Al-Syaukâny Melakukan Tarjîh.

2. Al-Syaukâny Melakukan Tarjîh.

a. Tarjîh Berdasarkan Popularitas

Al-Syaukâny dalam menyikapi beragamnya pedapat yang di katakan olehtâbi’în ia melakukan tarjîh terhadap salah satu dari sekian banyak pendapat para tâbi’în itu. Sebagaimana terlihat dalam penafsirannya atas ayat 259 dari surah al-Baqarah berikut ini.

                                                                           “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu

negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya, "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" Ia menjawab, "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman, "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya. Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging." Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati), dia pun berkata, "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Pertanyaannya adalah: siapakah lelaki yang dimatikan oleh Allah selama seratus tahun dalam ayat di atas? Al-Syaukâny mencantumkan beberapa pendapat. Qatadah, Sulaiman, Buraidah, dan al-Dlahhak menyebut ’Uzair. ’Abdullah bin ’Ubaid bin ’Umair serta Wahb bin Munabbih menyatakan bahwa lelaki dalam ayat tersebut adalah seorang nabi bernama Armiya`. Ibn Ishaq berpendapat bahwa lelaki itu adalah Khidlir. Sedangkan menurut Mujahid, orang yang disebut dalam ayat di atas adalah seorang

lelaki dari bani Israil. Setelah mengutip pendapat-pendapat tersebut, al- Syaukâny kemudian menyatakan bahwa pendapat yang paling terkenal adalah pendapat yang pertama. 50 Pada ayat ini, al-Syaukâny melakukan

tarjîh berdasarkan popularitas pendapat yang bersangkutan. Akan tetapi popularitas itu bukan satu-satunya kriteria tarjîh yamg dikemukakan oleh al- Syaukâny. Berikut ini criteria tarjih al-Syaukâny yang lain.

b. Tarjih Berdasarkan Makna linguistic.

Al-Syaukâny juga melakukan pembenaran berdasarkan pemahaman linguistik terhadap lafaz ayat yang bersangkutan sebagaimana terlihat dalam penafsirannya terhadap surah al-Thûr, ayat 48, berikut ini.

           “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, Maka

Sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri.”

50 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. 1, s. 478.

Dalam penafsirannya terhadap ayat ini, al-Syaukâny mengutip pendapat ’Atha`, Sa’id bin Jubair, Sufyan al-Tsaury, dan Abu al-Ahwash bahwa yang dimaksud dengan مﻮﻘﺗ ﻦﯿﺣ ﻚﺑر ﺪﻤﺤﺑ ﺢﺒﺳو dalam ayat di atas adalah perintah kepada Rasulullah saw. untuk bertasbih dan memuji Allah saat beliau berdiri dari sebuah majlis. Di sisi lain, Muhammad bin Ka’b, al- Dlahhak, dan al-Rabi’ bin Anas berpendapat bahwa yang diperintahkan oleh ayat tersebut adalah bertasbih saat melaksanakan shalat. Terhadap dua pendapat yang berbeda ini, al-Syaukâny membenarkan pendapat yang

pertama. Alasannya adalah karena kata-kata مﻮﻘﺗ ﻦﯿﺣ dalam ayat tersebut tidak sesuai untuk perintah bertasbih saat melaksanakan shalat. Menurutnya, tasbih di dalam shalat dilakukan setelah berdiri, bukan di saat berdiri. 51

Pemahaman linguistik terhadap lafaz suatu ayat juga menjadi alasan bagi al-Syaukâny untuk menolak pendapat-pendapat para tâbi’în sebagaimana terlihat dalam penafsirannya terhadap ayat 33 dari surah al- Mâ`idah berikut ini.

                                    “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi

Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”

51 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. 5, s. 135-136.

Mujahid menganggap ayat ini berbicara tentang hukuman bagi orang- orang yang melakukan zina dan pencurian. Tetapi al-Syaukâny menolak pendapat ini. Menurutnya, “memerangi Allah” lebih tepat dimaknai sebagai berbuat maksiat dan menentang syariat-Nya. Sedangkan “memerangi Rasul- Nya” dimaknai sebagai memerangi Rasulullah saw. atau kaum muslimin. Sementara “membuat kerusakan di muka bumi” ditafsirkannya sebagai segala bentuk perbuatan buruk, seperti membunuh, merampok,

menghancurkan bangunan, dan sebagainya. Ayat di atas harus dimaknai secara umum, meliputi segala perbuatan aniaya yang mengakibatkan tumpahnya darah seseorang atau kerusakan pada hartanya (al-ta’addî ’alâ dimâ` al-’ibâd wa amwâlihim), namun belum ditetapkan hukumnya oleh al- Qur`an dan Sunnah. Karena itu, zina dan pencurian tidak termasuk dalam kategori perbuatan yang dilarang oleh ayat di atas karena kedua perbuatan tersebut telah ditetapkan hukumnya oleh ayat-ayat yang lain. 52 Selanjutnya,

al-Syaukâny menulis, “Jika Anda telah mengetahui makna zhahir ayat ini berdasarkan

aturan bahasa Arab (muqtadlâ lughah al-’arab) yang dengannya kita diperintahkan untuk menafsirkan kitâbullâh dan sunnah Rasul-Nya, maka Anda seharusnya tidak lagi tertipu oleh detail-detail yang bersumber dari riwayat (al-tafâshîl al-marwiyyah) atau mazhab- mazhab yang dituturkan orang-orang (al-madzâhib al-mahkiyyah). Tetapi jika Anda menemukan dalil yang mewajibkan pengkhususan atas keumuman makna ayat itu atau dalil yang membatasi pemaknaan

berdasarkan bahasa Arab tadi, maka amalkanlah dalil tersebut.” 53

52 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. 2 , s. 50. 53 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz.2, s. 50-51

Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa al-Syaukâny juga sangat selektif dalam menerima atau menolak penafsiran yang datang dari tâbi'in. Dalam melakukan penolakan tafsir yang datang dari tabi'in al- Syaukany memberikan beberapa criteria dianratanya dengan cara tarjih salah satu pendapat mereka.