Macam-macam al-Riwâyah dan Contoh Penafsirannya

2. Macam-macam al-Riwâyah dan Contoh Penafsirannya

Seperti yang penulis jelaskan di atas, batasan yang diberikan oleh ulama-ulama ilmu al-Qur`an mengenai kategorisasi periwayatan atau yang disebut dengan al-Tafsîr bi al-Ma`tsûr adalah tafsir al-Qur`an dengan al- Qur`an, hadits Rasulullah, pernyataan para sahabat, serta pernyataan pemuka para tabi’în.

Tetapi pembagian ini bukannya tanpa persoalan. Penafsiran ayat al- Qur`an dengan ayat al-Qur`an yang lain (tafsîr al-Qur`an bi al-Qur`an) sebetulnya lebih tepat untuk tidak dimasukkan sebagai sebuah kategori dalam tafsîr bi al-ma`tsur karena upaya menjadikan sebuah ayat sebagai penafsiran bagi ayat yang lain merupakan aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan

9 Al-Khâlidy, Ta’rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, s. 201.

atsar yang bisa dinisbatkan kepada generasi-generasi penafsir terdahulu, kecuali jika ia merupakan bagian dari kategori-kategori yang lain (tafsir Nabi,

sahabat, atau tâbi‘in). 10 Di atas itu semua, pembagian tafsir ke dalam tafsîr bi al-Ma`tsur dan

tafsîr bi al-ra`y belakangan ini menuai kritik. Muncul anggapan bahwa dualisme di antara keduanya dibangun di atas kriteria-kriteria yang tidak jelas. Tafsîr bi al-ma`tsur tidak bisa serta merta dilawankan secara benar dengan tafsîr bi al-Ra`y lantaran bahkan dalam penafsiran-penafsiran yang

dikategorikan sebagai tafsîr bi al-Ma`tsur sekalipun terdapat aktivitas rasional. Implikasi dari kritik-kritik tersebut bisa dilihat dalam dua persoalan.

Pertama, pembagian karya-karya tafsir ke dalam dua kategori tafsîr bi al-Ma`tsur dan tafsîr bi al-Ra`y itu kemudian dianggap tidak lagi relevan. Tidak ada satu pun karya tafsir yang sepenuhnya al-ma`tsur dan steril dari

10 Musâ‘id al-Thayyâr, Mafhûm al-Tafsîr wa al-Ta`wîl, s. 8. sebagai kesimpulan dari kritik yang dilakukan oleh Musâ‘id al-Thayyâr adalah sebagaim berikut : Pertama, Ada

kesalahan dalam menggunakan atau mengambil istilah yang telah dilakukan oleh para ulama ilmu-ilmu al-Qur’an (sepert; al-Zarqâny, al-Suyûthî, al-Dzahaby dan sebagainya), semuanya itu bermuara kepada pernyataan Ibnu Taimiyah dalam Muqaddimah Fî Ushûl al-Tafsîr yang menyatakan “Ahsan al-Thurûq al-Tafsîr”, yang kemudian mereka mengubahnya dengan istilah “tafsîr bi al-Ma’tsûr.”

Kedua, Ketika istilah itu digunakan, lalu dihadapkan kepada istilah yang lain, maka akan terjadi pemahaman yang keliru, misalnya “tafsîr bi al-Ma’tsûr” adalah tafsir yang diterima, sementara lawannya ”tafsîr bi al-Ra`yi” adalah tafsir yang tidak diterima.

Ketiga, Masalah pembatasan empat istilah yang gunakan atau diupayakan oleh para ulama ilmu-ilmu al-Qur'an seperti menyebut al-Qur`an, hadis sahih, sahabat, tâbi’în, semuanya itu adalah ijtihad para mufassir saja yang sebenarnya tidak ada nash yang jelas. Karenanya, ijtihad secara hukumnya dinggap sama dengan disiplin ilmu yang lain, khususnya tentang diterima apa tidaknya. Padahal ketika kita menconba menghayati pengertian ma’tsûr itu sendiri secara singkat adalah apapun yang diambil dari orang yang telah lalu. Demikian pula pendapat anda jika ditanya tentang tafsir al-Qur`an dengan al- Qur`an; apakah itu ma’tsûr? Tentu Anda akan menjawab tidak.Musâ‘id al-Thayyâr, Mafhûm al-Tafsîr wa al-Ta`wîl, s.7-11 Ketiga, Masalah pembatasan empat istilah yang gunakan atau diupayakan oleh para ulama ilmu-ilmu al-Qur'an seperti menyebut al-Qur`an, hadis sahih, sahabat, tâbi’în, semuanya itu adalah ijtihad para mufassir saja yang sebenarnya tidak ada nash yang jelas. Karenanya, ijtihad secara hukumnya dinggap sama dengan disiplin ilmu yang lain, khususnya tentang diterima apa tidaknya. Padahal ketika kita menconba menghayati pengertian ma’tsûr itu sendiri secara singkat adalah apapun yang diambil dari orang yang telah lalu. Demikian pula pendapat anda jika ditanya tentang tafsir al-Qur`an dengan al- Qur`an; apakah itu ma’tsûr? Tentu Anda akan menjawab tidak.Musâ‘id al-Thayyâr, Mafhûm al-Tafsîr wa al-Ta`wîl, s.7-11

Kedua, karena tafsîr bi al-Ma`tsur (khususnya yang berasal dari para sahabat dan tâbi‘în) juga mengandung aktivitas rasional, maka, dalam hal-hal yang bersifat ijtihâdiyyah itu, ia juga bisa diterima atau ditolak dengan kriteria yang sama seperti penerimaan atau penolakan terhadap tafsîr bi al-Ra`y. 12

Kriteria penerimaan atau penolakan tafsîr bi al-Ma`tsur harus mempertimbangkan aspek-aspek al-Dirâyah selain aspek-aspek al-Riwâyah. Dengan kata lain, tafsîr bi al-Ma`tsûr tidak otomatis lebih benar daripada tafsr bi al-Ra`y.

Akan tetapi uraian di atas tidak bertentangan dengan asumsi yang dianut oleh penelitian ini bahwa kategorisasi itu dibangun di atas otoritas generasi-generasi pertama (al-Salaf al-Shâlih), khususnya para sahabat dan tâbi‘în. 13 Tafsir yang berasal dari mereka biasanya dibagi menjadi dua

11 Musâ‘id al-Thayyaâ, Mafhûm al-Tafsîr wa al-Ta`wîl, s. 8. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Claude Gilliot. Menurutnya, al-Thabarî tidak bisa dianggap semata-mata

kolektor hadits-hadits tafsir. Al-Thabarî juga merupakan seorang teolog-mufassir karena dia melakukan seleksi terhadap hadits-hadits berdasarkan keyakinan teologisnya. Karena itu, al- Thabarî harus juga dianggap turut serta dalam melakukan elaborasi terhadap ortodoksi Islam. Lihat Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period (Richmond: Curzon Press, 2000), p. 89.

12 Musâ‘id al-Thayyâr, Mafhûm al-Tafsîr wa al-Ta`wîl, s. 8 13 Penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah saw. tidak secara khusus menjadi

bagian dari otoritas generasi-generasi awal. Pembedaan ini diberlakukan karena hadits telah mengalami elevasi sehingga statusnya menjadi sejajar dengan teks al-Qur`an sendiri. Karena itu, menurut para ulama, tidak ada alasan untuk mempersoalkan validitas tafsir yang didasarkan pada hadits sahih karena Rasulullah saw. “…mengetahui segala sesuatu dalam al- Qur`an, yang zhâhir maupun yang bâthin, yang muhkam maupun yang mutasyâbih, yang bagian dari otoritas generasi-generasi awal. Pembedaan ini diberlakukan karena hadits telah mengalami elevasi sehingga statusnya menjadi sejajar dengan teks al-Qur`an sendiri. Karena itu, menurut para ulama, tidak ada alasan untuk mempersoalkan validitas tafsir yang didasarkan pada hadits sahih karena Rasulullah saw. “…mengetahui segala sesuatu dalam al- Qur`an, yang zhâhir maupun yang bâthin, yang muhkam maupun yang mutasyâbih, yang

ijtihad. Kategori pertama harus diterima sepanjang tidak ada cacat pada proses periwayatannya. Sedangkan kategori kedua, yakni tafsir berupa ijtihad, yang berasal dari generasi pertama itu, ada kemungkinan diterima atau ditolak. Seperti unkapan yang disampaiakan oleh Musâ‘id al-Thayyâr :

“…termasuk dalam kategori al-ra`y al-mahmûd karena mereka tidak pernah berkata tentang al-Qur`an tanpa pengetahuan (bi gayr ‘ilm). Mereka juga tidak terpengaruh oleh fanatisme mazhab (hawa madzhabî) yang bisa membuat mereka menyelewengkan makna- makna ayat untuk mendukung apa yang mereka yakini. Maka ketika mereka bebas dari dua hal yang merupakan penyebab terbesar dari munculnya penyimpangan dalam tafsir, dan mereka juga menafsirkan al-Qur`an berdasarkan pengetahuan, maka pendapat mereka dalam tafsir menjadi terpuji. Pendapat yang dha‘if dalam tafsir-tafsir mereka bukan merupakan al-ra`y al-madzmûm.. Sementara pendapat- pendapat yang garib dari sebagian di antara mereka…juga merupakan sesuatu yang jarang terjadi, bahkan hampir tidak bisa disebutkan.” 14

Dengan otoritas semacam itu, tafsir generasi-generasi pertama selalu menjadi kerangka rujukan bagi tafsir generasi-generasi berikutnya. Memang ada beberapa variasi dalam hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Calder

‘âmm maupun yang khâs, yang muthlaq maupun yang muqayyad…, yang tampak maupun yang tersembunyi….” Lihat Muhammad Bakr Isma‘il, Dirâsât fi ‘Ulûm al-Qur`an (Kairo : Dâr al-Manâr, 1991), s. 14. Secara hiperbolis, al-Awzâ‘î (w. 157 H.) bahkan menyatakan, “Al- Qur`an membutuhkan Sunnah lebih daripada Sunnah membutuhkan al-Qur`an.” Lihat R. Marston Speight, “The Function of hâdith as Commentary on the Qur’an, as Seen in the Six Authoritative Collections”, dalam Andrew Rippin [ed.], Approach to the History of the Interpretation of the Qur’an, p. 64-67. Al-Qurthubî juga menukil pernyataan yang sama, tetapi dengan menisbatkannya kepada Makhûl (w. 113 H.), bukan al-Awzâ‘i. Lihat al- Qurthubî, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur`an, juz. 1, s. 30.

14 Musâ‘id al-Thayyaâ, Mafhûm al-Tafsîr wa al-Ta`wîl, s. 12-13.

dalam ulasannya mengenai kitab-kitab tafsir sejak masa al-Thabarî hingga Ibn Katsîr. Al-Râzî, misalnya, dianggap terlalu bersandar kepada otoritas nalar dibandingkan kepada otoritas masyarakat Sunni—sesuatu yang membuat kitab tafsirnya kerap dikritik. 15 Sementara itu, Ibn Katsîr cenderung mengabaikan tradisi intelektual tafsir yang terentang beberapa abad sebelumnya demi tujuan memberikan otoritas kepada Sunnah dan penafsiran generasi salaf. 16 Variasi-variasi ini menunjukkan bahwa prinsip pengakuan terhadap pengalaman masyarakat Sunni itu bersifat longgar dan akuisitif. Al-

Râzî serta Ibn Katsîr tetap menjadi bagian dari tafsir Sunni, sebuah ortodoksi yang cenderung mengecam proses penafsiran apa pun yang hanya didasarkan kepada ra`y semata, yang dilakukan dengan tanpa sama sekali merujuk kepada otoritas generasi-generasi terdahulu. 17

Dalam kerangka rujukan semacam itu, mudah dipahami jika tafsîr bi al-Ra`y al-Mahmûd yang berasal dari generasi-generasi belakangan bahkan

dibatasi hanya pada dua hal: pertama, tarjîh atas tafsir-tafsir generasi pertama, dan kedua, tafsir baru yang tidak bertentangan dengan tafsir

generasi pertama. 18 Kegiatan penafsiran al-Qur`an memang harus terus dilakukan untuk menjawab tuntutan zaman yang senantiasa berubah, namun,

“…diperlukan batasan-batasan tertentu dalam hal ini, yaitu…bahwa makna [yang ditarik dari al-Qur`an] harus sahih dan sesuai dengan [kaidah-kaidah] bahasa serta tidak bertentangan dengan (yakni tidak membatalkan) pendapat generasi terdahulu (al-salaf). Jika syarat-syarat

15 Calder, “Tafsîr from Thabarî to Ibn Kathîr”, p. 110-115. 16 Calder, “Tafsîr from Thabarî to Ibn Kathîr”, p. 120-131. 17 Calder, “Tafsîr from Thabarî to Ibn Kathîr”, p. 134. 18 Musâ‘id al-Thayyaâ, Mafhûm al-Tafsîr wa al-Ta`wîl, s. . 13. Pendapat senada juga

tersirat dalam Shubhî Shâlih, Mabâhîts fî ‘Ulûm al-Qur`an, s. 293-294.

ini terpenuhi, maka…tafsir baru (al-tafsîr al-jadîd) dapat dianggap sahih dan dikategorikan sebagai tafsîr bi al-ra`y al-mahmûd yang didasarkan kepada ilmu.” 19

Kutipan di atas menggambarkan dengan bagus dua bagian paling penting dari struktur dasar tentang tipologi tafsir yang dilakukan ulama selama ini. Oleh karenya penulis sepakat kalau tafsir al-Qur`an dengan ayat

al-Qur`an yang lain dimasukkan kedalam tipologi tafsir al-Dirâyah. 20 Sebagaimana akan penulis jelaskan nanti. Berikut ini penjelasan tentang macam-macam Al-Riwayah atau model

al-Tafsîr bi al-Ma`tsûr dari tiga kategorisasi yakni tafsir al-Qur'an dengan Hadis Rasulullah, sahabat dan Perkataan Tabi'in :

A. Tafsir al-Qur`an dengan Sunnah

Apabila seorang mufassir tidak menemukan penafsiran al-Qur`an dengan al-Qur`an, maka orang itu harus mencari penafsiran dari sunnah. Penafsiran al-Qur`an dengan sunnah mendapat persetujuan langsung dari al- Qur`an sendiri yang memberikan otoritas penafsiran kepada Nabi Muhammad saw.. Hal ini berdasarkan, antara lain, surah an-Nisâ` (4) : 105 yang berbunyi :

19 Musâ‘id al-Thayyaâ, Mafhûm al-Tafsîr wa al-Ta`wîl, s. . 13 20 Al-Syaukany dalam muqaddimahnya tidak secara ekplisit menjelaskan tentang tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an sebagai bagian dari tafsir bi al-Ma'sur tetapi karena kesesuai lafal ( al-Lughah al-Arabiyah) kecocokan dengan lafal-lafal dalam al-Qur'an adalah termasuk dalam kategari tafsir bi al-Dirayah atau tafsir dengan bahasa Arab. Alasan ini yang penulis jadikan alasan untuk menjelaskan bahwa tafsir al-Qur'an dengan ayat al-Qu'an yang lain sebagai bagian dari al-Dirayah. Lihat, Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, al-Jâmi’ baina Fannay al- Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsir, juz. I, s. 70

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”

Untuk tujuan “menjelaskan kandungan al-Qur`an” itulah Rasulullah saw. diutus oleh Allah sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur`an, surah al-

Nahl (16) : 44              

Keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur`an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah di turunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”

Menurut al-Syathîbî ia menegaskan bahwa Sunnah memiliki status yang lebih sekunder dibandingkan al-Qur`an, dia juga secara bersamaan menekankan fungsi Sunnah sebagai sumber yang tidak mungkin diabaikan

dalam penafsiran al-Qur`an. 21

21 Al-Syathîbî, Al-Muwâfaqât, juz. 3, s. 251. lihat juga komentar yang sama mengenai fungsi sunnah yang di sampaikan oleh, Khâlid bin 'Abdurrahman al-'Ak,Ushûl al-Tafsîr wa

Qawâ‘iduh, (Beirut : Dâr al-Nafais, 1406 H./1986 M.), cet. ke-2, s. 126.

Khâlid bin 'Usmân al-'Ak yang mengutip pendapat Imâm Ahmad menyatakan, bahwa sunnah menafsirkan al-Qur`an dan menjelaskannya. 22

Demikian juga al-'Ak mengutip ‘Abdurrahman al-Sulâmî seorang tabi’în al- Jalîl menyatakan bahwa orang yang membacakan al-Qur`an kepada kami, seperti 'Utsmân bin ‘Affân, ‘Abdullâh bin Mas’ûd dan selain keduanya bahwa sesungguhnya mereka belajar bersama Nabi saw. sepuluh ayat dan tidak akan berpindah sebelum mereka mengerti apa yang di dalamnya dari ilmu dan amal, juga mengatakan : "Kami belajar al-Qur`an; ilmu dan amal secara

bersama-sama’.” 23

Model penafsiran seperti tersebut dilakukan pula oleh Ibnu Katsîr sebagaimana tercantum dalam muqaddimah kitab tafsirnya yang mengungkapkan:

“Apabila aku tidak mendapati penjelasan dari al-Qur`an, maka aku menafsirkan dengan sunnah Nabi Muhammad saw, sebagaimana Rasulullah saw. berkata kepada Mu‘adz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke Yaman.” 24

22 Khâlid bin 'Usmân al-Sabt (untuk selanjutnya 'Usmân al-Sabt), Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhu, (Al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Saudiyyah: Dâr Ibnu 'Affân, 1997), s.116; lihat

juga dalam informasi yang sama, Khâlid bin 'Abdurrahman al-'Ak, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduh, s. 116.

23 Khâlid bin 'Abdurrahman al-'Ak, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduh, s. 116 24 Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhim (Beirut : Muassasat al-Rayyân, 1424

H./2003 M.), cet. 8, Juz. I. s. 9. berikut ini pernyataan Ibnu Katsîr,"

Berikut ini adalah beberapa contoh penafsiran yang dilakukan oleh Nabi terhadap ayat-ayat al-Qur`an, seperti tafsir tentang “al-Maghdlûb ‘alaihim” dalam surah al-Fatihah, yang ditafsirkan dengan orang-orang Yahudi, dan “al-Dhâllîn” yang ditafsirkan dengan orang-orang Nashranî. Diriwayatkan dari Imam Ahmad, al-Turmudzî — dia menganggap hadits ini hasan - serta Ibnu Hibbân dalam Shahîhnya, dari ‘Adi bin Hâtim, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Al-Maghdlûb ‘alaihim”, mereka adalah orang

Yahudî, dan “al-Dhâllîn”, mereka adalah orang Nasranî.” 25

Tafsir ayat dari surah al-Fatihah di atas dikuatkan dengan adanya firman Allah swt. dalam surah al-Mâidah (6) : 60 dan 77 yang berbunyi :

"Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang- orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah swt., yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah swt., di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?" Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus."

25 'Abdurrahman bin 'Ali bin Muhammad al-Jauzî al-Qurâsyî (w. 597 H.), Zâdul Masîr fî 'Ilm al-Tafsîr, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1407 H./1987 M.), cet. ke.1, jld. I, s. 11; lihat juga,al-

Syuthy, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz, II, s. 191. lafazd hadis dimaksud sebagai berikut: ﻥـﻋ ﻡﻠﺴﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺼ ﷲﺍ لﻭﺴﺭ ﺕﻟﺄﺴ لﺎﻗ ﻡﺘﺎﺤ ﻥﺒ ﻱﺩﻋ ﻥﻋ ﻱﺭﹶﻁﹶﻗ ﻥﺒ ﻱﺭﻤ ﻥﻋ ﺔﻤﻠﺴ ﻥﺒ ﺩﺎﻤﺤ ﻩﺍﻭﺭ ﺩﻗﻭ

ﻥﻭﻟﺎﻀﻟﺍ ﻡﻫ ﻯﺭﺎﺼﻨﻟﺍ لﺎﻗ { ﻥﻴﻟﺎﻀﻟﺍﻻﻭ } ﺩﻭﻬﻴﻟﺍ ﻡﻫ : لﺎﻗ { ﻡﻬﻴﻠﻋ ﺏﻭﻀﻐﻤﻟﺍ ﺭﻴﻏ } ﻰﻟﺎﻌﺘ ﻪﻟﻭﻗ Hadist tersebut diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya, juz 5, no: 73 dan 77,

Ibnu Jârir, juz, I, s. 62 -64. Imam al-Haisamy berkata dalam al-Majma' , juz, 6, s. 314.

Sesungguhnya yang dimaksud dengan surah al-Mâidah (6) : 60 ini adalah orang-orang Yahudî, sementara firman Allah swt. di surah yang sama

ayat 77 ini menjelaskan bahwa mereka itu adalah orang-orang Nashranî. 26

                        Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan

(melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad saw.) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus."

Dalam menafsirkan ayat tersebut di atas, Nabi Muhammad telah menjadikan orang Yahudî sebagai tanda orang-orang yang rusak keinginannya, dan orang Nashranî adalah tanda orang yang tersesat karena sebenarnya mereka telah mengetahui jalan yang benar. 27

Demikianlah gambaran singkat tentang tafsir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad terhadap ayat-ayat al-Qur'an, bahwa Nabi (sunnah) itu berfungsi sebagai penjelas sekaligus penafsir dari maksud firman Allah swt. seperti unkapan imam Syafi'I berikut ini:"

26 Dalam tafsir Ibnu Katsîr menyebutkan bahwa ayat 77 surah al-Mâidah ini bukan saja menjadi penjelas terhadap ayat (7) dari surah al-Fatihah yang singkatnya adalah tertuju

kepada orang-orang Nashranî, akan tetapi penafsiran lebih mendalam tertuju pula pada sifat- sifat atau perilaku orang-orang Nashranî yang mengkultuskan utusannya maupun pemimpin- pemimpinnya sebagai Tuhan seperti halnya orang-orang Nashranî di masa Nabi 'Isa as. Inilah yang dimksud dengan melmpui batas yang terdapat di ayat (77) dari surah al-Mâidah. Lihat, Ismâ'îl bin Katsîr al-Qursyî,Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhim jld. II, s. 114; lihat juga, al- Israilliyât wa al-Maûdlu'ât fi Kutub al-Tafsîr, s. 50.

27 Muhammad Abu Syuhbah, Al-Israilliyât wa al-Maûdlu'ât fi Kutub al-Tafsîr, s. 50.

ﷲﺍ لﻭﺴﺭ ﻪﺒ ﻡﻜﺤ ﺎﻤ لﻜ ﻰﻟﺎﻌﺘ ﷲﺍ ﻪﻤﺤﺭ ﻲﻌﻓﺎﺸﻟﺍ ﺱﻴﺭﺩﺇ ﻥﺒ ﺩﻤﺤﻤ ﷲﺍ ﺩﺒﻋ ﻭﺒﺃ ﻡﺎﻤﻻﺍ لﺎﻗ ﻥﺁﺭﻘﻟﺍ ﻥﻤ ﻪﻤﻬﻓ ﺎﻤﻤ ﻭﻬﻓ ﻡﻠﺴﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺼ "Apa saja yang di tetapkan (dijelaskan)oleh Rasulullah itu adalah

pemahamannya terhadap al-Qur'an." 28

Selain contoh ayat di atas, masih ada ayat lain yang menjelaskan fungsi sunnah sebagai penjelas al-Qur`an, ada riwayat yang mengatakan bahwa ketika turun ayat al-An’âm (6) : 62, para sahabat bertanya tentang kata “zhulm”, lalu Rasulullah saw. menafsirkan ayat itu dengan surah

Luqmân (13) : 31, bahwa yang dimaksud dengan kata “zhulm” dalam ayat itu adalah kemusyrikan. 29

Para sahabat Rasulullah memahami dengan bahasa yang umum bahwa kata “al-Zhulm” dalam ayat tersebut mencakup semua perbuatan aniaya, termasuk perbuatan-perbuatan keseharian yang dilakukan oleh mereka bersama keluarga mereka, sementara Rasulullah ingin menjelaskan bahwa kezaliman yang paling besar, atau dalam bahasa yang lain, dosa yang paling besar adalah melakukan kemusyrikan kepada Allah. Karena sesuai

28 Ismâ'îl bin Katsîr al-Qursyî,Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhim jld. I, s. 26 29 Ada dua hadis yang diriwayatkan oleh imâm al-Bukhârî dalam kitab Shahîhnya,

kedua-duanya datang dari sahabat ‘Abdillâh atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Mas’ûd dengan bunyi matan sebagai berikut :

Untuk bunyi teks matan di ini dapat dibaca pada, Ibnu Hajar al-Asqalânî, Fath al- Bârî fi Syarh Shahîh al-Bukhârî (untuk selanjutnya Fath al-Bârî fi Syarh Shahîh al-Bukhârî), (Mesir : Dâr al-Mishr, 1421 H./2001 M.), cet. ke-1, juz. I, s.130 dan tertulis pula di juz. ke-8, s. 203; lihat juga, al-Syuyuthy, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, s. 450; lihat juga, al-Zarkasyi, Al-

Burhân fi ‘Ulûm al-Qur'ân, juz. II, s.173.

dengan ayat itu disebutkan bahwa kemusyrikan adalah dosa yang paling besar.

c. Tafsir al-Qur`an dengan Pendapat Sahabat.

Para sahabat memiliki tempat yang sangat sentral dan paling penting di dalam penafsiran al-Qur`an. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti bahwa mereka mempelajari tafsir langsung dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad. Mereka juga paling mengerti tentang sabab al-Nuzûl suatu ayat,

kepada siapa ia diturunkan dan bagaimana alasannya. Mereka lebih mengerti tentang segala peristiwa yang terjadi pada waktu ayat-ayat diturunkan. 30

Karena hal-hal seperti tersebutlah para ahli ilmu-ilmu al-Qur`an menempatkan mereka pada posisi yang harus didengarkan dan diamalkan pendapatnya. Mereka juga memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, melakukan perbuatan-perbuatan yang paling baik, dan yang paling penting mereka memiliki kecerdasan yang luar biasa. Para sahabat yang termasuk pemuka-pemuka tafsir adalah al-Khulafâ` al-Arba’ah al-Râsyidûn, ‘Abdullâh bin Mas’ûd, Ubai bin Ka’ab (w. 30 H.), Zaid bin Tsâbit (w. 45 H.), ‘Abdullâh bin ‘Abbâs (w. 68 H.) dan yang lainnya. 31

Ketika sahabat sebagai tempat, sentral dan paling penting di dalam penafsiran al-Qur`an, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa apabila kamu tidak

30 Al-Suyûthy, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, s. 187; lihat juga, Abu Syuhbah, Al- Israilliyât wa al-Maûdlu'ât fi Kutub al-Tafsîr, s. 52; lihat juga, al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-

Mufassirûn, juz. I, s. 49 31 al-Suyuthi, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, s. 187; lihat juga, Abu Shuhbah, Al- Israilliyât wa al-Maûdlu'ât fi Kutub al-Tafsîr, s. 52; lihat juga, al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al- Mufassirûn, juz. I, s. 49.

mendapati tafsir al-Qur`an dengan al-Qur`an, al-Qur`an dengan hadis sahih, maka kembalilah kepada pendapat para sahabat, karena mereka lebih mengetahui tentang hal itu, disebabkan mereka melihat qarâ`in (indikator- indikator) dan situasi yang terjadi saat al-Qur`an diturunkan, dan bahkan hanya mereka yang mengetahuinya, juga karena mereka mempunyai pemahaman yang sempurna dan ilmu yang benar terutama para ulama dan tokoh dari kalangan mereka.” 32

Para ulama berbeda pendapat tentang penafsiran sahabat apakah

dihukumi marfû’ atau mauqûf, sama seperti hadits-hadits yang berasal dari mereka. Dalam konteks ini, al-Hâkim al-Naisâburî (w. 405 H.) 33 berpendapat

bahwa penafsiran sahabat yang menyaksikan wahyu dan mengetahui sabab al-Nuzûl dihukumi marfû’. Demikian juga Abû al-Khitâb al-Hanâbilah (pengikut Mazhab Hanafî), menyatakan hal sama bahwa penafsiran sahabat dihukumi marfû’ dengan alasan karena ini dari jalur periwayatan bukan dari al-Ra`yi. 34

Sementara ulama yang lainnya, seperti Ibnu Shalâh (w. 642 H.) membatasi yang termasuk marfû hanya penafsiran tentang sabab al-Nuzûl dan sesuatu yang tidak mungkin menggunakan al-Ra`yi. Apabila

32 Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, s. 95. 33 Al-Suyuthy, Tadrib al-Rawy fi Sarkhi Taqrib al-Nawawy,(Bairut, Dâr al-Fiqr,1409

H/1988 M.), juz.I, s. 192-193 34 Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur'ân, s. jld. II, 174; lihat juga,Al-Suyuthy, Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, s. 179; lihat juga Al-Zarqany, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. II, s.13.

menggunakan al-Ra`yi, maka penafsiran itu tetap dihukumi mauqûf, 35 seperti perkataan Jâbir ra.: “Ada orang Yahudi berkata bahwa siapa saja yang

mendatangi istrinya dari jalan belakang maka anaknya akan lahir juling", sehingga Allah swt. menurunkan firman-Nya dalam surah al-Baqarah (2) : 223 yang berbunyi :

"Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja

kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman."

Karenanya, semua penafsiran sahabat yang tidak dihubungkan dengan Rasulullah maka dapat dikategorikan dengan mauqûf. 36 Menurut al-

Syâthibî: "Sedangkan dalam hal ketika sebuah penafsiran tidak disepakati oleh

seluruh

memilih untuk menganggapnya sebagai persoalan ijtihadiyyah sehingga para sahabat maupun orang-orang lain yang hidup setelah mereka pun memiliki posisi yang setara (hum wa man siwâhum fîhi syara‘ sawa`). 37 Meski demikian, uraian di bawah ini akan memperlihatkan bahwa al- Sytâhibî tetap menganggap para sahabat, dan generasi al-salaf al-

sahabat,

al-Syâthibî

cenderung

35 'Utsmân bin 'Andurrahman al-Syahrazûrî atau lebih dikenal Ibnu Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm al-Hadits (Bairut : Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1409 H-

1989 M), t.tc., s. 24. 36 Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. II, s. 13; lihat juga, al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. I, s. 71.

37 Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqât, juz. 3, s. 253.

shâlih secara umum, sebagai generasi yang memiliki otoritas lebih besar daripada generasi-generasi setelah mereka. 38

Al-Syâthibî mengecam keras praktik apa pun yang bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh generasi terdahulu (mukhâlafah al-Awwalîn). “Jika keutamaan itu ada,” tulisnya, “maka generasi-generasi awal lebih berhak untuk memilikinya” (lakâna al-Awwalûn Ahaqqa bihi). Karena itu, “siapa pun yang berbeda pendapat dengan generasi salaf terdahulu (man khâlafa al-Salaf al-Awwalîn), maka ia pasti berada dalam kesalahan (fa huwa

‘ala khatha`)”. 39 Kesan kontradiksi antar ayat al-Qur`an juga bisa timbul ketika ia dipahami tanpa “berpedoman kepada generasi-generasi terdahulu” (min gayr i‘timâd ‘ala al-Awwalîn). 40

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Al-Syâthibî menempatkan tafsir yang dilakukan oleh generasi salaf (tafsir bi al-Ma`tsur) sebagai salah satu sumber yang tidak bisa diabaikan untuk memahami al-Qur`an.

Menurut al-Dzahaby -- dalam kesimpulannya menyebutkan bahwa dari perbedaan pendapat yang ada tentang 'trend' pendapat sahabat menjadi model penafsiran, paling tidak terdapat tiga opsi argumentasi, di antaranya :

38 Secara umum, al-Syâthibî memang menempatkan para sahabat pada posisi yang sangat tinggi dalam pemahaman terhadap seluruh ajaran Islam. Sunnah para sahabat adalah

sunnah yang harus diikuti, diamalkan, dan dirujuk. Al-Syâthibî mendasarkan pendapatnya ini pada argumen-argumen yang bersumber dari al-Qur`an, hadits Rasulullah saw., serta pandangan para ulama. Lihat, Al-Syâthibî Al-Muwâfaqât, juz, 4, s. 54-59 dan al-I‘tishâm, s. 498-499.

39 Atas dasar klaim itulah Al-Syâthibî menganggap salah tafsir-tafsir al-Qur`an yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang menyimpang, seperti Bâthniyyah dan

Tanâsukhiyyah. Lihat Al-Syâthibî Al-Muwâfaqât, juz,3, s. 52-53. 40 Al-Syâthibî Al-Muwâfaqât, juz, 3, s. 56.

Pertama, penafsiran sahabat ra. hukumnya marfu’ apabila itu berupa sabab al-Nuzul atau apa yang dihubungkan dengan Rasulullah. Namun apabila tafsir itu datang dari sahabat sendiri, tanpa menghubungkan dengan Rasulullah maka penafsirannya adalah mauqûf.

Kedua, penafsiran sahabat tidak boleh untuk ditolak menurut konsensus para ahli, bahkan harus diambil oleh semua orang yang ingin menafsirkan al-Qur`an.

Ketiga, tentang penafsiran sahabat yang dihukumi mauqûf, terdapat

perbedaan di antara para ulama tentang kehujjahannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa penafsiran sahabat yang berstatus mauqûf tidak wajib diambil. Karena penafsiran semacam itu tidak disandarkan kepada Nabi saw., berarti itu adalah ijtihad mereka, dan ijtihad itu bisa benar dan bisa salah. Para sahabat dalam bingkai hukum ijtihad sama dengan para mujtahid yang lain. Sementara itu, para ulama yang lain berpendapat bahwa pendapat mereka harus diambil karena mereka mendengar langsung dari Rasulullah saw.. Bahkan ketika mereka menafsirkan dengan ra`yu-nya, maka pendapat mereka itu benar adanya. 41

Abû Suhbah mengemukakan pendapat yang berbeda. Menurutnya, bahwa yang benar dari pendapat para pakar adalah pendapat Ibnu Hajar al- 'Asqalânî yang mengatakan bahwasanya penafsiran sahabat dapat dianggap marfû’ kepada Nabi saw., dengan dua syarat; pertama, tafsir itu tidak mungkin menggunakan ra`yu, seperti sabab al-Nuzûl, kejadian hari Kiamat dan hari akhir, dan kedua, para sahabat yang betul-betul mengetahui tentang

41 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. I, s. 72.

penukilan yang datang dari ahli kitab. Hal ini dilakukan karena, sesuai dengan konsesus ulama, banyak sekali tafsir yang dinisbatkan atau

disandarkan kepada ahli kitab. 42 Dengan demikian, penulis juga sepekat dengan pendapat yang

pertama bahwa penafsiran sahabat itu dihukumi marfû’ karena apa yang dilakukan dan dikatakan oleh mereka adalah hasil dari pengajaran langsung Rasulullah, seperti pernyataan ‘Abdullâh al-Sulamy di paragraf sebelumnya.

Berikut ini beberapa contoh penafsiran yang dilakukan oleh sahabat

Nabi. Diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwâ’ dalam menafsirkan firman Allah, yang berbunyi : “Wa ‘alâ Alladzîna….”, dimana ia mengatakan bahwa ketika turun ayat tersebut, semua orang pada saat itu menginginkan berbuka dan membayar fidyah hingga turun ayat sebelumnya yang berbunyi : “Faman Syahida minkum al-Syahr”, maka ayat yang disebut pertama itu dinyatakan terhapus (di-nasakh). 43

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs dalam Shahîh Bukhârî menyebutkan bahwa sesungguhnya ayat itu tidak dimansûkh, melainkan diturunkan bagi orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan tidak pula bagi wanita yang

42 Abu Syuhbah, Al-Israilliyât wa al-Maûdlu'ât fi Kutub al-Tafsîr, s. 54. 43 Ibnu Hajar, Fath al-Bârî fi Syarh Shahîh al-Bukhârî, jld. 8, s. 41. Hadist yang

dimaksud adalah sebagai berikut " ﺭـِﻁﹾﻔﻴ ﻥَﺃ ﺩﺍﺭَﺃ ﻥـﻤ ﻥﺎـﹶﻜ ( ٍﻥﻴِﻜﺴِﻤ ﻡﺎﻌﹶﻁ ﹲﺔﻴﺩِﻓ ﻪﹶﻨﻭﹸﻘﻴِﻁﻴ ﻥﻴِﺫﱠﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋﻭ ) ﹾﺕﹶﻟﺯﹶﻨ ﺎﻤﹶﻟ َلﺎﹶﻗ ﹶﺔﻤﹶﻠﺴ ﻥﻋ ِﻉﻭﹾﻜَﺄﹾﻟﺍ ِﻥﺒ ﹶﺔﻤﹶﻠﺴ

ﺎﻬﹾﺘﹶﺨﺴﹶﻨﹶﻓ ﺎﻫﺩﻌﺒ ﻲ ِﺘﱠﻟﺍ ﹸﺔﻴﺂﹾﻟﺍ ِﺕﹶﻟﺯﹶﻨ ﻰﱠﺘﺤ ﻱِﺩﹶﺘﹾﻔﻴﻭ Hadist ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Muslim dalam shahihnya, no: 1145,

149,150 kitab Shiyam, bab. Bayanu Nashk.

tidak mampu berpuasa, maka wajib bagi keduanya untuk memberi makan setiap hari kepada seorang miskin sebagai fidyahnya.” 44

Contoh yang lain adalah riwayat hadis yang dikeluarkan dari Imâm al- Bukhârî dalam Shahîh-nya -- ketika diturunkan surah al-Nashr – di mana sebagian sahabat ada yang mengucapkan bahwa mereka diperintahkan untuk memuji Allah swt. dan beristighfâr ketika mendapat pertolongan berupa kemenangan. Sedangkan Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa hal ini merupakan tanda kematian Rasulullah yang sudah dekat. Mendengar perkataan itu,

'Umar mengatakan, ”Tidak ada yang lebih benar kecuali yang engkau ucapkan.” 45

Perkataan Ibnu 'Abbas diatas menjadi bukti bahwa itulah yang dimaksud dengan doa Rasulullah yang dipanjatkan kepada Allah untuk Ibnu 'Abbas. Sehingga 'Umar Ibnu Khathab mengikuti apa yang di tafsirkan oleh Ibnu 'Abbas.

Karena itu, Imâm Ibnu Katsîr mengatakan, :

44 Fath al-Bârî fi Syarh Shahîh al-Bukhârî, jld. 8, s. 41. 45 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. I, s. 47. lihat juga, Ibnu Hajar, Fath al- Bârî fi Syarh Shahîh al-Bukhârî, jld. 8, s. 830-831. hadist yang dimaksud lengkapnya

berbunyi: ﺀﺎﹶﻨﺒَﺃ ﺎﹶﻨﹶﻟﻭ ﺎﹶﻨﻌﻤ ﺍﹶﺫﻫ ُلِﺨﺩﹸﺘ ﻡِﻟ َلﺎﹶﻘﹶﻓ ِﻪِﺴﹾﻔﹶﻨ ﻲِﻓ ﻡﻬﻀﻌﺒ ﻥَﺄﹶﻜﹶﻓ ٍﺭﺩﺒ ِﺥﺎﻴﹾﺸَﺃ ﻲِﻨﹸﻠِﺨﺩﻴ ﺭﻤﻋ ﻥﺎﹶﻜ َلﺎﹶﻗ ٍﺱﺎﺒﻋ ِﻥﺒﺍ ِﻥﻋ

"bahwa dengan demikian jika aku tidak menemukan tafsiran dalam al- Qur`an dan tidak pula dalam sunnah, maka kami kembali kepada pendapat

para sahabat karena mereka yang paling mengetahui tafsir al-Qur`an.” 46

d. Tafsir al-Qur`an dengan Pendapat Para Tâbi’în.

Para tâbi’în dalam memahami al-Qur’an mereka berpegang kepada apa yang dijelaskan oleh al-Qur’an, Nabi Muhammad, sunnah yang sahih, riwayat dari ahli kitab, serta dengan menggunakan cara ijtihad melalui

pemahaman mereka sendiri. Dalam konteks tafsir al-Qur'an dengan pendapat para tâbi’în, Ibnu Taimiyah pernah mengatakan, “Jika engkau tidak mendapat tafsir suatu ayat dalam al-Qur’an dan

sunnah, dan tidak engkau dapati dalam pendapat para sahabat, maka kebanyakan ulama atau imâm kembali kepada pendapat para tâbi’în, seperti Mujâhid ibn Jabr (w. 102 H.), Qatâdah (w. 117 H.), Sa’îd bin Jubair (w. 95 H.), 'Ikrimah (w. 105 H.), Ibnu ‘Abbâs (w. 68 H.), 'Athâ` bin Abî Rabâh (w. 114 H.), Hasan al-Bashrî (w. 110 H.), Masrûq (w.

63 H.), Ibnu Musayyab, Abû al-'Aliah (w. 90 H.), Dhahhâk ibn

Muzâhim (w. 105 H.) dan yang lainnya.” 47

Para ulama berbeda pendapat tentang tafsir yang datang dari tâbi’în yang tidak disandarkan kepada Rasulullah saw. dan tidak pula disandarkan

46 Ismâ'îl bin Katsîr al-Qursyî, jld. I, s. 80; lihat juga, Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fi 'Ulûm al-Qur'ân (untuk selanjutnya Mabâhits fi 'Ulûm al-Qur'ân), (T.tp. : T.tk.,

t.th.), s. 473. 47 Mujâhid ibn Jabr adalah Abû al-Hajjâj al-Mahzûmî al-Makkî, al-Muqrî, al-Muffasir maula al-Sâib ibn Abî al-Sâib. Ia dilahirkan pada tahun 21 H. di masa khalifah ‘Umar ibn al- Khatthâb, dan ia meninggal di Makkah ketika sedang sujud pada tahun 104 H. dalam usia

atau umur 83 tahun. Lihat, al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. II, s. 79.

kepada sahabat ra.. Adapun kelompok yang menganggap bahwa penafsiran mereka tidak dapat dijadikan hujjah beralasan dengan beberapa argumen, di antaranya :

1. Karena mereka tidak mendengar langsung dari Rasulullah saw., maka mereka tidak sama dengan sahabat yang mendengar langsung dari Rasulullah saw..

2. Para tâbi’în tidak menyaksikan langsung wahyu yang turun dan mereka juga tidak mengetahui sabab al-Nuzûl. Tentu saja mereka

berbeda dengan sahabat yang hidup pada masa al-Qur’an itu diturunkan.

3. Di samping itu, masalah keadilan para sahabat ditetapkan dengan nash yang jelas, sementara tâbi’în tidak demikian halnya. Dalam hal seperti ini, Abû Hanîfah mengungkapkan, ”Apa saja yang datang dari Rasulullah saw. maka harus diterima seluruhnya tanpa terkecuali, dan apa yang datang dari sahabat, maka kami memilih, dan apa yang dari tâbi’în, tentu mereka pakar dan kami juga pakar (hum rijâl wa nahnu rijâl).” Pendapat seperti ini diwakili oleh Ibnu ‘Uqailî dan Syu’bah bin Hajjâj. Senada dengan ungkapn Abû Hanîfah, Ibnu Taimiyah menyatakan

bahwasanya Syu’bah bin al-Hajjâj pernah mengatakan bahwa pendapat para tâbi’în itu bukanlah hujjah., maka bagaimana mungkin pendapat-pendapat tersebut dapat menjadi hujjah di bidang tafsir? Sementara, pendapat- bahwasanya Syu’bah bin al-Hajjâj pernah mengatakan bahwa pendapat para tâbi’în itu bukanlah hujjah., maka bagaimana mungkin pendapat-pendapat tersebut dapat menjadi hujjah di bidang tafsir? Sementara, pendapat-

Namun demikian, jika mereka sepakat atas sesuatu itu maka tidak diragukan lagi bahwa kesepakatan itu merupakan hujjah. Sebaliknya, jika mereka berbeda pendapat maka pendapat mereka tidak dijadikan hujjah, baik bagi kalangan sendiri (tâbi’în) maupun bagi generasi sesudahnya. Dalam keadaan demikian, persoalannya dikembalikan kepada bahasa al-Qur’an, sunnah, keumuman Bahasa Arab, dan pendapat para sahabat tentang hal

tersebut. 49

Sementara kelompok yang kedua berpendapat bahwa :

1. Kebanyakan para ahli tafsir mengambil pendapat para tâbi’în untuk dijadikan hujjah dalam penafsiran karena penafsiran mereka kebanyakan datang dari sahabat ra., seperti Mujâhid yang berkata bahwa ia mempelajari al-Qur`an seluruhnya dari awal surah sampai akhir surah tiga kali dari Ibnu ‘Abbâs. Ia berhenti dalam setiap ayat untuk bertanya tentang sabab al-Nuzûl dan bagaimana penafsirannya. Begitu juga dengan Qatâdah yang mengatakan : “Tidak ada satu pun

ayat al-Qur`an, kecuali aku telah mengetahui tentangnya.” 50

48 Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, s. 50; lihat juga, Abu Syuhbah, al- Israilliyât wa al-Maûdlu'ât fi Kutub al-Tafsîr, s. 56-57; lihat juga, 'Ali Al-Shabuny, Mabâhits fi

'Ulûm al-Qur'ân, s. 475-476; lihat juga, Al-Zarkasyi, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur'ân, jld. II. s. 174; lihat juga, Al-Najjâr, Manâhij Tafsiriyah, s. 177-180.

49 Ibnu TAimiyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, s. 50; lihat juga, Abu Syuhbah, al- Israilliyât wa al-Maûdlu'ât fi Kutub al-Tafsîr, s. 56-57; lihat juga, Mabâhits fi 'Ulûm al-Qur'ân,

s. 475-476; lihat juga, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur'ân, jld. II. s. 174; lihat juga, Al-Najjâr, Manâhij Tafsiriyah, s. 177-180.

50 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. II, s. 96.

2. Para tâbi’în termasuk generasi yang dipuji oleh Rasulullah saw. dan sebaik-baiknya generasi, sebagaimana populer dalam ungkapannya yang berbunyi :

ﹸﻕِﺒﺴﹶﺘ ﻡﻭﹶﻗ ﻡِﻫِﺩﻌﺒ ﻥِﻤ ﺀﻲِﺠﻴ ﻡﹸﺜ ﻡﻬﹶﻨﻭﹸﻠﻴ ﻥﻴِﺫﱠﻟﺍ ﻡﹸﺜ ﻡﻬﹶﻨﻭﹸﻠﻴ ﻥﻴِﺫﱠﻟﺍ ﻡﹸﺜ ﻲِﻨﺭﹶﻗ ِﺱﺎﱠﻨﻟﺍ ﺭﻴﹶﺨ ﻡﻬﹶﺘﺩﺎﻬﹶﺸ ﻡﻬﹸﻨﺎﻤﻴَﺃﻭ ﻡﻬﹶﻨﺎﻤﻴَﺃ ﻡﻬﹸﺘﺩﺎﻬﹶﺸ “Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup di masaku,

kemudian generasi setelah mereka, kemudian setelah generasi mereka. Setelah itu, akan datang satu kaum yang kesaksian mereka mendahului sumpah mereka, dan sumpah mereka mendahului

kesaksian mereka.” 51

Karena itu, menurut al-Zarkasyi sebagai ulama ilmu-ilmu al-Qur'an menyarankan, hendaknya kita bisa melakukan konvergensi antara pendapat muffasir yang satu dengan yang lainnya sepanjang hal itu bisa dilakukan dan apabila tidak, maka pendapat yang paling awal didahulukan daripada pendapat yang lebih akhir jika keduanya sama-sama shahîh, dan apabila tidak maka pendapat yang paling shahîhlah yang diambil.” 52

Dari dua pendapat di atas, al-Dzahaby menyimpulkan, tidak wajib mengambil pemahaman atau penafsiran yang dilakukan oleh tâbi’în dalam hal-hal yang tidak mungkin menggunakan ra`yi. Apabila mereka mengambil dari ahli kitab dan kita ragu tentang kebenaranya, maka kita harus meninggalkan itu. Namun jika para tâbi’în bersepakat tentang sebuah ijtihad

51 Imâm Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb al-Syahâdât, nomer: 2458. Dapat dilihat pada CD Maktabah Syamilah., s. 7-10. 52 Al-Zarkasyi, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur'ân, jld. II. s. 177.

atau ra`yi, maka kita harus mengambil dan tidak boleh meninggalkan pendapat mereka.” 53

Dengan demikian, penafsiran yang dilakukan oleh tâbi’în bisa dijadikan sebagai hujjah apabila mereka bersepakat antara yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula apabila mereka berselisih pendekatan dan ungkapan, sementara maksudnya sama, maka hal itu pun bisa dijadikan hujjah dalam menafsirkan al-Qur`an. Contohnya adalah pendapat mereka tentang makna “jalan yang lurus” dalam surah al-Fatihah itu berkisar makna

antara Islam, al-Qur`an, sunnah, sunnah al-Khulafâ` al-Rasyidîn, sunnah Abû Bakar atau 'Umar, atau ketaatan keduanya kepada Allah swt. dan Rasul- Nya. Semua pendapat ini tidak bertentangan, dan semuanya sama-sama memaksudkan al-Sirâth al-Mustaqîm. 54 Demikian juga sesuai dengan

ungkapan syi'ir yang berbunyi : ﺭﻴِﺸﻴ ِلﺎﻤﺠﹾﻟﺍ ﻙﺍﹶﺫ ﻰﻟِﺇ ﱞلﹸﻜﻭ fl ﺩِﺤﺍﻭ ﻙﹸﻨﺴﺤﻭ ﻰﱠﺘﹶﺸ ﺎﹶﻨﹸﺘﺭﺎﺒِﻋ "Gaya ungkapan kami bermacam-macam, tetapi maksudnya satu.

Maka seluruh gaya ungkapan itu menunjuk kepada sesuatu yang

sama." 55

53 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. II, s. 96. 54 Yûsuf al-Qardlâwî, Kaifa Nata’âmal Ma’a al-Qur`ân (Kairo : Dâr al-Syurûq, 1419

H./1999 M.), cet. ke-1, yang telah dialih bahasakan oleh Abdul Hayyi al-Kattani (Jakarta : Gema Insani Press, 1421 H./2001 M.), cet. ke-3. h. 332-333. Lihat juga, kesimpulan yang dikemukakan oleh Wâsim Fathullâh bahwa yang paling râjih dalam perselisihan ini (tafsîr tâbi’în) sebenarnya adalah apa yang mereka sepakati itulah yang kemudian dapat dijadikan sebagai hujjah, namun ketika mereka berselisih tidak ada keharusan untuk mengambilnya dalam menafsirkan al-Qur’an. Lihat, Wâsim Fathullâh , Al-Ikhtilâf fi al-Tafsîr: Haqîqatuhû wa Asbâbuh (untuk selnjutnya Al-Ikhtilâf fi al-Tafsîr: Haqîqatuhû wa Asbâbuh), (T.tk.: T.tp., t.th.), s. 4-5.

55 Al-Zarkasyi, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur'ân, jld. II. s.176.

Banyak sekali para penafsir yang hanya menggumpulkan pendapat sahabat dan tâbi’în, seperti Sufyân bin al-Tsaurî (w. 161 H), Sufyân bin ‘Uyainah (w. 198 H), Wakî’ bin al-Jarrâh (w.196 H), Syu’bah ibn al-Hajjâj (w.160 H), Yazîd ibn Hârun (w. 206 H), ‘Abd al-Razzâq al-Shan’âny (w. 211 H), Ishâq bin Râhûyah (w. 238 H), dan Abû Bakar bin Abi Syaibah (w. 235

H). 56 Setelah generasi ini, masih banyak ulama yang menulis kitab mereka dengan mengumpulkan pendapat para sahabat dan tâbi’în, seperti Ahmad

bin Hanbal (w. 241 H), al-Bukhârî (w. 256 H), Baqi ibn Makhlad al-Qurthûby (w.279 H), Ibnu Mâjah (w. 273 H), Ibnu Jarîr al-Thabary (w. 310 H), Abî Hâtim (w. 204 H), al-Hâkim (w. 405 H), semua tafsir mereka disandarkan (musnad) kepada para sahabat dan tâbi’în kecuali Ibnu Jarîr al-Thabary dan Ibnu Abî Hâtim yang juga menggunakan syair-syair untuk berhujjah, menguraikan i’râb, serta mentarjîh pendapat yang satu dengan yang lainnya. 57

Berikut ini beberapa contoh penafsiran yang dilakukan oleh tâbi’în. Misalnya saja, ketika al-Thabary menafsirkan surah al-Baqarah (2) : 25, yang berbunyi :

     Kata “Muthahharah” dalam ayat ini oleh al-Thabary ditafsirkan dengan mengutip beberapa perbedaan pendapat ulama dari kalangan tâbi’în

56 Abu Syuhbah, Al-Israilliyât wa al-Maûdlu'ât fi Kutub al-Tafsîr, s. 72-73. 57 Al-Zarkasyi, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur'ân, jld. II. s. 176; lihat juga, Abu Syuhbah, al-Israilliyât wa al-Maûdlu'ât fi Kutub al-Tafsîr, s. 72-73.

seperti pendapat Mujâhid bin Jabr, Qatâdah, Hasan al-Bashrî dan 'Athâ'. Mujâhid ibn Jabr menafsirkan "muthahharah" itu dengan mereka tidak kencing, berak, mengeluarkan madzi atau mani, serta tidak pula haid. Dalam riwayat yang lain menyebutkan, bahwa Mujâhid menafsirkannya dengan suci dari haid, berak, kencing, ludah, gerok, mani, serta tidak melahirkan. Sementara

dengan, Allah membersihkan mereka dari kencing, berak, kotoran, bau, dan penyakit. Dalam riwayat yang lain, Qatâdah menafsirkannya dengan mereka disucikan

Qatâdah menafsirkan "muthahharah"

dari haid, khabala, dan penyakit. 58 Adapun Hasan al-Bashrî yang juga kalangan tâbi’în menafsirkan

"muthahharah" dalam ayat itu dengan suatu batas atau membatasi kesucian mereka hanya dari haid, bukan dari yang lainnya. Sedangkan menurut ‘Athâ`, "muthahharah" itu adalah mereka dibersihkan dari melahirkan, haid, kencing, dan berak. 59

Semua penafsiran di atas jika ditelisik dari asal sumbernya berasal dari dua sahabat, yakni Ibnu ‘Abbâs dan Ibnu Mas’ûd, yang kemudian diriwayatkan oleh para tâbi’în, seperti Mujâhid bin Jibr, Qatâdah, Hasan Bashrî dan 'Athâ'. Dari sini, kita bisa memperhatikan bahwa perbedaaan susunan kata dan penentuan jenis kesucian yang berbeda-beda adalah salah satu bukti bahwa perbedaaan dalam penafsiran di kalangan para tâbi’în banyak yang berupa perbedaan gaya bahasa saja, akan tetapi substansinya sama.

58 Ibnu Jarîr al-Thabary, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayyi al-Qur’ân (untuk selanjutnya al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân),, (Bairut : Dâr al-Fikr, 1426 H-2005 M), juz. I, s. 232-234. . 59 Al-Thabary, Jâmi’ al-Bayân, juz. I, s. 232-234.

Inilah kesungguhan para ulama ilmu-ilmu al-Qur`an yang membatasi penafsiran bi al-Ma’tsûr, al-Qur’an dengan hadis yang sahih, al-Qur`an dengan pendapat para sahabat, serta penafsiran dengan pendapat (konsensus) para tâbi’în. Pembatasan seperti ini tentunya termasuk kesungguhan yang boleh diterima atau tidak, tergantung apakah kita setuju apa tidak, karena dalam persolan ini tidak ada nash jelas yang menjelaskan tentang pembatasan kategori tersebut

Menurut hemat penulis secara pribadi, istilah “tafsîr bi al-Ma`tsûr”

tidak harus dianggap lebih benar, lebih sahih, atau lebih baik daripada “tafsir bi al-Ra`yi”. Kedua-duanya jika dilakukan dalam aturan atau kaidah yang benar akan sama-sama menghasilkan tafsir yang bisa diterima.

3. Kelebihan Metode Tafsîr bi al-Riwâyah

Sebagai hasil karya manusia tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan-kelebihan tafsîr bi al-Ma’tsûr seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî sebagai berikut.

1) Berpegang teguh pada hadits Rasulullah saw. sebagai penerima langsung risalah al-Qur`an.

2) Berpegang pada riwayat sahabat yang terlibat langsung dalam proses turunnya al-Qur`an (ashhab al-Tanzîl)

3) Berpegang pada riwayat dari tâbi’în (terlepas kita setuju apa tidak) yang tentunya masa mereka adalah masa yang dekat dengan masa sahabat ra.

4) Memaparkan perihal nâsikh dan mansûkh menurut riwayat yang

dinisbahkan atau disandarkan kepada Rasulullah saw.

5) Terdapat konklusi kebijakan hukum (istinbâth al-Hukm) 60

4. Kelemahan Metode Tafsîr bi al-Riwâyah

Adapun kelemahan tafsîr bi al-Ma’tsûr seperti yang dikemukakan oleh al-Dzahaby dimana ia mengatakan terdapat tiga hal, antara lain :

1. Banyaknya kebohongan yang disandarkan kepada para sahabat ahli

tafsir seperti ‘Alî bin Abî Thâlib dan Ibnu ‘Abbâs.

2. Adanya penukilan yang diambil oleh para mufassir dengan corak sedemikian rupa kepada berita / kisah israilliyât.

3. 61 Kebanyakan sanad yang dibuang. Di samping itu, menurut hemat penulis, bahwa yang menyebabkan

kelemahan metode tafsir itu seperti pendapat yang disampaikan oleh Imâm Ahmad bin Hanbal tentang tiga hal yang tidak memiliki asal-usul dan sumber

yang kuat, yaitu peperangan (al-Maghâzî), al-Malahim dan tafsir itu sendiri. 62

60 Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, al-Tibyân fi Ulûm al-Qur’ân, (Bairut : ‘Alam al-Kutub, 1985), s.190. 61 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. II, s. 115; Shalâh ‘Abd. al-Fattâh al- Khâlidy memberikan komentar setelah tiga alasan yang dikemukan oleh al-Dzahaby tersebut,

bahwa menurutnya kita bisa menhindari tiga sebab itu apabila kita kembali kepada kitab- kitab tafsir yang penulisnya konsisten menuliskan sanadnya, seperti kitabnya Ibnu Jarîr, Ibnu Abî Hâtim, alasan ini hanya karena kita bisa mentakhrij riwayat-riwayat yang ada dalam kitab tersebut. Lihat, Ta’rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, s. 232.

62 Para ulama muhaqqiq di antara teman-teman Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa yang dimaksud dengan peryataan itu adalah bahwa tiga hal tersebut dapat dianggap

lemah atau sebuah kelemahan tafsîr bi al-Ma’tsûr, karena tidak memiliki sanad yang sahih

Sementara al-Zarqâny, menyebutkan tentang kelemahan tafsir dari sahabat dan tâbi’în sebagai berikut.

1. Banyak riwayat yang disusupkan oleh musuh-musuh Islam, seperti yang disusupkan oleh orang-orang zindiq, baik dari kalangan Yahudi maupun dari bangsa Persi.

2. Usaha-usaha yang dilakukan oleh penganut-penganut madzhab yang terlalu jauh menyimpang dari kebenaran, seperti orang-orang Syi’ah yang telah menyandarkan riwayat-riwayat kepada 'Alî bin Abî Thâlib

ra. yang sesungguhnya tidak pernah dikatakannya.

3. Bercampurnya riwayat-riwayat yang sahih dengan yang tidak sahih dan banyaknya ucapan-ucapan yang disandarkan kepada sahabat dan tâbi’în yang tidak disertai sanad dan tanpa menyaringnya (filter) terlebih dahulu.

4. Riwayat-riwayat israilliyât yang mengandung dongengan yang tidak dapat dibenarkan.

5. Rasulullah saw. memerintahkan untuk meletakkan persoalan (tawaqquf ‘alaihi) yang dinukil dari kitab-kitab sebelumnya seperti Injîl dan Taurât. 63 Demikian Tengku Muhammad Hasbi al-Shiddîqî, mufassir Indonesia

masa kemerdekaan juga menyebutkan hal yang sama seperti yang disebutkn

dan tidak pula bersambung sanadnya (ittishâl al-Sanad). Lihat, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur'ân, jld. II. s. 183; lihat juga, Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. II, s. 37.

63 Al-Zarqany, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. II, s. 23-24.

oleh al-Zarqâny, hanya ia menyebutkan 1 hingga 4 saja. 64 Demikian pula Quraish Shihab, mufassir Indonesia masa sekarang ini memberikan

keterangan tentang kelebihan model penafsiran dengan riwâyah, antara lain :

a. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an.

b. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan- pesannya.

c. Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya dalam subjektivitas berlebihan.

Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode riwâyah, antara lain :

a. Terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan kesusastraan yang 'bertele-tele' sehingga pesan-pesan al-Qur`an menjadi kabur di sela-sela uraian tersebut.

b. Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbâb al-Nuzûl atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nâsikh / mansûkh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat yang hampa budaya. 65 Dari beberapa uraian tentang kelebihan dan kekurangan tafsîr bi al-

Ma’tsûr, menurut hemat penulis bahwa tafsîr bi al-Ma’tsûr adalah tafsir yang

64 Muhammad Hasbî al-Shiddîqî, Ilmu-ilmu al-Qur’an (untuk selanjutnya Hasbî al- Shiddîqî, Ilmu-ilmu al-Qur’an), (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002), cet. ke-2, h. 225-

226; lihat juga, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. II, s. 23-24. 65 Quraish Sihab, Membumikan al-Qur’an; Perkembangan Metodologi Tafsir (untuk selanjutnya Membumikan al-Qur’an), (Jakarta : Mizan, 1425 H./2004 M.), cet. ke-27, h., 84.

bisa diikuti dan dipedomani, karena ia sepanjang mematuhi kaidah-kaidah yang telah ditetapkan maka itu adalah jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan yang paling aman untuk menjaga diri dari kecenderungan dan kesesatan dalam memahami kitabullâh. Akan tetapi, hal ini harus diikuti dengan ketelitian, kejelian dan ijtihad yang serius karena tidak semua riwayat yang datang dari mereka bisa digunakan bagi agama kita.

B. Al-DIRÂYAH