Amanah terhadap Akal

2. Amanah terhadap Akal

Di antara hak yang harus ditunaikan seorang muslim terhadap dirinya adalah memenuhi hak akalnya. Hak akal adalah terpenuhinya kebutuhannya, yaitu ilmu pengetahuan. Karena pentingnya ilmu pengetahuan bagi akal manusia, sejak awal Allah telah membekali manusia dengan ilmu pengetahuan, dan wahyu yang pertama sekali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. adalah tentang perintah membaca yang merupakan kunci ilmu pengetahuan. Firman Allah :

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya. (QS. Al- Baqarah : 31)

Firman-Nya lagi :

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS. Al-'Alaq : 1-5)

Begitu juga Allah telah membekali manusia beberapa media untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, yaitu pendengaran, penglihatan dan hati atau akal. Firman Allah :

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. Al-Nahl : 78)

Maka untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itu, Islam sangat mendorong

umatnya untuk mencari ilmu atau belajar. Firman Allah :

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. Al-Taubah/9 : 122)

Ayat ini menurut Sayyid Quthub dalam tafsirnya adalah bahwa orang-orang yang beriman tidak semuanya pergi ke medan jihad, tetapi secara bergantian ada dari setiap golongan suatu kelompok yang memperdalam agama yang berkaitan dengan pergi ke medaan jihad, jihad dan pergerakan memperjuangkan akidah. Kemudian kelompok yang memperdalam agama itu memberikan peringatan kepada kaumnya Ayat ini menurut Sayyid Quthub dalam tafsirnya adalah bahwa orang-orang yang beriman tidak semuanya pergi ke medan jihad, tetapi secara bergantian ada dari setiap golongan suatu kelompok yang memperdalam agama yang berkaitan dengan pergi ke medaan jihad, jihad dan pergerakan memperjuangkan akidah. Kemudian kelompok yang memperdalam agama itu memberikan peringatan kepada kaumnya

Menurt az-Zuhaylî ayat ini menjelaskan maksud Allah swt. untuk menggerakkan seluruh manusia; satu kelompok untuk pergi memperdalam agama, dan satu kelompok lagi untuk pergi berjihad. Pergi berjihad hukumnya fardhu kifayah sebagaimana mencari ilmu juga hukumnya fardhu kifayah.

Beliau juga menjelaskan bahwa tidak pantas seluruh kaum muslimin pergi

ke medan jihad, meninggalkan Nabi saw. seorang diri; karena jihad adalah adalah fardhu kifayah. Jika sebagian melaksanakan maka sebagian lagi tidak berdosa, bukan fardhu ’ain yang diwajibkan kepada setiap muslim yang dewasa dan berakal. Jihad menjadi fardhu ’ain jika Rasulullah pergi berjihad dan memerintahkan kaum muslimin pergi ke medan jihad.

Beliau menambahkan bahwa mengapa di tengah-tenagh kebangkitan tidak ada dari masing-masing kelompok seperti suku atau negara suatu kelompok yang memperdalam agama, mengetahui hukum-hukum dan rahasia-rahasia agama Islam. Apabila para mujahid (orang yang berjihad) itu pulang dari pertempuran, suatu kelompok yang memperdalam agama tadi mengingatkan mereka dari musuh dan dari murka Allah, mengenalkan mereka hukum-hukum agama agar mereka takut kepada

Allah serta waspada terhadap akibat maksiat dan menyalahi perintah-Nya. 216

215 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 3, h. 1734.

216 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 6, juz 11, h. 77-78.

Senada dengan Sayyid Quthub dan az-Zuhaylî, M. Quraish Shihab juga mengungkapkan bahwa ayat di atas merupakan tuntunan bagi kaum muslimin untuk membagi tugas, dimana tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin yang selama ini dianjurkan agar bergegas menuju medan perang pergi semua ke medan perang sehingga tidak tersisa lagi yang melaksanakan tugas-tugas lain. Jika memang tidak ada mobilisasi umum maka mengapa tidak pergi dari setiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama sehingga

mereka dapat memperoleh manfaat untuk diri mereka dan orang lain dan juga untuk memberi peringatan kepada kaum mereka yang menjadi anggota pasukan yang ditugaskan Rasul saw. itu apabila nanti setelah selesainya tugas, supaya mereka dapat berhati-hati dan menjaga diri mereka. 217

Dari paparan ketiga mufassir di atas, nampak jelas bahwa al-Qur’an sangat mendorong atau memerintahkan umat untuk pergi memperdalam pengetahuan agama atau mencari ilmu. Hanya saja perlu dicatat di sini bahwa yang diungkapkan oleh az- Zuhaylî bahwa memperdalam agama hukumnya fardhu kifayah, barangkali yang beliau maksudkan adalah masalah-masalah agama yang berkaitan dengan kemaslahatan umat secara keseluruhan, bukan mempelajari ilmu-ilmu agama yang sangat mendasar yang merupakan kebutuhan setiap muslim seperti masalah-masalah

217 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 5, h. 749-750.

keyakinan, shalat, zakat, hukum riba dan lain-lain. Kalau masalah-masalah seperti ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Ghazali hukumnya fardhu ’ain 218 .

Karena penting dan tingginya kedudukan mencari ilmu atau memperdalam ilmu dalam Islam, perintah pergi memperdalam pengetahuan agama pada ayat di atas menggunakan kata nafara yang pemakaiannya dalam al-Qur’an banyak digunakan untuk pergi berperang. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah saw. :

Dari Anas bin Malik, ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : "Barangsiapa pergi mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali" . (HR. Tirmidzi) 219

Perintah mencari ilmu diperkuat juga oleh firman Allah yang lain :

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Nahl/16 : 43)

Penggalan akhir ayat di atas secara tegas memerintahkan orang yang tidak berpengetahuan untuk bertanya kepada orang yang berpengetahuan ( ahl adz-Dzikr ). Ahl adz-Dzikr ditafsirkan oleh Sayyid Quthub dengan ahl al-Kitab yang para rasul

218 Lihat Imam al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, jld. 1, h. 14-16.

219 al-Mubârakfûrî, , Tuhfah al-Ahwadzî, Abwâb al-‘Ilm, Bâb Fadhl Thalab al-‘Ilm, jld. 7, 219 al-Mubârakfûrî, , Tuhfah al-Ahwadzî, Abwâb al-‘Ilm, Bâb Fadhl Thalab al-‘Ilm, jld. 7,

pengetahuan ahli kitab yang lalu. Namun pada bagian lain beliau menjelaskan bahwa ahl adz-Dzikr adalah ahli ilmu pengetahuan secara mutlak, baik tentang berita-berita umat terdahulu maupun tentang kitab-kitab samawi, atau tentang al-Qur’an 221 .

M. Quraish Shihab dalam hal ini menjelaskan bahwa ahl adz-Dzikr pada ayat di atas dipahami oleh banyak ulama dalam arti para pemuka agama Yahudi dan Nasrani.

Mereka adalah orang-orang yang dapat memberi informasi tentang kemanusiaan para rasul yang diutus Allah. Mereka wajar ditanyai karena mereka tidak dapat dituduh berpihak pada informasi al-Qur’an sebab mereka termasuk yang tidak mempercayainya, kendati demikian persoalan kemanusiaaan para rasul, mereka akui. Ada juga yang memahami istiulah ini dalam arti sejarawan, baik muslim ataupun non muslim. 222

Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa walaupun penggalan ayat di atas turun dalam konteks tertentu, yakni objek pertanyaan, serta siapa yang ditanya tertentu pula, namun karena redaksinya yang bersifat umum, maka ia dapat dipahami pula sebagai perintah bertanya apa saja yang tidak diketahui atau diragukan

kebenarannya kepada siapa pun yang tahu dan tidak tertuduh objektivitasnya. 223

220 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 4, 2172-2173.

221 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 7, juz 14, h. 143, 148.

222 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 7, h. 235-236.

223 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 7, h. 236.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bertanya merupakan perintah Allah kepada setiap muslim. Adapun yang apa yang ditanya dan kepada siapa bertanya sebagaimana dijelaskan oleh M. Quraish Shihab bahwa walaupun ayat di atas turun dalam konteks tertentu, namun karena redaksinya yang bersifat umum, maka ayat itu dapat dipahami pula sebagai perintah bertanya apa saja yang tidak diketahui atau diragukan kebenarannya termasuk di dalamnya masalah-masalah agama, kepada siapa saja mempunyai pengetahuan tentang apa yang ditanyakan. Dan

perlu diketahui bahwa bertanya merupakan sarana yang efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan.

Kewajiban mencari ilmu diperkuat juga oleh hadits Rasulullah saw. :

Dari Anas bin Malik, ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : " Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim, dan orang yang memberikan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya seperti orang yang memberikan kalung intan, mutiara dan emas kepada babi "

. (HR. Ibnu Majah ) 224

Selain merupakan kewajiban, mencari ilmu juga mempunyai keutamaan yang agung dan memiliki derajat yang tinggi sebagaimana dijelaskan beberapa hadits berikut ini :

224 Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah , Kitâb al-Muqaddimah, Bâb Fadhl al-‘Ulamâ’…, jld.

1, h. 81.

Dari Mu'awiyah, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda : " Barangsiapa yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah akan

memeberikan kepahaman kepadanya dalam agama (HR. Bukhari dan Muslim) 225

Sabda Rasulullah saw. yang lain :

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : "…Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan untuknya jalan

menuju surga…". (HR. Muslim dan Tirmidzi ) 226

Sabda Rasulullah yang lain :

225 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb al-‘Ilm, Bâb Man Yurid Allah Bihi khairon Yufaqqihhu, jld. 1, juz 1, h. 25-26; Muslim, Shahih Muslim, Kitâb az-Zakâh, Bâb an-Nahy ‘An al-

Masalah , jld. 2, h. 719.

226 Muslim, Shahih Muslim, Kitâb adz-Dzikr wa ad-Du’â wa at-Taubah wa al-Istighfâr, Bâb Fadhl al-Ijtimâ’ ‘Ala Tilâwah al-Qur’ân… , jld. 4, h. 2074; al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwadzî ,

Dari Abu Darda, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda : " Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan untuknya jalan menuju surga. Para Malaikat membentangkan sayapnya karena suka terrhadap orang yang mencari ilmu. Seorang alim (orang yang berilmu) sungguh dimintakan ampun oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi dan ikan di dalam lautan. Keutamaan seorang alim terhadap orang yang tukan ibadah seperti utamanya bulan pada malam bulan purnama terhadap seluruh bintang. Sesunggunmya para ulama adalah pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu, berarti ia telah mengambil bagian yang cukup.(HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'I dan Ibnu Majah) 227

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kebutuhan akal manusia. Oleh karena itu Islam memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu

atau belajar. Dengan mencari ilmu, seseorang berarti telah memenuhi kebutuhan atau hak akalnya, dan sekaligus telah melaksanakan perintah Allah dan akan mendapatkan beberapa keutamaan yang diberikan Allah kepada orang yang mencari ilmu.