Amanah Dakwah 78 dan Jihad

3. Amanah Dakwah 78 dan Jihad

78 Dakwah ( ةﻮﻋد ) secara bahasa berasal dari : ىﻮ ﻋدو ، ءﺎﻋدو ، ةﻮﻋدو ، اﻮﻋد – ﻮﻋﺪﯾ – ﺎﻋد yang

mempunyai beberapa arti, di antaranya :

An-Nida' ( ءاﺪ ﻨﻟا ) , artinya memanggil, seperti : ﺎ ﻧﻼﻓ نﻼ ﻓ ﺎ ﻋد , artinya si fulan memanggil si fulan.

Ath-Thalab ( ﺐﻠﻄﻟا ) , artinya meminta, seperti : ﺊﯿﺸﻟﺎﺑ ﺎﻋد , artinya ia meminta sesuatu.

Al-Hatstsu 'ala asy-syay-i ( ﺊﯿﺸﻟا ﻰﻠﻋ ﺚﺤﻟا ) , aritinya memerintahkan atau menyerukan kepada sesuatu, seperti : ةﻼ ﺼﻟ ا ﻰﻟا هﺎﻋد artinya : ia memerintahkan atau menyerukannya untuk shalat. لﺎﺘﻘﻟ ا ﻰﻟا هﺎﻋ د , artinya ia menyerukan atau memerintahkannya untuk berperang.

Memohon dan meminta, ini yang sering disebut dengan istilah berdo'a, seperti : ﷲا تﻮ ﻋد , artinya saya memohon kepada Allah. (Lihat : Ibrahîm Mushthafâ, et al , al-Mu’jam al-Wasî th , h. 286)

Menurut istilah para ulama, dakwah mempunyai beberapa arti :

Menurut Dr. Ali 'Abd al-Halim Mahmud dalam bukunya Fiqh ad-Da'wah ilallah, dakwah adalah :

ِﮫْﯾَﺪَﯾ ِﻦْﯿَﺑ ْﻦِﻣ ُﻞِﻃﺎَﺒْﻟا ِﮫﯿِﺗْﺄَﯾ ﺎَﻟ ) ﮫﺑر ﺪﻨﻋ ﻦﻣ ﺎﯿﺣو ، ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﺪﻤﺤﻣ ﮫﺑ ءﺎﺟ يﺬﻟا مﻼﺳﻹا ﻦﯾد ﻲﻓ لﻮﺧﺪﻟا ﻰﻟإ ةﻮﻋﺪﻟا ( ٍﺪﯿِﻤَﺣ ٍﻢﯿِﻜَﺣ ْﻦِﻣ ٌﻞﯾِﺰْﻨَﺗ ِﮫِﻔْﻠَﺧ ْﻦِﻣ ﺎَﻟَو Menyeru kepada masuk ke dalam agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw,

sebagai wahyu dari Tuhannya. Firman Allah : "Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji " (Lihat : ‘Ali ‘Abd al-Halîm : Mahmûd, Fiqh ad-Da'wah ilâ Allah, (Mesir: Dâr al- Wafâ' li ath-Thibâ'ah wa an-Nasyr wa al-Tauzi', tth.), jld. 1, h. 17. Ayat al-Qur'an, surat Fushshilat/41 : 42.

Menurut Dr. Rauf Syalabiy sebagaimana dikutip Muhammad Abu al-Fath al-Bayânûnî dalam bukunya al-Madkhal ilaa 'Ilm ad-Da'wah adalah :

ﻲﻘﯿﺒﻄﻟاو يﺮﻈﻨﻟا ﺎﮭﯿﺒﻧﺎﺟ ﻲﻓ ﺔﯿﻣﻼﺳﻹا ﺔﻛﺮﺤﻟا Gerakan Islam dalam dua aspeknya : teori dan praktek 78

Pada dasarnya amanah dakwah dan jihad termasuk dalam amanah ibadah; karena dakwah dan jihad termasuk perintah Allah yang harus ditunaikan setiap muslim. Namum karena pentingnya, dakwah dan jihad ini dimasukkan pada pembahasan tersendiri. Dakwah merupakan perintah Allah disebutkan antara lain dalam firman Allah :

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang- orang yang beruntung. (QS. Ali Imrân/3 : 104)

Ayat di atas merupakan perintah untuk berdakwah atau menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dalam menafsirkan ayat di atas az-Zuhaylî menjelaskan bahwa Allah swt memerintahkan kepada umat Islam agar ada di kalangan umat satu jama’ah (golongan) khusus yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Disebutkannya golongan ini secara khusus, kata beliau tidak menghalangi

Menurut Muhammad Abu al-Fath al-Bayânûnî dalam bukunya al-Madkhal ilaa 'Ilm al- Da'wah adalah :

Menyampaikan Islam kepada manusia, mengajarkannya kepada mereka dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata . (Lihat : Muhammad Abû al-Fath al-Bâyânûnî, al- Madkhal ilâ 'Ilm ad-Da'wah , (Beirût : Muassasah al-Risâlah, cet. 2, 1414 H/1993 M), h. 18.

wajibnya menyuruh kepada yang ma’ruf (amar ma’ruf) dan mencegah dari yang munkar (nahi munkar) bagi setiap individu umat Islam.Lalu beliau menukil sebuah hadits riwayat Muslim :

Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka hendaknya ia merubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu dengan tangannya, maka dengan lidahnya. Dan jika ia tidak mampu dengan lidahnya, maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-

lemah iman ". (HR. Muslim dan Ashhâb as-Sunan) 79

M. Quraish Shihab mengungkapkan ada dua pandangan ulama tentang kewajiban berdakwah. Sebagian ulama memahami bahwa kewajiaban dakwah

ditujukan kepada sebahagian umat Islam dengan alasan bahwa kata minkum ( ْﻢُﻜْﻨﻣ ) ِ dalam ayat di atas dalam arti sebagian kamu. Sebagian ulama lagi memahami bahwa

kata minkum ( ْﻢُﻜْﻨﻣ ) ِ dalam arti penjelasan, sehingga ayat di atas merupakan perintah kepada setiap orang muslim untuk melaksanakan tugas dakwah sesuai kemampuan

79 az-Zuhaylî , at-Tafsîr al-Munîr , juz 4, h. 33. Hadits diriwayatkan oleh Muslim, Shahih Muslim , Kitâb al- îman, bâb bayân kawn an-nahy, ‘an al-munkar min al- îmân, wa ann al- îmân yazîd

wa yanqush, wa ann al-amr bi al-ma’ruf, wa an-nahy ‘an al-munkar wajibân , jld. 1, h. 69; Abû Daud, Sunan Abî Daud, kitâb ash-shalâh, bâb al-khutbah yaum al-‘'îd , jld. 1, h. 677-678; al-Mubârakfurî, Tuhfah al-Ahwadz î , abwâb al-fitan ‘an Rasul Allah, bâb ma jâa f î taghy î r al-munkar bi al-yad aw bi al-lisân aw bi al-qalb, jld. 6, h. 392-393; an-Nasâî, Sunan an-Nasâ'î , kitâb al-'îmân wa syarâii’h, bâb tafâdhul ahl al-'îmân , jld. 4, juz 8, h. 111-112; Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Majah, kitâb iqâmah ash- shalâh wa as-sunnah fîhâ, bâb ma jâa f î shalah al-‘idain, (Beirut : Dâr Ihyâ' at-Turâts al-'Arabî, 1395 wa yanqush, wa ann al-amr bi al-ma’ruf, wa an-nahy ‘an al-munkar wajibân , jld. 1, h. 69; Abû Daud, Sunan Abî Daud, kitâb ash-shalâh, bâb al-khutbah yaum al-‘'îd , jld. 1, h. 677-678; al-Mubârakfurî, Tuhfah al-Ahwadz î , abwâb al-fitan ‘an Rasul Allah, bâb ma jâa f î taghy î r al-munkar bi al-yad aw bi al-lisân aw bi al-qalb, jld. 6, h. 392-393; an-Nasâî, Sunan an-Nasâ'î , kitâb al-'îmân wa syarâii’h, bâb tafâdhul ahl al-'îmân , jld. 4, juz 8, h. 111-112; Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Majah, kitâb iqâmah ash- shalâh wa as-sunnah fîhâ, bâb ma jâa f î shalah al-‘idain, (Beirut : Dâr Ihyâ' at-Turâts al-'Arabî, 1395

muslim untuk saling mengingatkan berdasarkan ayat lain seperti firman Allah dalam surat al-‘ashr yang menilai semua manusia dalam kerugian, kecuali yang mereka yang beriman dan beramal saleh, serta saling ingat mengingatkan tentang kebenaran

dan ketabahan 80 . Sayyid Quthub mengungkapkan sisi lain dari perintah dakwah, amar ma’ruf

dan nahi munkar ini. Beliau mengungkapkan bahwa merupakan suatu keharusan adanya jama’ah (kelompok) yang melakukan dakwah, dan adanya kekuasaan yang melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Pandangan beliau ini didasarkan bahwa dalam ayat di atas digunakan kata dakwah ( ﺮﯿﺨﻟا ﻰﻟإ نﻮﻋﺪﯾ ) dan kata amar ma’ruf

dan nahi munkar ( ﺮﻜﻨﻤﻟا ﻦﻋ نﻮﮭﻨﯾو فوﺮﻌﻤﻟﺎﺑ نوﺮﻣﺄﯾ ) . Kalau dakwah bisa dilakukan tanpa kekuasaan, tapi amar ma’ruf dan nahi munkar tidak bisa dilakukan tanpa

kekuasaan 81 . Pada dasarnya ketiga mufassir di atas sepakat bahwa dakwah merupakan

perintah. Hanya saja az-Zuhaylî dan M. Quraish Shihab lebih menyoroti jenis perintah itu, apakah termasuk wajib ‘ain ataukah termasuk wajib kifayah. Sedangkan Sayyid Quthub lebih menyoroti dari sisi tehnis pelaksanaan perintah tersebut. Namun

80 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 2, h. 162-163.

81 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 1, h. 444.

penulis memandang bahwa M. Quraish Shihab pun cenderung dengan apa yang diungkapkan Sayyid Quthub, sebab beliau menukil pandangannya dalam tafsir

beliau 82 . Tentang perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum dakwah apakah

wajib ‘ain atau wajib kifayah adalah masalah klasik, di mana hal itu sudah ada lama, dan masing-masing pihak mengemukakan argumentasinya untuk mendukung pendapatnya. Namun perbedaan itu menurut Muhammad Abû al-Fath al-Bayânûnî

dalam bukunya al-Madkhal ilâ 'Ilm ad-Da'wah ringan saja, secara operasional tidak memiliki dampak yang besar. Hal itu kata beliau karena empat hal :

1. Kedua belah pihak sepakat bahwa dakwah adalah wajib.

2. Ulama yang mengatakan wajib kifayah sepakat dengan yang lain bahwa jika belum cukup, maka hukum wajib dakwah itu belum gugur dari yang lain. Perintah dakwah itu masih berlaku bagi semua sampai mencukupi. Jika kecukupan itu belum tercapai, maka semua berdosa.

3. Ulama yang berpendapat wajib 'ain membatasi kewajiban itu dengan kemampuan. Mereka sepakat bahwa orang yang tidak mengetahui hukum kemunkaran, tidak termasuk mampu. Demikian juga orang yang tidak mampu merubah kemungkaran, maka gugurlah kewajibannya. Jadi pendapat yang mengatakan bahwa dakwah itu wajib 'ain tidak memberatkan siapapun juga.

82 Lihat : M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 2, h. 163.

4. Jika kewajiban itu sudah gugur karena sudah dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan, maka tinggallah hukum sunnah. Maka seluruh kaum muslimin disunnahkan melakukan dakwah berdasarkan firman Allah SWT. :

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS. Fushshlat/41 : 33)

Dan dalil-dalil yang lain yang menganjurkan dakwah yang dengan melaksanakannya akan mendapat pahala yang besar. 83

Pelaksanaan dakwah yang merupakan perintah Allah harus tepat sasaran. Agar tepat sasaran, kita perlu merujuk kepada al-Qur’an. Dalam al-Qur'an, kita dapatkan di antaranya dalam surat Yusuf ayat 108 dan surat an-Nahl ayat 125. Dalam surat Yusuf 108 Allah berfirman :

83 Muhammad Abû al-Fath al-Bâyânûnî, al-Madkhal ilâ 'Ilm ad-Da'wah, (Beirût : Muassasah al-Risâlah, cet. 2, 1414 H/1993 M), h. 31-34.

Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".(QS. Yusuf/12 : 108)

Sedangkan dalam surat an-Nahl ayat 125 Allah berfirman :

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS. an-Nahl/16 : 125)

Dalam kedua ayat di atas bahwa sasaran dakwah itu adalah mengajak kepada Allah ( ﷲا ﻰ ﻟإ ﻮ ﻋدأ) atau mengajak kepada jalan Allah ( ﻚ ﺑر ﻞﯿﺒ ﺳ ﻰ ﻟإ عدا) .

Maksud ( ﷲا ﻰ ﻟإ ﻮ ﻋدأ) menurut Ibnu Katsir adalah mengajak kepada penyaksian bahwa tidak ada yang patut diibadahi selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya 84 . Begitu juga menurut penafsiran az-Zuhaylî, hanya saja beliau menambahkan dengan

mengajak kepada agama Allah 85 . Senada dengan Ibnu Katsir dan az-Zuhaylî, asy- Syaukanî menafsirkan dengan mengajak kepada mengimani dan mentauhidkan Allah

dan melaksanakan ajaran yang yang telah disyari'atkan Allah 86 .

84 Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm , jld. 2, h. 610.

85 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr, jld. 7, juz 13, h. 83.

86 asy-Syaukânî, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad (Selanjutnya disebut asy-Syaukânî),

Fath al-Qadîr, (Beirut : Dâr al-Fikr, cet. 3, 1973 M/1393 H.), jld. 3, h. 59.

Adapun maksud ( ﻚ ﺑر ﻞﯿﺒ ﺳ ﻰ ﻟإ عدا) menurut az-Zuhayliî adalah mengajak kepada syari'at Tuhanmu yaitu Islam. Asy-Syaukanî menafsirkannya dengan singkat,

yaitu Islam. Sedangkan Ibnu Katsir tidak menafsirkannya. Dari kedua ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa sasaran dakwah adalah mengajak manusia kepada agama Allah, yaitu Islam. Inti dari ajaran Islam adalah mentauhidkan Allah, yaitu tunduk dan patuh hanya kepada Allah dengan melaksanakan semua ajaran-Nya dalam semua aspek kehidupan manusia. Ini sesuai dengan pengertian ibadah sebagaimana telah dijelaskan di atas yang didakwahkan oleh para rasul kepada umatnya masing-masing dan yang merupakan tugas pokok manusia. Firman Allah :

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu" (QS. An-Nahl/16 : 36)

Dan Firman-Nya :

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. Al-Anbiya'/21 : 25)

Dan firman-Nya juga yang mengkisahkan dakwah nabi Nuh, Hud, Shalih dan Syu'aib :

Sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.(QS. Al-A'raf/7 : 59,

Penjelasan tentang inti dari ajaran Islam di atas merupakan suatu hal yang penting, karena barangkali semua orang sepakat bahwa sasaran dakwah adalah mengajak manusia kepada Islam. Namun dalam kenyataannya banyak orang yang tidak memahami secara benar tentang Islam. Pemahaman yang umum di kalangan umat Islam adalah bahwa Islam hanya sebatas ritual dan seremonial belaka. Jika seseorang telah melaksanakannya, ia menjadi puas dan rela dan ia mengira bahwa telah smpai pada inti ajaran Islam.

Oleh karena itu, Jum'ah Amîn ‘Abd al-‘Azîz ketika membahas tentang "Kepada Apa Kita Menyeru Manusia" dalam bukunya ad-Da’wah Qawâ'id wa Ushûl , beliau menegaskan :

Ke mana kita mendakwahi manusia ? ini adalah sebuah pertanyaan yang selalu terbetik di benak seorang da'i muslim. Pertanyaan ini tidak memerlukan jawaban, karena hakikatnya sudah terlalu jelas, bahkan lebih jelas dari pada matahari di siang bolong. Apakah ada seorang muslim yang tidak mengetahui, ke arah mana sebenarnya ia berdakwah kepada manusia?

Untuk pertama kali tampaknya jawabannya mudah dan jelas, selama istilah- istilahnya jelas dan tujuannya serta sarana-sarananya juga jelas. Padahal Untuk pertama kali tampaknya jawabannya mudah dan jelas, selama istilah- istilahnya jelas dan tujuannya serta sarana-sarananya juga jelas. Padahal

Memang benar bahwa mungkin secara global jawaban itu bisa jadi satu (sama), karena kita semuanya mengajak kepada Islam yang hanif (lurus). Akan tetapi titik perbedaan itu akan tampak dan perselisihan pun semakin membesar, seperti perbedaan antara malam dengan siang, jika permasalahan tersebut mulai dibahas secara rinci dan diuraikan secara lebih detil. Dari sinilah maka bagi seorang da'i, pertanyaan tersebut ditujukan pertama kepada dirinya. Sebelum ia melangkah untuk berjalan ke suatu tempat, ia harus menentukan tashawwur (persepsi), mengetahui tujuan, menentukan rambu-rambu perjalanannya, dan mempersiapkan sarana-sarana yang diperlukan untuk sampai pada tujuan dengan langkah yang tegar, dengan rambu-rambu yang jelas, dan dengan tashawwur yang

jelas dan nyata, serta benar. Karena orang yang tidak memiliki sesuatu, tidak mungkin bisa memberi sesuatu.

Sejak pertama kali, kita mendakwahi manusia untuk melaksanakan agama Allah, yaitu Islam. Allah SWT. berfirman yang artinya : "Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali Imran/3 : 85)

Islam yang dimaksud pada ayat ini adalah agar kita menjadikan Islam sebagai pedoman hidup secara menyeluruh, menyerahkan segala persoalan yang kecil maupun yang besar kepada Allah. Hendaknya kita pahami Islam itu secara utuh dan menyeluruh., sebagai agama dan kedaulatan, aqidah dan sya'riah, sistem moral dan kepemimpinan, jihad dan ibadah, dunia dan akhirat, dengan segala yang terkandung di dalam kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Yaitu melaksanakan segala perintah dan meninggalkan segala larangan, sadar dalam menghadapi ketentuan Allah, sikap mengikuti jejak dan langkahnya, siap berjalan di atas manhaj (sistem)nya, berittiba' (mengikuti) bukan membuat bid'ah, selalu mengembalikan segala urusan kepada Allah, dan berciri khas dengan risalahnya., untuk merealisasikan firman Allah SWT yang artinya : " Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah (beristiqomahlah) sebagaimana diperintahkan kepadaku dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah, 'Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan oleh Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada–Nyalah kembali (kita)." (QS. al-

Syura'/42 : 15) 87

87 Jum'ah Amîn ‘Abd al-‘Azîz, ad-Da’wah Qawâ'id wa Ushûl, ( Cairo : Dâr ad-Da’wah,

1409 H/1989 M), h. 27-28.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inti dakwah adalah mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah, atau dengan kata lain mengeluarkan manusia dari ibadah atau penghambaan terhadap manusia kepada ibadah atau penghambaan terhadap Allah. Ini sesuai dengan firman Allah :

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS. Ali Imran/3 : 64)

Ini juga sesuai dengan pengarahan Rasulullah saw. kepada Mu'adz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke Yaman :

Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah saw. ketika mengutus Muaz r.a ke Yaman bersabda : " Sungguh, kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah pertama kali dakwah yang kamu sampaikan kepada mereka ialah beribadah kepada Allah. Jika mereka telah mengenal Allah, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah melakukannya, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat kepada mereka yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang-orang fakir. Jika mereka telah mematuhinya, maka ambillah harta itu dari mereka, dan hati-hatilah dari harta

pilihan mereka " (HR. Bukhari dan Muslim ) 88

Ini juga dakwah yang disampaikan Rib'î bin ‘Âmir kepada Rustum panglima Persia sebelum pertempuran al-Qâdisiyyah pada masa pemerintahan Umar

bin Khattâb :

" Allah mengutus kami untuk membebaskan siapa saja yang mau dari penyembahan (ibadah) terhadap manusia kepada penyembahan (ibadah) terhadap Allah; mengeluarkan mereka dari sempitnya dunia kepada luasnya alam; dari kezaliman agama-agama kepada keadilan Islam. Allah telah mengutus Rasul-Nya menyampaikan ajaran agama-Nya kepada semua makhluk-Nya agar kami menyeru mereka kepada ajaran agama itu. Barangsiapa menerimanya kami terima mereka dan kami biarkan mereka aman dalam negeri mereka, dan barangsiapa menolaknya kami perangi mereka sehingga kami mendapatkan janji Allah". Mereka bertanya : Apa janji Allah itu ? Ia menjawab : "Surga bagi orang yang mati karena memerangi orang

88 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb az-Zakâh, Bâb La Tu’khadz Karâim Amwâl an-Nâs Fî , ash-Shadaqah, jld. 1, juz 2, h. 125; Muslim, Shahih Muslim , Kitâb al-Îmân, bâb ad-Du’â’ ilâ

asy-Syahâdatain wa Syarâi’ al-Islâm , jld. 1, h. 51.

menolak agama Allah, dan mendapatkan kemenangan bagi orang yang masih hidup ". 89

Dakwah dengan sasaran di atas, dalam sejarahnya, di samping mendapatkan para pengikut dan pembela, juga tidak sedikit mendapatkan penolakan dan perlawanan khususnya dari kalangan penguasa yang memperbudak manusia untuk kepentingan mereka sendiri di sepanjang masa, mulai para rasul yang terdahulu sampai sekarang; sebab mereka menganggap dakwah inilah yang akan

menghancurkan kekuasaan dan superioritas mereka 90 . Maka suatu hal yang sangat bijaksana, kalau Allah mensyari'atkan jihad 91 sebagai pengawal dakwah dari

ancaman orang-orang yang tidak senang menyebarnya dakwah Islam.

89 Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa an-Nihâyah, (Beirut : Maktabah al-Ma'ârif, cet. 2, 1394 H/1974 M), jld. 4, juz 7, h. 39. Lihat juga : Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 3, h. 1440.

90 Tentang pada masa para rasul, baca antara lain : QS. Ibrâhim/14 : 13, asy-Syu’arâ/26 :

116, Hûd/11 : 91, Maryam/19 : 46, al-Anbiyâ’/21 : 68, al-Baqarah/2 : 87, 120, Thâha/20 : 70-71, al- Anfâl/8 : 30. Dan tentang masa sekarang Dr. Abdullah al-Qâdirî dalam bukunya al-Jihâd fî Sabîlillah Haqîqatuhû wa Ghâyâtuhû menulis : Dr. Abdullah al-Qâdirî dalam bukunya al-Jihâd fî Sabîlillah Haqîqatuhû wa Ghâyâtuhû : Sampai saat ini musuh-musuh Islam senantiasa memikul senjatanya melawan kaum muslimin, mereka akan tetap melakukan demikian sampai Allah mewariskan bumi ini dan isinya (kepada kaum muslimin). Orang-orang Komunis, Kaum Paganis, Orang-orang Yahudi, Nasrani serta para pengikutnya kadang-kadang berselisih sesama mereka. Namun, selamanya mereka tidak akan pernah beselisih dalam memerangi dan menyakiti kaum muslimin serta menghalang-halangi manusia dari agama Allah. Bahkan mereka saling tolong menolong dan saling membantu dalam memerangi kaum muslimin … Ini ditambah lagi dengan perlawanan yang terjadi terhadap kaum muslimin yang tertindas di negara- negara atheis seperti Rusia, negara-negara Kristen seperti Philipina, atau negara Yahudi seperti di tanah Palestina, dan seterusnya . Lihat ‘Abdullah bin Ahmad Al-Qâdirî , al-Jihâd fîi Sabîlillah Haqiqatuhuu wa Ghâyatuhû , (Jeddah : Dâr al-Manârah, cet. 1, 1405 H/1985 M) jld. 1, h. 554.

91 Jihad dalam bahasa Arab berasal dari akar kata jahada ( ﺪﻬﺟ ). Kata yang berasal dari akar kata ini mempunyai banyak arti, antara lain : kesulitan, potensi, kemampuan, peperangan dsb.

(Lihat : Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasith, jld. 1, h. 142) Menurut terminologi syari’at Islam, banyak ungkapan ulama tentang hal ini. Di antaranya yang dipilih oleh ‘Abdullah bin Ahmad al-Qâdirî dalam bukunya al-Jihâd fîi Sabîlillah Haqiqatuhuu wa Ghâyatuhû jld. 1, h. 49-50 dari definisi yang diberikan Ibnu Taimiah : mencurahkan kemampuan dalam mendapatkan yang disukai (Allah) Yang Maha Benar, dan menolak yang tidak disukai (Allah) Yang Maha Benar. Beliau

Disyari’atkannya jihad banyak disebutkan dalam al-Qur'an baik dengan kata jihâd atau qitâl yang merupakan bagian dari kata jihad yang luas. Dalam hal ini penulis akan mengemukakan satu ayat saja, yaitu QS. al-Baqarah/2 : 216.

Dan dalam surat al-Baqarah/2 : 216, Allah berfirman :

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah/2 : 216)

Dalam menafsirkan ayat di atas Sayyid Quthub mengungkapkan : bahwa sesungguhnya perang di jalan Allah merupakan kewajiban yang berat yang harus dilaksanakan. Wajib dilaksanakan karena dalam peperangan itu terkandung banyak kebaikan bagi pribadi muslim, umat Islam, dan bagi seluruh manusia. Memang Islam memperhitungkan fitrah manusia yang merasa berat dan tidak suka kewajiban perang ini. Islam tidak berbenturan dengan fitrah, namun Islam mengobati masalah dari sisi lain. Islam mengakui bahwa dalam sebagian kewajiban ada yang pahit, berat, dan

disukai Allah berupa iman dan amal saleh, serta menolak yang tidak disukai Allah berupa kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan. Definisi dipilih al-Qâdirî, karena mencakup segala bentuk jihad yang ditunaikan seorang muslim. Mencakup kesungguhannya dalam mentaati Tuhannya dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Mencakup kesungguhannya dalam mengajak orang lain untuk taat kepada Allah, baik orang yang dekat maupun yang jauh, baik muslim maupun non muslim. Mencakup kesungguhannya dalam memerangi orang-orang kafir untuk disukai Allah berupa iman dan amal saleh, serta menolak yang tidak disukai Allah berupa kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan. Definisi dipilih al-Qâdirî, karena mencakup segala bentuk jihad yang ditunaikan seorang muslim. Mencakup kesungguhannya dalam mentaati Tuhannya dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Mencakup kesungguhannya dalam mengajak orang lain untuk taat kepada Allah, baik orang yang dekat maupun yang jauh, baik muslim maupun non muslim. Mencakup kesungguhannya dalam memerangi orang-orang kafir untuk

saja Yang Maha Tahu tujuan yang jauh, Yang Maha Mengetahui akibat-akibat yang tertutup, di mana manusia tidak tahu sedikitpun hakikat yang sesungguhnya 92 .

M. Quraish Shihab mengungkapkan tentang tafsir ayat di atas :

Mereka tidak senang berperang, bahkan peperangan tidak disenangi manusia normal, karena peperangan dapat mengakibatkan hilangnya nyawa, terjadinya cedera, jatuhnya korban harta benda, dan sebagainya, sedang semua manusia cenderung mempertahankan hidup dan memelihara harta benda. Lebih- lebih para sahabat Nabi saw. yang imannya telah bersemi dalam dada mereka sehingga membuahkan rahmat dan kasih sayang. Allah mengetahui perang tidak mereka senangi, tetapi berjuang menegakkan keadilan menghruskannya. Peperangan bagaikan obat yang pahit, ia tidak disenangi tetapi harus diminum demi memelihara kesehatan. Demikian ayat ini dari satu sisi mengakui naluri manusia, tetapi dari sisi lain mengingatkan keniscayaan hal tersebut jika kondisi mengharuskannya. Misalnya, jika musuh telah masuk ke wilayah negara, maka ketika itu menjadi wajib bagi setiap muslim untuk berperang membela tumpah darahnya yang merupakan tempat menerapkan nilai-nilai Ilahi. Sekali lagi, peperanagn memang tidak disenangi, tetapi bisa jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal ia baik bagi kamu , antara lain seperti peperangan yang diwajibkan itu, dan bisa jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagi kamu; Allah mengetahui yang menjadi maslahat dan madharat buat kamu, sedang kamu tidak mengetahui secara pasti dan menyeluruh hal tersebut.

Karena itu laksanakan perintah-perintah-Nya, termasuk perintah berperang ini 93 .

92 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 1, h. 223. 93 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 1, h. 430.

Wahbah az-Zuhaylî juga menafsirkan ayat di atas senada denagn penafsiran kedua mufassir di atas, beliau mengungkapkan :

Diwajibkan atas kamu wahai kaum muslimin memerangi orang-orang kafir, wajib kifayah jika kebutuhan untuk berperang sudah terpenuhi. Jika belum terpenuhi, dan musuh sudah masuk ke negeri kaum muslimin, maka wajib ‘ain…

Secara naluri, peperangan tidak disukai dan berat bagi kamu, karena dalam peperangan itu harus mengorbankan harta dan mengantarkan jiwa pada kebinasaan. Ketidaksukaan yang secara naluri ini tidak bertentangan denga rela

terhadap yang dibebankan kepada manusia. Dia bisa jadi rela menelan yang pahit karena mengandung manfaat. Barangkali kamu tidak menyukai sesuatu

secara naluri, padahal dalam sesuatu itu ada kebaikan dan manfaat bagi kamu sesudahnya; karena dalam hal itu ada kemenangan, ghanimah (harta rampasan perang) atau mati syahid dan pahala, serta ridha Allah. Dalam jihad menegakkan agama Islam serta meninggikan cahaya kebenaran dan keadilan serta menolak kezaliman. Dan barangkali kamu menyukai sesuatu seperti meninggalkan peperangan, padahal dalam kenyataannya buruk bagi kamu; karena dalam hal itu ada kehinaan, kefakiran, tidak mendapatkan pahala, penguasaan musuh terhadap negara dan harta kaum muslimin, dilanggarnya kehormatan , dan bisa jadi hal itu membawa binasanya mereka 94 .

Dari ketiga penafsiran di atas, jelaslah bahwa peperangan yang merupakan bagian dari jihad adalah diperintahkan yang wajib dilaksanakan. Sekalipun secara naluri peperangan itu tidak disukai, namun jika kondisi mengharuskan, berperang merupakan suatu keniscayaan. Dan sekalipun berat dan tidak disukai, dalam peperangan mengandung banyak kebaikan dan kemaslahatan, di antaranya menegakkan kebenaran, keadilan serta menolak segala bentuk kezaliman.

Dalam sejarah dakwah dan perjuangan Rasulullah saw, jihad bukan merupakan ajaran yang pertama kali disyari'atkan Allah, atau bukan langkah dakwah

94 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 1, juz 2, h. 260.

yang pertama, akan tetapi jihad disyari'atkan setelah melalui beberapa fase. Secara ringkas, Ibn al-Qayyim menyebutkan fase-fase dakwah dan jihad dalam bukunya , Zâd al-Ma'âd fî Hâdyi Khair al-'Ibâd , dalam fasal yang ia beri nama "Rangkaian Petunjuk Rasulullah saw. dalam Menghadapi Orang-Orang Kafir dan Orang-Orang Munafik Sejak Beliau Diutus Menjadi Nabi Sampai Beliau Wafat" :

Pertama kali Allah swt. mewahyukan kepadanya adalah perintah membaca dengan nama Tuhannya yang menciptakan. Ini adalah awal kenabiannya, diperintahkannya membaca untuk dirinya dan belum diperintahkan untuk

menyampaikan kepada orang lain. Kemudian diturunkan kepadanya ayat ( ﺮﱢﺛﺪﻤﹾﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ ﺭﺬــﻧﹶﺄﹶﻓ ﻢــﹸﻗ /Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah

peringatan!) . Maka ia diangkat menjadi nabi dengan ( ﺃﺮـﻗﺍ ) dan diangkat menjadi rasul dengan ( ﺮﱢﺛﺪـﻤﹾﻟﺍ ﺎـﻬﻳﹶﺃﺎﻳ ). Kemudian beliau diperintahkan untuk menyampaikan dakwah kepada keluargannya, kaumnynya, orang-orang Arab di sekelilingnya,

orang Arab keseluruhan dan semua umat manusia. Beberapa belas tahun Rasulullah berdakwah setelah kenabiannya tanpa peperangan dan tanpa memungut jizyah (upeti), beliau diperintahkan untuk menahan diri, sabar dan memaafkan.

Kemudian beliau diizinkan untuk hijrah ke Medinah, menyusul pula diizinkannya berperang. Kemudian diperintahkan untuk memerangi siapa saja yang memeranginya dan tidak memerangi orang yang tidak memeranginya. Selanjutnya diperintahkan untuk memerangi orang-orang musyrik sehingga semua ketaatan hanya diberikan kepada Allah. Setelah perintah jihad ini orang-orang kafir terbagi menjadi tiga golongan : pertama, golongan orang-orang yang mengadakan perdamaian dan perjanjian gencatan senjata (Ahlu shulh wa hudnah). Kedua, golongan orang-orang yang memerangi Rasululah (Ahlu harb). Dan ketiga, golongan orang-orang yang hidup aman di bawah perlindungan Islam dengan membayar jizyah (Ahlu dzimmah) . Rasulullah diperintahkan untuk menepati perjanjian gencatan senjata bagi orang-orang kafir yang mempunyai perjanjian gencatan senjata dengan Rasulullah sampai waktu yang ditentukan habis. Rasululah diwajibkan menepati perjanjian gencatan senjata tersebut selama mereka konsisten terhadap perjanjian gencatan senjata itu. Bila dikhawatirkan mereka mengkhianati gencatan senjata tersebut, maka Rasulullah diperintahkan untuk mengembalikan (membatalkan) perjanjian tersebut dan dilarang memerangi mereka sampai mereka diberitahu tentang pembatalan gencatan senjata itu, beliau juga diperintahkan untuk memerangi orang-orang yang melanggar perjanjian gencatan senjata. Setelah turun surat Bara'ah (at-Taubah) untuk menjelaskan hukum ketiga golongan di atas, Rasulullah diperintahkan pula untuk memerangi Kemudian beliau diizinkan untuk hijrah ke Medinah, menyusul pula diizinkannya berperang. Kemudian diperintahkan untuk memerangi siapa saja yang memeranginya dan tidak memerangi orang yang tidak memeranginya. Selanjutnya diperintahkan untuk memerangi orang-orang musyrik sehingga semua ketaatan hanya diberikan kepada Allah. Setelah perintah jihad ini orang-orang kafir terbagi menjadi tiga golongan : pertama, golongan orang-orang yang mengadakan perdamaian dan perjanjian gencatan senjata (Ahlu shulh wa hudnah). Kedua, golongan orang-orang yang memerangi Rasululah (Ahlu harb). Dan ketiga, golongan orang-orang yang hidup aman di bawah perlindungan Islam dengan membayar jizyah (Ahlu dzimmah) . Rasulullah diperintahkan untuk menepati perjanjian gencatan senjata bagi orang-orang kafir yang mempunyai perjanjian gencatan senjata dengan Rasulullah sampai waktu yang ditentukan habis. Rasululah diwajibkan menepati perjanjian gencatan senjata tersebut selama mereka konsisten terhadap perjanjian gencatan senjata itu. Bila dikhawatirkan mereka mengkhianati gencatan senjata tersebut, maka Rasulullah diperintahkan untuk mengembalikan (membatalkan) perjanjian tersebut dan dilarang memerangi mereka sampai mereka diberitahu tentang pembatalan gencatan senjata itu, beliau juga diperintahkan untuk memerangi orang-orang yang melanggar perjanjian gencatan senjata. Setelah turun surat Bara'ah (at-Taubah) untuk menjelaskan hukum ketiga golongan di atas, Rasulullah diperintahkan pula untuk memerangi

Dalam surat bara'ah juga Allah memerintahkan untuk melepaskan segala perjanjian perdamaian dengan orang kafir, maka orang-orang yang memiliki perjanjian gencatan senjata dengan Rasulullah terbagi menjadi tiga bagian :

- Bagian pertama, orang-orang yang diperintahkan untuk diperangi, mereka adalah orang-orang yang mengkhianati gencatan senjata dan tidak konsisten dengannya.

- Bagian kedua, yaitu orang-orang yang memiliki perjanjian gencatan senjata, di mana Rasulullah diperintahkan untuk menepati perjanjian mereka sampai batas

waktu yang telah disepakati.

- Bagian ketiga, yaitu mereka yang tidak memiliki perjanjian apapun dengan Rasulullah dan mereka tidak memeranginya, atau memiliki perjanjian gencatan senjata mutlak (tidak ada batas waktu tertentu), maka diberikan kesempatan kepada mereka empat bulan. Apabila waktu empat bulan ini telah habis…, mereka diperintahkan untuk diperangi.

Rasulullah lalu memerangi orang-orang yang melanggar perjanjian gencatan senjata, memberikan tempo empat bulan kepada orang-orang yang tidak memiliki perjanjian apapun atau memiliki perjanjian gencatan senjata mutlak, dan menepati perjanjian gencatan senjata sampai batas waktu yang telah ditentukan kepada orang-orang yang menepati janjinya.

Akhirnya orang-orang yang memiliki perjanjian gencatan senjata itu masuk Islam sebelum masa perjanjian itu habis. Sedangkan golongan orang-orang yang hidup aman di bawah perlindungan Islam (Ahlu dzimmah) dikenakan jizyah.

Jadi setelah turunnya surat barâ'ah, orang-orang kafir terbagi kepada tiga golongan. Golongan yang memerangi, golongan yang terikat perjanjian dan golongan yang mendapat perlindungan Islam. Setelah golongan yang terikat perjanjian masuk Islam, maka orang-orang kafir hanya terbagi kepada dua golongan, golongan yang memerangi Rasulullah dalam keadaan takut, dan golongan yang mendapat perlindungan Islam. Dengan demikian penduduk dunia menjadi tiga golongan, golongan muslim dan mukmin, golongan yang menyerah dan tunduk dan golongan yang memerangi dengan perasaan takut.

Adapun sikap Rasulullah menghadapi orang-orang munafik, beliau diperintahkan untuk menerima apa yang mereka lahirkan dan menyerahkan apa yang mereka sembunyikan kepada Allah. Rasulullah diperintahkan memerangi mereka dengan ilmu dan argumentasi, berpaling dan bertindak tegas terhadap mereka. Rasulullah pun diperintahkan menyampaikan dakwah Islam kepada mereka dengan perkataan baik dan bijaksana. Apabila mereka mati, Rasulullah dilarang menyolatkan dan berdo'a di atas kuburan mereka. Rasulullah Adapun sikap Rasulullah menghadapi orang-orang munafik, beliau diperintahkan untuk menerima apa yang mereka lahirkan dan menyerahkan apa yang mereka sembunyikan kepada Allah. Rasulullah diperintahkan memerangi mereka dengan ilmu dan argumentasi, berpaling dan bertindak tegas terhadap mereka. Rasulullah pun diperintahkan menyampaikan dakwah Islam kepada mereka dengan perkataan baik dan bijaksana. Apabila mereka mati, Rasulullah dilarang menyolatkan dan berdo'a di atas kuburan mereka. Rasulullah

musuhnya dari kalangan orang-orang kafir dan orang-orang munafik. 95

Dari uraian ringkas Ibn al-Qayyim di atas, jelaslah bahwa jihad pertama kali

96 diharamkan 97 , kemudian diizinkan , kemudian diperintahkan terhadap orang-orang yang memulai memerangi kaum muslimin 98 , kemudian diperintahkan terhadap

seluruh orang-orang kafir 99 . Diizinkan dan diperintahkannya jihad setelah Rasulullah saw. bersama orang-orang yang beriman melakukan dakwah dan bersabar menahan

penderitaan dan penganiayaan yang dilakukan orang-orang kafir terhadap mereka. Jadi disyari'atkannya jihad dalam rangka membela dakwah, sebab

sebagaimana dijelaskan di atas bahwa ada dua sikap manusia terhadap dakwah, yaitu yang menerima dan menolaknya. Para penerima dan pendukung dakwah selalu berusaha mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah serta membebaskan mereka dari penghambaan (ibadah) kepada selain Allah. Sebaliknya para penolak dan penentang dakwah berusaha keras agar manusia tetap dalam keadaan gelap, bahkan selalu berupaya mengeluarkan manusia dari cahaya kepada kegelapan dan menjadikan mereka sebagai hamba berbagai macam tuhan selain Allah.

95 Ibn al-Qayyim, Zâd al-Ma'âd fî Hâdyi Khair al-'Ibâd, (Beirut : Muassasah al-Risâlah, cet. 27, 1415 H/1994 M), jld. 3, h. 158-161.

96 Baca QS. an-Nisa'/4 : 77.

97 Baca QS. al-Hajj/22 : 39.

98 Baca QS. al-Baqarah/2 : 190.

99 Baca QS. at-Taubah/9 : 36, 29.