Amanah terhadap Rohani

3. Amanah terhadap Rohani

Di samping hak pisik dan hak akal yang harus dipenuhi seseorang terhadap dirinya, begitu juga rohani pun punya hak yang harus dipenuhi, sebab rohani juga mempunyai kebutuhan sebagaimana pisik dan akal. Rohani yang penciptaannya berasal dari tiupan Allah 228 sudah barang tentu mempunyai kebutuhan yang berbeda

227 Abû Dâud, Sunan Abî Daud, Kitâb al-‘Ilm, Bâb al-Hatsts ‘Ala Thalab al-‘Ilm, jld. 4, h. 57-58; al-Mubârakfûrî , Tuhfah al-Ahwadzî , Abwâb al-‘Ilm, Bâb Mâ Jâa Fi ‘Alim al-Madinah, jld. 7,

h. 451-453; Ibnu Mâjah , Sunan Ibnu Majah , Kitâb al-Muqaddimah, Bâb Fadhl al-‘Ulamâ’…, jld. 1, h. 81.

228 Ayat yang menyatakan hal itu antara lain : ﹴﺈﻤﺣ ﻦﻣ ﹴﻝﺎﺼﹾﻠﺻ ﻦﻣ ﺍﺮﺸﺑ ﻖﻟﺎﺧ ﻲﻧﹺﺇ ﺔﹶﻜﺋﺎﹶﻠﻤﹾﻠﻟ ﻚﺑﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹾﺫﹺﺇﻭ 29 ) ﻦﻳﺪﹺﺟﺎﺳ ﻪﹶﻟ ﺍﻮﻌﹶﻘﹶﻓ ﻲﺣﻭﺭ ﻦﻣ ﻪﻴﻓ ﺖﺨﹶﻔﻧﻭ ﻪﺘﻳﻮﺳ ﺍﹶﺫﹺﺈﹶﻓ ( 28 ) ﻥﻮﻨﺴﻣ ) yang artinya : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu 228 Ayat yang menyatakan hal itu antara lain : ﹴﺈﻤﺣ ﻦﻣ ﹴﻝﺎﺼﹾﻠﺻ ﻦﻣ ﺍﺮﺸﺑ ﻖﻟﺎﺧ ﻲﻧﹺﺇ ﺔﹶﻜﺋﺎﹶﻠﻤﹾﻠﻟ ﻚﺑﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹾﺫﹺﺇﻭ 29 ) ﻦﻳﺪﹺﺟﺎﺳ ﻪﹶﻟ ﺍﻮﻌﹶﻘﹶﻓ ﻲﺣﻭﺭ ﻦﻣ ﻪﻴﻓ ﺖﺨﹶﻔﻧﻭ ﻪﺘﻳﻮﺳ ﺍﹶﺫﹺﺈﹶﻓ ( 28 ) ﻥﻮﻨﺴﻣ ) yang artinya : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Al-Ra'd/13 : 28)

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa hati akan tenteram hanya dengan dzikrullah (mengingat Allah). Jadi tanpa dzikrullah hati tidak akan tenteram. Ini berarti bahwa dzikrullah suatu hal yang tidak boleh dipisahkan dari hati, atau dengan kata lain dzikrullah merupakan kebutuhan hati atau rohani.

Sayyid Quthub menyebutkan beberapa isyarat tentang makna dzikrullah, yaitu berkomunikasi dengan Allah, mengetahui hikmah penciptaan, prinsip dan tempat kembali manusia, merasakan penjagaan Allah dari segala bentuk penganiayaan, bahaya dan dari segala kejahatan kecuali sesuai dengan yang Dia

liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (QS. Al-Hijr/15 : 28-29) liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (QS. Al-Hijr/15 : 28-29)

Az-Zuhaylî menafsirkan dzikrullah dengan mentauhidkan Allah dan mengingat janji-Nya. 230

Menurut M. Quraish Shihab makna dzikrullah mencakup makna menyebut keagungan Allah, surga atau neraka-Nya, rahmat dan siksa-Nya atau perintah dan larangan-Nya dan juga wahyu-wahyu-Nya. Beliau juga menyebutkan perbedaan

pendapat para ulama tentang apa yang dimaksud dengan dalam ayat di atas. Ada yang memahaminya dalam arti al-Qur’an, dan ada juga yang memahaminya dalam arti dzikir secara umum, baik berupa ayat-ayat al-Qur’an maupun selainnya. 231

Al-Qurthubiy menyebutkan beberapa pendapat tentang makna dzikrullah; yaitu antara lain : mentauhidkan Allah, mengingat Allah dengan lisan, mengingat Allah dengan al-Qur'an, mengingat Allah dengan perintah-Nya, dengan mengingat karunia dan nikmat-Nya, dengan mentaati Allah, dengan janji Allah dan dengan

pahala Allah 232 . Pendapat-pendapat ini kalau diperhatikan saling melengkapi, karena

dzikrullah secara luas mencakup semuanya. Atau dzikrullah ini bisa juga diartikan dengan ibadah kepada Allah dalam pengertian yang luas.

229 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 4, h. 2060.

230 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 7, juz 13, h.

231 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 6, h. 587-588.

232 al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân , jld. 9, h. 315.

Oleh karena itu, al-Qardhâwi ketika membahas tentang mengapa kita beribadah kepada Allah dalam bukunya al-'Ibâdah fi al-Islâm menyebutkan bahwa ibadah merupakan santapan rohani. Dalam pembahasan ini, beliau menyebutkan bahwa manusia bukan hanya sekedar pisik yang kita rasakan dan kita lihat, yang menuntut bagiannya dari makanan dan minuman yang ada di bumi ini. Hakekat manusia terletak pada rohani yang dengannya manusia menjadi manusia yang terhormat dan memimpin makhluk-makhluk lain di permukaan bumi ini. Dengan

rohani juga manusia merasakan kehidupan dan kesuciannya dalam bermunajat kepada Allah. Ibadah kepada Allah lah yang memberikan santapan dan pertumbuhan kepada rohani, serta memberikan bekal harian yang tidak pernah habis 233 .

Beliau juga menyebutkan bahwa hati manusia senantiasa merasa butuh kepada Allah. Perasaan ini adalah perasaan yang sebenarnya, di alam ini tidak ada yang bisa memenuhinya kecuali komunikasi yang baik dengan Allah pemilik alam

ini. Inilah yang dilakukan ibadah apabila dilakukan secara benar 234 .

Apa yang diungkapkan al-Qardhâwi bahwa hati manusia senantiasa merasa butuh kepada Allah sejalan dengan yang diungkapkan Ibnu Taimiah dalam bukunya al-'Ub ûdiyyah :

Hati sangat membutuhkan Allah, ini dapat dilihat dari dua segi : pertama, dari segi ibadah, dan ini adalah alasan yang tertinggi. Kedua, dari segi mohon pertolongan dan tawakkal, dan ini adalah alasan yang sportif. Ini semua tidak lain,

233 al-Qardhâwî, al-'Ibâdah fî al-Islâm, h. 97.

al-Qardhâwî, al-'Ibâdah fî al-Islâm, h. 97.

karena hati itu tidak akan menjadi baik, beruntung, senang, gembira, enak, tenang dan tenteram melainkan dengan beribadah kepada Allah, mencintai Allah dan tawakkal kepada-Nya. Kalaupun dari makhluk dia dapat merasakan enak, namun tidak bisa mendapatkan ketenteraman dan ketenangan, karena di situ ada suatu yang sangat dibutuhkan, yaitu Allah, Tuhannya yang perlu disembah, dicintai dan diminta, yang dengan ini semua akan diperoleh perasaan riang, gembira, enak, nikmat dan tenteram. Tetapi ini pun tidak bisa tercapai melainkan dengan pertolongan Allah. Sebab tidak ada yang mampu menghasilkan itu semua

melainkan Allah sendiri. Dia-lah sebenarnya yang selalu dibutuhkan [ ﻙﺎـﻳﹺﺇﻭ ﺪـﺒﻌﻧ ﻙﺎـﻳﹺﺇ ﲔﻌﺘـﺴﻧ/Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah

kami mohon pertolongan ].

Andaikata dapat dibuktikan keberhasilan mencapai apa yang dicintai, yang dicari, yang diinginkan dan yang dikehendaki, tetapi tidak dibarengi dengan beribadah kepada Allah, maka keberhasilannya itu tidak lain hanya akan mendatangkan kepedihan, penyesalan dan siksaan. Dan tidak ada jalan untuk membebaskan dari penderitaan-penderitaan dunia, serta kepayahan penghidupannya, melainkan dengan mengikhlaskan kecintaannya kepada Allah, di mana Dia adalah tujuan akhir. Dia adalah kekasih pertama yang dicari. Selain itu hanya dicintai karena Dia. Tidak ada satu pun dzat yang dicintai melainkan Allah. Bila ini tidak berhasil dicapai, maka hakekat 'laa ilaaha illallah', hakekat tauhid, hakekat ibadah dan hakekat mencintai Allah itu belum dapat dihasilkan. Jadi masih ada kekurangan tauhid dan iman. Bahkan hal itu telah cukup membawa kepedihan, penyesalan dan siksaan.

Kalau dia berusaha untuk mencapai apa yang dicari itu, tetapi tidak minta pertolongan kepada Allah, tidak bertawakkal kepada Allah dan tidak membutuhkan bantuan Allah demi keberhasilannya, maka apa yang dicari itu tidak akan berhasil, sebab apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, sedang yang tidak dikehendaki tidak akan terjadi. Itulah sebabnya maka dia harus selalu membutuhkan Allah. Karena Dia-lah yang dicari dan yang dicintai, yang dituju untuk disembah, yang dimintai pertolongan-Nya dan yang ditawakkali. Dia-lah ilaah (Tuhan yang harus disembah) yang tiada ilaah melainkan Dia. Dia-lah rabb

(Tuhan yang memiliki dan mengatur alam) yang tiada rabb lain melainkan Dia". 235

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rohani atau hati manusia sangat membutuhkan Allah, yang tidak dapat dipenuhi kecuali dengan berkomunikasi dengan-Nya, dengan beribadah dan mohon pertolongan-Nya, atau dengan dzikrullah.

235 Ibnu Taimiah, al-'Ubûdiyyah, h. 29-30.

Dengan terpenuhi kebutuhannya ini, hati manusia akan menjadi tenang dan tenteram sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an surat al-Ra'du ayat 28 di atas.