Reformasi dan Demokratisasi
5.1.2. Reformasi dan Demokratisasi
Untuk memenuhi tuntutan reformasi yang semakin kuat dan menyelesaikan krisis ketatanegaraan, dilakukan Sidang Istimewa MPR 1998. Salah satu hasil dari Sidang Istimewa MPR adalah Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara 782 yang mengamanatkan penyelenggaraan pemilihan umum selambat-lambatnya Juni
1999. 783 Ketetapan itu juga menugaskan Presiden RI, B.J. Habibie untuk tetap melanjutkan dan memantapkan pembangunan, melaksanakan Ketetapan MPR,
serta mempertanggungjawabkannya kepada MPR dalam Sidang Umum MPR 1999. 784
Sebelum itu, pada 23 Mei 1998 terdapat tokoh-tokoh yang meminta kepada Presiden agar pemilihan umum dilakukan dengan segera, tidak lebih dari 3 bulan setelah Habibie menjadi Presiden. Namun usulan itu tidak dapat diterima karena Presiden Habibie menilai bahwa untuk melaksanakan pemilihan umum diperlukan persiapan yang baik. Selain itu, juga dibutuhkan waktu bagi partai-
partai politik baru untuk memasyarakatkan aspirasi dan wawasannya. 785 Dalam Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 salah satu kebijakan bidang
politik adalah penegakan kedaulatan rakyat. Salah satu agenda yang akan dijalankan adalah menghormati keberagaman asas atau ciri, aspirasi, dan program organisasi sosial politik dan organisasi kemasyarakatan yang tidak bertentangan
Pasal 8 UUD 1945 sebelum perubahan berbunyi “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat 781 melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”. Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal.248.
782 Haluan negara sebelumnya, yaitu GBHN yang ditetapkan berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1998 dicabut dengan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. 783 Bab IV Kebijakan Reformasi Pembangunan, Bidang Politik, Angka 1, Huruf b Pokok-Pokok Reformasi
Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
785 Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998. Tokoh-tokoh yang menyampaikan permintaan tersebut adalah Emil Salim, Rudini, Adnan Buyung Nasution, Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan John Sapi’ie. Lihat, Bacharuddin Jusuf Habibie, Op. Cit., hal.
111 dan 112.
dengan Pancasila. Hal itu dituangkan dalam Bab IV Bidang Politik, angka 2, huruf b, sebagai berikut.
2. Pelaksanaan Reformasi di bidang politik ditujukan pada usaha penegakan kedaulatan rakyat sebagai jalan pemecahan krisis nasional di segala bidang dengan skala prioritas. Agenda yang harus dijalankan adalah:
a. … b. Menghormati keberagaman asas atau ciri, aspirasi, dan program organisasi sosial politik dan organisasi kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan Pancasila.
Arah kebijakan tersebut merupakan dasar penghapusan asas tunggal. Partai politik yang sebelumnya harus hanya menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas, berdasarkan kebijakan tersebut dapat memiliki asas, ciri, atau aspirasi yang beragam dengan batasan tidak bertentangan dengan Pancasila.
Selain itu, terkait dengan keberadaan Partai Golkar yang semasa Orde Baru menjadi partai pemerintah, Presiden Habibie melakukan perubahan mendasar. Dalam Munaslub Partai Golkar pada 9 sampai 11 Juli 1998, Habibie
memberikan arahan kebijakan sebagai berikut. 786
1. seluruh pegawai negeri yang merangkap jabatan struktural di Golkar segera ditarik. Kebijakan itu sejalan dengan usaha melepaskan birokrasi dari salah satu kekuatan politik;
2. dalam Partai Golkar tidak ada lagi Keluarga Besar Golkar dari jalur A (ABRI), B (Birokrasi), dan G (Golkar);
3. Korpri tidak boleh memihak Golkar atau partai politik lain, dan harus memerhatikan peningkatan kesejahteraan pegawai negeri; dan
4. semua partai politik, termasuk Partai Golkar harus menjadi lebih mandiri dan kredibel.
Untuk pelaksanaan pemilihan umum 1999, MPR membuat Ketetapan Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum. Salah satu ketentuan yang diubah adalah Pasal 3 Ayat (1) yang semula menyatakan bahwa pemilihan umum
Ibid., hal. 145.
diikuti oleh tiga organisasi kekuatan politik, yaitu Golongan Karya, PDI, dan PPP, menjadi sebagai berikut. 787
(1) Pemilihan Umum yang dimaksud dalam Ketetapan ini diikuti oleh partai- partai politik yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kebijakan pembatasan partai politik telah berakhir. Sehingga masyarakat dapat membentuk partai politik selain Golongan Karya, PDI, dan PPP. Partai-partai politik yang dibentuk masyarakat memiliki hak yang sama untuk mengikuti pemilihan umum setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, salah satu kebijakan pemerintahan pada masa awal reformasi adalah pembangunan sistem politik yang demokratis dan konstitusional dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk membentuk partai
politik dan tidak membatasi peserta pemilihan umum. 788 Hal itu juga dikemukakan oleh Presiden Habibie ketika memberikan keterangan pemerintah
tentang RAPBN 1999/2000 pada Sidang Paripurna DPR 5 Januari 1999 sebagai berikut. 789
Pemberian kesempatan munculnya partai-partai baru yang pada gilirannya akan menghasilkan sistem multipartai, merupakan respon kita terhadap luasnya tuntutan masyarakat akan kebebasan politik. Dalam era reformasi ini, kebebasan politik memang harus dijamin dan diatur dalam serangkaian produk perundang- undangan.
Pelaksanaan pemilihan umum menurut Habibie adalah untuk memperbaiki legitimasi DPR/MPR yang saat itu merupakan DPR/MPR yang dipilih melalui pemilihan umum 1997 dengan peserta yang dibatasi hanya tiga organisasi. Hal itu mengakibatkan legitimasi hasil pemilihan umum 1997 dipertanyakan sehingga menimbulkan ketidakstabilan. Oleh karena itu, pada pemilihan umum selanjutnya akan diberikan kesempatan kepada semua partai politik yang telah memenuhi
kreteria untuk menjadi peserta pemilihan umum. 790
Pasal I Angka 5 Ketetapan MPR Nomor XIV/MPR/1998.
789 Lihat, Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), hal. 155. Lihat, A. A. Oka Mahendra dan Soekedy, Sistem Multi Partai: Prospek Politik Pasca 2004, (Jakarta: Yayasan Pancur Siwah, 2004), hal. 86.
790 Bacharuddin Jusuf Hibibie, Op. Cit., hal. 108.
Untuk melaksanakan pemilihan umum 1999, dibuat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik 791 , Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1999 tentang Pemilihan Umum 792 , serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD 793 .
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 telah membuka keran lahirnya banyak partai politik. 794 Dengan datangnya demokratisasi politik yang menjamin
kebebasan berserikat, khususnya pembentukan partai politik, pada 1998 hingga 1999 bermunculan berbagai partai politik baru. Terdapat 141 partai politik yang mendapat pengesahan sebagai badan hukum dari Departemen Hukum dan HAM. Banyaknya partai politik dari sisi politik berbanding lurus dengan proses demokratisasi, apalagi untuk kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk. Sebaliknya matinya partai politik memiliki hubungan dengan tidak adanya
demokratisasi. 795 Adanya kebebasan mendirikan partai politik dan tidak adanya partai
politik yang diberikan keistimewaan tersebut merupakan salah satu esensi dari negara demokrasi. 796 Partai politik relatif lebih bebas dari kontrol negara dan
memiliki kesempatan yang sama adalah dua prinsip utama sistem kepartaian di negara demokrasi. 797
Untuk melaksanakan pemilihan umum 1999, dibentuk Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (PPPKPU), yang di samping bertugas membentuk Komisi Pemilihan Umum juga untuk melakukan verifikasi administratif dan faktual terhadap partai politik yang akan mengikuti pemilihan
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Partai Politik, UU Nomor 2 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3809. 792 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, UU Nomor 3 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 793 3810. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah , UU Nomor 4 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3811. 794 Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Jakarta:
Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum, 2001), hal. 166. 795 Kacung Marijan, “Partai Baru, Electoral Treshold, dan Masa Depan Sistem Multi partai”, Jurnal Politika,
Op. Cit 796 ., hal. 36-37. Kelsen, Op. Cit., hal 295 797 Barendt, Op. Cit., hal. 155 Op. Cit 796 ., hal. 36-37. Kelsen, Op. Cit., hal 295 797 Barendt, Op. Cit., hal. 155
Pemilihan umum 1999 dilaksanakan pada 7 Juni 1999 menghasilkan 21 partai yang memperoleh kursi di DPR. 800 Namun demikian, hanya terdapat 6
partai yang perolehannya di atas 10 kursi, yaitu PDIP (153), Golkar (120), PPP (58), PKB (51), PAN (34), dan PBB (13). Penetapan hasil pemilihan umum sempat menimbulkan konflik dan terdapat 27 partai politik yang tidak
menandatangi hasil pemilihan umum 801 . Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
menentukan bahwa untuk dapat mengikuti pemilihan umum selanjutnya, partai politik harus memiliki sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi DPR, atau sekurang-kurangnya 3% kursi dari jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ jumlah provinsi dan di ½ jumlah
kabupaten/kota di seluruh Indonesia. 802 Berdasarkan ketentuan tersebut, dilihat dari perolehan kursi DPR, partai politik yang lolos electoral treshold dan dapat
mengikuti pemilihan umum 2004 adalah PDIP, Golkar, PKB, PPP, PAN, dan PBB.
Agenda setelah pemilihan umum adalah Sidang Umum MPR 1999. Melalui Sidang Umum MPR tersebut, kebebasan partai politik kembali ditegaskan dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Salah satu arah kebijakan bidang politik GBHN 1999- 2004 adalah mengembangkan sistem politik nasional yang berkedaulatan rakyat, demokratis dan terbuka, mengembangkan kehidupan kepartaian yang
PPPKPU terdiri atas Nurcholish Madjid (Ketua), Adnan Buyung Nasution (Wakil Ketua), Adi Andoyo Sutjipto (Wakil Ketua), Andi Malarangeng (Sekretaris), Rama Pratama (Wakil Sekretaris), dengan anggota- anggotanya adalah; Afan Gaffar, Mulyana W. Kusumah, Miriam Budiardjo, Kastorius Sinaga, Eep Saifullah 799 Fatah, dan Anas Urbaningrum. Lihat, Jimly Asshiddiqie, Pembubaran Partai Politik, Op. Cit., hal. 197-198. Menurut Kompas, hingga 1999 terdapat 184 partai yang didirikan namun hanya 148 yang mendaftarkan
diri ke Departemen Hukum dan HAM, dan 141 yang mendapatkan pengesahan. Dari jumlah tersebut 48 partai politik yang lolos menjadi peserta pemilihan umum 1999. Lihat, Lili Romli, “Mencari Format Sistem Kepartaian Masa Depan”, Jurnal Politika, Op. Cit., hal. 23. 800 Partai-partai yang memperoleh kursi adalah PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, PK, PKP, PNU, PDKB,
PBI, PDI, PP, PDR, PSII, PNI Front Marhaenis, PNI Massa Marhaen, IPKI, PKU, Masjumi, dan PKD. 801 Ke-27 partai tersebut adalah PDI, Masyumi, PNI Supeni, PKNI, Partai KAMI, PKD, Partai Abdul
Yatama, Partai MKGR, PIB, Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia, PNBI, PUDI, PBN, PKMI, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, PSPSI, PUMI, PSP, dan PRI. 802 Pasal 39 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999.
menghormati keberagaman aspirasi politik. 803 Selain itu juga ditekankan pentingnya kemandirian partai politik dalam memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan rakyat 804 . Sidang Umum MPR 1999 juga berhasil memilih Presiden yang baru, yaitu
Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden terpilih adalah Megawati Soekarno Putri. Namun Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR melalui Sidang Istimewa Tahun 2001 pada 23 Juli 2001. Sidang Istimewa tersebut
memutuskan memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid 805 , dan mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden 806 , serta memilih Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden 807 .
Walaupun terjadi pergantian kekuasaan, namun langkah untuk menjalankan agenda reformasi tetap berjalan. Di antaranya adalah dilaksanakannya perubahan terhadap UUD 1945 yang merupakan salah satu tuntutan reformasi. Perubahan terhadap materi UUD 1945 dapat dikatakan telah dimulai pada Sidang Istimewa MPR 1998, yaitu dengan adanya Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Hal itu secara tidak langsung telah mengubah dan menambah materi UUD 1945. Semua kekuatan fraksi dalam MPR hasil pemilihan umum 1999 mendukung dilakukannya perubahan UUD 1945, termasuk fraksi
TNI/Polri 808 . Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap mulai 1999 hingga 2002
oleh MPR. Partai politik, yang sebelumnya tidak disebut dalam UUD 1945, masuk dalam UUD 1945 hasil perubahan ketiga 809 , yaitu pada ketentuan yang
Bab IV Arah Kebijakan, Huruf C Bidang Politik, Angka 1 Politik Dalam Negeri, huruf d, GBHN 1999- 2004. 804 Bab IV Arah Kebijakan, Huruf C Bidang Politik, Angka 1 Politik Dalam Negeri, huruf e, GBHN 1999-
805 2004. Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. 806
Ditetapkan dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia. 807 Ditetapkan dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik
Indonesia.
809 Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Op. Cit., hal. 51-55 dan 83-114. Ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001, 9 November 2001. Sidang Tahunan MPR diselenggarakan berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
terkait dengan pemilihan Presiden 810 , wewenang Mahkamah Konstitusi memutus pembubaran partai politik 811 , dan tentang pemilihan umum anggota DPR dan DPRD 812 .
Pemilihan umum kedua pada masa reformasi dilaksanakan pada tahun 2004 berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik 813 ; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD 814 ; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; 815 dan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 816 . Pada pemilihan umum 2004, terdapat 80 partai politik yang
mendaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM. Namun setelah melalui proses verifikasi, hanya terdapat 50 partai politik yang lolos dan didaftar menjadi badan hukum. 50 partai politik tersebut mendaftarkan diri menjadi calon peserta pemilihan umum. Setelah dilakukan verifikasi oleh KPU, 24 partai politik lolos
sebagai peserta pemilihan umum 2004. 817 Pada pemilihan umum 2004 terdapat 17 partai politik yang berhasil
memperoleh kursi di DPR. Di antaranya, terdapat 10 partai yang memperoleh lebih dari 10 kursi, yaitu Partai Golkar (128), PDIP (109), PPP (58), PD (57), PAN (52), PKB (52), PKS (45), PBR (13), PDS (12), dan PBB (11).
811 Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. 812 Pasal 22E Ayat 93) UUD 1945. Dengan adanya ketentuan mengenai partai politik dalam UUD 1945 ini, jumlah konstitusi yang menyebutkan partai politik di dalamnya menjadi 73 konstitusi. Namun pengaturan dalam UUD 1945 hasil perubahan tidak secara mendetail.
813 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, UU Nomor 31 Tahun 2002, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4251. 814 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah , UU Nomor 12 Tahun 2003, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277. 815 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah , UU Nomor 22 Tahun 2003, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara 816 Republik Indonesia Nomor 4310. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU Nomor
23 Tahun 2003, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4311. 817 KPU mengeluarkan Keputusan Nomor 105 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penelitian dan Penetapan Partai Politik Menjadi Peserta Pemilihan Umum yang kemudian diubah dengan Keputusan KPU Nomor. 615 Tahun 2003. Ke-24 partai politik peserta pemilihan umum 2004 tersebut adalah PNI Marhaenis, Partai Buruh Sosial Demokrat, PBB, Partai Merdeka, PPP, PPDK, PPIB, PNBK, Partai Demokrat, PKPI, PPDI, PPNUI, PAN, PKPB, PKB, PKS, PBR, PDIP, PDS, Partai Golkar, Partai Patriot, PSI, PPD, dan Partai Pelopor.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, menyatakan bahwa partai politik yang dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya (2009) adalah yang memperoleh sekurang- kurangnya 3% dari jumlah kursi DPR atau 4% dari jumlah kursi DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ jumlah provinsi atau
kabupaten/kota. 818 Dengan demikian, berdasarkan perolehan kursi DPR, partai politik yang seharusnya dapat mengikuti pemilihan umum 2009 adalah Partai
Golkar, PDIP, PKB, PPP, PD, PKS, dan PAN. 819 Selain memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, pada pemilihan umum
2004 untuk pertama kalinya dilangsungkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat berdasarkan Pasal 6A Ayat (1) UUD
1945. 820 Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% jumlah kursi DPR atau 20% perolehan suara sah dalam pemilihan anggota
DPR. 821 Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2004 diikuti oleh 5 pasangan calon, yaitu; (1) Wiranto dan Salahuddin Wahid yang diajukan Partai Golkar; (2)
Megawati Soekarnoputri dan Ahmad Hasyim Muzadi yang diajukan PDIP; (3) Amien Rais dan Siswono Yudhohusodo yang diajukan PAN; (4) Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Yusuf Kalla yang diajukan Partai Demokrat; dan (5) Hamzah Haz dan Agum Gumelar yang diajukan PPP.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan pada 5 Juli 2004. Namun tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dan 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi untuk menjadi pasangan calon terpilih, sesuai dengan ketentuan Pasal 6A Ayat (3) UUD
Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. 819 Ketentuan ini berubah seiring dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang di dalamnya mengubah electoral trashold menjadi parliamentary trashold dan adanya ketentuan peralihan. 820 821 Hasil perubahan ketiga UUD 1945. Pasal 5 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden.
1945. Oleh karena itu, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak, yaitu pasangan calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla (33,57%), dan pasangan calon Megawati Soekarnoputri dan Ahmad Hasyim Muzadi (26,61%). Pemilihan putaran kedua dilaksanakan pada 20 September 2004 yang menghasilkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammah Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2004-2009.
Walaupun kehidupan partai politik sangat marak, namun terdapat pula pandangan yang melihat sisi negatif partai politik dan sistem kepartaian yang berkembang. Banyaknya partai politik menjadi permasalahan tersendiri dalam upaya menjalin kerja sama menuju sinergi nasional. Sistem multi partai dipandang sulit mewujudkan pemerintahan yang stabil, meskipun dalam sistem pemerintahan
presidensiil. 822 Di sisi lain, banyak partai-partai yang ada dinilai kurang mengakar, organisasinya rapuh sehingga sering mengalami konflik internal, kualitas kader
yang kurang baik, serta kepemimpinan yang kurang demokratis. 823 Selain itu, kinerja partai politik selama masa reformasi juga mendapat
banyak sorotan. Sebagai ilustrasi, hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas menunjukan rata-rata 30,83% responden menyatakan kecewa terhadap kiprah partai politik yang dipilih pada pemilihan umum 2004. Sedangkan yang menyatakan tidak kecewa sebesar 60,14%, dan yang tidak menjawab sebesar 8,95%. Dilihat dari kepuasan terhadap kinerja pimpinan partai, 49,84%
menyatakan tidak puas, 39,69% menyatakan puas, dan 17,62% tidak menjawab. 824