Amanah Iman kepada Allah

1. Amanah Iman kepada Allah

Iman kepada Allah dimaksudkan oleh Sayyid Quthub - sebagaimana dijelaskan di atas - sebagai amanah fithrah yang diberikan Allah kepada manusia sejak lahir. Artinya menurut beliau manusia dapat mengenal dan beriman kepada Allah berdasarkan niat, kehendak, dan usahanya. Amanah fithrah ini khusus diberikan Allah kepada manusia; karena selain manusia beriman dan taat kepada-Nya

berdasarkan pemberian Allah, bukan berdasarkan niat, kehendak dan usahanya 56 .

Amanah iman kepada Allah atau amanah fithrah ini menurut Sayyid Quthub berdasarkan kepada firman Allah :

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung- gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS. Al-Ahzab/33 : 72)

Dalam menafsirkan ayat di atas, Sayyid Quthub mengatakan : Sesungguhnya langit, bumi dan gunung – yang al-Qur'an memilihnya untuk

membicarakannya - , makhluk yang besar ini; yang manusia hidup di dalamnya atau di lingkungannya kelihatan sangat kecil; mengenal Tuhannya tanpa usaha. Mengetahui undang-undang yang mengaturnya, baik penciptaan, pembentukan maupun sistemnya; dan mematuhi undang-undang khâliq (Allah) secara langsung tanpa direnungkan dan tanpa perantaraan. Beredar menurut undang-undang ini

56 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 2 h. 688.

sesuai dengan kebiasaan yang tidak pernah terlambat dan tertinggal sedetikpun. Menunaikan tugasnya sesuai dengan kejadian dan karakternya tanpa disadari dan tanpa pilihan sendiri.

Matahari beredar pada garis edarnya secara teratur tanpa menyimpang selamanya. Senantiasa memberikan sinarnya sehingga dapat menunaikan tugasnya yang telah ditentukan Allah. Menarik para pengikutnya tanpa kehendaknya. Maka matahari dapat melaksanakan perannya di alam ini dengan sempurna.

Bumi beredar, mengeluarkan tanaman, memberikan makanan kepada para penghuninya, menguburkan orang-orang yang mati, dan memancarkan sumber- sumber air sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah) tanpa ada kehendak dari dirinya.

Bulan, bintang, planet, angin, awan, udara, air, gunung dan jurang semuanya berjalan melaksanakan tugasnya sesuai dengan izin Tuhannya. Mengenal Tuhan,

tunduk pada kehendak-Nya tanpa kesungguhan, kepayahan dan tanpa usaha. Semua khawatir mengkhianati amanah tanggung jawab, amanah kehendak,

amanah bisa mengenal sendiri, amanah usaha sendiri. ( Dan dipikullah amanat itu oleh manusia) … Manusia yang mengenal Allah dengan pengetahuan dan perasaannya. Dapat

mengetahui undang-undang Allah dengan perenungan dan penglihatannya. Berbuat sesuai undang-undang dengan usaha dan kesungguhannya. Taat kepada Allah dengan kehendak dan pemaksaan dirinya. Melawan segala penyimpangan dan bisikan-bisikan jahat, melawan segala kecenderungan dan hawa nafsunya, dan dia dalam setiap langkah ini berkehendak dan menyadari. Memilih jalannya dalam keadaan mengetahui akan ke mana jalan ini membawanya.

Amanah ini adalah amanah yang besar, dipikul oleh makhluk yang kecil pisiknya, sedikit kekuatannya, lemah dayanya, terbatas umurnya, yang selalu

diganggu oleh segala hawa nafsu, kecenderungan dan ambisi 57 .

Dari penafsiran di atas, jelaslah bahwa mengenal Allah atau iman kepada- Nya merupakan bagian amanah yang besar yang dibebankan Allah kepada manusia. Manusia dapat melakukan amanah yang besar ini dengan kehendak, niat dan usahanya. Bukan seperti langit, bumi dan gunung yang melaksanakan tugasnya atas dasar sunnatullah (kehendak Allah), bukan atas dasar kehendak dan usahanya sendiri.

57 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 5,h. 2884-2885.

Az-Zuhaylî dalam menafsirkan ayat di atas tidak menyoroti bahwa manusia dalam melaksanakan amanah yang besar ini dengan kehendak, niat dan usahanya. Beliau hanya menyoroti cakupan amanah yang luas dan betapa berat amanah itu.

M. Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas senada dengan penafsiran Sayyid Quthub. Beliau menjelaskan bahwa penawaran amanah yang besar ini oleh Allah kepada manusia dan penerimaan manusia terhadap penawaran ini, menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi untuk menunaikannya dengan baik.

Ini – kata beliau – karena Allah tidak akan menyerahkannya bila Dia mengetahui ketiadaan potensi itu 58 .

Penafsiran Sayyid Quthub dan M. Quraish Shihab di atas sejalan dengan penafsiran al-Marâghî tentang ayat di atas. Dalam menafsirkan ayat ini beliau mengatakan : "Yakni Kami (maksudnya Allah-pen) tidak menciptakan langit dan bumi sekalipun besar pisiknya dan kuat sendinya mempunyai kesiapan untuk memikul tugas-tugas dengan menerima perintah, larangan dan merenungkan segala urusan agama dan dunia. Tapi Kami jadikan manusia betapapun lemah dan kecil

pisiknya mempunyai kesiapan untuk menerima dan melaksanakan tugas-tugas…" 59 Dari tiga penafsiran di atas jelaslah bahwa iman kepada Allah, menerima dan melaksanakan perintah-Nya merupakan fitrah manusia. Dalam arti manusia diciptakan Allah mempunyai potensi atau kesiapan untuk hal itu. Potensi atau kesiapan itu berbentuk kehendak, upaya, kesungguhan dan semacamnya. Sementara

58 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 11, h. 332.

59 al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, jld. 8, h. 46.

makhluk lain tidak diciptakan Allah untuk mempunyai potensi dan kesiapan untuk hal itu. Kepatuhannya hanya sebatas melaksanakan kehendak Allah, bukan lahir dari kehendak, usaha dan kesungguhannya.

Iman kepada Allah sebagai fitrah ini juga sesuai dengan firman Allah :

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. al-A'raf/7 : 172)

Juga sesuai dengan hadits Rasululah saw :

Dari Abu Hurairah r.a katanya : Rasulullah s.a.w bersabda : " Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi,

Nasrani atau Majusi ". (HR. Bukhari dan Muslim) 60

60 al-Bukhârî, Shahîh al- Bukhârî , Kitâb al-Janâiz, bâb idzâ aslama ash-shabiyyu famâta hal yushallâ ‘alaih wa hal yu’radhu ‘alâ ash-shabiyyi al-islâm , jld. 1, juz 2, h. 97, Muslim, Shahîh

Muslim , Kitâb al-Qadar, bâb ma’nâ kulli mawlud yuladu ‘alâ al-fithrah, wa hukm athfâl al-kuffâr wa athfâl al-muslim în, jld. 4, h. 2047.

Fitrah yang dimaksud dalam hadits di atas adalah Islam yang termasuk di dalamnya iman, bukan bagaikan kertas putih sebagaimana diartikan oleh sebagian orang. Oleh karena itu Rasulullah saw. bersabda : (ِﮫِﻧﺎَﺴﱢﺠَﻤُﯾَو ِﮫِﻧاَﺮﱢﺼَﻨُﯾَو ِﮫِﻧاَدﱢﻮَﮭُﯾ ُهاَﻮَﺑَﺄَﻓ),

dan tidak mengatakan ( مﻼﺳﻹا ﻲﻓ ﮫﻧﻼﺧﺪﯾ وأ /memasukkannya ke dalam Islam ). Keadaan iman sebagai fitrah sesuai juga dengan keadaan amanah sebagai

fitrah. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw :

Dari Huzaifah r.a katanya : Rasulullah s.a.w. menceritakan kepada kami dua hadits (kejadian). Saya telah melihat kenyataan (kejadian) yang pertama. dan sedang menunggu kedua. Pertama, beliau menceritakan kepada kami bahwa Amanah masih kuat dalam lubuk hati manusia. Kemudian turunlah al-Quran, maka mereka mulai mempelajari al-Qur'an dan as-Sunnah. Kedua, beliau menceritakan kepada kami tentang hilangnya Amanah dengan bersabda : " Seseorang tidur lalu Amanah diambil dari hatinya hingga tinggal bekas yang sangat sedikit. Kemudian dia tidur lagi lalu di ambil pula Amanah dari hatinya hingga tinggal bekasnya bagaikan bengkak, seperti bara api yang terinjak kakimu, kemudian membengkak padahal tidak berisi apa-apa. Kemudian beliau mencontohkan dengan mengambil batu, lalu dipijak dengan Dari Huzaifah r.a katanya : Rasulullah s.a.w. menceritakan kepada kami dua hadits (kejadian). Saya telah melihat kenyataan (kejadian) yang pertama. dan sedang menunggu kedua. Pertama, beliau menceritakan kepada kami bahwa Amanah masih kuat dalam lubuk hati manusia. Kemudian turunlah al-Quran, maka mereka mulai mempelajari al-Qur'an dan as-Sunnah. Kedua, beliau menceritakan kepada kami tentang hilangnya Amanah dengan bersabda : " Seseorang tidur lalu Amanah diambil dari hatinya hingga tinggal bekas yang sangat sedikit. Kemudian dia tidur lagi lalu di ambil pula Amanah dari hatinya hingga tinggal bekasnya bagaikan bengkak, seperti bara api yang terinjak kakimu, kemudian membengkak padahal tidak berisi apa-apa. Kemudian beliau mencontohkan dengan mengambil batu, lalu dipijak dengan

pada si Fulan dan si Fulan (satu dua orang) saja. (HR. Bukhari dan Muslim ) 61

Sabda Rasulullah saw. : (

ِلﺎ َﺟﱢﺮﻟا ِبﻮ ُﻠُﻗ ِرْﺬ َﺟ ﻲ ِﻓ ْﺖ َﻟَﺰَﻧ َﺔ َﻧﺎَﻣَﺄْﻟا ﱠنَأ /bahwa

amanah masih kuat dalam lubuk hati manusia) mengisyaratkan bahwa amanah merupakan sifat fithrah pada manusia, yang melekat kuat dalam lubuk hati manusia. Sifat amanah ini tidak akan melekat pada lubuk hati kalau bukan sifat fitrah.

Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah saw. setelah itu : (Kemudian turunlah al-Quran, maka mereka mulai mempelajari al-Qur'an dan as-Sunnah ). Sabda ini menunjukkan bahwa petunjuk al-Qur'an dan as-Sunnah terhadap amanah datang setelah melekatnya sifat Amanah dalam lubuk hati manusia. Keberadaan sifat amanah dalam hati yang mendahului petunjuk al-Qur'an dan as-Sunnah tidak terjadi kecuali sifat itu memang sudah ada secara fithrah.

Iman sebagai fitrah ini menurut Syaraf al-Qudhât dalam bukunya dalam bukunya al-Hady an-Nabawî fî ar-Raqâiq tidak memaksa manusia untuk beriman, tetapi membantu dan memudahkan jalan kepadanya untuk beriman. Seorang manusia tetap diberikan kebebasan untuk memilih sesuai kehendaknya dengan

61 Al- Bukhârî , Shahih al- Bukhârî, Kitâb ar-Raqâq, bâb raf’i al-amânah, jld. 4, juz 7, h. 188-189; Muslim, Shahih Muslim , Kitâb al-Imân, bab raf’ al-amânah wa al-imân min ba’dh al- 61 Al- Bukhârî , Shahih al- Bukhârî, Kitâb ar-Raqâq, bâb raf’i al-amânah, jld. 4, juz 7, h. 188-189; Muslim, Shahih Muslim , Kitâb al-Imân, bab raf’ al-amânah wa al-imân min ba’dh al-

istiqâmah 62 dan tidak menyimpang dari jalan yang benar .