Penafsiran al-Qur`an dengan al-Qur`an

1. Penafsiran al-Qur`an dengan al-Qur`an

Salah satu contoh penafsiran al-Qur`an dengan menggunakan ayat al- Qur`an yang lain dapat dilihat pada surah al-Nisâ (4), ayat 123 yang berbunyi,

                      “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang

kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli Kitab. Barangsiapa

67 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz 1, s. 70.

yang mengerjakan kejahatan niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.”

Kata ﻲﻧﺎﻣأ dalam ayat di atas ditafsirkan oleh al-Syaukâny dengan “angan-angan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani” sebagaimana tercantum dalam surah al-Baqarah (2), ayat 111, berikut ini. 68

“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar".”

Contoh lainnya dapat dilihat dalam penafsiran al-Syaukâny terhadap ayat 160 dari surah al-Nisâ` berikut ini.

              "Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan

atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah swt.."

Kata “al-Thayyibât” dalam ayat di atas ditafsirkan oleh al-Syaukâny dengan surah al-An'âm (6), ayat 146, yang berbunyi,

68 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. I. s. 820-821.

                                ”Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang

yang berkuku. Dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar.”

Dengan cara penafsiran semacam itu, “al-Thayyibât” dalam ayat pertama tadi dimaknai sebagai semua hewan yang memiliki kuku 69

dan sebagian hewan sapi dan kambing. Dahulu, semua al-Thayyibât ini dihalalkan bagi orang-orang Yahudi. Tetapi setelah mereka melakukan perbuatan aniaya yang berupa ingkar janji, dusta dan sebagainya, maka al-Tthayyibât itu pun diharamkan untuk mereka karena diakibatkan oleh perilaku mereka sendiri. 70 Hal yang sama juga terlihat dalam penafsiran al-Syaukâny terhadap

surah al-Insyirâh (94), ayat 4, yang ditafsirkannya dengan surah al-Nisa (4):

69 Yang dimaksud dengan binatang berkuku di sini ialah binatang-binatang yang memiliki jari-jari baik dari jenis burung atau hewan yang berjalan di muka bumi. Dan

termasuk dari jenis binatang tersebut adalah binatang yang memiliki alat untuk membuat lubang (al-Hafir) seperti unta, itik, angsa, sapi, dan kambing. Sementara yang termasuk binatang yang memiliki cakar atau menerkam (al-mikhlab) seperti semua binatang dari jenis burung. Lihat, al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. II. s. 243

70 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. I. s. 845. lihat juga, Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. II. s. 243

59, al-Hasyr (59): 7, Ali ’Imran (3): 31. 71 Ayat 4 dari surah al-Insyirâh itu berbunyi,

   "Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)-mu" Apa yang dimaksud dengan “meninggikan nama” (raf’u al-Dzikr) yang

dianugerahkan Allah kepada Nabi Muhammad itu? Secara literal, menurut al- Syaukâny, yang dimaksud dengan kalimat raf'u al-Dzikr adalah anugerah yang diberikan oleh Allah swt. kepada Rasul-Nya sehingga dengan anugerah

ini beliau bisa mendapatkan semua urusannya, serta dari tiap-tiap urusan itu tidak lain merupakan sebagian sebab raf'u al-Dzikr. Itu sebabnya mengapa Allah memerintahkan umat Islam untuk membaca shalawat dan salam kepada Rasulullah, serta memberikan informasi bahwa siapa pun yang mendoakan keselamatan satu kali kepada beliau, maka ia akan dianugerahi sepuluh keselamatan.

Selain itu, raf'u al-Dzikr juga ditafsirkan oleh al-Syaukâny dengan perintah Allah kepada umat Islam untuk senantiasa taat kepada Rasulullah seperti tercantum dalam surah al-Nisa (4): 59, yang berbunyi,

  "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya,

dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah swt. (al-Qur`an)

71 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. V. s. 618-619.

dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Juga al-Hasyr (59): 7, yang berbunyi,                                         "Apa saja harta rampasan (fai`) yang diberikan Allah swt. kepada

Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah swt. amat keras hukuman-Nya."

Demikian juga firman Allah swt. dalam surah Al-Imran (3): 31 yang berbunyi,

"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Pada beberapa bagian dari tafsirnya, al-Syaukâny juga berusaha mempertautkan antara keragaman makna-makna linguistik sebuah lafadz dalam ayat tertentu dengan penggunaan lafadz yang sama dalam ayat-ayat Pada beberapa bagian dari tafsirnya, al-Syaukâny juga berusaha mempertautkan antara keragaman makna-makna linguistik sebuah lafadz dalam ayat tertentu dengan penggunaan lafadz yang sama dalam ayat-ayat

                      “Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itudan

dikeluarkan dari keadaan semula, dan Kami berfirman, "Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan".”

Apa makna kata ﻦﯿﺣ dalam ayat di atas? Al-Syaukâny mencantumkan beberapa kemungkinan pemaknaan dengan mendasarkan hal itu kepada ayat-ayat al-Qur`an yang lain. 72 Kata ﻦﯿﺣ bisa bermakna “waktu lampau yang jauh” (al-Waqt al-Ba’îd) sebagaimana tercantum dalam ayat pertama dari surah al-Insân.

           Ia juga bisa bermakna “saat” (al-Sâ’ah) sebagaimana tertera dalam ayat 58 dari surah al-Zumar atau “sebuah bagian dari masa tertentu” (qith’ah min al-Dahr) sebagaimana tercantum dalam ayat 54 dari surah al-Mu`minûn.

                   Selain itu, kata tersebut juga bisa bermakna “enam bulan” (sittah

asyhur) sebagaimana tercantum dalam surah Ibrahim, ayat 25, atau “waktu pagi dan sore” sebagaimana terdapat dalam surah al-Rûm, ayat 17.

72 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. I. s. 165.

Pandangan tentang keterkaitan antara satu ayat al-Qur`an dengan ayat-ayat yang lain bisa membawa seorang mufassir untuk meyakini konsep tanâsub atau al-Munâsabah antar ayat dan surah dalam al-Qur`an. Tetapi tidak dengan al-Syaukâny. Dia menganggap upaya mencari al-munâsabah antara ayat-ayat al-Qur`an sebagai “pemborosan waktu untuk mengkaji

sesuatu yang tidak membawa manfaat apa-apa”. 73 Kita akan melihat argumen-argumen al-Syaukâny berikut ini.

Pada penafsirannya terhadap ayat 40 dari surah al-Baqarah, al- Syaukâny menulis bahwa banyak mufassir yang terjebak dalam sikap yang berlebihan dan cenderung melakukan penafsiran al-Qur`an berdasarkan nalar yang tercela. Sikap yang berlebihan itu adalah melacak munâsabah antara ayat-ayat al-Qur`an sesuai dengan urutan mushaf. Dan salah satu mufassir yang disebut al-Syaukâny adalah al-Biqâ’î. 74

Al-Syaukâny mengemukakan beberapa argumen untuk menyatakan bahwa upaya mencari al-Munâsabah itu bukan sesuatu yang layak dilakukan. Pertama, al-Qur`an turun untuk merespons beragam peristiwa yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Ia mengharamkan apa yang sebelumnya halal atau menghalalkan apa yang sebelumnya haram. Kadang- kadang ia juga berbicara kepada kaum muslimin, namun di saat yang lain, ia

73 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. I. s. 173. 74 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. I. s. 171-172.

juga berbicara kepada kaum kafir. Ia mengandung al-Targhîb sekaligus al- tarhîb, cerita masa lalu dan ramalan masa depan, pedoman hidup di dunia sekaligus di akhirat, dan lain sebagainya. Maka secara agak sarkastis, al- Syaukâny menulis, “Bagaimana mungkin seorang yang berakal mencari al- Munâsabah antara kadal dan ikan paus, antara air dan api, atau antara

nahkoda kapal laut dan pemimpin kafilah unta?” 75

Kedua, perhatian kepada al-Munâsabah seringkali dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa i’jâz al-Qur`an hanya bisa dipahami apabila ayat-ayatnya

mengandung kesesuaian satu sama lain dalam urutan mushaf. Tetapi hal itu tidak berdasar, dan al-Munâsabah antar ayat justru seringkali terlalu dipaksakan. Akibatnya, orang-orang yang mempelajari al-munâsabah justru dikhawatirkan akan menjadi ragu-ragu terhadap kemukjizatan al-Qur`an. 76

Ketiga, sebagaimana disepakati oleh seluruh umat Islam, urutan ayat dalam mushaf berbeda dengan urutan turunnya (tartîb al-Nuzûl). Jika demikian persoalannya, maka bagaimana mungkin kita melacak al- Munâsabah antara ayat-ayat yang diturunkan pada waktu yang berbeda-

beda dan dengan asbâb al-Nuzûl yang juga berbeda-beda? 77 Keempat, karya seorang sastrawan atau penyair juga tidak mungkin

memiliki al-Munâsabah antar setiap unsurnya. Ada syair yang berisi pujian, ada yang berisi ejekan, dan ada pula yang berisi ratapan atau kesedihan. Semua itu tidak sesuai satu sama lain. Jika itu terjadi dalam karya-karya

75 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. I. s. 172. 76 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. I. s. 172. 77 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. I. s. 173.

seorang penyair, maka bagaimana mungkin kita mencari al-Munâsabah antara ayat-ayat al-Qur`an? 78

Argumen-argumen al-Syaukâny itu menunjukkan bahwa dia menganggap urutan ayat-ayat al-Qur`an dalam al-Mushaf yang ada sekarang bukan sesuatu yang sepenuhnya tawqîfî, melainkan ada campur tangan para sahabat yang melakukan kodifikasi al-Qur`an setelah Rasulullah meninggal dunia. 79 Di sisi lain, hal itu juga menunjukkan bahwa al-Syaukâny lebih memfokuskan perhatiannya kepada keragaman konteks turunnya ayat

daripada urutan peletakan ayat-ayat al-Qur`an dalam al-mushaf. Maka meski sebuah ayat bisa ditafsirkan dengan menggunakan ayat yang lain, namun, menurut al-Syaukâny, kriterianya adalah persamaan lafadz dan unsur-unsur linguistik, bukan urutan letak masing-masing ayat tersebut di dalam al- mushaf.