Akhir Pemerintahan Presiden Soeharto
5.1.1. Akhir Pemerintahan Presiden Soeharto
Kekuasaan Presiden Soeharto sepanjang 30 tahun Orde Baru mulai goyah pada saat bangsa Indonesia didera oleh krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi serta krisis multidimensi. Nilai tukar rupiah terhadap dolar terus menurun dan tidak dapat dipertahankan lagi sehingga Bank Indonesia pada 14 Agustus 1997 mengambil kebijakan nilai tukar mengambang. Upaya tersebut ternyata tidak membawa hasil sehingga pada Juli 1997 nilai tukar rupiah turun
drastis dari Rp2.432,00 menjadi Rp3.000,00 per dolar Amerika. 773 Bahkan nilai rupiah mencapai Rp17.000,00 per dolar Amerika pada Januari 1998. 774
Krisis moneter merontokkan sendi-sendi perekonomian nasional yang berujung pada krisis ekonomi. Banyak perusahaan nasional gulung tikar sehingga mengakibatkan meningkatnya pengangguran. Pemerintah bahkan terpaksa
menutup 16 bank yang dinyatakan tidak sehat dan tidak mungkin diselamatkan. 775 Hal itu memicu keresahan masyarakat karena menurunnya daya beli bersamaan
dengan meningkatnya harga barang dan kebutuhan pokok yang juga mengalami kelangkaan. Kondisi itu melahirkan krisis sosial yang meluas dan menyentuh semua sendi kehidupan bangsa, termasuk politik.
Pemerintahan mengalami krisis kepercayaan masyarakat sehingga semakin memperkuat tuntutan untuk mengakhiri kekuasaan Orde Baru. Pemerintahan yang sedang berkuasa dipandang tidak mampu mengatasi krisis nasional. Saat itu pemerintah juga dipandang penuh dengan praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme. 776
Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, (Jakarta: THC Mandiri, 2006), hal. 2. 774 Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia: Perubahan Pertama UUD 1945 775 , (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000), hal. 39. Peningkatan pengangguran terbuka dari 4,68 juta orang pada 1997 menjadi 5,46 juta pada 1998. Bacharuddin Jusuf Habibie, Op. Cit., hal. 3.
776 Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Op. Cit., hal. 41-42.
Kondisi krisis nasional merupakan momentum terjadinya perubahan mengikuti kuatnya tuntutan keterbukaan dan demokratisasi di penghujung Orde Baru. Salah satu tuntutan yang utama adalah mundurnya Presiden Soeharto. Demonstrasi yang dipelopori mahasiswa terjadi dengan intensitas tinggi di seluruh wilayah Indonesia dengan massa yang besar. Demonstrasi sering diikuti oleh konflik kekerasan antara massa dan aparat keamanan.
Krisis sosial dan politik semakin meningkat setelah pada 12 Mei 1998 terjadi demonstrasi di kampus Tri Sakti yang dihadapi oleh aparat keamanan dengan kekerasan sehingga menimbulkan korban tewas dari kalangan mahasiswa. Peristiwa tersebut memicu kerusuhan besar di Jakarta pada 13 dan 14 Mei 1998
serta meluas ke daerah-daerah. 777 Presiden Soeharto yang pada saat peristiwa kerusuhan berada di Kairo
untuk menghadiri pertemuan G-15, setibanya kembali di Indonesia berupaya melakukan langkah-langkah untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Langkah itu antara lain adalah merencanakan pembentukan Komite Reformasi dan melakukan reshuffle Kabinet Pembangunan VII yang rencananya akan diumumkan pada 19 Mei 1998. Namun rencana tersebut tidak terlaksa karena tidak mendapat
dukungan dari tokoh-tokoh nasional yang akan dilibatkan di dalamnya. 778
Demonstrasi mahasiswa menuntut mundurnya Presiden Soeharto semakin menguat. Mulai 18 Mei 1998, gedung DPR/MPR diduduki oleh ribuan mahasiswa. Pada hari tersebut, pimpinan MPR juga mengeluarkan pernyataan meminta pengunduran diri Soeharto, Presiden yang dipilih oleh MPR sendiri pada
1997. 779 Akhirnya, Presiden Soeharto mengumumkan pernyataan berhenti sebagai
Presiden pada 21 Mei 1998. Wakil Presiden B. J. Habibie, sesuai dengan
Pusat Penerangan ABRI melaporkan jumlah korban tewas mencapai 500 orang. Lihat, Bacharuddin Jusuf 778 Habibie, Op. Cit., hal. 7. Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Op. Cit., hal. 44. Tokoh-tokoh yang diundang untuk membicarakan Komite Reformasi dan pelaksanaan pemilihan umum yang dipercepat pada 19 Mei 1998
adalah KH. Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Najib, Nurcholish Madjid, KH. Ali Yafie, Abdul Malik Fadjar, Sutrisno Mudham, KH. Cholil Baidlowi, KH. Ma’ruf Amin, dan Ahmad Bagja. Sementara itu, 13 menteri Kabinet Pembangunan VII yang dipimpin oleh Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menyatakan tidak bersedia untuk menjadi menteri pada Kabinet Reformasi yang akan dibentuk. Lihat, Bacharuddin Jusuf Habibie, Op. Cit., hal. 19 dan 33. 779
Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Op. Cit., hal. 44. Keterangan Pers disampaikan oleh Ketua DPR/MPR Harmoko dengan didampingi oleh para Wakil Ketua, yaitu Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Ismail Hasan Metareum, dan Fatimah Achmad. Lihat pula, Bacharuddin Jusuf Habibie, Op. Cit., hal. 15 Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Op. Cit., hal. 44. Keterangan Pers disampaikan oleh Ketua DPR/MPR Harmoko dengan didampingi oleh para Wakil Ketua, yaitu Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Ismail Hasan Metareum, dan Fatimah Achmad. Lihat pula, Bacharuddin Jusuf Habibie, Op. Cit., hal. 15
menuju demokrasi di Indonesia. 781