AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN
6.6. AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN
Sebelum dibubarkan, partai politik sebagai badan hukum tentu telah melakukan hubungan dan tindakan hukum. Hal itu menimbulkan hak dan kewajiban, kepemilikan berupa harta benda, serta hubungan dengan anggota partai politik yang menduduki jabatan-jabatan publik. Berakhirnya eksistensi hukum partai politik karena pembubaran tentu berpengaruh terhadap hak dan kewajiban yang telah ada, serta terhadap harta kekayaan dan jabatan-jabatan yang dihasilkan dari hubungan dan tindakan hukum yang dilakukan sebelum dibubarkan. Selain itu, terutama untuk pembubaran karena alasan pelanggaran konstitusional, timbul pertanyaan apakah dapat dijatuhkan sanksi kepada anggota atau pengurus partai politik yang bersangkutan.
Berdasarkan pengaturan di beberapa negara, dikenal adanya beberapa akibat hukum pembubaran partai politik. Pertama adalah tidak dapat didirikan lagi partai pengganti baik dengan nama yang sama maupun nama lain tetapi memiliki ideologi, asas, tujuan, program, atau kegiatan yang sama dengan alasan dibubarkannya partai tersebut. Hal itu berarti partai tersebut dinyatakan sebagai
Maruarar Siahaan, Op. Cit., hal. 201-202. 1326 Suatu produk hukum atau perjanjian yang batal demi hukum dikatakan “null and void”. Null dan void
sesungguhnya memiliki kesamaan arti. Null adalah ajektif yang menunjukkan sesuatu “having no legal effect” atau “without binding force”. Sedangkan void juga berarti “no legal effect”. Void lebih tepat diartikan untuk “those provisions that are of no effect whatsoever – those that are an absolute nullity.” Sedangkan voidable adalah dapat dibatalkan yang berarti tetap valid hingga dibatalkan (valid until annulled). Lihat, Garner, Op. Cit ., hal. 1096 dan 1568.
partai terlarang. Ketentuan ini di antaranya dapat dijumpai di Turki, 1327
Jerman, 1329 dan Taiwan. Selain pernyataan sebagai partai terlarang, terdapat pula negara yang
memberikan sanksi kepada pengurus dan/atau anggota partai politik yang dibubarkan. Sanksi tersebut pada umumnya berupa larangan menjadi pendiri atau pengurus, bahkan sebagai anggota partai politik. Hal itu di antaranya diatur pada Article 69 Para 9 Konstitusi Turki yang menyatakan,
The members, including the founders of a political party whose acts or statements have caused the party to be dissolved permanently cannot be founders, members, directors or supervisors in any other party for period of five years from the date of publication in the official gazette of the Constitutional Court’s final decision and its justification for permanently dissolving the party.
Sedangkan di Pakistan sanksi khusus diberikan kepada anggota parlemen nasional dan provinsi dari partai yang dibubarkan. 1330 Di samping berhenti dari
keanggotaan lembaga perwakilan, juga dilarang mengikuti pemilihan umum selama empat tahun sejak pemberhentiannya. Dalam praktik pembubaran Partai Thai Rak Thai dan Pattana Chart Thai di Tahiland, sejumlah pengurus dikenakan sanksi tidak boleh melakukan kegiatan berpolitik termasuk memilih dan dipilih
selama lima tahun. 1331 Akibat hukum pembubaran partai politik selanjutnya yang terdapat di
beberapa negara adalah berakhirnya keanggotaan lembaga perwakilan dari partai yang dibubarkan tersebut. Hal itu misalnya diatur dalam Article 30-I Procedur Act Taiwan yang menyatakan,
The members of the elected bodies appointed to the dissolved party in accordance with the proportional representative system shall be deprived of their membership immediately upon the judgment’s becoming effective.
Article 69 Para 8 Konstitusi Republik Turki menyatakan “A Party which has been dissolved permanently 1328 cannot be founded under another name.” Article 6 Para 3 Bundesverfassungsgerichts-Gesetz menyatakan “The declaration shall be accompanied by the dissolution of the party or the independent section of the party and the prohibition of the establisment
of substitute organization.” 1329 Article 30-I of the Procedure Act menyatakan “The political party being dissolved shall cease all activities and shall not establish any substitute organization to pursue the same goals;…” 1330 Article 16 Para 2 The Political Parties Order, 2002, menyatakan “A person becoming disqualified from being a member of the Majlis-e-Shoora or Provincial Assembly under clause (1) shall not participate in election for any elective office or any legislative body till the expiry of four years from the date of his disqualification from being member of Majlis-e-Shoora or, as the case may be, the Provincial Assembly.” 1331
Summary of the Decision of the Constitutional Tribunal Case Group 1. Op. Cit.
Di Jerman, walaupun dalam ketentuan konstitusi, undang-undang partai politik, maupun undang-undang Mahkamah Konstitusi tidak terdapat ketentuan akibat hukum terhadap wakil partai politik di lembaga perwakilan, namun dalam
praktik pembubaran Partai SRP 1333 dan KPD, keduanya otomatis kehilangan kursi di lembaga perwakilan. 1334
Akibat hukum selanjutnya adalah terhadap harta kekayaan partai politik. Di Jerman, salah satu akibat hukum pembubaran partai politik yang diatur dalam Bundesverfassungsgerichts-Gesetz adalah harta kekayaan partai politik dapat disita negara untuk kepentingan publik. Hal itu diatur dalam Article 6 Para 3 sebagai berikut.
The declaration shall be accompanied by the dissolution of the party or the independent section of the party and the prohibition of the establisment of substitute organization. Morever, in this instance the Federal Constitutional Court may direct that the property of the party or the independent section of the party be confiscated for use by the Federation or the Land for public benefit.
Ketentuan mengenai akibat hukum terhadap harta kekayaan juga diatur lebih jelas dalam Political Parties Act Bulgaria. Bahkan juga dinyatakan bahwa negara bertanggungjawab atas hutang yang dimiliki oleh partai politik yang dibubarkan. Article 24 Para 2 Political Parties Act Bulgaria menyatakan sebagai berikut.
When a party is dissolved under Article 22, Para 4, its property is confiscated in favour of the State. The State shall held liable for the debts of the dissolved party up to the value of the property received.
6.6.1. Akibat Hukum dalam Peraturan dan Praktik
Salah satu aspek pembubaran partai politik yang belum diatur adalah akibat hukum dari pembubaran partai politik. Dari berbagai peraturan perundang- undangan pembubaran partai politik yang pernah berlaku, hanya ketentuan pada masa Orde Lama, yaitu Penpres Nomor 13 Tahun 1960 yang mengaturnya. Ditentukan bahwa sebagai akibat pembubaran atau pelarangan suatu partai politik,
1333 Socialist Reich Party, Partai Sosialis Jerman. 1334 Kommunistische Partei Deutschlands, Partai Komunis Jerman. Kommers, Op. Cit., hal. 229.
anggota partai yang duduk sebagai anggota MPR, DPR, atau DPRD dianggap berhenti sebagai anggota badan-badan tersebut. 1335
Namun, ketentuan tersebut tidak dapat dilihat pelaksanaannya dalam kasus pembubaran Partai Masjumi dan PSI. Hal itu karena kedua partai tersebut sudah tidak memiliki wakil lagi di DPRGR yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan Keppres Nomor 156 Tahun 1960. Masjumi dan PSI juga tidak lagi masuk dalam
kabinet sejak Kabinet Djuanda karena menolak adanya unsur PKI. 1336 Terhadap partai-partai yang tidak diakui, akibat hukumnya juga tidak
dapat dilihat. Hal itu karena dari 4 partai yang tidak diakui, hanya PRI yang berdasarkan hasil pemilihan umum 1955 memperoleh 2 kursi DPR. Namun, dalam DPRGR yang dibentuk oleh Presiden Soekarno, PRI sudah tidak mendapatkan kursi lagi. Akibat hukum tersebut terjadi dalam praktik pembekuan Partai Murba. Setelah dibekukan, anggota DPRGR dari partai Murba dibekukan
dengan Keppres Nomor 21 Tahun 1965. 1337
6.6.2. Akibat Hukum Pembubaran di Masa Mendatang
Paling tidak terdapat empat hal terkait dengan akibat hukum pembubaran partai politik, yaitu terkait dengan status partai politik; sanksi terhadap pengurus partai politik yang dibubarkan; status anggota badan perwakilan yang terpilih dari partai politik yang dibubarkan; serta harta kekayaan partai politik.
6.6.2.1. Status Partai Politik sebagai Partai Terlarang
Tentang status partai politik, jika pembubaran terjadi dengan alasan partai politik melakukan pelanggaran konstitusional, tentu diikuti dengan sanksi larangan pembentukan kembali partai tersebut atau pembentukan partai pengganti dengan ideologi, platform, asas, program, dan kegiatan yang sama dengan partai yang dibubarkan. Hal itu berarti partai politik yang dibubarkan menjadi partai terlarang.
Akibat hukum larangan pendirian partai pengganti yang memiliki kesamaan dengan partai yang dibubarkan dapat dipandang sebagai konsekuensi
Pasal 9 Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Bandingkan dengan Article 30-I Procedur Act Taiwan yang menyatakan “The members of the elected bodies appointed to the dissolved party in accordance with the proportional representative system shall be deprived of their membership immediately upon the judgment’s becoming effective.” 1336 1337 Deliar Noer, Partai Islam, Op. Cit., hal. 362-363. A. H. Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran I, Op. Cit., hal. 35.
logis, karena jika dapat dibentuk partai yang sama atau partai baru dengan identitas yang sama, pembubaran yang dilakukan tidak memiliki arti. Di sisi lain, Jika partai pengganti dapat didirikan, hal itu berarti pelanggaran kostitusi kembali terjadi. Oleh karena itu pendiriannya harus dilarang. Sanksi tersebut juga dianut di
Turki, 1340 Jerman, dan Korea Selatan. Akibat hukum larangan membentuk partai yang sama atau yang memiliki
identitas yang sama tidak dapat diterapkan dalam kasus pembubaran karena alasan partai politik tidak dapat mengikuti pemilu atau menempatkan wakilnya di lembaga parlemen. Dalam kasus tersebut, pendirian partai baru dengan identitas yang sama tidak dapat dilarang asalkan memenuhi persyaratan pembentukan partai baru.
6.6.2.2. Sanksi Terhadap Pengurus dan Anggota
Terkait dengan pengurus partai politik yang dibubarkan, terdapat negara yang memberikan sanksi kepada pengurus partai politik yang dibubarkan berupa larangan mendirikan atau menjadi pengurus partai politik, bahkan larangan melakukan aktivitas politik. Penerapan sanksi hukum ini tentunya harus mempertimbangkan bahwa hak berserikat merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi. Di sisi lain, tindakan pembubaran adalah terhadap partai politik sebagai badan hukum, sedangkan terhadap orang-perorang baik anggota, pengurus, maupun pendiri, sanksi yang dikenakan adalah sanksi pidana atau sanksi lain yang
harus diputuskan oleh pengadilan. 1341 Menurut Jimly Asshiddiqie, pembubaran suatu partai politik harus
dibedakan dari persoalan hukum yang menyangkut pertanggungjawaban pribadi
Article 69 Para 8 Konstitusi Republik Turki menyatakan “A party which has been dissolved permanently cannot be founded under another name.” 1339 Article 46 Para 3 Bundesverfassungsgerichts-Gesetz menyatakan “The declaration shall be accompanied by the dissolution of the party or the independent section of the party and the prohibition of the establishment of a substitute organization…” Sedangkan Article 33 Para 1 Parteiengesetz menyatakan “It is prohibited to set up organizations which pursue the unconstitutional aims of a party banned pursuant to Art. 21, Para 2 of the Basic Law in conjunction with Art. 46 of the Law on the Federal Constitutional Court in lieu of the said banned party (subtitute) organizationas, or to continue existing organizations as substitute organizations.” 1340
Article 40 Political Parties Act of South Korea, No. 7683, Aug 4, 2005, menyatakan “When a political party has been dissolved by a rulling of the Constitutional Court, no political party shall be established upon the same or similar platform (or basic policies) as the dissolved political party.” 1341
Hal ini juga merupakan konsekuensi dari salah pedoman Venice Commission yang menyatakan bahwa suatu partai politik secara keseluruhan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan individu anggotanya yang tidak mendapatkan mandat dari partai. Dengan demikian, setiap pengurus atau anggota partai juga tidak secara otomatis dapat dikenai sanksi larangan melakukan aktivitas politik. Sanksi harus diputuskan setelah dibuktikan keterlibatan pengurus atau anggota dimaksud dalam pelanggaran yang menyebabkan pembubaran partai. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition and Dissolution, Op. Cit.
orang perorang pengurus atau anggota partai yang bersangkutan. Hanya orang yang benar-benar bertanggungjawablah yang harus dipersalahkan. Sanksi hukum tidak dapat dikenakan secara semena-mena terhadap setiap anggota partai yang
bersangkutan. 1342 Larangan menjadi anggota, pendiri, atau pengurus suatu partai politik
merupakan sanksi yang bersifat politis yang dalam sejarah Indonesia telah menimbulkan diskriminasi berkepanjangan terhadap mantan anggota PKI tanpa adanya putusan pengadilan yang menyatakan mereka bersalah. Akibatnya, hak dan kebebasan mereka untuk berserikat dan berkumpul telah hilang dalam waktu
cukup lama. Mereka juga kehilangan hak memilih sepanjang orde baru 1343 dan baru mendapatkan hak dipilih pada tahun 2004 setelah ada putusan Mahkamah
Konstitusi 1344 . Oleh karena itu, sanksi hukum ini harus diputuskan oleh pengadilan
terhadap pengurus atau anggota tertentu yang memang terbukti terlibat dan memiliki peran yang besar atas pelanggaran yang menyebabkan dibubarkannya partai politik. Pertanggungjawaban individual bergantung kepada tingkat kesalahan yang dibuktikan melalui proses peradilan yang adil dan terbuka (due
process, open and fair trial) 1345 . Sanksi terhadap pengurus atau anggota partai politik juga tidak dapat
dijatuhkan terhadap partai yang dibubarkan dengan alasan tidak dapat mengikuti pemilu atau tidak dapat menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan. Hal itu karena memang tidak ada pelanggaran hukum dan konstitusi yang dilakukan oleh partai tersebut.
6.6.2.3. Status Wakil Partai di Lembaga Perwakilan
Apabila suatu partai politik dibubarkan, tentu menimbulkan permasalahan terhadap anggota lembaga perwakilan yang dipilih dari partai tersebut, apakah ikut berhenti atau tetap menjadi anggota lembaga tersebut. Terdapat pandangan bahwa terpilihnya seorang calon sebagai anggota lembaga perwakilan adalah
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 154. 1343 Persyaratan bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI dan ormasnya untuk memiliki hak memilih
baru ditiadakan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999. 1344 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-17/PUU-I/2003 yang menyatakan Pasal 60 huruf g Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 1345
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 154.
karena pencalonannya melalui suatu partai politik dan dipilih oleh konstituen partai politik itu. Dengan dibubarkannya partai politik yang bersangkutan, anggota badan perwakilan yang berasal dari partai politik itu kehilangan legitimasinya. Oleh karena itu, salah satu akibat dibubarkannya partai politik di beberapa negara adalah berakhirnya status anggota partai politik sebagai anggota lembaga
perwakilan. 1346 Pasal 20 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan “Peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”. Hal itu menunjukkan bahwa peserta pemilu
anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. 1347 Dengan demikian jika partai politiknya sebagai peserta pemilu dbubarkan, tentu akan memiliki pengaruh
terhadap status keanggotaan orang-orang yang terpilih dari partai tersebut. 1348 Namun hal itu tidak berlaku terhadap jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Hal itu menurut Jimly Asshiddiqie menunjukkan bahwa peserta pemilihan adalah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Partai politik hanya merupakan pihak yang mencalonkan. Setelah dinyatakan sebagai calon, pasangan calon itu sendiri yang menjadi subyek hukum dalam
proses selanjutnya. 1349 Berdasarkan kedudukan tersebut, Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa
pada saat terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden, tidak terdapat lagi hubungan hukumnya dengan partai politik yang bersangkutan. Oleh karena itu apabila partai politik yang mengusulkan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
Hal ini pernah diatur dalam Perpres Nomo 13 Tahun 1960 pada Pasal 9 yang menyatakan “Sebagai akibat pembubaran/pelarangan sesuatu partai, seorang anggota dari partai itu jang duduk sebagai anggota Madjelis Permusjawaratan Rakjat, Dewan Perwakilan Rakjat atau Dewan Perwakilan Rakjat Daerah dianggap berhenti sebagai anggota badan-badan tersebut.” Bandingkan misalnya dengan Article 16 Para 1 The Political Parties Order, 2002 Pakistan yang menyatakan “Where a political party is dissolved under Article 15, any member of such political party, if he is a member of the Majlis-e-Shoora or a Parliament Assembly, shall be disqualified for the remaining term to be member of the Majlis-e-Shoora or as the case may be, the Provincial Assembly, unless before the final decision of the Supreme Court, he resigns from the membership of the party and publicly announces his disassociation with such political party.” 1347
Sedangkan untuk pemilihan umum anggota DPD pesertanya adalah perseorangan. Pasal 22E Ayat (4) UUD 1945 menyatakan “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.” 1348
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 151.
Ibid., hal. 148. Ketentuan terkait dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden atau jabatan eksekutif lainnya juga tidak dijumpai di negara-negara lain yang mengatur akibat hukum pembubaran partai politik seperti di Pakistan, Taiwan, Jerman, dan Turki.
dibubarkan, tidak menimbulkan akibat terhadap jabatan Presiden dan Wakil Presiden. 1350
Namun demikian, terhadap status anggota DPR dan DPRD juga patut diingat bahwa dari sisi hukum mereka tidak hanya mewakili partai politiknya, tetapi merupakan wakil rakyat secara keseluruhan. Di sisi lain, setelah terpilih sebagai anggota DPR dan DPRD, seseorang tidak hanya memiliki hubungan hukum dengan partai politiknya, tetapi juga dengan negara, yaitu lembaga DPR dan DPRD. Dengan demikian hilangnya status keanggotaan dari partai politik karena pembubaran tidak dapat dengan sendirinya berakibat hilangnya status keanggotaan dalam lembaga perwakilan.
Dalam pandangan Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie dan Maruarar Siahaan, hubungan hukum antara anggota DPR dengan partai politiknya adalah hubungan hukum yang bersifat privat (privaatrechtelijk). Sedangkan hubungan antara anggota DPR dengan negara, yaitu lembaga DPR adalah hubungan yang bersifat publik dan tunduk terhadap ketentuan hukum publik. Hilangnya hubungan hukum yang bersifat privat tidak selayaknya sekaligus menghilangkan hubungan hukum publik. Dalam kasus berhentinya seseorang anggota DPR dari keanggotaan partai politik, seyogianya tidak serta merta menjadi dasar berhentinya dia sebagai anggota DPR. Pemberhentian tersebut setidak-tidaknya melalui dua syarat. Pertama adalah pemberhentian di internal partai politik di dasarkan pada prinsip due process of law sesuai peraturan perundang-undangan. Kedua, DPR sendiri sebagai lembaga negara harus berperan menjatuhkan keputusan memberhentikannya dari keanggotaan DPR berdasarkan prinsip due
process of law 1351 pula sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dilihat dari sisi sistem pemilihan umum, hubungan hukum antara anggota
lembaga perwakilan dengan pemilih dan negara akan semakin kuat dan tidak dapat dikesampingkan oleh hubungannya dengan partai politik pada saat sistem pemilu yang diterapkan lebih mengarahkan pilihan para pemilih kepada calon daripada kepada partai politinya. Dalam pemilu dengan sistem distrik dan sistem proporsional yang dipadu dengan sistem daftar calon terbuka (list system), pemilih
1351 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 149. Lihat Dissenting Opinion Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie dan Maruarar Siahaan pada Putusan MK Nomor 008/PUU-IV/2006.
dapat memilih langsung pada nama calon. Oleh karena itu hubungan antara wakil rakyat dengan konstituennya sangat kuat.
Berdasarkan pemikiran tersebut, pembubaran suatu partai politik juga seharusnya tidak secara otomatis berakibat terhadap berakhirnya keanggotaan seseorang di lembaga perwakilan. Pemberhentian itu harus melalui proses hukum yang membuktikan keterlibatan dan tanggungjawab atas pelanggaran yang mengakibatkan pembubaran partai politik.
Proses pemberhentian ini dapat dilakukan melalui dua mekanisme. Pertama, adalah pada saat mengajukan perkara pembubaran partai politik ke MK, juga dimohonkan pemberhentian anggota-anggota lembaga perwakilan dari partai yang dimohonkan pembubarnnya apabila dinilai harus bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukan oleh partai politik itu. Kedua, apabila MK membubarkan partai politik namun tidak memberhentikan anggota lembaga perwakilan dari partai tersebut, dapat diajukan pemberhentian kepada lembaga perwakilan berdasarkan putusan MK dan bukti-bukti keterlibatan anggota yang terungkap dalam persidangan MK. Pemberhentian tersebut selanjutnya akan diputus berdasarkan peraturan internal lembaga perwakilan sesuai ketentuan perundang-undangan.
6.6.2.4. Harta Kekayaan Partai Politik
Akibat hukum selanjutnya yang perlu ditentukan adalah terkait dengan harta kekayaan partai politik. Salah satu akibat pembubaran partai politik karena
pelanggaran konstitusional adalah harta kekayaannya disita oleh negara. 1352 Walaupun partai politik bukan merupakan badan hukum keperdataan yang
berorientasi keuntungan, bahkan dilarang melakukan usaha komersial, namun dalam aktivitasnya pasti pernah terlibat dalam lalu lintas hukum perdata yang menimbulkan hak dan kewajiban. Segala hak dan kewajiban yang timbul dalam hubungan hukum yang dilakukan oleh partai politik sebelum dibubarkan harus diselesaikan menurut aturan hukum yang berlaku. Jika partai politik memiliki utang, maka kewajiban tersebut tetap harus ditunaikan. Demikian pula halnya jika
Bandingkan dengan Article 46 Para 2 Bundesverfassungsgerichts-Gesetz Jerman yang menyatakan “… Morever, in this instance the Federal Constitutional Court may direct that the property of the party or the independent section of the party be confiscated for use by the Federation or the Land for public benefit.” Bandingkan dengan Article 46 Para 2 Bundesverfassungsgerichts-Gesetz Jerman yang menyatakan “… Morever, in this instance the Federal Constitutional Court may direct that the property of the party or the independent section of the party be confiscated for use by the Federation or the Land for public benefit.”
Apabila harta kekayaan partai politik yang dibubarkan disita oleh negara, tentu kewajiban atau utang dan hak-hak partai politik juga harus diselesaikan oleh negara. Hal itu juga berlaku dalam hal terjadi masalah antara pengurus yang mewakili partai politik sebelum dibubarkan dengan anggota partai politik itu sendiri. Untuk menangani hal tersebut dapat diserahkan kepada instansi atau dibentuk suatu panitia oleh pemerintah. Apabila terdapat sisa harta kekayaan
setelah semua kewajiban ditunaikan, akan menjadi milik negara. 1354 Sedangkan terhadap partai politik yang pembubarannya karena tidak dapat
mengikuti pemilu atau menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan, harta kekayaan tidak perlu di sita oleh negara. Pengurusan harta kekayaan dan kewajiban partai politik itu diserahkan sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik itu sendiri. Hal itu membutuhan adanya ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengamanatkan agar dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik.
Seluruh kekayaan badan hukum partai politik yang dibubarkan harus diselesaikan, baik oleh negara dalam kasus harta kekayaan tersebut disita oleh negara maupun oleh mekanisme internal partai dalam kasus tidak disita oleh negara. Harus dicegah terjadinya pengambilalihan harta kekayaan partai politik menjadi hak milik pribadi pengurusnya atau individu tertentu, baik di pusat maupun daerah. Apabila hal itu terjadi, dapat menimbulkan konflik yang lebih
luas. 1355
1354 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 147-148. Bandingkan dengan Article 24 Para 2 Political Parties Act Bulgaria yang menyatakan “When a party is dissolved under Article 22, Para 4, its property is confiscated in favour of the State. The State shall held
liable for the debts of the dissolved party up to the value of the property received.” 1355 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 155-156.