Amanah dalam Kekuasaan dan Jabatan

5. Amanah dalam Kekuasaan dan Jabatan

Menurut pengetahuan penulis, yang mendasari amanah dalam kekuasaan dan jabatan ini adalah al-Qur’an Surat an-Nisa’ : 58 :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. an-Nisa’/4 : 58)

Sebab turun ayat 58 surat an-Nisâ' di atas adalah tentang kekuasaan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya melalui sanadnya dari Ibnu Abbas bahwa ketika Rasulullah saw. dapat membuka kota Mekah dan meminta kunci ka'bah dari Usman bin Thalhah bin Abu Thalhah dari suku Bani Syaibah, Abbas

158 Kisah Abû Lubâbah bisa dilihat pada bab IV pasal C.

meminta kepada Rasulullah saw. untuk menyerahkan kunci itu kepadanya. Dengan demikian Abbas memegang dua kekuasaan yaitu pelayanan terhadap orang-orang yang melakukan ibadah haji dan penjagaan ka'bah. Setelah Rasulullah menerima kunci dari Usman bin Thalhah dan masuk ke dalam ka'bah, beliaupun keluar dan melakukan thawaf. Kemudian turunlah malaikat Jibril memerintahkan Rasulullah untuk mengembalikan kunci kepada Usman bin Thalhah, lalu beliau membaca ayat

58 surat an-Nisa' ini 159 . Sebab turun ayat di atas disebutkan juga oleh az-Zuhaylî

dalam kitab tafsirnya 160 , tetapi tidak disebutkan oleh Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab. Sekalipun pelajaran yang terkandung dalam suatu ayat biasanya sesuai

dengan keumuman lafaz bukan karena kekhususan sebab, namun sebab turun ayat ini paling tidak memberikan gambaran kepada kita bahwa ruang lingkup amanah yang bersifat umum sebagaimana diungkapkan oleh para mufassir adalah di antaranya tentang kekuasaan. Artinya masalah kekuasaan bukan merupakan sesuatu yang terpisah jauh dari amanah yang diperintahkan al-Qur'an kepada orang-orang yang beriman.

Di antara amanah dalam kekuasaan ialah seseorang tidak menggunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau keluarganya. Ia tidak boleh mengambil tambahan dari gaji yang telah ditentukan untuknya dengan cara yang tidak benar seperti menerima suap, atau menerima suap dengan nama hadiah, korupsi, kolusi, nepotisme dan sebagainya. Karena ini semua

159 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, jld. 1, h. 630-631 .

160 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 3, juz 5, h. 121.

merupakan bentuk pengkhianatan dan penipuan yang akan membahayakan umat keseluruhan, yang jelas-jelas diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah :

Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS. Ali Imran/3 : 161)

/yaghulla) yang bentuk mashdarnya ghulul yang ditejemahkan di atas dengan “berkhianat” walaupun konteks ayat di atas berkenaan dengan khianat

Kata ( 

dalam harta rampasan perang, namun menurut M. Quraish Shihab kata tersebut dalam pengertian khianat secara umum, baik pengkhianatan dalam amanah yang diserahkan

masyarakat, maupun pribadi demi pribadi 161 . Sayyid Quthub juga dalam tafsirnya secara inplisit menyebutkan bahwa ghulûl berarti menyembunyikan sesuatu dari

harta umum atau harta rampasan perang 162 . Az-Zuhaylî menyebutkan termasuk ghulûl 163 adalah hadiah yang diberikan kepada para pegawai atau pejabat . Senada

dengan az-Zuhaylî, Sa’id Hawwa menyebutkan bahwa termasuk ghulûl hadiah yang

161 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, vol. 2, h. 250-251.

162 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 1, h. 504-505.

163 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 2, juz 4, h.151.

diberikan kepada pegawai negara atau pengambilan secara tidak benar terhadap harta umat 164 .

Dari beberapa penafsiran tersebut jelaslah bahwa pengertian yaghulla atau ghulûl bersifat luas, tidak hanya terbatas pada khianat dalam harta rampasan perang, tetapi juga termasuk pengambilan secara tidak benar harta umat atau masyarakat, baik secara kelompok atau pribadi, harta negara, dan bahkan hadiah yang diberikan kepada para pegawai atau pejabat negara di luar gajinya.

Pengertian di atas diperkuat oleh beberapa hadits Rasulullah saw. yang juga disebutkan oleh beberapa mufassir dalam menafsirkan ayat di atas. Di antara hadits itu adalah sebagai berikut :

Dari 'Adiy bin 'Umairah. al-Kindiy katanya : Saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda : " Barangsiapa di antara kamu sekalian yang pernah kami berikan suatu tugas, lalu dia menyembunyikan seutas benang atau lebih kepada kami, maka berarti dia telah berbuat ghulul (khianat) yang dia akan membawanya pada hari kiamat ". Lalu seorang laki-laki hitam dari kaum Anshar

berdiri – kayanya saya melihatnya – seraya berkata : Wahai Rasulullah, izinkanlah aku untuk menerima tugas yang engkau berikan kepadaku. Rasulullah bertanya : " Mengapa kamu ? " . Dia berkata : Saya mendengar engkau bersabda begini dan begini. Rasul bersabda : " Sekarang saya mengatakan : Barangsiapa yang kami

164 Sa’id Hawwâ, al-Asâs fî at-Tafsir, jld. 2, h. 928.

berikan tugas untuk melaksanakan suatu pekerjaan, maka hendaknya dia membawanya baik sedikit maupun banyak; apapun yang diberikan kepadanya, ia

ambil; dan apa yang ia dilarang mengambilnya, ia tinggalkan ". (HR. Muslim)

Sesuai juga dengan hadits lain :

Dari Abu Humaid al-Saa'idiy r.a katanya : Rasulullah s.a.w telah memberi tugas kepada seorang lelaki dari Kaum al-Asad yang terkenal dengan Ibnu Lutbiyah. (Menurut 'Amru dan Ibnu Abu Umar : adalah untuk urusan sedekah). Setelah kembali dari menjalankan tugasnya, lelaki tersebut berkata kepada Rasulullah s.a.w: Ini untuk kalian dan ini untukku, karena memang ia dihadiahkan kepadaku. Lalu Rasulullah s.a.w berdiri di atas mimbar. Setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah, beliau bersabda : " Patutkah seorang petugas yang aku kirim untuk menguruskan suatu tugas berani berkata : Ini untuk kalian dan ini untukku karena memang ia dihadiahkan kepdaku ? Mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak atau di rumah ibunya (tanpa memegang suatu jabatan) sehingga dia melihat apakah ada orang yang memberi hadiah kepadanya atau tidak ? Demi diri Muhammad yang berada di dalam kekuasaan Allah, tidaklah salah seorang di antara kamu memperoleh sesuatu dari hasil sedekah, maka pada hari kiamat kelak dia akan datang dengan memikulnya bagaikan seekor unta yang sedang melenguh, atau seekor lembu yang

165 Muslim, Shahih Muslim, Kitâb al-Imârah, Bâb Tahrîm Hadâya al-‘Ummâl, jld. 3, h 1465.

sedang menguak, atau seekor kambing yang mengembik. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sehingga tampak kedua ketiaknya yang putih dan bersabda : " Ya Allah! Bukankah aku telah menyampaikannya ! " sebanyak

dua kali (HR. Bukhari dan Muslim, lafazh dalam riwayat Muslim) 166

Di antara amanah dalam kekuasaan adalah memberikan suatu tugas atau jabatan kepada orang yang paling memiliki kapabilitas dalam tugas atau jabatan itu. Memberikan tugas atau jabatan kepada seseorang yang tidak kapabel atau kepada seseorang yang dianggap kapabel padahal ada orang yang lebih kapabel lagi,

disebabkan karena ada hubungan kerabat atau persahabatan, sama-sama satu daerah, suku, golongan, partai, atau karena suap dan sebagainya; berarti ia telah berbuat

khianat dan akan menyebabkan kehancuran. Hal ini sesuai dengan hadits berikut ini :

a. Hadits riwayat Imam Muslim :

Dari Abu Dzar ra. berkata : Saya bertanya : Wahai Rasulullah mengapa engkau tidak menggunakan saya (untuk memimpin) ?. Lalu Rasulullah menepuk bahu saya, kemudian beliau bersabda : " Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah sedaangkan kepemimpinan itu Amanah, dan pada hari kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang melaksanakan jabatannya dengan benar dan mmmmmmenunaikan apa yang harus ia laksanakan dalam jabatan itu " (HR. Muslim)

b. Hadits Riwayat Bukhari :

166 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb al-Hiyal, Bâb Ihtiyâl al-‘Âmil liyuhdâ lahu, jld. 4, juz 8, h. 66; Muslim, Shahîh Muslim , Kitâb al-Imârah, Bâb Tahrîm Hadâya al-‘Ummâl, jld. 3, h.

Muslim, Shahih Muslim, Kitâb al-Imârah, Bâb Karâhah al-Imârah bi Ghair adh- Dharûrah, jld. 3, h 1457.

Dari Abu Hurairah berkata : Ketika Rasulullah saw. berada dalam suatu majlis, datang seorang Arab Badui seraya bertanya : Kapan terjadi hari kiamat ? Rasul

menjawab : " Apabila Amanah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat " . Orang itu bertanya : Bagaimana menyia-nyiakan Amanah itu ? Belioau menjawab : " Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat

kehancurannya "(HR. Bukahri) 168 .

Berkaitan dengan memberikan jabatan kepada orang yang lebih laik, Imam Ibn Taimiah berkata dalam kitabnya as-Siyâsah asy-Syar'iyyah fi Ishlâh ar-Ra'î wa ar-Ra'iyyah :

Wajib bagi pemimpin untuk memberikan semua tugas atau jabatan kepada orang yang paling kapabel yang ia dapatkan untuk memikul tugas itu … Oleh karena itu ia wajib mencari orang-orang yang berhak menduduki jabatan sebagai gubernur, hakim, panglima tentara, prajurit senior dan yunior; para pengelola harta kaum muslimin seperti menteri, sekretaris, pemungut pajak, sedekah dan sebagainya. Masing-masing mereka juga harus memberikan tugas atau jabatan kepada orang yang paling kapabel yang mereka dapatkan, sampai kepada jabatan imam shalat, tukang adzan, qari', guru, pemimpin haji, tukang pos, bendaharawan, penjaga benteng dan tukang pintunya, pimpinan militer senior dan yunior, kepala suku dan pasar dan kepala kampung. Maka orang yang memegang kepemimpinan apapun dalam urusan kaum muslimin wajib memberikan setiap posisi yang ada

dalam kekuasaannya kepada yang paling laik dan paling mampu…" 169

168 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb al-‘Ilm, Bâb Fadhl al-‘Ilm, jld. 1, juz 1, h. 21.

169 Ibnu Taimiah, as-Siyâsah asy-Syar'iyyah , hal 9-10.

Setelah menjelaskan tentang menggunakan orang yang terbaik dalam menduduki jabatan dan memberikan tugas, selanjutnya Ibnu Taimiah menjelaskan bahwa bila dalam suatu jabatan itu tidak ditemukan orang yang paling baik, maka si pemimpin harus memilih yang terbaik dari yang ada dan seterusnya. Beliau mengatakan :

Apabila hal ini telah diketahui, maka tidak ada jalan lain bagi seorang pemimpin kecuali ia menggunakan orang yang paling kapabel dari yang ada. Dan

bisa jadi dari yang ada itu tidak ada orang yang paling kapabel untuk menduduki jabatan itu, maka ia harus memilih yang paling baik dari yang ada dan seterusnya.

Jika ia telah melakukan hal itu setelah ijtihad dan memberikan jabatan itu kepada orang yang berhak, maka berarti ia telah menunaikan Amanah dan melaksanakan kewajiban. Dalam hal ini ia termasuk para pemimpin yang adil di sisi Allah, walaupun sebagian urusan rusak disebabkan orang lain. Apabila ia tidak mampu kecuali hal itu, maka Allah sungguh telah berfirman yang artinya : 'Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu… 170 .

Termasuk amanah juga, orang yang tidak memiliki kapabilitas dalam memegang jabatan kepemimpinan tidak boleh memintanya. Dalam sebuah masyarakat yang berpegang teguh kepada Islam, tidak ada seorangpun yang meminta jabatan kepemimpinan. Masyarakat memiliki kebebasan penuh untuk memilih orang yang paling laik memegang kepemimpinan. Dan si pemimpin mempunyai kebebasan penuh untuk memilih pegawainya yang laik tanpa adanya sutau pengaruh dan tekanan. Ia juga tidak boleh memberikan jabatan kepemimpinan kepada seseorang lantaran ia meminta jabatan itu atau ia lebih dahulu mengajukan permintaan. Oleh

170 Ibnu Taimiah, as-Siyâsah asy-Syar'iyyah ibid, hal 15-16. Ayat al-Qura'an surat al- 170 Ibnu Taimiah, as-Siyâsah asy-Syar'iyyah ibid, hal 15-16. Ayat al-Qura'an surat al-

Dari Abdul Rahman bin Samurah r.a katanya: Rasulullah s.a.w pernah bersabda: Wahai Abdul Rahman bin Samurah! Janganlah kamu meminta jabatan kepemimpinan; karena jika kamu diberi jabatan itu lewat permintaan, maka kamu akan diserahkan sepenuhnya kepada jabatan itu. Akan tetapi, jika kamu diserahi jabatan tanpa kamu memintanya maka kamu akan ditolong (oleh Allah) dalam melaksanakannya.. Jika kamu telah terlanjur bersumpah, kemudian kamu melihat ada sesuatu yang lebih baik dari pada sumpahmu itu, maka hendaklah kamu membayar kifarat (denda) dari sumpahmu tadi, dan hendaklah kamu mengerjakan sesuatu yang

lebih baik itu (HR. Bukhari dan Muslim) 171 .

Mengomentari hadits ini, Habannakah mengatakan : Dalam hadits ini ada dua arahan : arahan bagi para calon yang akan dipilih

menduduki jabatan kepemimpinan, dan arahan bagi orang-orang yang memegang kekuasaan untuk memberikan jabatan itu. Orang-orang yang memegang kekuasaan tersebut bertanggung jawab untuk memberikan jabatan kepada orang yang lebih baik dan lebih kapabel. Dan para calon tersebut dituntut untuk tidak menyerobot jabatan itu dan tidak berusaha mendapatkannya untuk kepentingan diri mereka sendiri, sehingga dia mendapatkan jabatan itu tanpa melalui permintaan. Ketika itu Allah akan menolongnya dalam melaksanakan tugas itu. Ini dalam kondisi jabatan itu tidak diperebutkan oleh orang-orang yang akan berbuat kerusakan dan tidak

takut kepada Allah dalam jabatan itu ". 172

171 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, , KItâb al-Aymân wa an-Nudzûr, Bâb La Yuâkhidzukum Allah bi al-Laghw Fi Aymânikum, jld. 4, juz 7, h. 216; Muslim, Shahih Muslim, KItâb al-Aymân,

Bâb Nadb Man Halafa Yaminan…, jld. 3, h 1273-1274.

172 Habannkah , al-Akhlâq al-Islamiyyah wa Ususuhâ, jld 1 hal 659.

Islam melarang umatnya untuk meminta jabatan, karena Islam memandang bahwa jabatan itu bukan semata-mata kehormatan, tetapi di samping itu juga jabatan adalah amanah dan beban yang berat yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Inilah yang dimaksud dengan hadits Abu Dzar yang telah disebutkan di atas dan sebagaimana sabda Rasulullah saw. :

Dari Ibnu Umar r.a. dari Nabi s.a.w, beliau telah bersabda : " Kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua akan diminta pertanggungjawabannya tentang apa yang kamu pimpin. Seorang pemerintah adalah pemimpin manusia dan dia akan diminta pertanggungjawabannya tentang rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan diminta pertanggungjawabannya tentang mereka. Seorang isteri adalah pemimpin rumah tangga, suami dan anak-anaknya, dia akan diminta pertanggungjawabannya tentang mereka. Seorang hamba adalah penjaga harta tuannya dan dia juga akan diminta pertanggungjawabannya tentang jagaannya. Ingatlah, kamu semua adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawabannya

tentang apa yang kamu pimpin " . (HR. Bukahri dan Muslim) 173

Adapun permintaan Nabi Yusuf as. untuk diberikan jabatan sebagai bendaharawan negara Mesir dan beliau mengaku sebagai orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan agar diberi jabatan itu sebagaimana disebutkan dalam surat

al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb al-Jumu’ah, Bâb al-Jumu’ah F î, al-Qurâ wa al- Mudun, jld. 1, juz 1, h. 215; Muslim, Shahih Muslim , Kitâb al-Imârah, Bâb Fadh îlah al-Imâm al- ‘Âdil…, jld. 3, h 1459.

Yusuf ayat 55 174 , dan permintaan 'ibâd ar-Rahmân (hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah) kepada Allah untuk diberikan kepemimpinan sebagaimana disebutkan

dalam surat al-Furqan ayat 74 175 ; maka Dr. Sayyid Muhammad Nûh memberikan jawaban dalam bukunya Aafât 'ala ath-Tharîq sebagai berikut :

… Pada dasarnya tidak ada kontradiksi. Hal itu karena Nabi Yusuf as.meminta jabatan itu dan mengaku sebagai orang yang bersih; karena beliau melihat kekosongan posisi itu dari orang yang akan menegakkan, menyeru dan mempertahankan kebenaran, sementara beliau mempunyai kemampuan untuk hal itu. Tetapi beliau tidak terkenal, maka ia harus meminta dan mengaku sebagi orang

yang bersih dalam rangka melaksanakan firman Allah : ْﻢُﮭ َﻀْﻌَﺑ َسﺎ ﱠﻨﻟا ِﮫ ﱠﻠﻟا ُﻊ ْﻓَد ﺎ َﻟْﻮَﻟَو َ ُضْرَﺄ ْﻟا ِتَﺪ َﺴَﻔَﻟ ٍﺾْﻌَﺒ ِﺑ " Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini" . Demikian juga permintaan seorang muslim terhadap kepemimpinan adalah sebenarnya permintaan kepada Allah, bukan kepada manusia. Yang tidak boleh adalah permintaan kepada manusia. Lagi pula ada perbedaan antara permintaan seorang muslim kepada Tuhannya sehingga ia memiliki kesiapan dan dapat memenuhi kekosongan jika diperlukan dengan seorang yang tidur saja, kemudian ia minta kepemimpinan, padahal ia belum pernah berusaha untuk memiliki kemampuan dan

dapat menunaikan jabatan itu secara benar ". 176

Termasuk menunaikan amanah dalam kekuasaan juga adalah seseorang hendaknya berusaha keras untuk menunaikan tugasnya dengan sempurna dalam melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan jabatannya. Ia harus mencurahkan segala potensinya untuk melaksanakan tugasnya secara profesional, serta memenuhi

174 Bunyi ayat tersebut adalah : ٌﻢﯿِﻠَﻋ ٌﻆﯿِﻔَﺣ ﻲﱢﻧِإ ِضْرَﺄْﻟا ِﻦِﺋاَﺰَﺧ ﻰَﻠَﻋ ﻲِﻨْﻠَﻌْﺟا َلﺎَﻗ yang artinya : "

Berkata Yusuf: 'Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan."

175 Bunyi ayat tersebut adalah : ﺎًﻣﺎَﻣ ِإ َﻦﯿِﻘﱠﺘُﻤْﻠِﻟ ﺎَﻨْﻠَﻌْﺟاَو ٍﻦُﯿْﻋَأ َةﱠﺮُﻗ ﺎَﻨِﺗﺎﱠﯾﱢرُذَو ﺎَﻨِﺟاَوْزَأ ْﻦِﻣ ﺎَﻨَﻟ ْﺐَھ ﺎَﻨﱠﺑَر َنﻮُﻟﻮُﻘَﯾ َﻦﯾِﺬﱠﻟاَو yang artinya : " Dan orang-orang yang berkata: 'Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-

isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang- orang yang bertakwa ".

176 as-Sayyid Muhammad Nûh, Âfât 'alâ ath-Tharîq, Mesir, Dâr al-Wafâ' cet. 3, 1410 H/1989 M, jld. 2, hal. 60-61.

kesepakatan yang telah dibuatnya baik dari sisi pekerjaan maupun dari sisi waktu. Kalau ia tidak melaksanakan tugas secara baik, maka berarti ia telah berbuat khianat. Khianat itu berbeda-beda. Khianat yang menyebabkan timbulnya bencana pada agama, negara atau kebanyakan kaum muslimin adalah khianat yang paling besar dosanya. Rasulullah saw. bersabda :

Dari Ibnu Umar r.a katanya: Rasulullah s.a.w pernah bersabda : " Ketika Allah mengumpulkan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian pada Hari Kiamat kelak, maka setiap orang yang melakukan pengkhianatan akan diberikan tanda sebuah bendera yang bertulis: Ini adalah bukti tanda pengkhiatan si Pulan bin Pulan ". (HR. Bukhari dan Muslim, lafaznya dalam riwayat Muslim) 177

Dalam riwayat lain disebutkan :

Dari Abu Said katanya : Rasulullah saw. telah bersabda : " Pada hari kiamat setiap orang yang melakukan pengkhianatan mempunyai bendera yang diangkat sesuai dengan kadar pengkhianatannya. Ketahuilah, tidak ada pengkhianatan yang lebih

besar dari pada (pengkhianatan) seorang pemimpin umum " . (HR. Muslim) 178

177 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb al-Adab, Bâb Mâ Yud’â an-Nâs bi Âbâihim, jld. 4, juz 7, h. 114-115; Muslim, Shahih Muslim, Kitâb al-Jihâd wa as- Sayr, Bâb Tahrim al-Ghadr, jld.

3, h 1359.