Amanah dalam Harta

1. Amanah dalam Harta

Yang mendasari amanah dalam harta secara spesifik adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah :

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu

100 al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, jld. 2, h. 70.

(para

barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan . (QS. Al-Baqarah/2 : 283)

Dalam ayat ini menurut Sayyid Quthub, Allah menjelaskan bahwa ketika orang yang berhutang dan berpiutang dalam perjalanan dan tidak mendapatkan penulis, maka untuk memudahkan transaksi dan dengan jaminan kepercayaan, Allah memberikan kemurahan dengan melakukan transaksi lisan disertai penyerahan barang tanggungan yang diserahkan kepada orang yang berhutang sebagai jaminan

hutangnya. Dan Allah mengetuk hati orang-orang yang beriman untuk menunaikan amanahnya dengan dorongan takwa kepada Allah. Ini merupakan jaminan akhir untuk melaksanakan syari’at secara keseluruhan, untuk mengembalikan harta dan barang tanggungan kepada pemiliknya serta memeliharanya secara utuh. Orang yang berhutang diamanahi (dipercayai) atas hutangnya, dan orang yang berpiutang diamanahi atas barang tanggungan. Keduanya diseru untuk menunaikan amanahnya atas dasar takwa kepada Allah, Tuhannya yang memelihara, menguasai, dan yang memutuskan perkara. Nilai-nilai ini memiliki sentuhan dalam bertransaksi, mempercayai, dan menunaikan kepercayaan itu 101 .

Az-Zuhaylî dan M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat di atas tidak jauh berbeda dengan penafsiran Sayyid Quthub, hanya beliau berdua mengingatkan bahwa dikaitkannya memberi barang tanggungan dengan perjalanan, tidak berarti bahwa memberikan barang tanggungan hanya dibenarkan dalam perjalanan.

101 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. H. 337.

Disebutkannya dalam perjalanan secara khusus, hanya karena seringnya tidak ditemukan penulis dalam perjalanan, lebih-lebih pada waktu diturunkannya al- Qur’an, karena banyaknya pertempuran dan peperangan. Termasuk dalam arti perjalanan adalah semua halangan, seperti pada kondisi malam hari, banyaknya

kesibukan, dan sebagainya 102 . Dari ketiga penafsiran di atas penjelasan umum ayat di atas kita bisa tarik

kesimpulan bahwa Allah memberikan petunjuk kepada kita untuk menunaikan

amanah dalam harta seperti titipan, pinjaman, wasiat dan lain sebagainya sekalipun kontek ayat di atas berbicara tentang utang piutang.

Ayat lain yang menjadi landasan amanah dalam harta secara spesifik adalah firman Allah dalam surat Ali Imran :

Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (QS. Ali Imran/3 : 75)

102 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munî , juz 3, h.114; M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , h.

Ayat ini menjelaskan bahwa Ahlul Kitab terbagi kepada dua golongan : pertama, golongan yang dapat dipercaya walaupun diamanahi harta yang banyak seperti Abdullah bin Salam yang dititipi 1200 ons emas oleh seorang Quraisy, ia menunaikannya ketika diminta. Kedua, golongan yang tidak dapat dipercaya walaupun diamanahi harta yang sedikit. Golongan ini seperti Ka'ab bin al-Asyraf yang dititipi satu dinar oleh seorang Quraisy, namun ketika diminta ia mengingkarinya.

Prilaku golongan kedua ini barangkali terdapat pada setiap umat, namun yang berbahaya yang diingatkan ayat di atas adalah anggapan mereka bahwa mereka tidak berdosa memakan harta orang yang bukan pemeluk agama mereka. Hal ini karena menurut mereka Allah telah menghalalkan bagi mereka harta orang yang bukan pemeluk agama mereka walaupun berupa amanah. Anggapan mereka ini sudah barang tentu merupakan tindakan mendustakan Allah, karena Allah mengharamkan

makan harta kepada mereka kecuali dengan jalan yang benar. 103

Di antara amanah dalam harta yang harus ditunaikan seseorang adalah memberikan nafkah terhadap orang yang menjadi tanggungannya seperti isteri, anak, orang tua dan pembantunya, baik makanan, pakaian, biaya pendidikan maupun yang lainnya. Firman Allah :

103 Lihat : az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 2, juz 3, h. 266-267; Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 1, h. 417; M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, vol. 2, h. 119; al-Marâghî,

Tafs îr al-Marâghî, juz 3, hal 189, al-Qurthubhî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Cairo, Dâr asy-Sya’b, cet. 2, 1372 H. CD Rom Maktabah at-Tafsir wa 'Ulum al-Qur'ân), juz 4 hal 115, Saîd Hawwâ, al-Asâs

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. (QS. Al-Baqarah/2 : 233).

Kontek ayat di atas berbicara tentang wanita yang ditalak dalam keadaan memiliki bayi. Wanita yang ditalak itu harus menyusui bayinya selama dua tahun jika penyusuan itu supaya sempurna. Sedangkan si ayah bayi itu berkewajiban memberi

makan dan pakaian kepada ibu si bayi atau isteri yang diceraikannya. Kewajiban atas ayah memberikan makan dan pakaian kepada si ibu menurut Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir al-Mishbah atas dasar imbalan penyusuan jika ibu si anak itu telah diceraikannya secara bain, bukan raj'i; dan atas dasar hubungan suami isteri, jika ibu

si anak itu masih berstatus isteri walau telah ditalak secara raj'i 104 .

Dari ayat itu juga az-Zuhaylî mengambil kesimpulan bahwa si ayah wajib memberi nafkah kepada si anak; sebab Allah mewajibkan kepada si ayah untuk memberikan nafkah kepada isteri yang diceraikannya pada masa penyusuan karena si anak. Nafkah itu wajib diberikan karena si anak itu lemah dan membutuhkan,

sedangkan si ayah adalah orang yang paling dekat kepadanya 105 . Sayyid Quthub pun menafsirkan ayat di atas tidak jauh berbeda dengan

kedua mufassir di atas. Beliau mengungkapkan bahwa si ibu yang menyusui berhak

104 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, vol. 2, h. 471.

az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 1, juz 2, h. 361.

mendapat imbalan menyusui yang diwajibkan kepadanya dari ayah si bayi berupa makanan dan pakaian secara baik. Jadi si ayah dan si ibu sama-sama mempunyai tanggung jawab terhadap bayi yang sedang disusui. Si ibu memberikan air susu dan asuhan, sedangkan si ayah memberikan makanan dan pakaian kepada si ibu itu agar

bisa memelihara si bayi tersebut 106 . Jadi dari ayat di atas dengan ketiga penafsirannya kita mendapatkan

kesimpulan bahwa seseorang wajib memberikan nafkah kepada isteri dan anaknya

yang menjadi tanggungannya. Sebagai kewajiban, memberikaan nafkah kepada keluarga harus diutamakan dari pada memberikan harta yang sifatnya sunnah seperti berinfak di jalan Allah, memberikan sedekah kepada fakir miskin dan semacamnya. Hal ini dapat kita pahami dari hadits Rasulullah saw. :

Dari Abu Hurairah ra. katanya : Rasulullah saw. telah bersabda : " Satu dinar engkau infakkan di jalan Allah, satu dinar engkau infakkan untuk memerdekakan seorang budak, satu dinar engkau sedekahkan kepada seorangmiskin, satu dinar engkau belanjakan untuk keluargamu; yang lebih besar pahalanaya adalah yang engkau

belanjakan untuk keluargamu ". (HR. Muslim) 107 .

106 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 1, h. 254.

107 Muslim, Shahih Muslim, Kitâb az-Zakâh, Bâb Fadhl an-Nafaqah ‘Alâ al-‘Iyâl wa al-

Menurut Dr. Mushthafâ Saîd al-Khin dkk. dalam bukunya Nuzhat al- Muttaqîn bahwa hadits di atas memberikan pelajaran bahwa memberikan nafkah kepada keluarga adalah merupakan jenis nafkah yang paling utama; karena memberikan nafkah kepada keluarga termasuk wajib, sedangkan yang lainnya

termasuk sunnah. 108 Sebagai kewajiban, maka orang yang melaksanakannya akan mendapatkan

pahala seperti dipahami dari hadits di atas dan orang yang melalaikannya akan

berdosa sebagaimana dijelaskan dalam hadits :

Dari Abdullah bin 'Amr katanya : Rasululah saw. telah bersabda : " Cukuplah seseorang mendapatkan dosa kalau ia menyia-nyiakan orang yang menjadi

tanggungannya ". (HR. Abu Daud) 109

Dalam riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda :

Dari Khaytsamah, ia berkata : Kami sedang duduk bersama Abdullah bin 'Amr, ketika itu datang penjaga gudang makanannya, lalu dia masuk. Abdullah berkata : Sudahkah kamu memberikan makanan budak-budak itu ? Penjaga gudang itu

108 al-Khinn, Nuzhah al-Muttaqîn , jld. 2, h. 291.

109 Abû Daud, Sunan Abî Daud, Kitâb az-Zakâh, Bâb fî Shilah ar-Rahim, jld 2, h. 321.

menjawab : Belum. Abdullah berkata : Pergilah, berikanlah makanan mereka. Abdullah berkata : Rasulullah saw. bersabda : " Cukuplah seseoran mendapatkan dosa, kalau ia menahan makanan orang yang menjadi tanggungannya" . ( HR.

Muslim) 110

Juga termasuk amanah dalam harta adalah seseorang menunaikan hak orang lain yang ada dalam tanggungannya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah barang dagangan yang sudah dijual kepada orang lain, uang sebagai harga barang yang sudah dibeli, utang, harta warisan, titipan, barang gadaian, pinjaman, wasiat, harta umat

yang ada dalam kekuasaannya dan sebagainya.

Berkaiatan dengan hutang, Allah berfirman :

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para

barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah/2 : 283)

110 Muslim, Shahih Muslim, Kitâb az-Zakâh, Bâb Fadhl an-Nafaqah ‘Alâ al-‘Iyâl wa al- Mamlûk wa Itsm Man Dhayya’ahum aw Habasa Nafaqatahum ‘Anhum, jld. 2, h. 692.

Ayat di atas merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya, di mana ayat sebelumnya itu menyebutkan bahwa kalau orang melakukan transaksi hutang piutang, maka hendaknya transaksi itu ditulis dan disaksikan oleh dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa jika dalam kondisi perjalanan yang sulit mendapatkan penulis, maka pengutang boleh memberikan barang jaminan kepada pemberi hutang. Namun jika si pemberi hutang itu percaya kepada si pengutang bahwa ia tidak akan mengingkari hutangnya, maka si

pemberi hutang boleh tidak menerima barang jaminan itu. Dalam hal ini si pengutang yang dipercayai pemberi hutang hendaknya membayar hutangnya, tidak mengkhianati dan mengingkarinya, tidak lambat dalam membayarnya, dan hendaknya ia bertakwa kepada Allah dalam menjaga hak orang lain.

Ketiga mufassir : Sayyid Quthub, az-Zuhayli dan M. Quraish Shihab sependapat bahwa hutang itu amanah, sebab hutang dasarnya adalah kepercayaan antara dua orang yang melakukan transaksi. Si pemberi hutang percaya bahwa si pengutang itu tidak akan mengkhianati dan mengingkarinya, dan si penerima hutang juga percaya bahwa apa yang diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi hutang itu tidak akan meminta melebihi apa yang diberikan. Begitu juga kalau ia menerima jaminan, ia akan memelihara dan menjaganya dengan baik. Oleh karena itu keduanya diperintahkan untuk menunaikan amanah yang dibebankan kepadanya. Agar keduanya menunaikan amanahnya masing-masing dan tidak bersikap khianat, Allah mengingatkan keduanya untuk bertakwa kepada Allah, karena Ketiga mufassir : Sayyid Quthub, az-Zuhayli dan M. Quraish Shihab sependapat bahwa hutang itu amanah, sebab hutang dasarnya adalah kepercayaan antara dua orang yang melakukan transaksi. Si pemberi hutang percaya bahwa si pengutang itu tidak akan mengkhianati dan mengingkarinya, dan si penerima hutang juga percaya bahwa apa yang diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi hutang itu tidak akan meminta melebihi apa yang diberikan. Begitu juga kalau ia menerima jaminan, ia akan memelihara dan menjaganya dengan baik. Oleh karena itu keduanya diperintahkan untuk menunaikan amanah yang dibebankan kepadanya. Agar keduanya menunaikan amanahnya masing-masing dan tidak bersikap khianat, Allah mengingatkan keduanya untuk bertakwa kepada Allah, karena

Berkaiatan dengan pinjaman dan hutang, Rasulullah saw. bersabda :

Dari Abu Umamah, ia berkata : Saya telah mendengar Nabi saw. bersabda pada khutbah haji wada' : " Barang pinjaman itu harus dikembalikan, penjamin itu harus

memmbayar, dan utang itu harus dibayar ". (HR. Tirmidzi, ia berkata : Hadits Abu Umamah adalah haditd Hasan ) 112

Begitu juga harta yang ada dalam kekuasaan seseorang dalam sebuah yayasan, organisasi atau negara yang bukan milik pribadinya, melainkan milik yayasan, organisasi atau negara tersebut, maka ia harus memeliharanya atau memberikannya kepada yang berhak. Berkaitan dengan ini Ibnu Taimiah berkata dalam bukunya as-Siyâsah asy-Syar'iyyah : " … Bagi setiap penguasa dan wakilnya dalam pemberian hendaknya memberikan setiap hak kepada pemiliknya… Dan para pengurus harta itu tidak boleh membagikannya menurut keinginannya sendiri seperti pemilik harta membagikan hartanya; karena mereka adalah orang-orang yang

111 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , Jld. 1, h. 337; az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 2, juz 3, h.115; M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 1, h. 570-571.

112 al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwadzî , Abwâb al-Buyû’, Bâb Mâ Jâa Ann al-‘Âriyah 112 al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwadzî , Abwâb al-Buyû’, Bâb Mâ Jâa Ann al-‘Âriyah

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda : " Saya tidak berhak memberi kamu dan tidak berhak untuk tidak memberi kamu, sesunguhnya saya hanya yang membagikan, saya berikan sesuai dengan yang diperintahkan (Allah) kepadaku

" (HR. Bukahri) 114

Mengomentari hadits ini, Ibnu Taimiah berkata : " Inilah Rasul Allah, Tuhan semesta alam memberitahukan bahwa memberi atau tidak memberi bukan

karena kehendak dan kemauannya, sebagaimana dilakukan si pemilik yang dibolehkan membelanjakan hartanya, dan sebagaimana dilakukan oleh para raja yang memberi orang yang mereka sukai. Beliau adalah seorang hamba Allah yang

membagikan harta sesuai dengan perintah Allah " 115 . Sebagai amanah, maka orang yang menerimanya akan berurusan dengan

Allah sebelum ia berurusan dengan orang yang memberikan amanah kepadanya. Jika dalam menerima amanah tersebut, ia mempunyai niat untuk mengembalikannya, maka Allah-pun akan membantunya untuk dapat mengembalikannya. Tapi jika ia

113 Ibnu Taimiah, as-Siyâsah al-Syar'iyyah, fî Ishlâh ar-Râi'î wa ar-Ra'iyyah; selanjtnya: Ibnu Taimiah, as-Siyâsah al-Syar'iyyah, (Dâr al-Ma'rifah, ttp, tth, hal 9-10, CD ROM, Maktabah

Syaikh al-Islâm wa Tilmîdzuh Ibn al-Qayyim), h. 27-28.

114 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî , Kitâb Fardh al-Khums, Bâb Fainn lillâhi Khumusah, jld. 2, juz 4, h. 49. Hadits yang dikutip Ibn Taimiah berbeda lafaz dengan hadits ini.

115 Ibnu Tamiah, as-Siyâsah al-Syar'iyyah , h. 28-29.

mempunyai niat untuk tidak mengembalikannya, maka Allah pun akan membinasakannya. Sabda Rasulullah saw. :

Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw,beliau bersabda : " Barangsiapa mengambil harta orang lain dengan niat mengembalikannya, maka Allah akan menunaikannya untuknya; dan barangsiapa mengambil dengan niat merusaknya, maka Allah akan

membinasakan harta itu ". (HR. Bukhari) 116