Pengertian Al-Riwâyah

1. Pengertian Al-Riwâyah

Pada awalnya, sejarah al-Riwâyah dalam hadis dan tafsir itu berjalan sama-sama karena sumbernya hanya satu, yaitu Nabi Muhammad, sendiri sebagai muhaddits pertama sekaligus mufassir awal (al-Mufassir al-Awwâl), atau meminjam bahasanya Shalâh ‘Abdul al-Fath, Rasulullah adalah al-

Muassis al-Awwâl fî ’ilm al-Tafsîr. 1 Setelah periode periwayatan dan pembukuan, ilmu tafsir atau tafsir

mulai berdiri sendiri menjadi disiplin ilmu yang terpisahkan dari hadits. Ulama pada masa itu meletakkan ayat demi ayat untuk ditafsirkan sesuai dengan urutan mushhaf. Ulama yang melakukan hal seperti itu adalah Ibnu Mâjah (w. 273 H), Ibnu Jarîr al-Thabary (w. 310 H), Abû Bakar bin Mundhîr al-Naisâburî (w. 318 H ), Ibnu Abî Hâtim (w. 327 H), Abû al-Saikh bin Hibbân (w. 369 H), al-Hâkim (w. 305 H), dan Abû Bakr bin Marduyah (w. 310 H). 2

1 Shalâh ‘Abd. al-Fattâh al-Khâlidy, Ta’rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn (untuk selanjutnya al-Khâlidy,Ta’rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn), (Beirut : Dâr al-Qalam,

1423 H./ 2002 M.), cet. 1, s. 36. 2 Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 1, s. 104-5; lihat juga, Muhammad bin Muhammad Abû Syuhbah, al-Isrâilliyat wa al-Maudhû’ât fi Kutub al-Tafsîr (untuk selanjutnya al-Isrâilliyat wa al-Maudhû’ât), (Kairo : Maktabah al-Sunnah, 1408 H.), cet. 4, s. 73.

Selanjutnya, untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan al- riwâyah dalam disiplin ilmu hadis dan disiplin ilmu tafsir, terlebih dahulu penulis akan kemukakan analisis semantik dari istilah tersebut.

Kata al-Riwâyah diambil dari kata dasar rawâ-yarwî-riwâyatan yang berarti meriwayatkan atau menceritakan kabar atau berita. Sedangkan kalimat râwî dan râwiyah adalah orang yang meriwayatkan atau orang yang menceritakan. 3 Dalam ilmu Hadits dikenal dengan istilah ’Ilmu al-Hadîts al-

Riwâyah, yang artinya adalah ilmu yang menjelaskan apa-apa yang diambil

dari Nabi Muhammad, baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat pribadi, maupun perbuatan beliau. 4

Selanjutnya pengertian tentang al-Ma`tsûr. Kata al-Ma`tsûr diderivikasikan dari kata atsara. Al-Ma`tsûr secara etimologis bermakna “al- Kalâm al-Mukhbar bihî ‘an Âkhar”, yang berarti perkataan yang diberitakan dari orang lain. Karena itu, al-Tafsîr bi al-Ma`tsûr dapat didefinisikan sebagai “Apa-apa yang datang dari dalam al-Qur’an itu sendiri—satu ayat menjelaskan ayat yang lain—dan apa yang datang dari Rasulullah dan para sahabat yang mulia serta tabi’în.” Khusus tentang tafsir yang berasal dari

tabi’în ini, para ulama berbeda pendapat. 5

3 A. Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, yang telah ditelaah dan dikoreksi oleh KH. Ali Ma'sum dan KH. Zainal Abidin Munawir, (Surabaya : Pustaka

Progresif, 2002), cet. 25, edisi II, hlm. 551-552. 4 Muhammad ‘Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîts; ‘Ulûmuhû wa Musthalahuh, (Bairut : Dâr al-Fikr, 1409 H./1989 M.), s. 7. 5 Jamâl Musthafâ ‘Abdul al-Hamid al-Najjâr, Manâhij Tafsiriyah (untuk selanjutnya Al-Najjâr, Manâhij Tafsiriyah), (Kairo : Jâmi'ah al-Azhâr, t.th.), s. 24.

Jadi, istilah al-Riwâyah atau periwayatan, menurut sebagian para pakar ilmu tafsir seringkali disebut dengan al-Tafsîr bi al-Ma`tsûr 6 yang

didefinisikan sebagai tafsir yang diambil dan disandarkan kepada perkataan Rasulullah, para sahabat serta para tabi’în.

Al-Zarkasyi (w. 974 H.) dan al-Suyûthy (w. 911 H.) tidak menggunakan istilah al-Ma`tsûr, tetapi mereka berdua menggunakan istilah al-Naql (mengambil) sebagaimana dalam ungkapannya :

”Ketahuilah, sesungguhnya al-Qur`an itu ada dua bagian. Pertama,

bagian yang ditafsirkan dengan dinukil (naql) dari orang-orang yang diakui tafsirnya. Kedua, bagian yang tidak mengandung penukilan. Bagian yang pertama terbagi lagi menjadi tiga macam, yaitu tafsir yang datang dari Nabi saw., sahabat, dan pemuka para tâbi’în". 7

Sedangkan menurut al-Zarqâny dalam ungkapannya menyebutkan : “…dan ulama yang lain membagi tafsir itu menjadi tiga: tafsir bi al-

riwâyah yang disebut dengan tafsir bi al-Ma`tsûr, tafsir bi al-Dirâyah yang disebut dengan tafsir bi al-Ra`yi dan tafsir al-Isyâry yang disebut

dengan istilah tafsir bi al-Isyârah. 8

Sementara Shalâh ‘Abd. al-Fattâh al-Khâlidy menyatakan bahwa tafsir bi al-Ma`tsûr atau bi al-Naql yaitu apa saja yang dapat diambil dengan periwayatan yang sahih dari Nabi, sahabat, dan tâbi’în, karena hal itu

6 Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta : GP. PRESS, 2007), cet. ke-I, hlm. 44. 7 Muhammad bin 'Abdullâh al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur'ân (untuk selanjutnya al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur'ân), (Bairut : Dâr al-Fikr,1424 H./2004 M.), juz. II, s.

188-189; lihat juga, Jalâluddîn 'Abdurrahman al-Suyûthy, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân (untuk selanjutnya al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân), (Bairut : Dâr al-Fikr, t.th.), jld. II. s. 178-179.

8 Muhammad ‘Abdul 'Azhîm al-Zarqâny, Manâhil al-‘Irfan fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Bairut, Dâr al-Fikr, t.th.), juz. II, s.11.

merupakan suatu keharusan yang disebabkan oleh kebaikan mereka dalam memahami al-Qur'an dan tafsirnya. 9

Dari uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa al-riwâyah dalam tafsir sama dengan istilah al-riwâyah dalam ilmu hadis. Dalam disiplin ilmu- ilmu al-Qur`an, istilah al-Riwâyah dikenal dengan istilah tafsir bi al-Riwâyah atau tafsir bi al-Ma`tsûr. Menurut hemat penulis, orang pertama kali yang mengenalkan istilah al-Tafsîr bi al-Ma`tsûr ini adalah al-Zarqâny seperti yang telah disebut sebelumnya. Dua ulama ilmu-ilmu al-Qur`an sebelumnya,

seperti al-Zarkasyi dan al-Suyûthî, belum menggunakan istilah tersebut. Perbedaan cara menggunakan istilah ini tidak memiliki indikasi yang tidak baik melainkan akan menambah khazanah yang dapat kita nikmati.