Tawazun dalam Menunaikan Amanah Pisik, Akal dan Rohani

4. Tawazun dalam Menunaikan Amanah Pisik, Akal dan Rohani

Yang harus diperhatikan seseorang dalam memenuhi hak pisik, akal dan rohaninya adalah ia harus memenuhinya secara tawazun (seimbang) atau secara adil. Artinya ia harus memenuhi hak ketiga unsur itu dengan tidak berlebih-lebihan

dalam memenuhi hak satu unsur, tanpa mengabaikan hak unsur lain. Ia tidak boleh senantiasa memenuhi hak pisiknya, namun hak rohani atau hak akalnya diabaikan. Begitu juga ia tidak boleh selalu memenuhi hak rohani atau akalnya, sementara hak pisiknya diabaikan.

Menurut pengetahuan penulis, ayat al-Qur’an yang mendekati hal ini adalah surat ar-Rahman ayat 7-9 :

Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS. ar-Rahman/55 : 7-9)

Yang menjadi titik tekan dalam ayat di atas adalah bahwa Allah telah meletakkan neraca (keadilan), melarang umat Islam secara khusus dan umat manusia Yang menjadi titik tekan dalam ayat di atas adalah bahwa Allah telah meletakkan neraca (keadilan), melarang umat Islam secara khusus dan umat manusia

Yang dimaksud dengan neraca atau timbangan dalam ayat di atas menurut Sayyid Quthub adalah neraca kebenaran yang diletakkan Allah dengan kokoh dan kuat untuk menilai norma-norma tentang manusia, peristiwa dan benda-benda; agar supaya norma-norma itu tidak bengkok, tidak hilang keseimbangannya, dan tidak mengikuti kebodohan, tujuan duniawi dan hawa nafsu. Neraca kebenaran itu

diletakkan dalam fitrah manusia dan dalam sistem Allah yang dibawa oleh rasul-rasul terdahulu dan terkandung dalam al-Qur’an. 236

Menurut az-Zuhaylî ketika menjelaskan ayat 7-8 di atas, neraca itu adalah keseimbangan antara alam atas dan alam bawah dan keadilan di permukaan bumi agar supaya umat manusia tidak melampaui batas keadilan dan keinsafan dalam menggunakan alat timbangan ketika melakukan tukar menukar sesuatu. Kemudian kata beliau ayat berikutnya merupakan penekanan terhadap perintah menegakkan keadilan atau keseimbangan. Dan yang perlu diperhatikan – lanjut beliau - bahwa Allah swt. pertama sekali memrintahkan persamaan atau keadilan, setelah itu melarang tindakan melampaui batas dengan menambah, kemudian melarang tindakan pengurangan. 237

M. Quraish Shihab dalam menafsirkan tiga ayat di atas menjelaskan bahwa kata mîzân berarti alat menimbang, bisa juga berarti keadilan, dan bisa juga berarti

236 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld 6, h. 3449.

237 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 14, juz 27, h. 198-199.

keseimbangan yang ditetapkan Allah dalam mengatur sistem alam raya, sehingga masing-masing beredar secara seimbang sesuai kadar yang ditetapkan-Nya. Firman Allah alla tatghau fi al- mîzân – lanjut beliau – merupakan penafsiran atas tujuan Allah melakukan/menurunkan mîzân itu apapun diartikan kata mîzân itu. Jika diartikan keadilan, maka ayat ini berarti Allh menurunkan dan menetapkan adanya keadilan agar manusia dalam melakukan aneka aktivitasnya selalu didasari oleh keadilan baik terhadap dirinya maupun pihak lain. Jika kata mîzân itu diartikan

keseimbangan, itu berarti manusia dituntun Allah agar melakukan keseimbangan dalam segala aktivitasnya. 238

Dari uraian di atas jelaslah bahwa Allah dalam ayat di atas telah meninggikan langit dan meletakkan neraca (timbangan). Neraca (timbangan) ini bisa dipahami alat timbangan, keadilan atau keseimbangan. Oleh karena itu Allah memerintahkan umat manusia untuk menegakkan keadilan dan keseimbangan baik dalam arti melakukan penimbangan atau penakaran secara benar dan adil, atau dalam arti bersikap adil terhadap diri sendiri dan dalam berinteraksi dengan orang lain, ataupun dalam arti keseimbangan melakukan berbagai aktivitas. Sebagai salah satu bukti menegakkan keadilan dan keseimbangan sebagai yang dimaksud dalam ayat di atas adalah melakukan keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan diri sendiri, yaitu seimbang dalam memenuhi kebutuhan pisik, akal dan rohani, sehingga tidak ada hak satu unsur pun di antara ketiga unsur ini yang ditambah atau dikurangi. Dengan demikian ketenangan dan kebahagiaan akan bisa diraih.

238 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 13, h. 499-500.

Pentingnya melakukan keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan pisik, akal dan rohani lebih tegas lagi disebutkan dalam hadits Rasulullah saw. Pada masa Rasulullah saw. ada tiga orang mendatangi rumah isteri-isteri beliau menanyakan ibadah beliau. Setelah mereka mendapatkan informasi tentang ibadah beliau, seolah- olah mereka menganggapnya sedikit. Lalu mereka mengatakan : Di mana posisi kami dibandingkan dengan Rasulullah saw, beliau sudah diampuni dosanya baik yang sudah dilakukan maupun yang belum dilakukan ? Kemudian salah seorang mereka

mengatakan : Adapun saya akan melakukan shalat sepanjang malam selamanya. Yang lain berkata : Saya akan shaum (puasa) selamanya dan tidak akan berbuka. Sedangkan yang satu lagi mengatakan : Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan nikah selamanya. Setelah itu Rasulullah saw. datang mengingkari perkataan mereka dan meluruskan pandangan dan pemikiran mereka dengan mengatakan :

" Kaliankah yang mengatakan begitu dan begitu ? Demi Allah, sesungguhnya orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah, tetapi saya puasa dan berbuka, shalat dan tidur, dan menikahi wanita. Barangsiapa yang tidak suka sunnahku, maka dia

bukan golonganku " . (HR. Bukhari dan Muslim) 239

239 al-Bukharî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb an-Nikâh, Bâb at-Targhîb Fî an-Nikâh, jld. 3, juz.