Amanah dalam Ilmu Pengetahuan

6. Amanah dalam Ilmu Pengetahuan

Di antara amanah dalam ilmu pengetahuan adalah menyebarluaskannya kepada masyarakat dan menerangi hati mereka. Orang yang menyembunyikan ilmu pengetahuan berarti telah berbuat khianat. Allah SWT. berfirman :

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila`nati Allah dan dila`nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela`nati,(QS. Al-Baqarah/2 : 159).

Dalam menafsirkan ayat ini, az-Zuhaylî mengatakan : Ayat ini walaupun diturunkan berkenaan dengan ulama-ulama Yahudi dan

pendeta-pendeta Nasrani yang menyembunyikan diutusnya Nabi Muhammad saw, - dan memang orang-orang Yahudi sungguh telah menyembunyikan tentang hukum rajam pezina yang sudah pernah menikah-, namun tidak hanya berlaku bagi mereka, sebab pelajaran berdasarkan umumnya lafaz. Maksud ayat ini adalah setiap orang yang menyembunyikan kebenaran. Jadi ayat ini bersifat umum berlaku bagi orang yang menyembunyikan hukum syara', ilmu yang bemanfaat, atau pendapat yang benar, murni dan bermanfaat bagi umat " . 179

179 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld 1, juz 2, h. 54 .

Beliau juga mengungkapkan bahwa ayat di atas dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang berpendapat bahwa tidak boleh mengambil upah dalam mengajar. Namun beliau mengemukakan fatwa ulama yang membolehkan mengambil upah dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama disebabkan banyak orang yang meremehkannya dan sibuk dengan kesenenangan kehidupan dunia, agar ilmu-ilmu itu tidak hilang, dan sudah terputusnya anggaran khusus untuk para ulama dari baitul mal kaum muslimin, serta terpaksanya para ulama untuk membekali diri dalam

menghadapi kehidupan dunia. 180 Senada dengan az-Zuhaylî, M.Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat di

atas mengemukakan bahwa sekalipun ayat di atas turun dalam konteks kecaman terhadap orang-orang Yahudi, namun redaksinya yang bersifat umum menjadikannya kecaman terhadap setiap orang yang menyembunyikan apapun yang diperintahkan agama untuk disampaikan, baik ajaran agama maupun ilmu pengetahuan atau hak manusia. Kemudian beliau memberikan catatan bahwa tidak semua apa yang diketahui boleh disebar luaskan, walaupun itu bahagian dari ilmu syariat dan bahagian dari informasi tentang pengetahuan hukum. Sebab kata beliau informasi itu terbagi dua, ada yang dituntut untuk disebarluaskan seperti kebanyakan dari ilmu syariat, dan ada juga yang tidak diharapkan sama sekali untuk disebarluaskan, atau baru diharapkan untuk disebarluaskan setelah mempertimbangkan keadaan, waktu,

180 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld 1, juz 2, h. 55 .

atau sasaran. Tidak semua informasi disampaikan sama kepada yang pandai dan bodoh, atau anak kecil dan dewasa. Tidak juga semua pertanyaan perlu dijawab 181 .

Sayyid Quthub juga mengemukakan bahwa ayat di atas berkenaan dengan Ahlul Kitab yang menyembunyikan penjelasan Allah dalam kitab mereka tentang kebenaran risalah yang dibawa oleh Muhammad dan perintah-perintah yang disampaikannya. Begitu juga berlaku bagi orang-orang di zaman manapun yang menyembunyikan kebenaran yang diturunkan Allah; orang-orang yang diam tentang

kebenaran padahal mereka mengetahuinya; orang-orang yang menyembunyikan pendapat-pendapat yang diyakini kebenarannya; orang-orang yang menjauhi ayat- ayat dalam kitab Allah, tidak menjelaskannya tetapi diam dan menyembunyikannya agar mereka menjauhi kebenaran yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut serta menyembunyikannya dari pendengaran dan perasaan orang-orang karena tujuan dunia. Mereka itulah orang-orang yang diancam mendapat laknat Allah, diusir dari

mendapatkan rahmat Allah serta diusir oleh para pelaknat dari segala kebenaran 182 . Keharusan menyebarkan ilmu dan larangan menyembunyikannya juga

diperkuat oleh hadits, antara lain :

181 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 1, h. 346-347.

182 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 1, h. 150.

Dari Abu Hurairah, katanya : Rasulullah saw. bersabda : " Barangsiapa ditanya tentang ilmu, lalu dia menyembunyikannya, maka Allah memberikan kendali kepadanya dengan kendali api neraka pada hari kiamat ". (HR. Abu Daud, Tirmidzi – dan menurutnya hadits ini hadits hasan- dan Ibnu Majah dengan lafaz yang

berdekatan) 183

Dalam menjelaskan hadits ini, al-Khaththâbî berkata : Ini tentang ilmu yang harus ia diajarkan dan wajib dipelajari. Seperti orang

yang melihat seorang kafir yang ingin masuk Islam dengan mengatakan : " Ajarkan kepada saya apa itu Islam dan apa itu agama ?". Dan seperti orang yang melihat seseorang yang baru masuk Islam yang belum pandai melakukan shalat – padahal waktu shalat telah datang- dengan mengatakan : "Ajarkan kepada saya

bagaimana saya shalat" . Dan seperti orang yang meminta fatwa tentang halal dan haram dengan mengatakan : "Berikanlah fatwa kepadaku dan ajarilah aku". Dalam

keadaan seperti ini, orang yang ditanya itu harus menjawab tentang ilmu yang ditanyakan. Orang yang tidak mau menjawab, ia berdosa berhak mendapatkan ancaman dan siksa. Lain halnya kalau ditanya tentang ilmu yang bersifat tambahan yang tidak terlalu penting diketahui oleh seseorang ". 184

Dari uraian di atas jelaslah bahwa orang yang tanpa alasan yang benar menyembunyikan ilmu pengetahuan tentang kebenaran yang seharusnya disampaikan kepada orang lain karena sangat dibutuhkan, berarti ia tidak menyampaikan amanah. Oleh karena itu ia berhak mendapatkan ancaman siksa.

Di antara amanah dalam ilmu adalah kembali kepada yang benar setelah yang benar itu jelas. Hal ini seperti apabila seseorang mengemukakan suatu pendapat, kemudian dia melihat bahwa ada dalil yang lebih kuat berbeda dengan pendapat yang dikemukakannya, maka ia hendaknya mencabut pendapatnya dan kembali kepada dalil yang lebih kuat.

183 Abu Daud, Sunan Abî Daud, Kitâb al-‘Ilm, Bâb Karâhiyah Man’ial-‘Ilm, jld. 4, h. 67- 68; al-Mubârakfurî, Tuhfah al-Ahwadzî , Abwâb al-‘Ilm, Bâb Mâ Jâa Fi Kitmân al-‘Ilm, jld. 7, h. 407-

408; Ibnu Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Kitâb al-Muqaddimah, Bâb Man Suila ‘An ‘Ilm fakatamah, (Dâr Ihyâ' at-Turâts al-'Arabî, , ttp, 1395 H/1975 M ), jld. 1, h. 97.

184 Abu Daud, Sunan Abî Daud, jld. 4, h. 67-68.

Kembali kepada yang benar merupakan sifat utama yang diperintahkan Islam. Islam mendidik umatnya untuk kembali kepada yang benar dan tidak hanyut dalam kebatilan selama yang benar itu telah jelas. Di antara didikan Islam dalam kembali kepada yang benar adalah arahan Rasulullah saw. kepada orang yang telah bersumpah tentang sesuatu, kemudian dia melihat ada yang lebih baik lagi dari itu, supaya ia membayar kifarat (denda) sumpah yang dilanggarnya, dan ia melakukan yang lebih baik itu. Hal ini dijelaskan dalam hadits berikut ini :

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda : " Barangsiapa yang bersumpah terhadap sesuatu, lalu dia melihat yang lain yang lebih baik dari sumpahnya; maka hendaknya dia melaksankan yang lebih baik itu dan membayar denda sumpahnya ".

(HR. Muslim) 185

Sikap kembali kepada yang benar ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. sendiri. Yaitu ketika dalam perang Badar, Rasulullah saw. mengambil posisi pada suatu tempat. Namun ada seorang sahabat yang bernama al-Hubbâb bin al- Mundzir memberikan masukan kepada beliau bahwa posisi yang lebih tepat itu adalah bukan yang dipilih beliau, jika posisi yang dipilih Rasulullah saw. itu bukan wahyu. Menurut al-Hubbâb posisi yang tepat itu adalah tempat yang lain, yaitu tempat sumber air yang paling dekat dengan musuh. Dengan demikian kaum muslimin bisa membuat kolam air, sedangkan sumber air yang di belakang kaum

185 Muslim, Shahih Muslim, Kitâb al-Aymân, Bâb Nadb Man Halafa Yamînan, jld. 3, h. 1272.

muslimin ditutup. Sehingga kaum muslimin bisa minum karena persiapan air yang banyak dan kaum musyrikin tidak bisa minum karena tidak punya sumber air. Akhirnya Rasulullah pun melaksanakan pendapat dan usulan Hubbâb.

Didikan Rasulullah saw. ini kemudian dilaksanakan para pengikutnya, di antaranya adalah oleh Umar bin Khattab. Ketika menjadi khalifah, beliau mengeluarkan kebijakan untuk membatasi maskawin. Menurut beliau maskawin itu cukup 400 dirham atau kurang sebagaimana telah dilakukan oleh Rasulullah dan para

sahabatnya. Namun kebijakannya ini diprotes seorang wanita karena bertentangan dengan ayat (

... 186 ﺍ ًرﺎ َﻄْﻨِﻗ ﱠﻦُھاَﺪ ْﺣِإ ْﻢُﺘ ْﯿَﺗاَءَو ). Umar pun mencabut kebijakannya dan membenarkan pendapat wanita itu. 187

Di antara amanah dalam ilmu adalah tidak malu menjawab dengan " Saya tidak tahu ". Yakni apabila seseorang ditanya tentang suatu masalah, sedangkan ia tidak tahu jawabannya, maka hendaknya ia mengatakan : " Saya tidak tahu " . Tidak buru-buru memberikan fatwa dan mengatakan " Saya tidak tahu " apabila ditanya tentang sesuatu yang belum jelas jawabannya menurut Imam Ghazali merupakan salah satu ciri ulama akhirat. Beliau menukil perkataan asy-Sya'bi yang mengatakan : "Saya tidak tahu" adalah setengah ilmu, orang yang diam karena Allah SWT. dalam

186 QS. an-Nisa'/4 : 20. Arti potongan ayat itu adalah : (... sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak...)

187 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, jld. 1, h.571.

hal yang ia tidak ketahui pahalanya tidak lebih sedikit dari pada orang yang menjawabnya; karena mengakui ketidaktahuan lebih berat bagi jiwa. 188

Cara ini bukan hal yang baru dan aneh; karena pernah dicontohkan Rasulullah saw, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits dibawah ini :

Dari Jubair bin Muth'im bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. sambil bertanya : Wahai Rasulullah, negeri mana yang paling buruk? Rasulullah menjawab : " Saya tidak tahu ". Ketika Jibril datang kepadanya, beliau bertanya : Wahai Jibril, negeri mana yang paling buruk ? Jibril menjawab : Saya tidak tahu sebelum saya bertanya kepada Allah 'Azza wa Jalla. Kemudian Rasul diam beberapa saat, Jibril datang kepadanya dengan mengatakan : Wahai Muhammad, engkau telah bertanya kepadaku : negeri mana yang paling buruk ? Aku menjawab : saya tidak tahu, dan saya telah bertanya kepada Allah : Negeri mana yang paling buruk ? Dia menjawab

: Pasar ". (HR. Ahmad) 189

Begitu juga mengatakan 'saya tidak tahu' atau diam tidak menjawab pertanyaan yang jawabannya belum diketahui atau masih diragukan adalah kebiasan para sahabat Rasulullah saw. Ibnu Umar pernah ditanya tentang sepuluh masalah,

188 al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, jld. 1, h. 69.

189 Ahmad , Musnad al-Imâm Ahmad , jld. 4, h. 81.

satu masalah ia jawab dan sembilan masalah tidak dijawabnya. Ibnu Abbas menjawab sembilan masalah dan satu masalah tidak dijawabnya. 190

Di kalangan ulama fiqh, yang mengatakan ' Saya tidak tahu lebih banyak dari pada yang mengatakan ' Saya tahu ' . Di antara mereka adalah Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, Fudhail bin 'Iyadh dan Bisyr bin al-Harts. 191