Amanah Ibadah

2. Amanah Ibadah

Ibadah hanya kepada Allah merupakan bagian dari amanah yang harus ditunaikan seseorang; karena ibadah kepada-Nya merupakan salah satu perintah konsekwensi iman kepaeda Allah. Firman Allah :

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah/2 : 21)

Dalam menafsirkan ayat di atas az-Zuhaylî menjelaskan bahwa dasar arti ibadah adalah ketundukan dan kepasrahan. Dan yang dimaksud dengan ibadah dalam

62 Syaraf al-Qudhât, al-Hady an-Nabawî fî ar-Raqâiq, (Amman : Dâr al-Furqân, cet. 2, 62 Syaraf al-Qudhât, al-Hady an-Nabawî fî ar-Raqâiq, (Amman : Dâr al-Furqân, cet. 2,

melalui hidayah (petunjuk) dan sarana-sarana pengetahuan 63 . Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, ibadah adalah suatu bentuk

kepatuhan dan ketundukan yang berpuncak kepada sesuatu yang diyakini menguasai

jiwa raga seseorang dengan penguasaan yang arti dan hakikatnya tidak terjangkau. Karena itu, kata beliau ketundukan dan kepatuhan kepada orang tua atau penguasa tidak wajar dinamai ibadah. Selanjutnya kata beliau, keberhasilan seseorang mencapai hakikat ibadah paling tidak ditandai dengan tiga hal. Pertama, si pengabdi tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya sebagai milik pribadinya, tetapi milik siapa yang kepada-Nya dia mengabdi. Kedua, segala aktivitasnya hanya berkisar pada apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepada-Nya ia mengabdi serta menghindar dari apa yang dilarang-Nya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu untuk dia laksanakan atau hindari kecuali dengan mengaitkannya dengan kehendak siapa yang kepada-Nya ia mengabdi 64 .

Sayyid Quthub dalam menafsirkan ayat di atas tidak mengungkap makna dan hakikat ibadah, tetapi ketika beliau menafsirkan surat adz-Dzâriyât ayat 56, beliau mengungkapkan hakikat ibadah. Kata beliau hakikat ibadah tercermin dalam

63 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 1, juz 1, h. 96.

64 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 2, h. 117.

dua hal. Pertama, melekatnya makna pengabdian kepada Allah dalam jiwa, yakni melekatnya perasaan bahwa di sana hanya ada hamba dan Rabb (Tuhan). Hamba yang mengabdi (menyembah), dan Rabb yang diabdi (yang disembah). Sesudah itu tidak ada sesuatu apapun; dan di sana tidak ada kecuali ungkapan ini. Di alam ini tidak ada kecuali ‘âbid (yang mengabdi) dan ma’bûd (yang diabdi) , dan kecuali Rabb yang satu sedangkan semuanya mengabdi kepada-Nya. Kedua, berorientasi kepada Allah dengan seluruh gerakan dalam hati, seluruh gerakan dalam anggota

badan, dan seluruh gerakan dalam kehidupan. Dengan semua gerakan berorientasi kepada Allah secara murni, menjauhkan diri dari perasaan lain, dan dari seluruh makna selain makna pengabdian kepada Allah. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa hanya dengan kedua hal di atas, akan terwujud makna ibadah. Pekerjaan sama dengan melakukan simbol-simbol ibadah. Melakukan simbol-simbol ibadah sama dengan memakmurkan bumi. Memakmurkan bumi sama dengan jihad di jalan Allah. Jihad di jalan Allah sama dengan sabar dalam menghadapi segala kesulitan dan rela menerima ketentuan Allah. Semuanya ibadah; semuanya realisasi dari tugas utama penciptaan Allah terhadap jin dan manusia; dan semuanya tunduk pada undang-undang umum yang tercermin dalam pengabdian segala sesuatu kepada Allah, bukan kepada yang lain 65 .

Makna dan hakikat ibadah yang dikemukakan ketiga mufassir di atas pada prinsipnya tidak ada perbedaan, hanya saja apa yang diungkapkan oleh M. Quraish Shihab dan Sayyid Quthub lebih mendalam. Dari uraian di atas dapat disimpulkan :

65 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân, jld. 6, h. 3387.

pertama, ibadah adalah puncak ketundukan dan kepatuhan yang hanya harus diberikan kepada Allah. Kedua, ibadah mencakup semua aspek kehidupan manusia. Ketiga, agar makna ibadah terwujud dalam kehidupan, maka semua aktifitas harus berorientasi kepada perintah dan larangan Allah.

Untuk lebih mempertajam makna dan ruang lingkup ibadah, ada baiknya penulis mengemukakan uraian Ibnu Taimiah dan Yusuf al-Qardhawi tentang ibadah. Ibadah menurut Ibnu Taimiah ialah puncak ketundukan kepada Allah yang

disertai puncak kecintaan kepada-Nya. Jadi menurut beliau orang yang tunduk kepada seseorang disertai dengan kebenciannya kepadanya, ia bukan orang yang beribadah kepadanya. Orang yang mencintai sesuatu, namun ia tidak tunduk padanya, ia bukan orang yang beribadah kepadanya, sebagaimana orang mencintai anak dan temannya. Oleh karena itu kata beliau tidak cukup salah satu keduanya (puncak ketundukan dan puncak kecintaan) dalam beribadah kepada Allah swt. Namun Allah harus paling dicintai oleh seseorang dari segala sesuatu, dan paling ia agungkan dari segala sesuatu. Bahkan tidak ada yang berhak dicintai dan dipatuhi secara penuh kecuali

Allah 66 .

Mengomentari pengertian ibadah menurut Ibnu Taimiah, Yusuf al-Qardhâwî dalam bukunya al-'Ibâdah fî al-Islâm mengatakan bahwa ibadah yang diperintahkan harus memenuhi dua hal. Pertama, komitmen dengan yang disyari'atkan Allah dan diserukan para Rasul-Nya, baik berupa perintah maupun larangan, penetapan halal

66 Ibnu Taimiah, al-'Ubûdiyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, cet.1, 1401 H/1981 M), 66 Ibnu Taimiah, al-'Ubûdiyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, cet.1, 1401 H/1981 M),

kebaikan, menciptakan manusia yang dulunya belum pernah disebut-sebut, menciptakan semua yang ada di bumi untuknya, menyempurnakan nikmat-Nya yang lahir dan batin, menciptakannya dalam bentuk yang seindah-indahnya, memuliakan dan melebihkannya dari kebanyakan makhluk yang lain, memberikannya rezeki yang baik, mengajarkannya perkataan yang jelas, menjadikannya sebagai khalifah di permukaan bumi dan memrintahkan malaikat untuk sujud kepadanya. 67

Pada bagian lain Ibnu Taimiah mengatakan tentang ibadah : Ibadah ialah suatu kata yang mencakup semua yang dicintai dan diridhai

Allah, baik berupa perkataan meupun perbuatan, lahir dan batin. Jadi shalat, zakat, shaum (puasa), haji, jujur dalam berkata, menunaikan Amanah, berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambungkan tali kekeluargaan (silatur rahim), menepati janji, memrintahkan yang baik dan mencegah kemungkaran, jihad terhadap orang-orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, orang yang dalam perjalanan, budak sahaya serta binatang, do'a, zikir, membaca al-Qur'an dan semacamnya adalah termasuk ibadah. Demikian juga mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, taubat kepada- Nya, ikhlas dalam beribadah, sabar menerima ketentuan-Nya, syukur terhadap nikmat-Nya, ridha terhadap keputusan-Nya, bertawakkal kepada-Nya,

67 Yusuf al-Qardhâwî (selanjutnya disebut al- Qardhâwî ), al-'Ibâdah fî al-Islam, (Beirut : Muassasah al-Risâlah, cet. 9, 1402 H/1982 M), h. 32-33.

mengharapkan rahmat-Nya, takut akan siksa-Nya dan semacamnya adalah termasuk ibadah kepada Allah " 68 .

Bahkan menurut Ibnu Taimiah dîn (agama) seluruhnya masuk dalam ibadah; karena dîen mengandung arti khudhu' (tunduk) dan dzull (merendah), seperti perkataan : ﱠلﺬ ﻓ ﮫ ﺘﻠﻟذأ يأ ناﺪ ﻓ ﮫﺘﻧد artinya : " Kutundukkan dia, maka ia tunduk ". Jadi

agama Allah (dîenullah) adalah ibadah, taat dan tunduk pada Allah 69 . Dari uraian Ibnu Taimiah di atas, jelaslah bahwa agama seluruhnya ibadah,

dan kita tahu bahwa agama telah menggariskan bagi manusia pedoman hidupnya serta telah mengarahkani tingkah laku dan hubungannya agar sesuai dengan pedoman hidup yang telah ditentukan Allah itu. Dengan demikian ibadah kepada Allah mencakup semua aspek kehidupan manusia : ideologi, sosial, budaya, politik, hukum, ekonomi, pertahanan, keamanan dan sebagainya.

Jadi ibadah tidak hanya terbatas pada shalat, zakat, puasa, haji dan semacamnya seperti membaca al-Qur'an, zikir, do'a dan istighfar sebagaimana dipahami oleh banyak orang Islam. Semuanya ini merupakan simbol-simbol ibadah yang betapapun mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam, namun hanya bagian dari ibadah, bukan termasuk keseluruhan ibadah yang dikehendaki Islam. Ibadah yang dkehendaki Islam dan yang merupakan amanah yang harus ditunaikan setiap muslim terhadap Allah selain melaksanakan simbol-simbol ibadah seperti

68 Ibnu Taimiah, al-'Ubûdiyyah, h. 4.

69 Ibnu Taimiah, al-'Ubûdiyyah , h. 6.

shalat, zakat dan semacamnya, juga mematuhi syari'at dan aturan-aturan Allah dalam berbagai aspek kehidupan manusia.

Pelaksanaan simbol-simbol ibadah, baik yang wajib maupun yang sunnah akan diterima Allah swt. jika memenuhi dua syarat 70 . Pertama, mengikhlaskan niat

karena Allah semata dan membersihkannya dari semua sembahan selain Allah, sehingga ia hanya tunduk kepada Allah dan semua perbuatannya hanya karena Allah. Firman Allah :

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, (QS. Al- Bayyinah/98 : 5)

Kedua, kesesuaian dengan syari’at. Yaitu bahwa seluruh perkataan dan perbuatan lahir dan batin sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah atau dilarang oleh-Nya.

Sebagaimana simbol-simbol ibadah yang dilakukan seorang muslim akan diterima Allah jika dilakukan dengan ikhlas atau murni karena Allah dan sesuai dengan syari'at, maka dalam mematuhi aturan-aturan Allah juga tidak boleh dicampuri dengan mematuhi aturan-aturan selain Allah yang bertentangan dengan aturan Allah. Hal ini karena hanya Allah saja yang berhak menentukan syari'at dan hukum bagi makhluknya, sebab seluruh alam adalah milik-Nya, semua manusia

70 Lihat, : Ibrâhîm bin Muhammad al-Buraikân, al-Madkhal li dirâsat al-'Aqîdah al- 70 Lihat, : Ibrâhîm bin Muhammad al-Buraikân, al-Madkhal li dirâsat al-'Aqîdah al-

Orang yang mengklaim bahwa dirinya berhak menentukan aturan sekehendaknya, baik dalam bentuk perintah maupun larangan, baik dalam bentuk penetapan halal maupun penetapan haram tanpa izin dari Allah, berarti ia telah

memposisikan dirinya sebagai tuhan, baik dia sadari atau tidak. Firman Allah :

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (QS. Asy-Syurâ/42 : 21)

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini sebagai berikut : Mereka tidak mengikuti agama yang lurus yang telah disyari'atkan Allah

padamu, tetapi mereka mengikuti apa yang telah disyari'atkan para pemimpin mereka dari kalangan jin dan manusia, berupa mengharamkan apa yang telah

71 72 73 mereka haramkan seperti bahîrah 74 , sâibah , washîlah , hâm ; menghalalkan

71 Bahîrah : ialah unta betina yang tidak boleh diambil air susunya dan tidak boleh ditunggangi karena dipersembahkan kepada berhala.

72 Sâibah : ialah unta, sapi atau domba betina yang orang-orang Arab Jahiliyyah membiarkannya pergi ke mana saja sebagai persembahan kepada tuhan-tuhan mereka apabila unta,

sapi atau kambing betina tersebut telah mencapai umur tertentu, dan tidak boleh digunakan mengangkut sesuatu, ditunggangi dan dimakan.

73 Washîlah : seekor unta betina muda yang pertama sekali melahirkan anak betina kemudian melahirkan kedua dengan anak betina lagi, maka orang orang Arab Jahiliyyyah

membiarkannya untuk tuhan-tuhan mereka

74 Hâm : Unta jantan yang tidak boleh digunakan untuk angkutan dan kendaraan, karena 74 Hâm : Unta jantan yang tidak boleh digunakan untuk angkutan dan kendaraan, karena

penghalalan dan pengharaman, ibadah yang salah dan perkataan yang rusak " 75 .

Pada ayat di atas, para pemimpin orang Arab Jahiliyah yang telah mengharamkan binatang yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan yang telah diharamkan Allah seperti bangkai, darah dan judi, dikatakan telah mensyari'atkan agama di luar syari'at Allah, dan mereka disebut sebagai sembahan-sembahan selain Allah.

Orang yang mengakui bahwa ada orang lain yang mempunyai hak di atas, dia tunduk pada undang-undang dan peraturannya, memandang halal apa yang telah dihalalkannya, mengharamkan apa yang telah diharamkannya, berarti dia telah menjadikannya sebagai tuhan dan menyembahnya bersama Allah atau selain Allah, baik dia sadari atau tidak.

Al-Qur'an menuduh orang-orang Yahudi dan Nasrani telah melakukan ibadah kepada orang-orang alim dan rahib-rahib mereka, menjadikan mereka sebagai sembahan selain Allah. Hal itu ketika mereka mentaati dan mengikuti ketentuan- ketentuan orang-orang alim dan rahib-rahib dalam hal halal dan haram yang bertentangan dengan ketentuan Allah. Firman Allah :

Mushthafâ Khallûf, at-Tafsîr al-Wajîz ‘alâ Hâmisy al-Kitâb al-‘Azîz, (Riyadh : Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah atsnâ’ an-Nasyr, 1424 H), h. 124-125.

75 Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, jld. 4, h. 131.

Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. ( QS. At-Taubah : 31 )

Ayat ini menurut ath-Thabari dalam kitab tafsirnya bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadikan orang-orang alim dan pendeta-pendeta mereka sebagai pemimpin-pemimpin mereka selain Allah, mereka mentaatinya dalam

maksiat kepada Allah, yaitu dengan menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah. Kemudian beliau memperkuat

penjelasannya ini dengan hadits ‘Adî bin Hâtim berikut ini :

Dari ‘Adî bin Hâtim bahwa ia berkata : Saya datang kepada Rasulullah saw. dan di leherku ada kalung salib dari emas, lalu beliau bersabda : " Hai ‘Adî buanglah berhala ini jauh-jauh dari lehermu". ‘Adî berkata : Lalu saya melemparkannya, dan saya mendatangi beliau sedang membaca surat Baro’ah, lalu membaca ayat

( ِﷲا ِنْوُد ْﻦ ِﻣ ﺎ ًﺑﺎَﺑْرَأ ْﻢُﮭَﻧﺎ َﺒْھُرَو ْﻢُھَرﺎ َﺒْﺣ َا اْوُﺬ َﺨﱠﺗِا ) . ‘Adî berkata : Saya bertanya : wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tidak menyembah orang-orang alim dan rahib- rahib. Lalu Rasulullah menjawab : “ Bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, kemudian kalian mengharamkannya juga, dan menghalalkan apa ( ِﷲا ِنْوُد ْﻦ ِﻣ ﺎ ًﺑﺎَﺑْرَأ ْﻢُﮭَﻧﺎ َﺒْھُرَو ْﻢُھَرﺎ َﺒْﺣ َا اْوُﺬ َﺨﱠﺗِا ) . ‘Adî berkata : Saya bertanya : wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tidak menyembah orang-orang alim dan rahib- rahib. Lalu Rasulullah menjawab : “ Bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, kemudian kalian mengharamkannya juga, dan menghalalkan apa

Berkaitan dengan tafsir ayat di atas, Ibnu Katsir dalam tafsirnya setelah menyebutkan riwayat hadits di atas berkata : Demikianlah Hudzaifah bin al-Yamân, ‘Abdullah bin ‘Abbâs dan yang

lainnya mengatakan dalam menafsirkan ayat

ﺎ ًﺑﺎَﺑْرَأ ْﻢُﮭَﻧﺎ َﺒْھُرَو ْﻢُھَرﺎ َﺒْﺣَا اْوُﺬ َﺨﱠﺗِا ) ( ِﷲا ِنْوُد ْﻦ ِﻣ bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani mengikuti orang-orang alim dan rahib-rahib tentang yang mereka halalkan dan haramkan. As-Suddî berkata :

Mereka meminta nasihat kepada para pemimpin dan meninggalkan kitabullah di

belakang mereka. Oleh karena itu Allah berfirman : ( ﺎ ًﮭَﻟِإ اوُﺪ ُﺒْﻌَﯿِﻟ ﺎ ﱠﻟِإ اوُﺮ ِﻣُأ ﺎ َﻣَو ا ًﺪ ِﺣاَو / padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa ) , yakni

Tuhan yang apabila mengharamkan sesuatu adalah haram, apa yang Dia halalkan adalah halal, apa yang Dia syari'atkan diikuti, dan apa yang Dia tetapkan

dilaksanakan ". 77

Oleh karena itu, perintah beribadah kepada Allah dalam al-Qur'an selalu diiringi dengan larangan menyekutukan-Nya, atau disebutkan dalam bentuk hashr (pembatasan), dalam arti bahwa ibadah itu harus diberikan kepada Allah saja, tidak diberikan kepada selain Dia. Sebab bisa jadi orang beribadah kepada Allah, tetapi juga beribadah kepada selain Allah. Perhatikan firman Allah berikut ini :

76 Ath-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, (ttp : Muassasah ar- Risalah, 1420 H/2000 M), jld. 14, h. 209-211, lihat CD makatabah asy-syâmilah versi 2. Hadits di

atas diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam kitab tafsirnya melalui tiga jalur yang pada kesemuanya terdapat rawi yang bernama Ghuthaif bin A’yun asy-Syaybâni yang menurut pentahqiq tafsir ath- Thabari Ghutaif ini dianggap tsiqah oleh Ibnu Hibban, dilemahkan oleh ad-Daruquthni dan menurut at- Tirmidzi Ghuthaif adalah orang yang tidak terkenal dalam hadits. Diriwayatkan juga oleh at-Tirmidzi, dalam kitab Jami’nya, Abwab Tafsir al-Qur’an ‘an Rasululillah saw. bab wa min surah at-Taubah, dan beliau mengatakan : hadits ini adalah hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits ‘Abd as-Salam bin Harb, sedangkan Ghuthaif bib A’yun adalah orang yang tidak terkenal dalam hadits. ( Lihat : al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwadzî, jld. 8, h. 492-494).

77 Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm , jld. 2, h. 432.

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. (QS. an-Nisâ'/4 : 36)

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (QS. Al-

Isrâ/17 : 23)