Profil Intelektual

B. Profil Intelektual

Bukan hanya kecerdasan dan kemauan tapi juga atas dukungan dan dorongan ayah dan lingkungan yang baik, al-Syaukâny dapat memberikan perhatian yang lebih terhadap ilmu agama. Dalam satu hari satu malam, ada

13 pelajaran yang dia ambil dari gurunya atau dia ajarkan pada murid- muridnya. 14

Karena perhatiannya yang begitu tinggi terhadap ilmu agama, al- Syaukâny juga dalam beberapa kesempatan berdiskusi langsung dengan gurunya, al-‘Allâmah ‘Abdul al-Qâdir, dalam berbagai disiplin ilmu agama seperti ilmu Tafsîr, Hadîts, Usul, Nahwu, Sharf, Ma’ânî, Bayân, Manthiq, fiqh, Jidâl, dan ‘Arûdl (seni mengarang puisi). Setelah ia mendapatkan berbagai ilmu tersebut, iapun mengajarkan kepada murid-muridnya, bahkan dalam

14 Al-Syaukâny, al-Badru al-Thâli’u bi Mahâsini Man ba’da al-Qarn al-Sâbi’, jld. II..s. 218.

satu hari ia dapat mengajarkan sepuluh mata pelajaran dari berbagai cabang ilmu yang ia dapatkan dari gurunya itu. 15

Hal tersebut sangat wajar, jika di kemudian hari, banyak murid-murid al-Syaukâny yang menjadi ulama-ulama berpengaruh dan dihormati di tengah-tengah masyarakat sepeninggalnya. Di antara murid-murid atau ulama-ulama yang berpengaruh dan dihormati tersebut, yaitu :.

'Ali bin Muhammad al-Syaukâny, 16 Muhammad bin Muhammad Zabarah al-Hasany al-Yamânî al-Shan’ânî( w. 1381 H./1926 M.),

Muhammad bin Ahmad al-Sudy (w.1226 H.), Muhammad bin Ahmad Masykhûm al-Sa’dy al-Shan’âny, Ahmad bin ‘Ali bin Muhsin bin al-

Imâm al-Mutawakil ‘Alâ Allâh Ismâ’îl ibn al-Qâsim. (w. 1222 H.), Muhammad bin Muhammad bin Hasyim bin Yahya al-Syâmî al- Shan’âny (w.1251 H.), dan ‘Abdur Rahman bin Ahmad al-Bahkalî al-

Dzamdî al-Syibyâny. (w. 1227 H.) 17

Mereka itu adalah sebagian murid-murid al-Syaukâny yang menyebarkan dan mengajarkan karya-karya al-Syaukâny baik di kota Yaman maupun daerah-daerah sekitarnya.

Berkat ketekunan dan kecintaan al-Syaukâny terhadap ilmu, khususnya ilmu-ilmu agama, dapat mengantarkannya menjadi ulama yang

15 Al-Syaukâny, al-Badru al-Thâli’u bi Mahâsini Man ba’da al-Qarn al-Sâbi’, jld. II. s.217-219. 16 Al-Syaukâny, Muqaddimah Muhaqqiq Tuhfat al-Dzakirîn, (Bairut : Dâr al-Fikr, t.th.), s. 7. Mengenai murid-murid al-Syaukâny, menurut sumber-sumber yang lain

menyatakan bahwa entah karena alasan apa anak dari al-Syaukâny tidak pernah dimasukkan sebagai muridnya, padahal anaknya itu belajar ke ayahnya – dalam hal ini -- Al- Syaukâny.

17 Ibrahim Ibrahim Hilâl, Qatru al-Wâli ‘alâ Hadîts al-Wâli, s. 42-44;, lihat juga, al- Syaukâny, Fathul Qadîr, al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsir,

juz. s. 30-31 juz. s. 30-31

Salah satu kepakaran al-Syaukâny dalam bidang fikih berhaluan

madzhab Imâm Zaid adalah kitab Hadâiq al-Azhâr al-Mutadaffiq ‘alâ Hadâiq al-Azhâr, yang telah berhasil ditulisnya. Dalam kitab itu, ia mengkritik beberapa permasalahan yang terdapat dalam kitab Hadâiq al-Azhâr, yang merupakan rujukan utama bagi madzhab Zaidiyyah dan meluruskan kesalahan-kesalahan yang terdapat di kitab tersebut. 19

Pola alam pikir seperti itulah yang menyebabkan munculnya gerakan para muqallidîn (orang yang selalu taklid, mengikuti pendapat orang lain tanpa berusaha mencari ilmunya) di masa sepeninggal al-Syaukâny demi membela kitab tersebut, sehingga di masa-masa selanjutnya terjadilah perdebatan yang panjang hingga dewasa ini.

Dalam konteks melepaskan dari taklid, al-Syaukâny tidak henti- hentinya mengingatkan umat dari taklid yang tercela dan mengajak umat

18 Ibrahim Ibrahim Hilâl, Qatru al-Wâli ‘alâ Hadîts al-Wâli, s. 17 19 Ibrahim Ibrahim Hilâl, Qatru al-Wâli ‘alâ Hadîts al-Wâli, s. 55.

agar tetap ittiba’ kepada dalil dan diupayakan senantiasa untuk berijtihad. 20 Dalam pada itu, ia pun menuangkan idenya dengan menulis sebuah risâlah

yang berjudul al-Qaul al-Mufid fi Hukm al-Taqlîd. 21 Pada usia yang masih 20 tahun, al-Syaukâny sudah memberikan

fatwa di kota Shan’â. Padahal, saat itu guru-gurunya masih hidup. Sementara yang datang meminta fatwanya tidak hanya dari kota San’â saja, akan tetapi datang dari luar kota San’â. 22 Kemampuan intelektual al-Syaukâny itu mengantarkannya menjadi qâdli, yang saat itu berusia antara 30 sampai 40

tahun. 23 Pada mulanya, al-Syaukâny menolak jabatan tersebut, karena takut

ilmunya akan disibukkan dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya. Namun demikian, setelah para ulama San’â meminta agar ia menerima jabatan tersebut, karena jabatan itu merupakan rujukan syar’i bagi para penduduk negeri Yaman dan adanya kekhawatiran bahwa yang menduduki

20 Al-Syaukâny mengajak kepada semua murid-muridnya dan umumnya para pemuka agama agar mereka meninggalkan taqlîd dan berpindah menuju ijtihad. Dalam

berijtihad seseorang tidak harus memiliki syarat-syarat tertentu. Ijtihad bisa dilakukan oleh orang yang paham bahasa Arab untuk memahami kitab Allah swt, setelah dia memahami sedikit tentang gramatika bahasa Arab seperti nahwu dan sharf, sebagian ilmu ushul fikih, dan mempelajari beberapa kitab sunnah yang mu’tabarah seperti Shahihain. dan orang ini tidak harus disyaratkan harus hapal semua hadits itu, baik yang shahih, hasan dan dla'ifnya. Lihat, Ibrahim Ibrahim Hilâl, Qatru al-Wâli ‘alâ Hadîts al-Wâli, s. 19-20

21 Al-Syaukâny, Muqaddimah Muhaqqiq Tuhfat al-Dzakirîn, s. 7 22 Al-Syaukâny, al-Badru al-Thâli’u bi Mahâsini Man ba’da al-Qarn al-Sâbi’, jld. II..s.

219. 23 Al-Syaukâny, al-Badru al-Thâli’u bi Mahâsini Man ba’da al-Qarn al-Sâbi’, jld. II..s. 224.

jabatan nanti tidak amanah dalam agama dan keilmuannya. Akhirnya, al- Syaukâny menerima jabatan tersebut. 24

Ketika ia menjabat sebagai qâdli (hakim), segala seuatu yang tadinya tidak benar dan berantakan ditegakkan olehnya, ia juga tidak henti-hentinya untuk menggajak kepada semua orang selalu mengikuti kitabullah dan sunahnya. Menurutnya factor yang paling mempengaruhi orang malas untuk berijtihad dan cenderung melakukan taqlid yang menyebabakan kondisi sosio masyarakat yang tidak harmonis adalah karena mereka tidak mau belajar

dengan benar. 25