Amanah terhadap Pisik

1. Amanah terhadap Pisik

Amanah yang harus dilakukan seseorang terhadap pisiknya adalah dengan jalan memberikan hak-haknya yang meliputi antara lain hak hidup, hak mendapatkan pakaian, hak mendapatkan makanan dan minuman, hak pemeliharaan kesehatan.

Jadi hak yang pertama sekali yang harus ditunaikan seseorang terhadap pisiknya adalah hak hidup. Hidup atau nyawa merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada setiap orang yang harus dia pelihara. Oleh karena itu Islam tidak membenarkan tindakan bunuh diri dalam keadaan bagaimanapun dan dengan cara apapun juga. Islam memandang tindakan bunuh diri ini sebagai haram dan dosa besar yang pelakunya diancam masuk neraka. Firman Allah :

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. an-Nisa'/4 : 29)

Menurut az-Zuhaylî, sekalipun kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa ayat di atas merupakan larangan membunuh sesama muslim, namun kata beliau tidak ada halangan ayat di atas merupakan larangan bunuh diri, membunuh orang lain dan larangan dari segala yang dapat membawa kepada kematian seperti memakan obat- Menurut az-Zuhaylî, sekalipun kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa ayat di atas merupakan larangan membunuh sesama muslim, namun kata beliau tidak ada halangan ayat di atas merupakan larangan bunuh diri, membunuh orang lain dan larangan dari segala yang dapat membawa kepada kematian seperti memakan obat-

Sayyid Quthb dalam membahas ayat di atas tidak menyentuh tentang bunuh diri, beliau hanya menyebutkan bahwa penyebutan potongan ayat di atas setelah larangan memakan harta secara batil mengisyaratkan bahwa memakan harta secara batil itu merupakan praktek pembunuhan. 193

M. Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut dengan membunuh diri

sendiri, atau membunuh orang lain secara tidak hak, karena jika seseorang membunuh orang lain, maka diirinya terancam untuk dibunuh 194 .

Penafsiran az-Zuhaylî dan M. Quraish Shihab di atas didukung oleh penafsiran Muhammad asy-Syaukânî dalam kitab tafsirnya Fath al-Qadîr yang menyebutkan tiga penafsiran tentang ayat di atas : larangan saling membunuh sesama muslim, atau larangan membunuh diri sendiri dengan melakukan maksiat, atau larangan bunuh diri. Kemudian kata beliau tidak ada halangan menafsirkan ayat ini dengan ketiga makna ini 195 .

Dari penafsiran tiga mufassir di atas, jelaslah bahwa membunuh diri merupakan tindakan yang dilarang Allah berdasarkan ayat di atas.

192 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , juz 5, h. 32.

193 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 2, h. 640.

194 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 2, h. 391-392.

195 asy- Syaukânî , Fath al-Qadîr , jld. 1, h. 457.

Penafsiran ini diperkuat oleh argumentasi 'Amr bin al-'Âsh dengan ayat di atas ketika beliau tidak mandi dengan air dingin ketika dalam keadaan junub dalam perang Dzât as-Salâsil sebagaimana diriwayatkan beliau sendiri :

Dari 'Amr bin al-'Ash, ia berkata : Saya mimpi pada suatu malam yang dingin dalam perang zat al-salaasil, saya khawatir binasa kalau saya mandi, lalu saya tayammum, kemudian saya shalat shubuh bersama sahabat-sahabat saya. Lalu mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau bertanya : " Hai 'Amr, apakah kamu shalat bersama shabat-sahabtmu dalam keadaan junub ? Lalu saya menyampaikan kepada beliau bahwa yang menghalangi saya dari mandi, dan saya

mengatakan bahwa saya mendengar firman Allah ( ْﻢ ُﻜِﺑ َنﺎ َﻛ َﮫ ﱠﻠﻟا ﱠنِإ ْﻢُﻜ َﺴُﻔْﻧَأ اﻮ ُﻠُﺘْﻘَﺗ ﺎ َﻟَو ﺎ ًﻤﯿِﺣَر / Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.), lalu saya tayammum, kemudian saya shalat. Rasulullah saw.

pun tertawa dan tidak mengatakan apa-apa. (HR. Abu Daud ) 196

Sebagai larangan Allah, pelaku bunuh diri diharamkan Allah masuk surga dan sekaligus masuk neraka sesuai dengan sabda Rasulullah saw. :

196 Abu Daud, Sunan Abî Daud, Kitâb ath-Thahârah, Bâb Idzâ Khâfa al-Junubu al-Burd Atayammam, jld. 1, h. 238.

Dari Jundab bin Abdulah, ia berkata : Rasulullahsaw. Telah bersabda : " Sebelum kamu, pernah ada seorang laki-laki yang terluka, lalu dia putus asa, kemudian mengambil sebilah pisau dan memotong tangannya. Maka darahnya terus mengalir hingga dia meninggal. Maka Allah berfirman : 'Hamba-Ku ini mau mendahulukan dirinya dari (takdir)Ku. Oleh karena itu Kuharamkan surga atasnya". (HR.

Bukhari) 197

Siksa yang akan diterima si pelaku bunuh diri sesuai dengan dosa yang dia lakukan dalam bunuh diri sesuai dengan sabda Rasulullah saw. :

Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda : "Barangsiapa menjatuhkan diri dari gunung untuk bunuh diri, maka dia akan masuk neraka jahannam, dia menjatuhkan diri ke dalam neraka itu selama-lamanya. Dan barangsiapa meminum racun untuk bunuh diri, maka racunnya itu berada di tangannya, ia meminumnya di neraka jahannam untuk selama-lamanya. Dan barangsiapa membunuh dirinya dengan senjata tajam, maka dia akan menusuk-nusukkan senjata tajamnya itu kepada dirinya sendiri di dalam neraka jahannam untuk selama-lamanya". (HR. Bukhari dan

Nasa'i) 198 Di antara amanah yang harus ditunaikan seseorang terhadap pisiknya

adalah memberikan pakaian dan perhiasan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :

197 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb al-Anbiyâ’, Bâb Mâ Dzukira ‘an Banî Isrâîl, jld. 2, juz 4, h. 146.

198 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî , Kitâb ath-Thibb, Bâb Syurb as-Summ wa ad-Dawâ’…, jld. 4, juz 7, h. 32; an-Nasâ'î, Sunan an-Nasâ'î, Kitâb al-Janâiz, Bâb Tark ash-Shalâh ‘Alâ Man Qatala

Nafsah, jld. 2, juz 4, h. 66-67.

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi `auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.(QS. Al-A'raaf/7 : 26)

Ayat ini menurut ketiga mufassir Sayyid Quthb, az-Zuhaylî dan M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Allah telah memberikan nikmat kepada manusia berupa pakaian untuk menutupi aurat dan pakaian indah untuk perhiasan. Yang pertama merupakan kebutuhan primer manusia, sedangkan yang kedua merupakan

pelengkap 199 . Penafsiran senada juga diungkapkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya 200 . Ini berarti pakaian baik untuk menutupi aurat maupun untuk perhiasan

merupakan suatu kebutuhan manusia, yang memakainya merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu az-Zuhaylî menyebutkan secara tegas bahwa menurut aurat wajib hukumnya; karena Allah berfirman (ﻢﻜﺗاءﻮ ﺳ يراﻮ ﯾ/untuk menutup auratmu), yakni Allah menjadikan bagi keturunan Adam pakaian yang dapat menutup auratnya. Jadi ini menunjukkan perintah menutup aurat. Menurut beliau juga tidak ada perbedaan di

Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 3, h. 1278, az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr, jld. 4, juz 8, h. 169; M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 5, h. 58.

200 Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîmt, jld. 2, h. 263, az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr, jld. 4, juz 8, h. 169.

kalangan para ulama tentang wajibnya menutup aurat dari pandangan manusia. 201 Sayyid Quthub dan M. Quraish Shihab secara ekplisit juga menyebutkan kewajiban

menutup aurat tersebut 202 . Dari uraian di atas jelas bahwa pakaian adalah merupakan kebutuhan

manusia yang harus dipenuhinya sendiri; karena pakaian dapat menutup auratnya. Aurat adalah suatu hal yang dapat memalukan dan memperburuk penampilan manusia jika terbuka.

Kewajiban menutup aurat bagi setiap muslim selain berdasarkan dalil di atas, juga menurut Yusuf al- Al-Qardhawî karena setiap orang yang berperadaban dan memiliki fitrah yang sehat tentu merasa malu membukanya, sehingga ia berbeda dengan binatang yang telanjang. Bahkan menurut beliau, Islam menyerunya untuk menutup aurat ini meskipun dia sendirian, jauh dari orang lain, sehingga kesopanannya dijiwai dengan agama dan moral yang tinggi. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw. :

201 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 4, juz 8, h. 171.

Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 3, h. 1278; M. Quraish Shihab, Tafsir al- Mishbâh , vol. 5, h. 59-60.

Diriwayatkan dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, dia (kakeknya) berkata : Wahai Rasululah, aurat kami ini, apa yang dapat kami lakukan dengannya dan apa yang harus kami tinggalkan ? Rasulullah saw. menjawab : "Jagalah auratmu, kecuali terhadap isterimu atau hamba sahayamu." Aku bertanya lagi : Wahai Rasulullah, bagaimana kalau suatu kaum itu bergaul satu sama lain ? Beliau menjawab : " Kalau dapat agar tidak seorang pun melihatnya, maka jangan sekali-kali ia melihatnya." Aku bertanya lagi : Kalau seorang sedang sendirian ? Beliau menjawab : "Allah lebih berhak bagi seseorang untuk malu kepada-Nya dari pada manusia." ( HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Tirmidzi berkata : Hadits ini

hadits yang hasan) 203

Amanah yang harus ditunaikan seseorang terhadap pisiknya juga adalah memberikan makanan dan minuman, Allah berfirman :

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.(QS. Al-A'raf/7 : 31)

Penggalan pertama ayat di atas merupakan ajakan bagi manusia untuk memakai pakaian yang indah minimal dalam bentuk menutup aurat ketika mau

203 al-Qardhâwî, Halal dan Haram, terjemahan Abu Sa'id dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta : Rabbani Press, cet. 3, 2002 M), h. 87-88. Hadits, lihat : Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitâb

al-Hammâm, Bâb Mâ Jâa Fi at-Ta’arrî , jld.4, h.304; al-Mubârakfûrî ,Tuhfah al-Ahwadzî, Abwâb al- Isti’dzân wa al-adab, Bâb Mâ Jâa Fi Hifzh al-‘Aurah , jld. 8, h. 77-78; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Mâjah , Kitâb an-Nikâh, Bab at-Tasattur ‘Ind al-Jimâ’, jld. 1, h. 618.

melakukan ibadah di masjid. Memakai pakaian indah adalah salah satu bentuk kebutuhan fisik manusia sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Sedangkan penggalan kedua dari ayat di atas ditafsirkan oleh ketiga mufassir, Sayyid Quthb, az-Zuhaylî, dan M. Quraish Shihab dengan penafsiran yang hampir sama 204 .

Sayyid Quthb mengungkapkan bahwa Allah menyeru manusia untuk bersenang-senang dengan makanan dan minuman yang baik tanpa berlebih-lebihan.

Az-Zuhaylî menafsirkan bahwa Allah membolehkan makan dan minum yang baik dan lezat tanpa berlebih-lebihan tetapi dengan pertengahan; tanpa mengurangi dan melebihi, tanpa kikir dan berlebihan dalam belanja, dan tanpa melampaui yang halal dengan memakan makanan dan minuman yang haram 205 .

Sedangkan M. Quraish Shihab menafsirkan penggalan kedua dari ayat di atas bahwa Allah mengajak manusia untuk memakan makanan yang halal, enak, bermanfaat lagi bergizi, berdampak baik; untuk meminum minuman apa saja yang disukai selama tidak memabukkan, tidak juga mengganggu kesehatan; dan untuk tidak berlebih-lebihan dalam segala hal, baik dalam beribadah dengan menambah cara atau kadarnya demikian juga dalam makan dan minum atau apa saja, karena

204 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 3, h. 1282.

205 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 4, juz 8, h. 183.

sesungguhnya Allah tidak menyukai dengan tidak melimpahkan rahmat dan ganjaran bagi orang-orang yang berlebih-lebihan dalam hal apapun 206 .

Ketiga mufassir di atas juga mengungkapkan sebab turunnya ayat di atas, yang kalau disimpulkan intinya adalah bahwa pada musim ibadah haji orang-orang Arab Jahiliyyah merasa cukup dengan makanan yang sedikit dan mereka tidak makan daging dan makanan yang berlemak sebagai penghormatan terhadap ibadah haji yang mereka lakukan. Kemudian para sahabat Rasulullah saw. berkata : wahai

Rasulullah, kita lebih berhak melakukan hal itu dari pada mereka. Lalu turunlah ayat di atas 207 .

Dari penafsiran di atas jelaslah bahwa makan dan minum yang halal, baik, lezat, bergizi bermanfaat selama tidak berlebih-lebihan merupakan perintah dari Allah bagi manusia; karena hal ini merupakan kebutuhan manusia dan menyangkut kesehatannya.

Sekalipun secara lahir ayat di atas mewajibkan makan dan minum tanpa berlebih-lebihan, namun hukum makan dan minum sesuai dengan kondisi orang yang melakukannya. Dalam hal ini al-Jashshash mengatakan :

Firman Allah (Makanlah dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan…) secara lahir mewajibkan makan dan minum. Pada suatu kondisi, firman Allah ini menunjukkan boleh, dan pada kondisi yang lain menunjukkan wajib. Kondisi wajib makan dan minum adalah kondisi seseorang kalau tidak makan dan minum

206 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 5, h. 75.

207 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 3, h. 1282; az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 4, juz 8, h. 183; M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 5, h. 75.

dikhawatirkan mendapatkan bahaya, merusak dirinya atau sebagian anggota badannya atau melemahkannya dalam melaksanakan kewajiban. Dalam kondisi ini ia wajib makan sehingga kekhawatirannya akan mendapatkan bahaya hilang. Sedangkan kondisi bolehnya makan dan minum adalah tidak adanya kekhawatiran akan mendapatkan bahaya jika tidak melakukannya. Dan lahir ayat itu juga mengehendaki bolehnya makan seluruh makanan dan minum seluruh minuman yang tidak dilarang Allah asalkan makan dan minumnya tidak berlebih-lebihan ; sebab Allah menyebutkan makan dan minum secara mutlak dengan syarat tidak

berlebih-lebihan. ". 208

Al-Qurthubî menyebutkan hukum mandub (sunnah) baik menurut akal maupun menurut syara' bagi makan dan minum dalam rangka menutupi lapar dan

menghilangkan dahaga; karena dapat memelihara jiwa dan menjaga panca indera. Oleh karena itu kata beliau agama melarang puasa wishâl (puasa sampai malam); karena dapat melemahkan pisik, mematikan jiwa dan menyebabkan lemah dalam beribadah 209 . Sedangkan al-Alusî, perintah makan itu menunjukkan wajib jika makan itu untuk menopang hidup, dan sunnah jika untuk menemani tamu, dan boleh selain dari itu 210 .

Terlepas dari hukum boleh, mandub atau wajib, makan dan minum jelas merupakan kebutuhan dan hak pisik yang setiap orang harus memenuhinya.

208 al-Jashshâsh, ar-Râzî, Ahmad ibn ‘Ali, Ahkâm al-Qur'ân, (Beirut : Daâr Ihyâ' at-Turâts al-'’Arabî, th. 1405 H), jld. 4, h. 207. CD Rom Maktabah al-Tafsîr wa 'Ulûm al-Qur'ân.

209 al-Qurthubî, Muhammad bin Ahmad, Abu Abdillah (selanjutnya : al-Qurthubî ), al- J âmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, (Cairo : Dâr asy-Sya’b, cet. 2, 1372 H. CD Rom Maktabah at-Tafsir wa

'Ulum al-Qur'ân), jld. 7, h. 191.

210 Al-Alûsî, Abu al-Fadhl, Mahmûd, Rûh al-Ma'anî fi Tafsîr al-Qur'an al-'Azhîm wa al- Sab'I al-Matsanî , (Beirut : Dâr Ihyâ al-Turâts al-'Arabî, tth), juz 2, h. 38. CD Rom, Maktabah al-Tafsîr

wa 'Ulûm al-Qur'an.

Menterlantarkan pisik dalam keadaan tidak mendapatkan kebutuhan dan haknya tidak dibenarkan baik oleh agama maupun oleh akal sehat; karena akan membawa kepada kebinasaan. Firman Allah :

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. Al-Nisa'/4 : 29)

Firman-Nya lagi :

… dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan… (QS. Al- Baqarah/2 : 195)

Rasulullah saw. bersabda :

" Tidak boleh membuat bahaya dan membalas bahaya." (HR. Ibnu Majah) 211 Di antara hak pisik yang harus dipenuhi seseorang adalah memelihara

kesehatan pisiknya; yaitu memelihara pisiknya agar tidak terkena penyakit, dan mengobatinya jika sudah terkena penyakit.

Dalam rangka menjaga kesehatan pisik, antara lain Islam melarang orang makan dan minum secara berlebih-lebihan, tidak mengkonsumsi makanan dan minuman yang membahayakan, menjaga kebersihan, menghindar dari orang yang

211 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah , jld. 2, h. 784.

berpenyakit menular. Dalam hal ini penulis akan membatasi pembahasan tentang larangan makan dan minum secara berlebih-lebihan.

Ayat al-Qur’an yang bisa dijadikan acuan dalam hal larangan makan dan minum secara berlebih-lebihan adalah juga surat al-A’raf : 31 yang berbunyi :

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.(QS. Al-A'raf/7 : 31)

Dalam ayat 31 surat al-A'raf di atas secara tegas disebutkan perintah makan dan minum diiringi dengan larangan isrâf atau berlebih-lebihan. M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini menyebutkan : "Penggalan akhir ayat ini merupakan salah satu prinsip yang diletakkan agama menyangkut kesehatan dan diakui pula oleh para

ilmuwan terlepas apapun pandangan hidup atau agama mereka." 212 Berkaitan dengan ini juga az-Zuhaylî mengungkapkan bahwa makan terlalu banyak dapat

mengacaukan alat pencernaan, menghilangkan kecerdasan; dan banyaknya minum dapat memberatkan perut besar, menghalangi seseorang dari melaksanakan kewajiban agama dan dunia. Jika berlebih-lebihan makan dan minum ini membawa kepada terhalangnya pelaksanaan kewajiban, maka hukumnya haram, dan orang tersebut

212 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol 5, h. 76.

termasuk golongan orang-orang yang berbuat isrâf (berlebih-lebihan) yang mendapat ancaman Allah swt. 213 Sedangkan Sayyid Quthub dalam menafsirkan ayat di atas

tidak menyentuh kaitannya dengan kesehatan. Larangan makan dan minum secara berlebih-lebihan juga diperkuat oleh hadits Rasulullah saw. yang juga dikutip oleh kedua mufassir di atas dalam tafsirnya. Bunyi hadits itu adalah sebagi berikut :

Diriwayatkan dari Miqdam bin Ma'di Karib, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda : "Tidaklah seorang manusia mengisi suatu bejana yang lebih buruk dari pada mengisi perut, cukuplah bagi manusia beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika ia harus makan banyak, maka cukuplah sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga

untuk nafasnya." (HR. Tirmidzi) 214

Dari uraian di atas jelaslah bahwa makan dan minum secara berlebih- lebihan akan berdampak negatif terhadap kesehatan seseorang. Ini merupakan salah satu prinsip yang yang diletakkan Islam dalam kesehatan. Oleh karena itu dalam rangka menjaga kesehatan, hendaknya seseorang menghindari dari makan dan minum secara berlebih-lebihan. Tidak makan dan minum secara berlebih-lebihan berarti seseorang telah menunaikan salah satu bentuk hak pisiknya.

213 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 4, juz. 8, h. 187-188.