Menanamkan Nilai-Nilai Keimanan

A. Menanamkan Nilai-Nilai Keimanan

Dalam bab dua sudah dijelaskan bahwa amanah mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keimanan di mana sifat amanah muncul dari keimanan. Oleh karena itu, untuk menumbuh kembangkan sifat amanah ini, perlu ditanamkan nilai- nilai keimanan pada diri seseorang. Perlunya penanaman nilai-nilai keimanan ini, dapat kita tangkap dari petunjuk al-Qur'an. Penulis paling tidak dapat menangkap dua Dalam bab dua sudah dijelaskan bahwa amanah mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keimanan di mana sifat amanah muncul dari keimanan. Oleh karena itu, untuk menumbuh kembangkan sifat amanah ini, perlu ditanamkan nilai- nilai keimanan pada diri seseorang. Perlunya penanaman nilai-nilai keimanan ini, dapat kita tangkap dari petunjuk al-Qur'an. Penulis paling tidak dapat menangkap dua

Dalam pasal ini penulis hanya akan membahas tentang muraqabatullah, sedangkan tentang ingat kepada hari akhir akan dibahas pada dua pasal berikutnya dalam bentuk janji surga bagi yang bersikap amanah dan ancaman neraka bagi yang melakukan khianat.

Muraqabatullah atau selalu merasa diawasi Allah dapat mendorong seseorang untuk bersikap amanah. Oleh karena itu, dalam al-Qur’an surat an-Nisa'/4

: 58 yang telah disebutkan di atas, setelah Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menunaikan amanah dan menghukumi manusia secara adil, Allah menutupnya dengan ( ﺍ ﲑﺼﺑ ﺎﻌﻴﻤﺳ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻥﹺﺇ / Sesungguhnya Allah adalah Maha

Mendengar lagi Maha Melihat ). Az-Zuhaylî dalam menafsirkan ujung ayat di atas mengunkapkan : “( ﺍﲑﺼﺑ ﺎﻌﻴﻤﺳ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻥﹺﺇ / Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar

lagi Maha Melihat ), Allah melihat apa yang terjadi pada kamu dalam menunaikan amanah dan mengkhianatinya, mendengar hukum yang kamu tetapkan kepada manusia. Dengan demikian Dia akan memperhitungkan dan membalas perbuatan kamu. Dia Maha Tahu terhadap segala yang terdengar dan terlihat”. 240 Senada

denagan az-Zuhaylî, Sayyid Quthub juga menjelaskan bahwa perintah (menunaikan amanah dan menetapkan hukum secara adil terhadap manusia, pen.) dikaitkan dengan

240 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , juz 5, h. 125.

pengawasan, rasa takut dan harapan kepada Allah 241 . Begitu juga Quraish Shihab menjelaskan : “Dia (Allah, pen.) yang memerintahkan kedua hal ini mengawasi kamu, dan sesungguhnya Allah sejak dulu hingga kini adalah Maha Mendengar apa yang kamu bicarakan, baik dengan orang lain maupun dengan hati kecilmu sendiri,

lagi Maha Melihat sikap dan tingkah laku kamu ". 242 Ketiga penafsiran di atas tidak jauh berbeda dengan penafsiran al-Marâghî

dalam menafsirkan ujung ayat di atas, beliau mengatakan : "Hendaknya kamu

melaksanakan perintah Allah dan pengajaran-Nya, karena sesungguhnya Allah lebih mengetahui dari pada kamu terhadap segala apa saja yang dapat didengar dan dilihat. Jadi jika kamu menghukumi secara adil, maka Allah pun mendengar hukum tersebut; dan jika kamu menunaikan amanah, maka Dia pun melihatnya". 243

Dari beberapa penafsiran di atas jelaslah bahwa penyebutan dua sifat Allah yaitu Maha Mendengar dan Maha Melihat, mengandung arti bahwa Allah senantiasa mendengar dan melihat apa yang dibicarakan dan dilakukan hamba-hamba-Nya, baik dalam menunaikan amanah atau mengkhianatinya maupun dalam menghukumi manusia secara adil atau tidak. Jadi, disebutkannya dua sifat ini, dalam rangka mendorong orang yang beriman yang meyakini bahwa Allah senantiasa mendengar segala perkataan dan melihat segala perbuatan untuk melaksanakan segala perintah

241 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 2, h. 689.

242 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , jld. 2, h. 457.

243 al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî , jld. 2, h. 71.

Allah dan menjauhi larangan-Nya, khususnya yang berkenaan dengan menunaikan amanah dan menegakkan hukum secara adil.

Sebagai contoh pengaruh perasaan diawasi Allah dalam mendorong seseorang bersikap amanah adalah apa yang diriwayatkan Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bid âyah wa an-Nihâyah bahwa ketika kaum muslimin dapat mengalahkan pasukan Persia di al-Madâin, mereka mendapatkan harta rampasan perang yang sangat banyak. Harta rampasan itu pun dibagikan sesuai dengan ketentuan,

seperlima dari bagian itu akan diserahkan kepada khalifah Umar bin Khaththâb di Madinah. Bersama seperlima bagian ini, pemimpin pasukan kaum muslimin Sa'ad bin Abi Waqqâsh bersama mereka sepakat untuk mengirimkan sebuah permadani, permadani ini diambil dari empat perlima bagian untuk pasukan muslimin agar dikirim kepada khalifah dan kaum muslimin di Madinah supaya mereka melihatnya dan mengaguminya. Luas permadani ini adalah 60 hasta kali 60 hasta, ditenun dengan emas, intan dan mutiara yang berharga. Pada permadani terdapat gambar seluruh kerajaan Kisra Persia dengan negeri-negeri, sungai-sungai, benteng-benteng, wilayah-wilayah dan perbendaharaannya. Begitu juga terdapat gambar sifat pertanian dan tanaman di negeri-negeri itu. Setelah Umar melihatnya, beliau mengatakan : "Orang-orang yang membawa ini adalah orang-orang yang amanah". Lalu Ali bin Abi Talib berkata kepadanya : "Sesungguhnya engkau adalah orang yang 'iffah (menjaga diri untuk tidak melakukan yang diharamkan Allah), sehinga rakyat seperlima dari bagian itu akan diserahkan kepada khalifah Umar bin Khaththâb di Madinah. Bersama seperlima bagian ini, pemimpin pasukan kaum muslimin Sa'ad bin Abi Waqqâsh bersama mereka sepakat untuk mengirimkan sebuah permadani, permadani ini diambil dari empat perlima bagian untuk pasukan muslimin agar dikirim kepada khalifah dan kaum muslimin di Madinah supaya mereka melihatnya dan mengaguminya. Luas permadani ini adalah 60 hasta kali 60 hasta, ditenun dengan emas, intan dan mutiara yang berharga. Pada permadani terdapat gambar seluruh kerajaan Kisra Persia dengan negeri-negeri, sungai-sungai, benteng-benteng, wilayah-wilayah dan perbendaharaannya. Begitu juga terdapat gambar sifat pertanian dan tanaman di negeri-negeri itu. Setelah Umar melihatnya, beliau mengatakan : "Orang-orang yang membawa ini adalah orang-orang yang amanah". Lalu Ali bin Abi Talib berkata kepadanya : "Sesungguhnya engkau adalah orang yang 'iffah (menjaga diri untuk tidak melakukan yang diharamkan Allah), sehinga rakyat

Contoh lain adalah yang disebutkan Dr. ‘Abd al-Qâdir Abu Fâris dalam bukunya Usus fî at-Tashawwur al-Islâmî menukil dari Ibn al-Atsîr dalam kitabnya al- K âmil fî al-Târikh bahwa seorang laki-laki datang membawa harta rampasan perang kepada petugas pengumpul harta rampasan perang. Para petugas itu berkata : Kami belum pernah melihat harta seperti ini, harta yang ada pada kemi tidak menyamai dan

tidak mendekati harta ini. Lalu mereka bertanya : Apakah kamu mengambil barang sedikit dari harta ini ? Orang itu pun menjawab : Demi Allah, kalaulah bukan karena Allah saya tidak akan membawa harta itu kepada kalian. Para petugas lalu bertanya : Siapa kamu ? Orang itu menjawab : Demi Allah, saya tidak akan memberitahukan kepada kalian sehingga kalian memuji saya, tapi saya memuji Allah dan ridha dengan pahalanya. Para petugas itupun menyuruh seseorang untuk mengikuti dan bertanya tentang seorang laki-laki tersebut. Ternyata orang itu adalah Amir bin 'Abd Qais. Sa'ad bin Abi Waqqash berkata : Demi Allah, sesungguhnya para tentara itu adalah orang-orang yang memiliki amanah. Kalaulah keunggulan itu belum diraih oleh Ahlu Badar (orang-orang yang ikut dalam perang Badar), niscaya akan aku katakan bahwa mereka itu sederajat dengan Ahlu Badar. 245

244 Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa an-Nihâyah, (Beirut : Maktabah al-Ma’ârif, cet. 2, 1394 H/ 1974 M.), jld. 4, juz 7, h. 66-67.

245 ‘Abd al-Qâdir Abu Fâris, Usus fî ath-Thashawwur al-Islâmî, (Amman : Dâr al-Furqân, cet. 2, 1403 H/1983 M), h. 95.