Al-Syaukâny dan Pendapat Sahabat

a. Al-Syaukâny dan Pendapat Sahabat

Al-Syaukâny mengutip banyak pendapat para sahabat dalam kitab tafsir yang ditulisnya. Hal ini ia lakukan karena sahabat memiliki posisi yang sangat sentral untuk memahmai al-Qur'an. Mereka adalah generasi yang

29 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz 5, s. 334-335. hadits di maksud adalah : ﺎَﻣ ُمﱢﺮَﺤُﺗ َﻢِﻟ ﱡﻲِﺒﱠﻨﻟا ﺎَﻬﱡﯾَأ ﺎَﯾ ": ِﻪِﻟْﻮَﻗ ﻲِﻓ ،ٍسﺎﱠﺒَﻋ ِﻦْﺑا ِﻦَﻋ ،ٍﺪِﻫﺎَﺠُﻣ ْﻦَﻋ ،ٍﻢِﻠْﺴُﻣ ْﻦَﻋ ،ُﻞﯿِﺋاَﺮْﺳِإ ﺎﻧأ ، ِﻪﱠﻠﻟا ُﺪْﺒَﻋ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ ،ٌﺪﱠﻤَﺤُﻣ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ

ُﻪَﺘﱠﯾﱢﺮُﺳ َمﱠﺮَﺣ : َلﺎَﻗ [ ١ ﺔﯾآ ﻢﯾﺮﺤﺘﻟا ]" َﻚَﻟ ُﻪﱠﻠﻟا ﱠﻞَﺣَأ Hadits ini riwayat al-Thabrany, al-Mu'jam al-Kabir, no 10967. lihat, CD al-Maktabah

al-Syamilah, http://www.alsunnah.com 30 Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz 5, s. 335.

paling baik sebagaimana di sabdakan Rasulullah. Mereka juga generasi yang paling mengerti tentang al-Qur'an dari segi diturunkannya, kepada siapa, kondisi bagaimana. Oleh karenanya al-Syaukâny juga memberikan porsi yang cukup signifikan dalam tafsirnya. Salah satunya bisa dilihat dalam penafsirannya terhadap surah al-Nashr [110 ], ayat 1-3, berikut ini.

                       "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu

lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat."

Al-Syaukâny menafsirkan ayat 1 dari surat al-Nashr di atas dengan menggunakan berbagai riwayat yang sebagian besarnya berasal dari jalur para sahabat, seperti ‘Umar bin al-Khattâb, Abû Bakar, Aisyah, Ummu Habîbah dan Ibnu ‘Abbâs. 31 Semua penafsiran yang dikemukakannya berbentuk redaksi asbâb al-Nuzûl. Tetapi al-Syaukâny tidak mentarjîh riwayat-riwayat yang dikutip dalam tafsirnya itu sehingga tidak terlihat riwayat siapa dan perkataan sahabat siapa yang dianggapnya sebagai penafsiran yang paling tepat.

Walau demikian, hemat penulis, dari sekian banyak riwayat yang dikutip al-Syaukâny, hanya riwayat dari jalur Ibnu ‘Abbâslah yang

31 Untuk lebih jelasnya tentang riwayat yang bernunsa redaksi asbâb al-Nuzûl dapat dilihat, al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. V. s. 686-689. Lihat juga, Muhammad bin

Muhammad Abû Syuhbah, al-Israiiliyyat wa al-Maudluat fi Kutub al-Tafsir. (Mesir : Maktabah al-Sunnah, 1408), cet. 4. s. 55-56.

memberikan kejelasan penafsiran, 32 di mana kalimat ﺮ dan ﺢﺘﻔﻟا yang ﺼ ﻧ

terdapat pada ayat 1 ditafsirkan dengan ajal (waktu / masa) kematian Rasulullah saw.. 33

Contoh lain dari tafsir yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika al- Syaukâny menafsirkan surah al-Maidah (5), ayat 20, al-Syaukâny juga mengutip banyak pendapat dari para sahabat. Ayat itu sendiri berbunyi,

32 Mengenai penafsiran Ibnu ‘Abbâs di atas, perlu diketahui bahwa hadis yang dari jalur Ibnu ‘Abbâs itu dikeluarkan oleh Imâm Bukhârî dan beberapa ulama hadits lainnya.

Adapun cerita lengkapnya ialah bahwa pada suatu hari, ‘Umar bin al-Khaththâb mengikutsertakan Ibn ’Abbas dalam sebuah pertemuan bersama para sahabat senior. Sebagian di antara mereka merasa keberatan melihat Ibn ’Abbas yang masih muda berada bersama-sama mereka. Mereka bertanya, “Mengapa anak muda ini berkumpul bersama kita padahal kita pun memiliki putra-putra yang seumur dengannya?” ‘Umar menjawab, “Sesungguhnya pemuda ini telah kalian ketahui kelebihannya”. Pada kesempatan lain, Umar memanggil Ibn ’Abbas dan mengikutsertakannya dalam perkumpulan bersama para sahabat senior itu. Ibn ’Abbas berkata, “Aku merasa bahwa ’Umar memanggilku untuk menunjukkan kelebihanku kepada mereka”. Dalam pertemuan tersebut, ’Umar bertanya, “Apa yang kalian ketahui tentang ayat: “Idzâ jâ`a nashrullâh wa al-fath.?” Sebagian dari mereka ada yang menjawab bahwa Allah swt. telah memerintahkan untuk memuji kepada-Nya dan memohon ampun sebagai balasan atas pertolongan dan kemenangan yang dianugerahkan-Nya. Sementara sebagian dari mereka terdiam dan bahkan tidak mengatakan apa pun. Maka ’Umar bertanya kepada Ibnu ‘Abbâs, “Apakah engkau sependapat dengan mereka?” Ibnu ‘Abbâs menjawab, “Tidak.” Maka 'Umar kembali bertanya, “Lalu apa pendapatmu?”. Ibnu ‘Abbâs menjawab, “Ayat itu menujukkan ajal Rasulullah saw., dan Allah swt. berniat memberitahu beliau tentang hal itu.” Ibn ’Abbas pun membaca ayat tersebut seraya menafsirkan bahwa ayat itu merupakan tanda kematian Rasulullah saw.. Akhirnya, ‘Umar berkata, “Aku tidak pernah mengetahui hal itu selain melalui dirimu”. Lihat al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. V. s. 688.

33 Selain menggunakan penafsiran metode riwâyah, al-Syaukâny juga memberikan ciri dengan mengutip penafsiran sahabat atau perkataan mereka. Ia juga memberikan

penafsiran kata "al-Nashr" secara sinonim bahasa (etimologis). Menurut al-Syaukâny, "al- Nashr" diartikan "al-‘Aun" yang berarti bantuan atau pertolongan, seperti dalam ucapan perkataan Arab:

ضرﻷا ﺚ ﯿﻐﻟا ﺮﺼ ﻧ ﺪ ﻗ yang berarti “hujan membantu tumbuhnya tanaman- tanaman di muka bumi dan mencegah tanaman itu menjadi kering.” Lihat al-Syaukâny, Fathul Qadîr, juz. V. s. 686.

                       “Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku,

ingatlah nikmat Allah atasmu ketika dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain.”

Dalam penafsirannya terhadap ayat ini, al-Syaukâny mengutip riwayat dari beberapa sahabat, seperti Ibn ’Abbâs, Abû Sa’îd al-Khudry, Zaid ibn

Aslam, dan ’Abdullah ibn ’Amr ibn al-’Âsh. Seluruh riwayat tersebut berkaitan dengan penafsiran kata ﺎﻛﻮﻠﻣ dalam ayat di atas. Dalam sebuah pernyataannya, Ibn ’Abbâs berkata bahwa seorang lelaki bani Israil sudah disebut raja (malik) apabila ia memiliki rumah, istri, dan pelayan. Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Zaid ibn Aslam dan ’Abdullah ibn ’Amr. Sementara itu, Abû Sa’îd al-Khudry menyebut kendaraan (binatang tunggangan) sebagai ganti rumah. 34