Amanah dalam Kehormatan

3. Amanah dalam Kehormatan

Termasuk amanah terhadap orang lain adalah menjaga nama baik atau kehormatan orang lain, tdak mencemarkan nama baik atau merusak kehormatannya. Dalam pembahasan ini, penulis akan memfokuskan pembahasan tentang merusak kehormatan orang lain yang harus dijauhi seseorang ; karena dengan tidak merusak kehormatan orang lain berarti ia menjaga kehormatan dan nama baiknya. Dalam hal ini penulis akan membatasi tiga penrusakan kehormatan dan pencemaran nama baik yang harus dijauhi seseorang, yaitu : ghîbah (menggunjing), namîmah (mengadu domba), dan menudah orang lain berzina.

a. Ghîbah

Ghîba h menurut pandangan Islam adalah haram berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan terang sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Firman Allah :

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah

salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya

Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat/49 : 12)

Tentang ghîbah , dalam ayat di atas Allah mengungkapkan ( ْﻢُﻜُﻀْﻌَﺑ ْﺐَﺘْﻐَﯾ ﺎَﻟَو ُهﻮُﻤُﺘْھِﺮَﻜَﻓ ﺎًﺘْﯿَﻣ ِﮫﯿِﺧَأ َﻢْﺤَﻟ َﻞُﻛْﺄَﯾ ْنَأ ْﻢُﻛُﺪَﺣَأ ﱡﺐِﺤُﯾَأ ﺎًﻀْﻌَﺑ/ dan janganlah sebahagian kamu

menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Ini dipahami oleh ketiga mufassir : Sayyid Quthub, az- Zuhaylî, dan M. Quraish Shihab dan oleh mufassir lainnya bahwa ghîbah

adalah suatu yang dilarang dan diharamkan Allah 121 . Oleh karena itu ghîbah harus dijauhi setiap orang, dan agar tertanam kebencian terhadap ghîbah dalam diri setiap

orang sehingga ia menjauhinya, al-Qur’an mengumpamakan orang yang menggunjing saudaranya seperti orang yang makan daging saudaranya yang sudah mati.

121 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 6, h.3347; az- Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 13, juz 26, h. 256-257; M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 13, h. 256; Ibnu Katsir, Tafsîr

al-Qur' ân al-'Azhîm, jld. 4, h. 251; asy-Syaukânî, Fath al Qadîr, jld. 5, h. 65.

Tentang pengertian ghîbah, para mufassir pun tidak jauh berbeda mengartikannya 122 , karena semuanya mengacu kepada pengertian yang diberikan oleh

Rasulullah saw. dalam sabdanya :

DariAbu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. pernah bertanya : " Tahukah kamu apakah ghibah itu ?" . Mereka menjawab : Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda : " Kamu menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci ". Beliau ditanya : Bagaimana jika yang diceritakan itu terdapat pada dirinya ? Beliau bersabda : "Jika yang kamu ceritakan terdapat pada dirinya, maka berarti kamu telah menggunjingnya (berbuat ghibah kepadanya). Dan jika yang kamu ceritakan itu tidak terdapat pada dirinya, maka berarti kamu telah berbuat dusta padanya ". (HR.

Muslim) 123

Begitu juga pengertian yang mereka berikan tentang ghîbah tidak jauh bebeda dengan pengertian yang diberikan oleh para ulama akhlak. Imam al-Ghazali umpamanya mengartikan ghîbah dengan “ bahwa engkau menceritakan saudaramu (yang muslim) dengan cerita yang ia benci kalau cerita itu sampai kepadanya; baik engkau menceritakan kekurangan pisik, keturunan, akhlak, perbuatan, perkataan ,

122 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 6, h.3347; az- Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 13, juz 26, h. 256-257; M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 13, h. 256; Ibnu Katsir, Tafsîr

al-Qur' ân al-'Azhîm, jld. 4, h. 251; asy-Syaukânî, Fath al Qadîr, jld. 5, h. 65.

123 Muslim, Shahih Muslim , Kitâb al-Birr wa ash-Shilah wa al-Âdâb, Bab Tahrîm al- Ghîbah , jld. 4 , h. 2001.

agama dan dunianya maupun pakaian, rumah dan kendaraannya” 124 . Selanjutnya Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa cerita itu tidak hanya terbatas dengan lidah, tetapi juga dengan sindiran, isyarat, tulisan, gerakan dan apa saja yang dipahami

mengungkapkan kekurangan orang lain 125 . Adapun dalil as-Sunnah adalah seperti dikemukakan di atas bahwa darah,

harta dan kehormatan seorang muslim adalah haram. Begitu juga sabda Rasulullah

saw. kepada Aisyah ra. yang sebelumnya mengatakan tentang Shafiyyah ra. :

Dari Aisyah ra, ia berkata kepada Nabi saw. : Cukuplah bagi engkau Shafiyyah begini dan begitu. Perawi selain Musaddad berkata : Maksud Aisyah adalah pendek. Lalu Rasulullah saw. bersabda : " Kamu telah mengucapkan sebuah perkataan yang

apabila dicampur dengan air laut , niscaya memadai " (HR. Abu Daud) 126

Dalam hadits lain Rasulullah saw. bersabda : َﺔَﻟﺎَﻄِﺘْﺳﺎِﻟا ﺎَﺑﱢﺮﻟا ﻰَﺑْرَأ ْﻦِﻣ ﱠنِإ َلﺎَﻗ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﮫﱠﻠﻟا ﻰﱠﻠَﺻ ﱢﻲِﺒﱠﻨﻟا ْﻦَﻋ ٍﺪْﯾَز ِﻦْﺑ ِﺪﯿِﻌَﺳ ْﻦَﻋ

124 al-Ghazâlî, Ihyâ' 'Ulûm ad-Dîn,( Singapura : Sulaiman Mar'a, tth.) jld. 3, h. 140.

125 al-Ghazâlî, Ihyâ' 'Ulûm ad-Dîn, jld. 3, h. 142.

126 Abû Daud, Sunan Abî Daud, Kitâb al-Adab, Bâb Fî al-Ghîbah, jld. 5, h. 192.

Dari Sa'id bin Zaid dari Nabi saw, beliau bersabda : " Sesungguhnya riba yang paling berat adalah melanggar kehormatan muslim tanpa alasan yang benar ". (HR. Abu

Daud) 127

Walaupun ghîbah itu dilarang berdasarkan dalil-dalil di atas, dalam kondisi dan alasan tertentu ghîbah dibolehkan. Imam al-Ghazali dan Imam an-Nawawi menyebutkan enam hal yang membolehkan ghibah. Kemudian enam hal ini dikutip oleh ulama-ulama berikutnya seperti Dr. Sayyid Muhammad Nuh dalam bukunya Âfat 'alâ ath-Thaîq. Keenam hal tersebut secara ringkas adalah adalah sebagai

berikut :

a. Pengaduan terhadap kezaliman. Orang yang dizalimi dapat mengadukan kezaliman seseorang kepada penguasa, hakim dan lainnya dari kalangan orang yang memiliki kekuasaan dan kesanggupan untuk menginsafkan orang yang zalim . Maka orang yang dizalimi dapat mengatakan : 'Si Fulan telah menzalimiku. Dia melakukan anu kepadaku. Dia telah mengambil anu dan sebagainya dariku. Aku memohon kepadamu agar dia mengembalikan kezalimannya kepadaku'.

b. Permintaan tolong untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat maksiat kepada kebenaran. Kemudian dia mengatakan kepada orang yang bisa diharapkan dapat merubah kemungkaran : " Si Fulan melakukan anu, maka laranglah dia ", dan

127 Abû Daud, Sunan Abî Daud, Kitâb al-Adab, Bâb Fî al-Ghîbah, jld. 5, h. 193.

semacamnya. Tujuan pengadu adalah berupaya untuk menghilangkan kemungkaran. Jika bukan itu tujuannya, hukumnya haram.

c. Permohonan fatwa, misalnya seseorang mengatakan kepada si pemberi fatwa : " Ayahku, saudaraku, suamiku atau si Fulan menzalimiku dengan berbuat anu. Apakah dia boleh berbuat demikian terhadpku ? Bagaimana caranya untuk melepaskan diri dari perbuatannya, memperoleh hakku, menolak kezalimannya ? " . Dan ucapan

semacamnya. Hal ini dibolehkan karena ada kebutuhan. Namun yang lebih hati-hati dan lebih utama, dia mengatakan : " bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki, seseorang, atau seorang suami yang kelakuannya begini ? ". Karena dengan demikian tujuan tetap tercapai tanpa menyebutkan orangnya. Sekalipun demikian menyebutkan orangnya juga boleh.

d. Mewanti-wanti dan menasehati kaum muslimin dari kejahatan. Itu dapat dilakukan dengan beberapa cara :

1) Menjelaskan kecacatan para perawi hadits dan para saksi yang cacat. Hal itu dibolehkan berdasarkan ijma' kaum muslimin, bahkan menjadi wajib karena kebutuhan.

2) Bermusyawarah dalam menjadikan seseorang sebagai menantu, menyertakannya dalam perdagangan, memberikan titipan kepadanya, melakukan transaksi dengannya, menjadikannya sebagai tetangga, atau yang lainnya. Yang 2) Bermusyawarah dalam menjadikan seseorang sebagai menantu, menyertakannya dalam perdagangan, memberikan titipan kepadanya, melakukan transaksi dengannya, menjadikannya sebagai tetangga, atau yang lainnya. Yang

3) Apabila seseorang melihat seseorang yang sedang menuntut ilmu sering berkunjung kepada ahli bid'ah dan fasik untuk memperoleh ilmu, dan ia mengkhawatirkan si penuntut ilmu

itu akan terpengaruh; maka ia wajib memberikan nasihat dengan menjelaskan prilaku orang yang dikunjunginya, dengan syarat tujuannya memberikan nasihat, bukan karena dengki.

4) Jika ada orang yang memiliki kekuasaan, tapi dia tidak mampu melaksanakannya dengan benar, baik karena dia tidak cakap maupun karena dia fasik, lalai, atau sejenisnya; maka orang yang demikian itu harus dilaporkan kepada atasannya supaya dia sadar akan tindakannya. Atau memberitahukan prilakunya kepada atasannya agar dia diperlakukan sesuai dengan kondisi prilakunya dan agar atasannya tidak tertipu. Atasannyapun harus berupaya mendorongnya agar beristiqamah, atau menggantinya.

e. Jika seseorang melakukan kefasikan dan bid'ah secara terang-terangan, seperti orang dengan terang-terangan meminum khamar, menganiaya e. Jika seseorang melakukan kefasikan dan bid'ah secara terang-terangan, seperti orang dengan terang-terangan meminum khamar, menganiaya

e. Jika seseorang terkenal dengan panggilan atau gelar buruk seperti si

rabun, si pincang, si tuli, si buta, si juling dan sebagainya, maka boleh mengenalkan orang itu dengan panggilan tersebut. Namun haram menggunakan panngilan tersebut dalam rangka penghinaan. Jika bisa mengenalkannya dengan tidak menyebutkan panggilan terserbut, itu lebih baik 128 .

b. Namîmah (Mengadu domba)

Dalam pandangan Islam, namîmah hukumnya haram dan termasuk dosa besar, pelakunya akan masuk neraka. Sebab, pelakunya berupaya memutuskan hubungan yang diperintahkan Allah untuk disambungkan. Juga karena dia berbuat kerusakan di muka bumi. Allah swt. berfirman :

128 Al-Ghazâlî, Ihyâ' 'Ulûm ad-Dîn , hal 148-150. Imâm An-Nawâwî, Riyâdh ash-Shâlihîn, (Beirut, Muassasah ar-Risâlah, cet. 3, 1421 H/2000 M), h. 432-433; as-Sayyid Muhammad Nûh ,

Âfât 'alâ ath-Tharîq, ( Mesir, Dâr al-Wafâ' cet. 3, 1410 H/1989 M.), jld. 3, h. 52-57.

Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah . (QS. al-Qalam/68 : 10-11)

Ayat di atas merupakan arahan dari Allah kepada Rasulullah saw. dan umatnya untuk tidak mentaati orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah yang mempunyai sifat antar lain : banyak bersumpah, hina, banyak mencela, kian ke

mari menghambur fitnah. Kata ( ﻢﯿ ﻤﻧ /namîm) menurut M.Quraish Shihab adalah bentuk mashdar atau jamak dari kata ( ﻢﯿ ﻤﻧ /namîmah) yaitu penyampaian berita yang menyakitkan hati pendengarnya dan menimbulkan perselisihan antara sesama

manusia 129 . Sayyid Quthub menafsirkan potongan ayat ( ٍﻢﯿ ِﻤَﻨِﺑ ٍءﺎ ﱠﺸَﻣ ) dengan yang

berjalan di antara manusia dengan merusak hati mereka, memutuskan hubungan mereka, menghilangkan kecintaan mereka. Sifat itu merupakan akhlak tercela dan hina, yang tidak dimiliki oleh orang yang menghormati dirinya atau mengharapkan

penghormatan orang lain 130 .

129 M. Qurais Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 14, h. 384.

130 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 6, h. 3664.

Senada dengan kedua mufassir di atas, az-Zuhaylî menafsirkan ( ٍﻢﯿ ِﻤَﻨِﺑ ٍءﺎ ﱠﺸَﻣ) dengan : berjalan di antara manusia dengan menghambur fitnah dan menrusak

hubungan di antara mereka 131 . Dari uraian di atas, jelaslah bahwa namîmah adalah merupakan sifat tercela dan merusak yang harus dijauhi setiap orang. Inti dari namîmah adalah menyebarkan fitnah dengan maksud merusak hubungan dan menimbulkan perselisihan antara sesama manusia.

Untuk melengkapi pembahasan ini, penulis menukil beberapa pendapat ulama lain tentang namîmah. Menurut Imam al-Ghazali namîmah adalah menyingkapi sesuatu yang penyingkapannya tidak disukai, baik oleh orang yang diceritakan, si penerima maupun oleh pihak ketiga. Baik penyingkapan itu melalui perkataan, tulisan, simbol maupun isyarat. Dan baik penyingkapan itu berupa cacat, kekurangan orang yang diceritakan maupun bukan 132 . Sedangkan menurut Imam Nawawi namîmah adalah memindahkan pembicaraan sebagian orang kepada

sebagian yang lain dalam rangka merusak hubungan di kalangan mereka 133 . Dr. Sayyid Muhammad Nûh menjadikan pengertian Imam al-Ghazali

sebagai pengertian umum dan pengertian Imam Nawawi sebagai pengertian khusus. Keumuman pengertian namimah menurut al-Ghazali, karena dalam hal ini namimah

131 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 15, juz 29, h. 52.

132 Al-Ghazâlî, Ihyâ' 'Ulûm ad-Dîn , h. 152.

133 Imam an-Nawawî, Shahîh Muslim bîi asy-Syarh an-Nawawî, (Beirut : Dâr al-Fikr, cet.

mencakup juga ghibah. Sebab kadang-kadang orang menceritakan sesuatu yang tidak disukai orang lain, namun dia tidak bermaksud membuat kerusakan antara orang yang diceritakan dengan orang yang menrimanya. Itulah ghibah. Kadang-kadang juga orang menceritakan sesuatu yang tidak disukai orang lain dan dia bermaksud

membuat kerusakan. Inilah yang dimaksud namimah dan ghibah sekaligus 134 . Tercela dan terlarangnya sifat namîmah diperkuat juga oleh hadits

Rasulullah saw. Beliau bersabda :

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a katanya: Ketika Rasulullah s.a.w melalui dua buah kuburan, beliau bersabda: "Ingatlah, sesungguhnya dua mayat ini sedang disiksa, tetapi bukan kerana melakukan dosa besar. Yang seorang disiksa kerana dulunya dia suka mengadu domba, dan yang lain disiksa kerana tidak membersihkan dirinya dari air kencingnya". Kemudian beliau meminta pelepah kurma lalu dibelahnya menjadi dua. Setelah itu beliau menanam salah satunya pada kubur yang pertama dan yang

134 as-Sayyid Muhammad Nûh, Âfât 'alâ ath-Tharîq, jld. 3, h. 80-81.

135 Dalam menjelaskan hadits ini, Imam al-Nawawi memberikan penjelasan tentang sabda

Rasulullah saw. (ﺮﯿِﺒَﻛ ﻲِﻓ ِنﺎَﺑﱠﺬَﻌُﯾ ﺎَﻣَو ) - yang diterjemahkan : "tetapi bukan kerana melakukan dosa besar" - : " Sabda Rasulullah saw. (ﺮﯿِﺒَﻛ ﻲِﻓ ِنﺎَﺑﱠﺬَﻌُﯾ ﺎَﻣَو ) dalam riwayat Bukhari Kitab al-Adab bab al- Namimah min al-Kabair disebutkan : 'Keduanya tidak disiksa karena melakukan dosa besar, padahal

sesungguhnya itu dosa besar ' , dan dalam Kitab al-Wudhu disebutkan : ' 'Keduanya tidak disiksa karena melakukan dosa besar, padahal sesungguhnya itu dosa besar '. Dengan dua tambahan yang shahih ini, jelas bahwa dosa itu dosa besar. Oleh karena itu, sabda Rasulullah saw. (ﺮﯿِﺒَﻛ ﻲِﻓ ِنﺎَﺑﱠﺬَﻌُﯾ ﺎَﻣَو ) harus ditakwilkan. Para ulama menyebutkan dua takwil : pertama, dosa itu bukan dosa besar menurut perkiraan keduanya. Kedua, meninggalkan dosa itu tidaklah berat bagi keduanya. Al-Qâdhî 'Iyâdh menceritakan takwil yang ketiga, yaitu : dosa itu bukan dosa yang paling besar". (Lihat : Imam an- sesungguhnya itu dosa besar ' , dan dalam Kitab al-Wudhu disebutkan : ' 'Keduanya tidak disiksa karena melakukan dosa besar, padahal sesungguhnya itu dosa besar '. Dengan dua tambahan yang shahih ini, jelas bahwa dosa itu dosa besar. Oleh karena itu, sabda Rasulullah saw. (ﺮﯿِﺒَﻛ ﻲِﻓ ِنﺎَﺑﱠﺬَﻌُﯾ ﺎَﻣَو ) harus ditakwilkan. Para ulama menyebutkan dua takwil : pertama, dosa itu bukan dosa besar menurut perkiraan keduanya. Kedua, meninggalkan dosa itu tidaklah berat bagi keduanya. Al-Qâdhî 'Iyâdh menceritakan takwil yang ketiga, yaitu : dosa itu bukan dosa yang paling besar". (Lihat : Imam an-

meringankan siksanya, selagi ia belum kering". (HR. Bukhari dan Muslim) 136

Sabda Rasulullah saw. yang lain :

: ُلﻮُﻘَﯾ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﮫﱠﻠﻟا ﻰﱠﻠَﺻ ِﮫﱠﻠﻟا َلﻮُﺳَر ُﺖْﻌِﻤَﺳ : َلﺎَﻗ ُﮫْﻨَﻋ ُﮫﱠﻠﻟا َﻲِﺿَر َﺔَﻔْﯾَﺬُﺣ ْﻦَﻋ ( ﻢﻠﺴﻤﻟ ﻆﻔﻠﻟاو ،ﻢﻠﺴﻣو يرﺎﺨﺒﻟا هاور )." ٌمﺎﱠﻤَﻧ َﺔﱠﻨَﺠْﻟا ُﻞُﺧْﺪَﯾ ﺎَﻟ "

Diriwayatkan dari Huzaifah r.a katanya: Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: " Tidak masuk Surga orang yang suka mengadu domba ". (HR. Bukhari dan Muslim, lafaz ini dalam riwayat Muslim) 137

c. Menuduh orang lain berzina

Ayat al-Qur’an yang bebicara tentang menuduh oranglain berzina terdapat dalam surat an-Nur : 4-5 dan surat an-Nur : 23-5. Surat an-Nur : 4-5 berbunyi :

136 Al-Bukhârî , Shahîh al-Bukhârî , Kitâb al-Janâiz, Bâb al-Jar î d ‘Alâ al-Qabr, jld. 1, juz 2, h. 98-99, Muslim, Shah î h Muslim, Kitâb ath-Thahârah, Bâb ad-Dal î l ‘Alâ Najâsah al-

Bawl… , jld. 1, h. 240-241.

137 Al-Bukhârî , Shahîh al-Bukhârî, Kitâb al-Adab, Bâb Mâ Yukrahu Min an-Nam î mah, jld. 4, juz 7, h. 86; Muslim, Shah î h M uslim, Kitâb al-Îmân, Bab Bayân Ghalazh Tahr î m an-Nam î

mah, , jld. 1, h. 101.

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. an-Nur/24 : 4- 5)

Sedangkan surat an-Nur : 23-25 berbunyi :

Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la`nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la`nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka

Kedua kelompok di atas sudah sangat jelas sekali menyebutkan sangsi orang yang menuduh orang lain berzina, di mana orang yang menuduh orang lain berzina tanpa mengemukakan empat orang saksi merupakan dosa besar. Dalam hukum Islam pelakunya harus dicambuk 80 kali, kesaksiannya tidak diterima, dihukumi fasik, mendapatkan laknat dengan dijauhkan dari rahmat Allah, serta berhak mendapatkan

siksa yang pedih di dunia dan akhirat. Itulah inti penafsiran para mufassir seperti

Sayyid Quthub 140 , az-Zuhaylî , dan M. Quraish Shihab . Hukum itu juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab fiqh seperti dalam kitab Fiqh as-Sunnah 141 .

Status menuduh orang lain berzina yang merupakan dosa besar diperkuat juga oleh hadits Rasulullah saw :

Dari Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah saw. telah bersabda : "Jauhilah tujuh perkara yang dapat membinasakan kamu " . Para Sahabat bertanya : Wahai Rasulullah, apakah tujuh perkara itu ? Rasulullah bersabda : "Menyekutukan Allah,

138 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 4, h. 2491 dan 2505.

139 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 9, juz 9, h. 142 dan 194.

140 M. Qurais Shihab, Tafsir al-Mishbâh ,, vol. 9, h. 288-289 dan 312-313.

141 Sayyid Sâbiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut : Dâar al-Kitâb al-'Arabî, cet. 3, 1397 H/1977 M), jld. 2, h. 440.

melakukan perbuatan sihir, membunuh manusia yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, lari dari medan pertempuran dan menuduh wanita-wanita yang baik, yang tidak memikirkan untuk melakukan perbuatan jahat serta beriman dengan tuduhan melakukan

perbuatan zina". (HR. Bukhari dan Muslim) 142