Abdurrahman al-'Akl dan Al-Khalidy

menggunakan istilah Mahmûd Maqbûl dan Madzmûm Mardûd, sementara al-Dzahaby menggunakan istilah, Jâiz Mamdûh, dan Harâm Madzmûm. Ketiga istilah tersebut maksudnya sama, meskipun redaksinya berbeda, dan secara substansi menurut hemat penulis, mereka ingin membagi metode tafsir menjadi ada yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.

78 Al-Zarkasyi, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur'ân, jld. II. s. 190-192; lihat juga, Al-Suyuthy, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, s. 180-181; lihat juga, Al-Zarqany, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-

Qur’ân, juz. II, s. 51.

c. Mencari rujukan dari para sahabat, dengan diiringi sikap kritis terhadap semua yang dinisbatkan kepada mereka.

d. Mengambil kaidah bahasa Arab (muthlaq al-Lughah), karena al- Qur`an diturunkan dengan bahasa Arab. Meski demikian, mufassir tetap harus menjaga makna zhâhir kalimat untuk dipalingkan ke makna yang lain.

e. Menafsirkan dengan memeperhatikan makna 'kalam' dan tujuan syariah.

Setelah semua hal itu tidak dapat ia temukan, maka mufassir itu harus menggunakan ijtihad dan kekuatan akalnya untuk menggungkap serta menjelaskan maksud dari firman Allah swt. tersebut. Di samping hal itu, seorang mufassir juga dituntut harus menggunakan kaidah-kaidah sebagai berikut ini:

1. Menyesuaikan tafsir dengan yang ditafsirkan, tanpa mengurangi dan menambah.

2. Mendahulukan makna hakiki atas makna majâz, yaitu tidak boleh mufassir menggunakan makna majâzî, kecuali apabila tidak dapat mempergunakan makna hakiki.

3. Memperhatikan konteks penuturan (siyâq al-kalâm)

4. Memperhatikan munâsabah antar ayat.

5. Memperhatikan asbâb al-Nuzûl karena kebanyakan ayat-ayat diturunkan dengan sebab tertentu, maka harus disebutkan asbâb al- Nuzûl itu setelah menyebutkan munâsabah sebelum menjelasakan makna ayat. Imâm al-Zarkasyi menyatakan bahwa persoalan mana 5. Memperhatikan asbâb al-Nuzûl karena kebanyakan ayat-ayat diturunkan dengan sebab tertentu, maka harus disebutkan asbâb al- Nuzûl itu setelah menyebutkan munâsabah sebelum menjelasakan makna ayat. Imâm al-Zarkasyi menyatakan bahwa persoalan mana

ayatnya berbeda, maka munâsabah yang didahulukan. 79

6. Setelah menyebutkan asbâb al-Nuzûl dan munâsabah, kemudian memulai dengan yang berhubungan dengan kosa kata, sharf, isytiqâq, tarkîb, dan i’râb.

7. Hendaknya para mufassir menghindari pengulangan sebisa mungkin, dan wajib baginya untuk menjauhi sesuatu yang tidak sahih dari asbâb al-Nuzûl, hadis fadlâ`il, cerita bohong, cerita israilliyât, karena semua itu akan menghilangkan keindahan al-Qur`an..

8. Setelah semua ini dilakukan, maka wajib bagi mufassir untuk kritis, cerdas, dan selalu mengetahui adanya aturan tarjîh saat diperlukan. 80

Apabila seorang mufassir menggunakan kaidah-kadiah ini, maka penafsiran tersebut dianggap maqbûl dan mahmûd, sekaligus dapat disebut atau menjadi istilah tafsîr bi al-Ma’tsûr. Demikian panjang sejarahnya sebuah karya tafsir untuk dapat dinilai maqbûl atau mahmûd, dan demikian pula karya tafsir untuk dinilai sebagai tafsir yang menggunakan metode ini dan itu.

79 Al- Suyuthy, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, s. 186. 80 Al-Suyuthy, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, s. 185-187; lihat juga, Al-Zarqany,

Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. II, s. 49; lihat juga, Al-Dzahaby, Al-Tafsîr wa al- Mufassirûn, juz. II, s. 195. Bandingkan dengan yang di sampaikan oleh Hasbî al-Shiddîqî, Ilmu-ilmu al-Qur’an, h. 202.

Sementara Tafsîr bi al-Ra`yi ghairu al-Jâiz adalah proses penafsiran yang diikuti oleh hawa nafsu dan kebodohan, serta tidak berpegang dengan kaidah-kaidah yang telah disebutkan di atas. Padahal sudah menjadi konsensus ulama bahwa untuk memahami dan menemukan rahasia dari

ayat-ayat Allah itu, seseorang harus menggunakan ilmu-ilmu tersebut. 81 Selanjutnya, al-Dzahaby juga menjelaskan penyebab kesalahan-

kesalahan yang terjadi dalam penafsiran dengan cara ijtihad tersebut. Pertama, seorang mufassir meyakini sesuatu, lalu mencari pembenaran dari

al-Qur`an, tanpa ada dalil dan keterangan yang menunjukkan tentang hal itu. Kesalahan yang termasuk dalam kategori ini terbagi menjadi empat bentuk :

1. Adakalanya makna ayat yang diyakini oleh mufassir itu benar, akan tetapi lafazh atau teks yang digunakannya tidak menunjukkan hal itu, meski dia pun tidak menolak makna zhâhir ayat tersebut. Dalam kasus ini, yang salah adalah dalîl-nya bukan madlûl-nya, karena madlûl-nya yang sahih, akan tetapi teksnya tidak benar. Kesalahan semacam ini banyak dilakukan oleh para ahli nasehat dan kaum sufi. Contohnya adalah tafsir yang dilakukan oleh ‘Abd al-Rahman al-Sulamî dalam tafsirnya, Haqâ`iq al-Tafsîr ketika dia menafsirkan surah al-Nisâ` (4) :

66, yang berbunyi :               

              "Dan Sesungguhnya kalau kami perintahkan kepada mereka:

"Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya

81 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. II, s. 199.

mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. dan Sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).

Kalimat “Uqtulû anfusakum” ditafsirkan ‘Abd al-Rahman al-Sulamî dengan bunuhlah nafsumu, dan “ukhrujû min diyârikum” ditafsirkannya dengan keluarkanlah kecintaan dunia dari hatimu. Hal ini dianggap salah dan keliru karena konteks turunnya ayat ini adalah untuk berperang di jalan Allah swt., mengorbankan jiwa, dan berhijrah, sementara hanya sebagian kecil orang-orang munafik saja yang mau melakukannya. 82

2. Adakalanya makna yang diyakini oleh muffasir itu benar, tetapi lafazh atau teks ayat yang digunakannya tidak menunjukkan hal itu, sementara sang mufassir menolak makna zhâhir ayat tersebut. Dalam kasus ini, yang salah juga adalah dalîl-nya bukan madlûl-nya. Kesalahan dalam bentuk ini banyak dilakukan oleh para sufi. Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh al-Tustary dalam Tafsîr al- Qur`ân al-‘Azhîm, ketika ia menafsirkan surah Al-Baqarah (2) : 35, yang berbunyi :

82 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. II, s. 199-202; lihat juga, al-Najjâr, Manâhij Tafsiriyah, s. 291-292. Dalam konteks Haqâ`iq al-Tafsîr yang ditulis oleh ‘Abd al-

Rahman al-Sulamî, ada salah satu komentar dari Ibnu Shalâh mengenai tafsir tersebut: ”Aku telah mendapati dari imâm Abî al-Hasan al-Wâhidî sesungguhnya Abdullâh al-Sulamî telah menulis kitab “Haqâ`iq al-Tafsîr”. Jika kamu meyakini itu adalah kitab tafsir maka sungguh telah kafir. Lihat, Al-Zarkasyi, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur'ân, jld. II. s.187; lihat juga,Al- Suyuthy, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. II, s. 184.

"Dan kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim."

Al-Tustary berkata bahwa bukan makan sebetulnya yang dilarang dalam ayat tersebut, melainkan menunaikan hasrat dengan sesuatu selain Allah. 83

Contoh lain adalah penafsiran terhadap surah al-‘Ankabût (29) : 69, yang berbunyi :

          "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami,

benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik."

Sebagian orang menjadikan “lama‘a” sebagai kata kerja yang bermakna menyinari (adlâ`a) 84 .

3. Adakalanya makna yang diyakini mufassir itu salah, dan lafazh atau teks yang digunakannya pun tidak menunjukkan hal itu, sementara dia sendiri tidak menolak makna zhâhir ayat tersebut. Kesalahan yang terjadi di sini terletak pada dalîl sekaligus madlûl-nya. Contoh dari kasus ini adalah tafsir yang dinisbatkan kepada Ibnu ‘Arabî dalam tafsirnya yang membenarkan adanya keyakinan tentang wihdah al-

83 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. I, s. 201. 84 Al-Najjâr, Manâhij Tafsiriyah, s. 292.

Wujûd, seperti ketika ia menafsirkan surah al-Wâqi’ah (56) : 57, yang berbunyi :

    "Kami Telah menciptakan kamu, Maka Mengapa kamu tidak

membenarkan?"

Ibnu ‘Arabî menafsirkannya dengan, Kami telah menciptakan kalian dengan bentuk kalian dan dengan wujud Kami, dan bentuk Kami ada

dalam bentuk kalian. 85

Contoh lain adalah ketika dia menafsirkan surah al-Muzzammil (73) :

8, yang berbunyi :      

"Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan."

Ia (Ibnu ‘Arabî) menyatakan bahwa makna ayat ini adalah kenalilah dirimu dan jangan melupakannya sehingga Allah swt. pun akan melupakanmu. 86 Adakalanya makna yang diyakini muffasir itu salah, dan lafazh atau teks yang digunakannya pun tidak menunjukkan hal itu, sementara dia pun menolak makna zhâhir ayat tersebut. Yang banyak melakukan

85 Muhammad Husain al-Dzahaby, Al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur`ân al- Karîm: Dlawâfi‘uhâ wa Dlaf‘uhâ (untuk selanjutnya Al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-

Qur`ân al-Karîm), (T.tp.: Dâr al-I‘tishâm, 1978), s. 80. 86 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. I, s. 201. dalam keterangan yang disampaikan oleh al-Dzahaby bahwa ia adalah Ibnu 'Araby, tidak menggunakan "al" dan ia memiliki tafsir yang disandarkan kepadanya tanpa ditulis judulnya. Al-Dzahaby hanya menulis Al-Tafsir al-Manshub Libni 'Araby, juz 2, s. 352. Sampai tesis ini selesai direvisi penulis tidak dapat menemukan kitab tafsir tersebut.

kesalahan seperti ini adalah ahli bid’ah dan golongan yang menyimpang. Contohnya adalah ketika mereka menafsirkan al-Jibt dan al-Thâghût dalam surah al-Nisâ (4) : 51 ditafsirkan dengan Abû Bakar dan 'Umar. Mereka juga memaknai kata al-Tîn dengan Abû Bakar, al-Zaitûn dengan Umar, Thûr sînîn dengan 'Utsmân dan al-

Balâd al-Amîn dengan 'Alî. 87

Kesalahan kategori kedua terjadi ketika mufassir menafsirkan ayat dengan berpedoman pada makna zhâhirnya tanpa melihat kepada siapa ayat

itu ditujukan, konteks penuturan (siyâq al-Kalâm) seperti apa, dan sebagainya. 88

Selain menyebutkan faktor-faktor penyebab kesalahan penafsiran, al- Dzahaby juga menyebutkan lima hal yang harus dihindari oleh mufassir yang ingin menggunakan tafsîr bi al-Ra`yi ini. Kelima hal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah swt. pada suatu ayat, sementara ia sendiri memenuhi syarat untuk itu (mengetahui ushûl syarî'ah, bahasa Arab, usul fikih dan yang lainnya).

2. Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah, seperti ayat-ayat mutasyâbih.

3. Menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an karena dorongan hawa nafsu dan sikap istihsân (menetapkan hukum suatu perkara tidak berdasarkan alasan hukum yang tepat menurut teks).

87 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. I, s. 201. 88 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. I, s. 200

4. Menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an untuk mendukung dan membela aliran atau madzhab sesat tertentu, dengan cara menjadikan paham aliran atau madzhab yang bersangkutan sebagai dasar bagi penafsirannya.

5. Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an disertai dengan kepastian dan keyakinan bahwa makna itulah yang dikehendaki Allah swt. tanpa dukungan dalil-dalil. Dengan kata lain, memutlakkan pendapatnya sendiri dan cenderung menyalahkan orang lain. 89

3 . Komentar Ulama tentang Tafsîr bi al -Ra`yi / Dirâyah.

Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang boleh tidaknya menafsirkan al-Qur’an dengan ra`yu (nalar); ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Kelompok yang tidak membolehkan penafsiran al- Qur`an dengan akal pikiran seperti Raghib al-Asfahani. 90 Ia berpendapat

bahwa menafsirkan al-Qur’an dengan ra`yu tidak boleh dilakukan, meskipun yang menafsirkan itu ahli bahasa Arab, fiqh, nahwu dan hadis, sebab penafsiran al-Qur`an yang benar hanyalah yang berasal dari Rasulullah saw. dan para sahabat yang menyaksikan turunya ayat. 91

89 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. II, s. 196; lihat juga, Ta’rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, s. 423. bandingkan dengan pernyataan 'Âlî Hasan al-'Ârid yang

dinukil oleh Quraish Sihab, dalam Sejarah dan Ulum al-Qur’an yang menyebutkan bahwa ada enam hal yang harus dihindari oleh seorang mufassir dengan corak ini adalah, mufassir tidak boleh menafsirkan makna suatu ayat yang tidak dikandungnya. Lihat, Quraish Shihab dan Tim, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000), cet ke-2, hlm. 178

90 Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an, juz. 2, s.181 91 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, s. 195

Alasan kelompok yang tidak membolehkan penafsiran al Qur’an dengan ra`yu adalah bahwa penafsiran dengan ra`yu hanya menghasilkan spekulasi atau persangkaan saja tanpa dasar ilmu yang mapan, dan hal itu bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur`an itu sendiri, yaitu :

a. Surah al-Isrâ` (17) : 36                  

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan

dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya."

b. Surah al-A’râf (7) : 33                               ”Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,

baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".

c. Surah al-Baqarah (2) : 169           

“Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”

Di samping ayat-ayat tersebut, ada beberapa hadis dan atsâr yang menjadi pijakan bagi ulama untuk tidak membolehkan penafsiran dengan ijtihad, antara lain:

1. Dari Sa'îd ibn Jubair, dari Ibnu Abbâs, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda : ِﺭﺎﱠﻨﻟﺍ ﻥِﻤ ﻩﺩﻌﹾﻘﻤ ْﺃﻭﺒﹶﺘﻴﹾﻠﹶﻓ ِﻪِﻴْﺃﺭِﺒ ِﻥﺁﺭﹸﻘﹾﻟﺍ ﻲِﻓ َلﺎﹶﻗ ﻥﻤَ ﻭ “Barang siapa berkata tentang al-Qur`an menurut pendapatnya

sendiri atau menurut apa yang tidak diketahuinya, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di dalam api neraka.”

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw. juga bersabda : َﺄﹶﻁﹾﺨَﺃ ﺩﹶﻘﹶﻓ ﺏﺎﺼَﺄﹶﻓ ِﻪِﻴْﺃﺭِﺒ ِﻥﺁﺭﹸﻘﹾﻟﺍ ﻲِﻓ َلﺎﹶﻗ ﻥَ ﻡ “Barang siapa berkata tentang al-Qur`an dengan ra`yu-nya,

walaupun ternyata benar, ia telah melakukan kesalahan." 92

2. Abû 'Ubaid al-Qâsim meriwayatkan bahwa Abû Bakar ra. pernah ditanya tentang maksud kata "al-Abb" dalam surah ’Abasa (80) : 31, yang berbunyi : ” ﺎﺑَأَو ًﺔَﻬِﻛﺎَﻓَو , dan buah-buahan serta rumput-rumputan. Ketika itu, ia menjawab : "Langit manakah yang akan menaungiku dan bumi manakah yang akan menyanggaku, jika aku mengatakan

tentang kalamullah yang aku tidak ketahui.” 93

92 Al-Thabary, Jâmi’ al-Bayân, juz. I, s. 52. Dalam kitab ini dijelaskan ada 6 hadis, yakni 1) dua hadis marfû’ yang diriwayatkan hingga Nabi saw., dan 2) empat hadis mauqûf

yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbâs ra. dan Abû Bakar al-Shiddîq. 93 Untuk lebih jelasnya dapat dibaca pada al-Thabary, Jâmi’ al-Bayân, juz. I, s. 52; lihat juga, Studi Ilmu-ilmu Al-Qar'an, h. 489.

Imâm al-Qurthuby dalam muqaddimah kitabnya menerangkan bahwa tafsîr bi al-Ra`yi itu haram. 94 Hal yang sama juga diikatakan oleh Imâm Ibnu

Katsîr dalam muqaddimah tafsirnya. 95 Demikian pula Ibnu Jarîr juga mengatakan bahwa penafsiran dengan ra`yu dilarang karena ia didasarkan

pada spekulasi dan prasangka. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam

surah Al-A’râf (7) : 33. 96

Berbeda dengan Hujjat al-Islâm al-Ghazâlî (w. 505 H.) yang agak lunak dalam menyikapi hal itu seperti dalam pernyataannya, bahwa

penafsiran dengan ra`yu yang jelek yang penuh dengan hawa nafsu dan kebodohan tidak boleh dilakukan, mekipun apabila hal itu dilakukan dengan ra`yu yang sahih dan sesuai dengan kaidah bahasa, maka itulah yang dimaksud dengan hikmah, yaitu orang yang diberi pemahaman al-Qur`an yang banyak. 97

Adapun kelompok yang membolehkan tafsîr bi al-Ra`yi beralasan bahwa tafsir dengan cara tersebut pada dasarnya tidak mendatangkan madlarat, sepanjang yang bersangkutan mempunyai kemampuan bahasa dan kemampuan agama yang baik serta benar. Karena itu, siapapun yang memiliki kemampuan ilmu dibolehkan untuk mengistinbathkan hukum dari

94 Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân (al- Qurthubî, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân) yang di tahqîq oleh 'Abdul Razzâq al-Mahdî, ( Bairut :

Dâr al-Kitab al-'Arabi, 1424 H/2004 M), juz. 1, s. 14. 95 Ismâ'îl bin Katsîr al-Qursyî, jld. I, s. 11; lihat juga, al-Qurthubî, al-Jâmi' li Ahkâm al- Qur'ân, juz. s. 14. 96 Al-Thabary, Jâmi’ al-Bayân, juz. I, s. 52-3.

97 Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, (Bairut : Dâr al-Fikr, t.th.), juz. II, s. 291-292.

al-Qur`an. Kelompok ini mengajukan alasan-alasan yang menolak pendapat pertama. 98 Berikut ini alasan yang diajukan untuk menolak pendapat

pertama, antara lain : Pertama, dugaan tidak boleh menjadi dasar tafsir untuk dikemukakan sebagai bantahan karena dugaan atau sangkaan sudah merupakan satu macam dari ilmu. Contohnya adalah ketika Rasulullah saw. memeritahkan Mu’âdz bin Jabal ke Yaman. 99

Kedua, hadis riwayat al-Tirmidzî dan Abû Dawud itu diberlakukan

hanya orang yang mempergunakan ijtihad dalam memaknai lafal-lafal musykil dan lafal-lafal mutasyâbih yang kedua-duanya hanya bisa diketahui dengan cara naql. 100

Dalil yang dikemukakan oleh golongan yang membolehkan tafsîr bi- Ra`yi, antara lain, adalah

a. Surah Muhammad (74) : 24        

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?”

98 Al-Dzahaby, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. II, s. 188-189; lihat juga, Ta’rîf al- Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, s. 416-417. 99 Teks hadits yang dimaksud berbunyi :

Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitâb al-Ahkâm ‘an Rasûlillâh, nomer 1249. Dapat dilihat di CD Maktabah Syamilah. 100 Hasbi al-Shiddiqi, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, h .239 Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitâb al-Ahkâm ‘an Rasûlillâh, nomer 1249. Dapat dilihat di CD Maktabah Syamilah. 100 Hasbi al-Shiddiqi, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, h .239

”Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran”.

c. Pernyataan doa Rasulullah saw. kepada Ibnu Abbâs. َلﻴِﻭْﺄﱠﺘﻟﺍ ﻪﻤﱢﻠﻋﻭ ِﻥﻴﺩﻟﺍ ﻲِﻓ ﻪﻬﱢﻘﹶﻓ ﻡﻬﹼﻠﻟﺍ "Ya Allah swt. berikanlah kepadanya pemahaman tentang agama dan

ajarknlah kepadanya tentang takwil."

Pernyataan doa di atas, menurut al-Dzahaby secara implisit mengindikasikan makna bahwa seandainya takwil hanya terbatas pada / untuk didengar dan naql saja seperti al-Qur'an, maka tentunya disitu terdapat faidah yang khusus bagi Ibnu Abbâs. Itulah yang menunjukkan bahwa takwil yang diberikan Rasul saw. kepada Ibnu 'Abbâs sesuatu yang lain setelah sebelumnya mendengar dan mendapat riwayat dari Rasul. Inilah yang disebut tafsîr bi-Ra`yi dan ijtihad.

d. Andaikata tafsîr bi-Ra`yi tidak boleh, tentulah akan hilang kebanyakan hukum karena Rasulullah saw. tidak menafsirkan semua ayat al-Qur`an. Orang yang berijtihad mendapat pahala, walaupun dia salah, asal saja orang tersebut sudah melakukan ijtihad dengan menggunakan segala kesanggupan yang dimilikinya. 101

101 Hasbi al-Shiddiqi, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, h. 240.

Perselisihan tentang boleh dan tidaknya tafsîr bi-Ra`yi tampaknya hanya merupakan perselisihan lafdzî yang bisa dikompromikan, dan adapun maksud orang yang membolehkan tafsîr bi-Ra`yi adalah tafsir yang mencukupi segala syaratnya. Sementara yang dimaksud oleh mereka yang tidak membolehkan tafsîr bi-Ra`yi itu adalah tafsir dengan ijtihad yang tidak cukup syaratnya. 102

Hal senada juga disampaikan oleh al-Dzahaby, bahwa perselisihan ini hanyalah bersifat lafdzî saja bukan pada hakikatnya, dan karenanya al-Ra`yu

memiliki dua bagian. Pertama, al-Ra`yu yang sesuai dengan orang Arab dan cocok dengan al-Qur’an dan sunnah, juga menjaga semua syarat yang ditujukkan bagi mufassir, serta hal seperti demikian ini disebut pula al-Ra`yu al-Jâiz.

Kedua, al-Ra`yu yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, dasar- dasar syari'ah dan tidak pula mencukupi syarat-syarat sebagai mufassir. Inilah yang tidak boleh dan dicela untuk ditinggalkan. Hal ini, karena sesuai dengan pernyatan Ibnu Mas’ûd dalam ungkapannya, “Kalian akan mendapati banyak kaum mengajak kalian kepada kitab Allah swt. dan sungguh mereka telah melempar dan menyembunyikan di belakang punggung meraka, maka wajib

bagi kalian untuk belajar, dan takutlah akan bid’ah.” 103 Salah satu contoh tafsîr bi-Ra`yi yang tidak boleh atau tidak

diperkenankan seperti yang disampaikan oleh Imâm Ibnu Jarîr di dalam Jâmi’ al-Bayân, ketika menafsirkan surah al-Baqarah (2) : 25

102 Al-Zarqany, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. II, s. 58. 103 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. II, s. 188-189.

    "… mereka diberi buah-buahan yang serupa (serupa tapi tidak

sama)."

Menurutnya, sungguh sebagian ahli bahasa Arab telah menduga bahwa makna firman Allah swt.: ﺎًﻬِﺑﺎ َﺸَﺘُﻣ ِﻪِﺑ اﻮُﺗُأَو telah ditafsirkan mereka dengan, buah-buahan di dalam surga itu serupa satu sama lain dalam keutamaannya, yang berarti setiap satu darinya memiliki keutamaan sama seperti yang lain. Dalam kaitan contoh tersebut, al-Thabary hanya

mengatakan kita tidak perlu sibuk mencari dalil untuk menunjukkan kesalahan penafsiran itu, karena ia telah jelas menyalahi ulama ahli takwil, dan cukuplah penyimpangan dari pendapat ulama ahli takwil itulah yang menjadi alasan atas kesalahannya. 104

Demikian juga penafsiran firman Allah swt. pada surah al-Isrâ` (17):

71, yang berbunyi :      

"… kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya." Ada sebagian orang yang menafsirkan kata imâm sebagai bentuk

plural dari kata umm. Tafsir ini salah karena kata umm tidak memiliki bentuk jamak dengan kata imâm, melainkan dengan ummahât. Kesalahan tersebut timbul karena kebodohan mereka tentang tashrîf kata dalam bahasa Arab dan didorong oleh keinginan untuk memuliakan Nabi Isâ as., Hasan serta Husain. 105

Al-Najjâr, Manâhij Tafsiriyyah, s. 230-231. 105 Al-Dzahaby, Al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, s. 47.

4. Macam-macam Corak Tafsîr bi al-Ra`yi / Dirâyah Di dalam perkembangan selanjutnya, muncul beberapa corak tafsir yang semuanya didasarkan pada al-Ijtihâd atau al-Ra`yi sesuai bidang keilmuan masing-masing, antara lain :

a. Corak filsafat dan teologi, yaitu tafsir yang membahas persoalan- persoalan filsafat, baik yang menerima pemikiran-pemikiran Yunani yang berkembang di dunia Islam seperti pemikiran Ibnu Sinâ dan al- Farabî, maupun yang menolak pemikirannya. Seperti kitab Ihyâ`

Ulûmiddîn karya Imam al-Ghazâlî, Mafâtih al-Ghaib karya Fakhruddîn al-Râzî, Tahâfut al-Tahâfut karya Ibnu Rusyd.

b. Corak penafsiran ilmiah, yakni penafsiran al-Qur`an dengan hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat yang ditafsirkan dengan corak seperti ini biasanya adalah ayat yang berkenaan dengan kauniyyah (alam semesta). Seperti kitab al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur`ân karya Imâm al-Suyûthî, al-Islâm Yattahada karya Wâhid al-Dîn Khân.

c. Corak fikih atau hukum, yakni tafsir yang berorientasi atau memusatkan perhatian kepada fikih (hukum Islam) seperti kitab Ahkâm al-Qur’ân karya Abû Bakar Ahmad bin Alî al-Râzî yang lebih dikenal dengan nama al-Jashshâs (w.370 H/980 M), Ahkâm al-Qur’ân karya Ibnu al-‘Arabî.

d. Corak sosial budaya, yaitu satu cabang tafsir yang baru muncul pada masa modern. Menurut Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr al- Adabî al-Ijtimâ’î adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun d. Corak sosial budaya, yaitu satu cabang tafsir yang baru muncul pada masa modern. Menurut Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr al- Adabî al-Ijtimâ’î adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun

Mahmud Syaltût 106