Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor

5.3.3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2003

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 terdapat tiga cara bubarnya partai politik, yaitu membubarkan diri atas keputusan sendiri, menggabungkan diri dengan partai politik lain, dan dibubarkan oleh Mahkamah

Konstitusi. 924 Membubarkan diri dilakukan berdasarkan keputusan partai yang tata caranya diatur dalam aturan partai, terutama anggaran dasar dan anggaran rumah

tangga. Demikian pula halnya dengan menggabungkan diri dengan partai lain, yang merupakan masalah internal partai politik. Undang-undang hanya menentukan bahwa bergabungnya suatu partai politik dengan partai politik lain dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu bergabung dan membentuk partai politik baru, atau bergabung dengan menggunakan identitas partai politik lain yang telah

ada 925 . Cara lain bubarnya partai politik adalah dibubarkan oleh Mahkamah

Lihat Risalah Rapat Pleno Ke-19 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI tanggal 29 Mei 2001, dan 922 Risalah Rapat Lobi Perumusan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI tanggal 27 September 2001. Lihat Risalah Rapat Lobi Perumusan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI tanggal 27 September 2001; Risalah Rapat Pleno Ke-35 Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR RI tanggal 25 September 2001;

Risalah Rapat Pleno Ke-36 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI tanggal 26 September 2001; dan Risalah Rapat Komisi A (Lanjutan) Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 tanggal 6 November 2001. Dengan adanya ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Indonesia merupakan salah satu dari 14 negara yang konstitusi menyatakan bahwa pembubaran partai politik merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi. Negara yang lain adalah Albania, Azerbaijan, Chile, Ceko, Armenia, Georgia, Jerman, Macedonia, Korea Selatan, Polandia, Rumania, Slovenia, dan Turki. 923

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU Nomor 24 Tahun 2003, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316. 924

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. 925 Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002.

Konstitusi. 926 Pembubaran ini merupakan pembubaran secara paksa (force dissolution) karena pelanggaran tertentu yang dilakukan oleh suatu partai politik.

5.3.3.1. Alasan Pembubaran

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 menentukan alasan pembubaran partai politik, yaitu jika pengurus partai politik menggunakan partainya untuk melakukan kegiatan menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat (6). Pengurus partai dituntut berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan

dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara 927 dalam Pasal 107 huruf c, d, dan

e, dan partainya dapat dibubarkan jika melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (5) yaitu

Partai politik dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Pasal 107c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 menyatakan Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan

dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 107d Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 menyatakan Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan

dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Sedangkan Pasal 107e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 menyatakan

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun:

Ketentuan ini telah sesuai dengan pedoman Venice Commission yang menyatakan bahwa pembubaran partai politik harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi atau lembaga judisial lain yang tepat dengan prosedur yang menjamin due process of, keterbukaan, dan pengadilan yang fair. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Op. Cit. 927 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang

Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara , Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3850.

a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintah yang sah.

Salah satu permasalahan yang muncul dalam perkara pembubaran partai politik adalah apakah harus ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terlebih dahulu, yang menyatakan bahwa pengurus suatu partai politik melakukan tindakan sebagaimana dimaksud undang-undang, untuk dapat diajukan

perkara pembubaran partai politik kepada Mahkamah Konstitusi. 928 Ataukah partai politik dapat langsung dimohonkan pembubarnnya karena telah melakukan

pelanggaran Pasal 19 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Ketentuan Pasal 28 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 sebenarnya mengatur sanksi pidana bagi pengurus menggunakan partainya. Pembubaran partai hanya merupakan salah satu bentuk sanksi. Berdasarkan ketentuan tersebut, pelanggaran yang dapat menjadi alasan pembubaran partai hanya terkait dengan kejahatan keamanan negara, khususnya terkait dengan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Hal itu sangat berbeda dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang jauh lebih luas.

Jika melihat ketentuan tentang alasan pembubaran tersebut, proses pembubaran partai politik didahului dengan pengadilan terhadap pengurus partai politik yang bersangkutan. Apabila pengurus diputus bersalah melakukan kejahatan negara, tentu masih harus dibuktikan apakah perbuatan itu berhubungan dengan partai politik atau tidak, atau bahkan partai politik yang bersangkutan memang sekedar “dimanfaatkan” sebagai alat semata. Jika perbuatan tersebut tidak memiliki hubungan dengan identitas, asas, program, dan kegiatan partai

politik, tentu tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembubaran partai politik. 929

A. A. Oka Mahendra dan Soekedy, Op. Cit., hal 120. 929 Bandingkan dengan pedoman Venice Commission yang menyatakan bahwa partai politik secara

keseluruhan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan individu anggotanya yang tidak mendapat mandat dari partai. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Op. Cit., hal. 2-3.

Oleh karena itu dari tiga ketentuan Pasal KUHP yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 di atas, yang mungkin dijadikan dasar pembubaran partai politik adalah jika pengurusnya terbukti melakukan kejahatan yang dimaksud dengan Pasal 107e, yaitu mendirikan atau berhubungan dengan organisasi yang menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Organisasi yang dimaksud harus partai politik itu sendiri, sehingga di pengadilan sebelum pembubaran oleh Mahkamah Konstitusi, juga harus dibuktikan bahwa partai politik tersebut menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Menurut Jimly Asshiddiqie, selain ketentuan alasan pembubaran dalam Pasal 28 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, pembubaran juga dapat dilakukan dengan alasan pelanggaran ideologis yang terkait dengan

kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat (6). 930 Pelanggaran tersebut adalah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 Ayat (5) yang menyatakan

Partai politik dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Selain pembubaran, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 juga mengatur sanksi pembekuan selama-lamanya 1 tahun bagi partai politik yang melakukan kegiatan yang dilarang dalam Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, sebagai berikut.

2) Partai politik dilarang: a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya;

b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau c. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah negara dalam memelihara persahabatan dengan negara lain dalam rangka ikut memelihara ketertiban dan perdamaian dunia.

Suatu partai politik dapat dibekukan jika melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau bertentangan dengan kebijakan pemerintah dalam memelihara persahabatan dengan negara lain dalam

Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat…, Op. Cit., hal. 117. Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tidak diatur sanksi terhadap pelanggaran Pasal 19 Ayat (5).

rangka ikut memelihara ketertiban dunia. 931 Sanksi tersebut diberikan oleh pengadilan negeri. Namun pembekuan itu tidak memiliki kaitan dengan proses

pembubaran partai politik. Hal itu berbeda dengan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2008 tentang Partai Politik 932 yang menentukan adanya keterkaitan antara sanksi pembekuan sementara dengan pembubaran partai politik. Dalam undang-

undang tersebut, partai politik yang telah dibekukan sementara dan melakukan pelanggaran lagi, dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. 933

Menurut Jimly Asshiddiqie, alasan pembekuan partai politik dalam Pasal

19 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dapat dipakai sebagai alasan untuk mengajukan pembubaran partai politik kepada MK. Dengan demikian terdapat tiga skenario pembubaran partai politik dikaitkan dengan adanya proses pembekuan. Skenario pertama adalah pemerintah mengajukan terlebih dahulu gugatan pembekuan partai politik ke pengadilan negeri yang harus diputus dalam waktu 60 hari. Jika partai politik yang bersangkutan mengajukan kasasi ke MA, harus diputus dalam waktu 30 hari. Apabila telah terdapat putusan yang berkekuatan hukum tetap, pemerintah selanjutnya mengajukan permohonan

pembubaran partai politik ke MK. 934 Skenario kedua adalah pemerintah dapat saja langsung mengajukan

permohonan pembubaran partai politik ke MK tanpa melalui proses pembekuan. Hal itu dapat dilandasi pemikiran bahwa pembekuan dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki diri. Oleh karena itu, jika memang pemerintah berpendapat bahwa partai yang bersangkutan sudah tidak mungkin memperbaiki diri, dapat saja langsung mengajukan permohonan

pembubaran partai politik ke MK. 935 Skenario ketiga adalah dalam kasus partai politik telah diputus dibekukan

oleh pengadilan negeri berdasarkan gugatan pemerintah. Selanjutnya partai politik

Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Ketentuan Pasal 19 Ayat (2) tersebut menjadi wilayah pengawasan Departemen Dalam Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Huruf f junto Pasal 24 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Dengan demikian seharusnya yang mengajukan perkara pembekuan adalah Departemen Dalam Negeri.

932 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Partai Politik, UU Nomor 2 Tahun 2008. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801. 933 934 Pasal 48 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat…, Op. Cit., hal. 134 – 114.

935 Ibid., hal. 115 935 Ibid., hal. 115

politik ke MK. 936 Pengajuan pembubaran ke MK tidak dapat dilihat sebagai upaya hukum dari putusan kasasi MA karena gugatannya berbeda, yaitu pembekuan dan

pembubaran. Proses peradilan yang dilakukan untuk pembekuan dari pengadilan negeri hingga MA berbeda dan terpisah dengan proses peradilan pembubaran yang dilakukan oleh MA.

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sejalan dengan ketentuan pembubaran partai politik lokal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Dinyatakan bahwa pengurus partai politik lokal yang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, atau peraturan perundang-undangan lain, serta kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dikenai sanksi berupa pembekuan sementara paling

lama 1 tahun oleh pengadilan negeri. 937 Jika melakukan pelanggaran lagi, partai politik itu dibubarkan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. 938

Alasan pembubaran partai politik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Walau tidak secara khusus menyebutkan alasan pembubaran partai politik, namun Pasal 68 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 mewajibkan pemohon;

menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, maka yang dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 adalah terkait dengan

ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. 939 Sebaliknya, ajaran Komunisme/

Ibid., hal. 116

938 Pasal 87 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. 939 Pasal 88 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Patut pula diingat bahwa menurut Venice Commission, perubahan konstitusi yang dianjurkan secara

damai oleh partai politik tidak cukup sebagai alasan penolakan pendaftaran apalagi pembubaran. Lihat,

Marxisme-Leninisme yang bertentangan dengan UUD 1945 tersebut diperluas meliputi hal yang bersifat umum dan kegiatan atau tindakan konkrit. Hal yang bersifat umum tersebut meliputi (a) ideologi; (b) asas; (c) tujuan; dan (d) program. Sedangkan yang nyata adalah kegiatan partai yang tentu dilakukan oleh pengurus dan atau anggota partai politik. Alasan-alasan tersebut bersifat alternatif, yaitu tidak mengharuskan adanya pertentangan dengan UUD 1945 pada semua aspek.

Berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, permohonan pembubaran partai politik dapat dilakukan tidak terbatas dengan tindakan yang terkait dengan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme- Leninisme, tetapi cukup jika dipandang bertentangan dengan UUD 1945. Permohonan tersebut tidak harus didahului dengan adanya putusan pengadilan yang mengadili pelanggaran yang dilakukan pengurus partai politik. Terkait dengan alasan pembubaran partai politik, belum ada kesesuaian antara Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2002 dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003. Sebaiknya di masa yang akan datang dilakukan sinkronisasi.

5.3.3.2. Prosedur Pembubaran

Ketentuan-ketentuan mengenai pembubaran partai politik juga dapat dimaknai bahwa tuntutan pembubaran partai politik dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, adalah dengan proses di pengadilan negeri terlebih dahulu berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, diajukan permohonan pembubaran partai politik ke Mahkamah Konstitusi. Kedua, adalah langsung mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi. Dilihat dari sisi alasan pembubaran, permohonan yang terkait dengan ideologi, asas, tujuan, dan program partai politik yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 tentu lebih mudah dibuktikan karena bersifat tertulis. Sedangkan untuk alasan pembubaran pada aspek kegiatan, tentu dibutuhkan pemeriksaan atas fakta, sehingga lebih sesuai jika didahului proses pengadilan biasa yang mengadili pengurus yang melakukan kegiatan bertentangan dengan UUD 1945 terlebih dahulu.

Selain alasan pembubaran partai politik, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juga mengatur hukum acara perkara pembubaran partai politik.

European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guidelines and Explanatory Report, Op. Cit., hal. 2-3.

Ditentukan bahwa yang menjadi pemohon adalah Pemerintah, yaitu Pemerintah Pusat. 940 Tidak ditentukan instansi mana yang mewakili pemerintah. Jika

dikaitkan dengan wewenang pengawasan partai politik dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 terkait dengan pelanggaran yang dapat menjadi dasar pembubaran partai politik, yang dapat menjadi pemohon adalah Departemen

Dalam Negeri. 941 Namun, jika diperlukan Pemerintah Pusat dapat saja menunjuk instansi lain atas nama Pemerintah Pusat, misalnya Jaksa Agung. Menurut

Maruarar Siahaan, mengingat Pemerintahan Pusat dipimpin oleh Presiden, maka departemen pemerintahan yang mewakili pemerintah untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik harus dengan penunjukkan Presiden atau

didasarkan pada surat kuasa. 942 Menurut Jimly Asshiddiqie, apabila hak pengajuan pembubaran diberikan

kepada pihak lain, termasuk partai politik, berarti partai politik dibenarkan menuntut pembubaran saingannya sendiri. Hal itu harus dihindarkan karena dalam demokrasi seharusnya sesama partai politik bersaing secara sehat. Oleh karena itu partai politik tidak boleh diberikan kedudukan sebagai pemohon dalam perkara

pembubaran partai politik. 943 Namun demikian, mengingat pemerintah juga terbentuk dari partai politik

yang memenangkan pemilihan umum, maka dapat menjegal saingannya dengan memanfaatkan pemerintah untuk membubarkan partai politik lain. Oleh karena itu wewenang pembubaran partai politik tidak dapat diserahkan kepada pemerintah tetapi harus melalui proses peradilan, dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi. Pemerintah hanya bertindak sebagai “penuntut” dengan cara mengajukan

permohonan. 944 Dalam permohonan pembubaran partai politik, harus ditunjuk dengan

tegas partai politik yang dimohonkan untuk dibubarkan. Oleh karena itu Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menyatakan bahwa dengan demikian partai politik

941 Pasal 68 Ayat (1) dan Penjelasannya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Pasal 23 Huruf f junto Pasal 24 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. 942 Lihat, Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 199-200. 943

Jimly Asshiddiqie, Pembubaran Partai Politik, Op. Cit., hal. 205 944 Ibid., hal. 205-206.

yang bersangkutan kedudukannya adalah sebagai termohon, walupun undang- undang tidak menyatakan hal tersebut secara tegas. 945

Permohonan perkara pembubaran partai politik yang diterima Mahkamah Konstitusi dicatat dalam Buku Registrasi perkara Konstitusi. Mahkamah konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat tersebut kepada partai politik yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 hari kerja sejak pencatatan dilakukan. Karena tidak diatur secara khusus, proses pemeriksaan persidangan selanjutnya mengikuti hukum acara Mahkamah Konstitusi yang

meliputi pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan, dan putusan. 946 Perkara pembubaran partai politik wajib diputus dalam jangka waktu selambat-

lambatnya 60 hari kerja sejak permohonan diregistrasi. 947 Jika Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak

memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. 948 Artinya,

sesuai dengan ketentuan Pasal 68 tersebut, masalah subyek dan obyek permohonan harus sesuai. Subyek adalah terkait dengan pemohon yang dalam hal ini harus mewakili Pemerintah Pusat. Sedangkan obyek perkara yang dimohonkan adalah pembubaran partai politik berdasarkan alasan-alasan (a) ideologi; (b) asas; (c) tujuan; (d) program, dan (e) kegiatan yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Apabila subyek pemohon dan obyek permohonan telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, serta Mahkamah Konstitusi berpendapat permohonan beralasan, maka amar putusannya menyatakan

permohonan dikabulkan. 949 Hal itu berarti terbukti bahwa ideologi, asas, tujuan, program, atau kegiatan partai politik bertentangan dengan UUD 1945, dan partai

politik tersebut diputuskan dibubarkan.

946 Maruarar Siahaan, Op. Cit., hal. 200-201. Sebagaimana diatur dalam Pasal 39 sampai Pasal 49 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 947 Pasal 71 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Selain itu, tata cara persidangan juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 03/PMK/2003 tentang Tata Tertib Persidangan pada Mahkamah Konstitusi. Saat ini Mahkamah Konstitusi tengah menyusun PMK tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pembubaran Partai Politik. 948

Pasal 70 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 949 Pasal 70 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.

Sedangkan apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak. 950 Hal itu berarti

tidak terbukti bahwa terdapat ideologi, asas, tujuan, program, atau kegiatan partai politik yang bertentangan dengan UUD 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan. 951 Jika diputuskan permohonan pembubaran partai politik

dikabulkan, pelaksanaannya dilakukan dengan membatalkan pendaftaran pada Pemerintah yang berarti pembatalan status badan hukumnya. 952 Putusan tersebut

diumumkan oleh pemerintah dalam berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu 14 sejak putusan diterima. 953 Mengingat yang menangani

pendaftaran partai politik adalah Departemen Hukum dan HAM, maka pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi adalah dalam bentuk pembatalan

pendaftaran partai politik. 954