MAKLUMAT PEMBEKUAN PARTAI GOLKAR
5.5. MAKLUMAT PEMBEKUAN PARTAI GOLKAR
Walaupun pada masa reformasi tidak terjadi pembubaran partai politik, namun pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pernah
dikeluarkan Maklumat 984 yang membekukan Partai Golkar. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh konflik politik yang terjadi antara Presiden dengan parlemen
terkait dengan berbagai permasalahan, terutama Memorandum yang diajukan oleh DPR terkait dengan dugaan keterlibatan Presiden pada kasus dana Yanatera Bulog dan bantuan Sultan Brunei Darrusalam, sebagaimana telah dikemukakan pada bagian awal bab ini.
Ketegangan hubungan antara Presiden dan DPR juga disebabkan oleh kebijakan Presiden yang dinilai oleh DPR kontroversial. Kebijakan tersebut antara lain adalah pemberhentian Menteri negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN Laksamana Sukardi (dari PDIP) dan pemberhentian Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Jusuf Kalla (dari Partai Golkar). 985 Bahkan, di tengah situasi krisis politik menjelang Sidang Istimewa MPR, Presiden Wahid juga
menonaktifkan Kapolri Jenderal Polisi S. Bimantoro dan menggantikannya dengan Komisaris Jenderal Polisi Chaeruddin Ismail. Kebijakan tersebut dinilai
Maklumat ini lebih sering disebut dengan Dekrit. 985 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 199.
melanggar Pasal 7 Ayat (3) Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 986 yang mengharuskan adanya persetujuan DPR dalam pengangkatan Kapolri. 987
Sebelum adanya Maklumat Presiden yang membekukan Partai Golkar, untuk mengatasi perseteruan dengan DPR dan terkait dengan kontroversi rencana akan dilakukannya Sidang Istimewa MPR, pada 28 Mei 2001 Presiden mengeluarkan Maklumat yang menyatakan keadaan politik darurat. Dalam Maklumat tersebut, Presiden menugaskan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, untuk mengambil tindakan tegas yang
diperlukan untuk mengatasi situasi darurat. 988 Adanya Maklumat 28 Mei 2001 ternyata menimbulkan reaksi keras DPR
dengan menyelenggarakan Sidang Paripurna. Salah satu putusan sidang paripurna DPR adalah mengeluarkan memorandum untuk Presiden terkait dengan dugaan keterlibatan Presiden dalam kasus dana Yanatera Bulog dan bantuan Sultan Brunei. Terhadap Memorandum I tersebut, Presiden menyampaikan jawaban yang di dalamnya mempertanyakan memorandum karena dinilai bergeser dari substansi kasus kepada pelanggaran sumpah jabatan dan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998. Jawaban tersebut tidak dapat diterima oleh DPR sehingga diputuskan menindaklanjuti dengan mengirim Memorandum II pada 1 Mei
2001. 989 Akhirnya, DPR memutuskan meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid. 990
Pada 23 Juli 2001 Pukul 01.05 WIB, Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Kepala Negara dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI 991
mengeluarkan Maklumat dan meminta TNI dan Polri mengamankan pelaksanaan Maklumat tersebut. Maklumat itu berisi pernyataan pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat Indonesia; pembekuan MPR dan DPR; pembentukan badan-badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu
Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
988 Hamdan Zoelva, Op. Cit., hal. 102-103. Dhory Faraby, S. Satya Dharma, dan M. Nur Purnomosidhi, Pertanggungjawaban Publik Ali Masykur Musa: Aksi & Pemikiran dalam Perspektif Pers Indonesia , (Jakarta: Asosiasi Wartawan Muslim (AWAM)
Indonesia, 2005), hal. 36. Bandingkan dengan Arinanto, Hak Asasi Manusia, Op. Cit., hal. 251 catatan kaki nomor 531. 989 990 Keputusan DPR RI Nomor 47/DPR RI/2000-2001. 991 Keputusan DPR RI Nomor 51/DPR RI/2000-2001. Di dalam isi Maklumat disebutkan sebagai Kepala Negara RI. Sedangkan pada bagian penutup disebutkan
sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang.
tahun; serta penyelamatan gerakan reformasi total dan pembekuan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung. Selengkapnya Maklumat
Presiden 23 Juli 2001 adalah sebagai berikut. 992
Maklumat Presiden RI
Setelah melihat dan memperhatikan dengan seksama perkembangan politik yang menuju pada kebuntuan politik akibat krisis konstitusional berlarut- larut yang telah memperparah krisis ekonomi, dan menghalangi usaha penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang disebabkan oleh pertikaian kepentingan politik dan kekuasaan yang tidak mengindahkan lagi kaidah-kaidah perundang- undangan.
Apabila hal ini tidak dicegah maka akan menghancurkan berdirinya negara kesatuan RI, maka dengan keyakinan dan tanggungjawab untuk menyelamatkan negara dan bangsa serta berdasarkan kehendak sebagian terbesar masyarakat Indonesia, kami selaku kepala negara RI terpaksa mengambil langkah-langkah luar biasa dengan memaklumkan:
1. Membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; 2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan, serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun; 3. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan MA; 4. Untuk itu kami memerintahkan seluruh jajaran TNI Polri untuk mengamankan langkah-langkah penyelamatan negara kesatuan Republik Indonesia, dan menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang serta menjalankan kehidupan sosial serta ekonomi seperti biasa.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoi negara dan bangsa Indonesia.
Jakarta, 22 Juli 2001
Presiden RI Panglima Tertinggi Angkatan Perang
KH. Abdurrahman Wahid
Terkait dengan pembekuan Partai Golkar, berdasarkan Maklumat tersebut dapat disimpulkan alasannya adalah untuk menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru. Dengan demikian Partai Golkar dianggap sebagai unsur Orde Baru yang menghambat gerakan reformasi total.
Namun, Presiden Wahid menyatakan bahwa Maklumat tersebut dipicu oleh pernyataan Ketua MPR bahwa sebentar lagi akan ada pemimpin nasional baru. Hal itu menurut Presiden Wahid berarti Ketua MPR tidak dapat
Diambil dari Hamdan Zoelva, Op. Cit., hal. 217-218.
mengendalikan orang-orang yang hendak memaksa Presiden turun dari jabatannya. Jika Presiden Wahid diturunkan, maka akan ada beberapa provinsi yang melepaskan diri dari NKRI, padahal Presiden disumpah untuk menjaga keutuhan teritorial. Oleh karena itu, sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang,
Presiden memberlakukan Dekrit. 993 Maklumat itu memperuncing konflik Presiden dengan DPR/MPR. Banyak
pihak menyatakan bahwa Maklumat itu tidak memiliki landasan hukum. Albert Hasibuan menyatakan bahwa Maklumat atau yang lebih sering disebut Dekrit tersebut tidak memiliki legalitas hukum karena tidak ada kewenangan Presiden untuk membekukan MPR/DPR. Bahkan Menteri Hukum dan HAM saat itu, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa sepanjang sejarah Indonesia hanya sekali Dekrit Presiden dikeluarkan, yaitu pada 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno, yang merupakan revolusi hukum. Demikian pula halnya dengan Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa kondisi politik saat itu berbeda dengan kondisi politik saat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959.
Dekrit yang dikeluarkan Presiden Wahid tidak bisa diterima. 994 Di sisi lain, penasihat hukum Presiden Wahid, Prof. Dr. Harun Alrasid,
menyatakan bahwa dalam hukum tata negara, Presiden berwenang melakukan apa saja demi menyelamatkan negara, bahkan dengan melanggar Undang-Undang Dasar sekalipun. Pendapat yang lebih komprehensif disampaikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Prof. Dr. Suwoto Mulyosudarmo. Dikatakan bahwa Dekrit dikeluarkan berdasarkan hukum tata negara darurat. Dalam kondisi demikian memang tidak relevan mempersoalkan dasar hukum upaya khusus yang ditetapkan Presiden untuk mengatasi kondisi darurat. Namun upaya tersebut harus mendapat dukungan dari militer dan parlemen, contohnya
adalah Supersemar. 995 Perlu dipertanyakan apakah maklumat yang berisi pembekuan Partai
Golkar dikeluarkan dalam keadaan darurat. Sebelum Maklumat yang
994 Harian Kompas, Senin, 23 Juli 2001, dalam Faraby, Dharma, dan Purnomosidhi, Op. Cit., hal. 33. Faraby, Dharma, dan Purnomosidhi, Op. Cit., hal. 34-35. 995 Ibid., hal. 35.
membekukan Partai Golkar, memang terdapat Maklumat Presiden tanggal 28 Mei 2001. Selengkapnya, Maklumat itu adalah sebagai berikut. 996
MAKLUMAT
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Berhubung dengan situasi politik darurat yang kita hadapi karena adanya kontroversi mengenai kemungkinan Sidang Istimewa MPR RI dan kemungkinan Dekrit Presiden, maka dengan ini saya memerintahkan Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan untuk mengambil tindakan-tindakan dan langkah- langkah khusus yang diperlukan, dengan mengkoordinasi seluruh aparat keamanan secara fungsional, guna mengatasi krisis serta menegakkan ketertiban, keamanan, dan hukum secepat-cepatnya.
Jakarta, 28 Mei 2001 Pukul 12.00 WIB
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Menyatakan keadaan bahaya memang merupakan wewenang Presiden, namun harus dilakukan sesuai dengan syarat-syarat dan akibat yang ditetapkan dengan undang-undang. Undang-Undang yang mengatur keadaan bahaya adalah
Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. 997 Dilihat dari ketentuan undang-undang tersebut, Maklumat Presiden itu
memiliki beberapa kelemahan. Terkait dengan substansi, Maklumat tersebut bukan merupakan pernyataan keadaan bahaya sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959. Maklumat itu merupakan perintah Presiden kepada Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan untuk mengambil tindakan dan langkah yang diperlukan. Keadaan yang disebutkan sebagai alasan adanya Maklumat adalah situasi politik darurat yang tidak dikenal. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959, hanya membedakan keadaan bahaya menjadi, keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer, dan keadaan darurat perang.
997 Dapat dilihat pada http://groups.msn.com/MediaParlemen/tnicom.msnw, 01/10/2007. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Keadaan Bahaya, UU Nomor 23 Prp Tahun 1959, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1908.
Apalagi dalam Maklumat itu juga disebutkan bahwa situasi politik darurat terjadi karena adanya kemungkinan Sidang Istimewa MPR dan kemungkinan Dekrit Presiden. Keduanya terlaksana atau tidak bergantung kepada lembaga negara, yaitu MPR dan Presiden sendiri. Hal itu tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 yang memberikan kriteria menentukan keadaan darurat, terkait dengan keamanan dan ketertiban, perang atau
bahaya perang, dan ancaman terhadap kehidupan negara. 998 Walaupun telah terdapat Maklumat yang membubarkan MPR, namun
MPR tetap melaksanakan Sidang Istimewa yang didahului dengan permintaan fatwa yang diajukan oleh Ketua DPR dengan Surat Nomor KS02/3709.A/DPR- RI/2001 tertanggal 23 Juli 2001 yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung. Surat tersebut langsung dijawab pada pagi hari yang sama oleh Ketua Mahkamah Agung dengan surat Nomor KMA 419/7/2001. Surat itu dibacakan pada Sidang
Istimewa hari itu. 999 Surat MA menjawab 3 pokok permasalah yang diajukan terkait dengan
Maklumat Presiden 22 Juli 2001. Pertama, terkait dengan pembekuan DPR dan MPR. Berdasarkan Penjelasan UUD 1945 Angka VII di bawah subjudul Kedudukan DPR disebutkan bahwa kedudukan DPR adalah kuat dan Dewan tidak bisa dibubarkan oleh Presiden. Anggota DPR karena kedudukannya adalah anggota MPR berdasarkan Pasal 2 UUD 1945 beserta Penjelasan Umum Sub VII dan berdasarkan Bab II Bagian Pertama Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Presiden yang diangkat oleh MPR tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR sebagaimana tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 Subjudul 3 tentang Kekuasaan Negara Tertinggi di tangan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 menyatakan tiga kriteria tersebut adalah (1) keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa; (2) timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga; dan (3) hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara. 999
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia, Op. Cit., hal. 252, catatan kaki nomor 532. Surat Ketua MA tersebut juga dapat diperoleh melalui http://www.hamline.edu/apakabar/basis data/2001/08/01/0066.html, 01/10/2007.
MPR. Oleh karena itu, ditinjau dari segi ketentuan hukum, Presiden tidak dapat membekukan DPR apalagi MPR. 1000
Kedua, tentang pembentukan badan guna penyelenggaraan pemilihan umum dalam waktu 1 tahun. Menurut fatwa MA, hal itu merupakan kewenangan MPR berdasarkan Ketetapan MPR Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan
Umum. 1001 Ketiga, terkait dengan pembekuan Partai Golkar sambil menunggu
putusan MA. Pada bagian ini, surat MA menyatakan bahwa kewenangan untuk membekukan partai politik ada pada MA berdasarkan Pasal 17 Ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Tindakan membekukan Partai Golkar oleh Presiden merupakan tindakan mencampuri badan peradilan, sebab dibekukan atau tidaknya Partai Golkar pada saat itu sedang dalam proses peradilan di MA. Juga dinyatakan bahwa dalam tindakan pembekuan Partai Golkar oleh Presiden tidak dijelaskan secara cermat tentang pertimbangan yang menjadi alasan pembekuan. Hal itu bertentangan dengan asas hukum administrasi bahwa motivasi
dan pertimbangan keputusan administratif harus jelas. 1002 Selain itu juga dinyatakan bahwa pemakaian istilah “maklumat” tidaklah
tepat karena dalam tata urutan perundang-undangan menurut hukum ketatanegaraan tidak dikenal produk hukum yang disebut “maklumat”, sesuai
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000. 1003 Oleh karena itu, tindakan pembekuan Partai Golkar bertentangan dengan Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1999 sehingga pembekuan tersebut tidak berkekuatan hukum. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, pada bagian akhir fatwa MA menyatakan bahwa dikeluarkanya Dekrit Presiden sebagaimana dinyatakan dalam Maklumat
Presiden RI bertentangan dengan hukum. 1004 Fatwa MA dibacakan oleh Sekretaris Jenderal MPR, Umar Basalim, dalam
Sidang Istimewa MPR 23 Juli 2001. Presiden Wahid menyatakan bahwa Fatwa
www.hukumonline.com/artikel_detail.asp?id=3254, 26/09/07. Bandingkan dengan Satya Arinanto, Hak Asasi Manuisa, Op. Cit.
1002 Ibid. Ibid. 1003 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang- Undangan. 1004
www.hukumonline.com/artikel_detail.asp?id=3254, 26/09/07. Bandingkan dengan Satya Arinanto, Hak Asasi Manuisa, Op. Cit.
MA tidak mencukupi sebagai dasar hukum karena tidak dibuat melalui sidang MA, melainkan hanya dibuat oleh Ketua MA. 1005
Namun demikian, Ketua MA Bagir Manan menyatakan bahwa Fatwa itu diputuskan bersama sejumlah hakim agung yang dipimpin oleh Ketua MA. Surat permohonan dari DPR diterima pada 23 Juli 2001 dini hari, yaitu pukul 01.10 dan langsung dilakukan pembahasan karena dianggap penting untuk kelangsungan kehidupan bernegara. Pembahasan itu melibatkan Ketua-Ketua Muda MA dan hakim agung yang lain. Pembahasan dimulai sekitar pukul 03.00 dan selesai
dibuat sekitar pukul 07.00. 1006 Pada Sidang Istimewa hari itu, MPR mengeluarkan Ketetapan Nomor
I/MPR/2001 yang menyatakan Maklumat Presiden 21 Juli 2001 tidak sah karena bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum. 1007 Sidang
Istimewa juga memutuskan memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid 1008 , dan mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden 1009 , serta berhasil memilih Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden 1010 .
Jika dilihat dari sisi normatif berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang berlaku saat itu, wewenang pembekuan partai politik memang ada di tangan Mahkamah Agung melalui proses pengadilan, dan setelah Mahkamah Agung memberikan peringatan tertulis sebanyak 3 kali berturut-turut
dalam waktu 3 bulan. 1011 Dengan demikian, Maklumat Presiden yang membekukan Partai Golkar tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
Pada masa reformasi ini telah terjadi perubahan pengaturan partai politik. Bersamaan dengan demokratisasi sebagai arus utama reformasi, kemerdekaan berserikat mendapatkan jaminan dan pengakuan serta sekaligus sebagai bentuk
1006 TNA, “Gus Dur: Maklumat itu Jihad Presiden”, www.liputan6.com, 23/7/2001, 17:13. p03/tra, Ketua MA Bagir Manan: Fatwa MA Diputuskan Bersama Hakim Agung, Harian Kompas, Selasa
24 Juli 2001. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0107/24nasional/ketua08.htm, 01/10/2007. 1007 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. 1008 Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. 1009 Ditetapkan dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia. 1010 Ditetapkan dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. 1011 Pasal 17 dan Penjelasannya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999.
penghormatan terhadap keragaman organisasi sosial politik. Hal itu diwujudkan melalui pengakuan kebebasan membentuk partai politik yang sekaligus mengakhiri pembatasan partai politik pada masa Orde Baru. Oleh karena itu salah satu tanda demokrasi di masa reformasi adalah pemberian kebebasan membentuk partai politik dan diakhirinya pemberian keistimewaan terhadap partai politik tertentu. Bahkan pengakuan terhadap keberadaan dan peran partai politik juga diakui dalam UUD 1945.
Partai politik memperoleh status badan hukum yang diberikan oleh negara melalui proses pendaftaran dengan memenuhi persyaratan tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Persyaratan tersebut berlaku bagi seluruh warga negara yang hendak mendirikan partai politik. Selain partai politik nasional, juga dapat dibentuk partai politik lokal khusus untuk Nangro Aceh Darrusalam dan Papua.
Dengan adanya kebebasan berserikat, termasuk membentuk partai politik yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, terbentuk sistem multipartai. Upaya penyederhanaan partai politik dilakukan tanpa membatasi kebebasan berserikat, yaitu melalui syarat pembentukan, proses verifikasi untuk mengikuti pemilu, dan melalui penerapan ketentuan electoral treshold.
Pembubaran partai politik tidak lagi merupakan wewenang pemerintah atau Presiden, tetapi merupakan wewenang pengadilan melalui proses peradilan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 partai politik dapat dibubarkan oleh MA. Perubahan terjadi pasca Perubahan UUD 1945 yang menentukan wewenang memutus pembubaran partai politik ada pada MK. Hal itu selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 dan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003. Hal itu sesuai dengan prinsip pembubaran partai politik sebagai salah satu bentuk pembatasan kebebasan berserikat dalam negara hukum dan demokrasi yang harus dilakukan berdasarkan keputusan yudisial melalui due process of law and fair trial. Pemerintah, berdasarkan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 hanya berperan sebagai pemohon.
Alasan pembubaran partai politik pada awalnya, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, dirumuskan meliputi banyak aspek, tidak hanya pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban, melainkan juga terhadap Alasan pembubaran partai politik pada awalnya, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, dirumuskan meliputi banyak aspek, tidak hanya pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban, melainkan juga terhadap