TUJUAN DAN ARAH PENGATURAN
6.1. TUJUAN DAN ARAH PENGATURAN
6.1.1. Tujuan Pengaturan
Pengaturan partai politik menjadi salah satu kecenderungan utama negara demokrasi modern mengingat peran partai politik yang semakin penting. Pengaturan partai politik diperlukan untuk mewujudkan sistem kepartaian yang sesuai dengan tipe demokrasi yang dikembangkan dan kondisi bangsa Indonesia. Pengaturan tentang partai politik juga dimaksudkan untuk menjamin kebebasan partai politik itu sendiri, serta membatasi campur tangan berlebihan dari pemerintah yang dapat memasung kebebasan dan peran partai politik sebagai
salah satu institusi yang diperlukan untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. 1012 Di sisi lain, pengaturan juga diperlukan untuk menjamin berjalannya demokrasi
dalam tubuh organisasi dan aktivitas partai politik itu sendiri. Pengaturan partai politik merupakan bagian dari proses institusionalisasi untuk mengembangkan demokrasi. Pengaturan dimaksudkan untuk mewujudkan regularitas kompetisi antarpartai, meningkatkan keluasan akar partai politik dalam masyarakat, meningkatkan penerimaan masyarakat atas hasil pemilihan umum,
dan meningkatkan pengorganisasian internal partai politik. 1013 Salah satu aspek pengaturan partai politik adalah pembubaran partai
politik sebagai salah satu bentuk pembatasan hak asasi manusia, khususnya kebebasan berserikat. Kebebasan berserikat sebagai hak asasi manusia memiliki batasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional dan keselamatan publik, untuk mencegah kejahatan, serta untuk melindungi
kesehatan dan moral, serta untuk melindungi hak dan kebebasan lain. 1014
Salah satu kesimpulan dari survei yang dilakukan Venice Commission di negara-negara Eropa menunjukkan bahwa aktivitas partai politik dijamin oleh prinsip kebebasan berserikat. Bahkan adanya tindakan pembatasan itu sendiri merupakan wujud perhatian terhadap pelaksanaan prinsip kebebasan berserikat. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition, Op. Cit. 1013 1014 Reilly, Op. Cit., hal. 5. Hilaire Barnett, Op. Cit., hal. 589.
Pembatasan yang dibutuhkan dalam masyarakat demokratis merupakan garis apresiasi yang menyeimbangkan antara kepentingan publik dan privat. Pembatasan tersebut harus ditafsirkan secara ketat yang meliputi; bahwa pembatasan harus diatur dalam aturan hukum; harus dilakukan semata-mata untuk mencapai tujuan dalam masyarakat demokratis; dan harus memang benar-benar
dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial. 1015 Sam Issacharoff menyatakan bahwa salah satu bentuk pembatasan yang
dapat dibenarkan dan dibutuhkan dalam negara demokrasi, adalah pembatasan terhadap kelompok yang mengancam demokrasi, kebebasan, serta masyarakat secara keseluruhan. Negara dapat melarang atau membubarkan suatu organisasi, termasuk partai politik, yang bertentangan dengan tujuan dasar dan tatanan konstitusional. Negara demokratis tidak hanya memiliki hak, tetapi juga tugas
untuk menjamin dan melindungi prinsip-prinsip demokrasi konstitusional. 1016 Selain itu, pembatasan juga dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasional
tertentu, seperti loyalitas pada negara dan integrasi dan kedaulatan wilayah. 1017 Tujuan pengaturan pembubaran partai politik dapat dilihat dari ketentuan
yang mengatur alasan pembubaran partai politik. Dari berbagai ketentuan di beberapa negara yang telah dibahas pada bab kedua, pengaturan pembubaran partai politik antara lain bertujuan untuk melindungi (a) demokrasi, (b) konstitusi, (c) kedaulatan negara, (d) keamanan nasional, dan (e) ideologi negara.
Perlindungan terhadap demokrasi, dimaksudkan agar tatanan demokrasi yang sedang berjalan tidak rusak dan digantikan dengan sistem lain yang tidak demokratis. Pemerintahan yang demokratis harus mencegah bentuk-bentuk yang
mengancam demokrasi. 1018 Perlindungan tersebut diwujdukan dalam bentuk larangan program dan kegiatan partai politik yang hendak menghancurkan tatanan
demokrasi, maupun dalam bentuk keharusan partai politik bersifat demokratis baik organisasi maupun cara yang digunakan. 1019
Janusz Symonides, Op. Cit., hal. 91-92.
1017 Sam Issacharoff, Op. Cit., hal. 6 dan 22. Weiner and Lapalombara, Op. Cit., hal. 414.
1019 Dikenal dengan doktrin militant democracy. Lihat Kommers, Op. Cit., hal. 202. Hal itu misalnya dapat dilihat di Albania, Algeria, Angola, Brazil, Cheznya, Korea Selatan, dan Spanyol Article 9 Para 1 Konstitusi Albania menyatakan, “Political parties are created freely. Their organization
shall conform with democratic principles. ” Article 42 Para 2 Konstitusi Algeria menyatakan, “However, this right cannot be used to viole the fundamental liberties … as well as the democratic and republican nature…” . Article 26 Konstitusi Andora menyatakan, “Andorrans have the right freely to create political parties. Their
Perlindungan terhadap konstitusi diwujudkan dalam bentuk ketentuan yang melarang tujuan dan kegiatan partai politik bertentangan dengan konstitusi
atau hendak menghilangkan atau merusak tatanan konstitusional. 1020 Perlindungan terhadap konstitusi juga diwujudkan dalam bentuk adanya ketentuan yang
melarang partai politik secara paksa atau dengan jalan kekerasan hendak mengubah tatanan negara konstitusional atau mengubah konstitusi. 1021 Namun
demikian tujuan mengubah konstitusi yang dilakukan secara demokratis dan damai tidak dapat dijadikan alasan pembubaran partai politik. 1022
Perlindungan terhadap kedaulatan meliputi keharusan partai politik menghormati prinsip kedaulatan nasional, 1023 larangan membahayakan eksistensi
negara, 1024 tidak melanggar kemerdekaan dan kesatuan atau kedaulatan nasional, 1025 hingga larangan afiliasi dan memperoleh pendanaan dari pihak asing. 1026 Perlindungan terhadap keamanan nasional diwujudkan melalui
function and organization must be democratic…”. Article 4 Para 2 Konstitusi Angola menyatakan “Political parties shall, in their objectives, program and activity, contribute to:… (c) The defence of national souvereignity and democracy.” Article 17 Konstitusi Brazil menyatakan, “The creation, consolidation, merger and extinction of political parties is free, with due regard for … the democratic regime…” . Article 5 Konstitusi Cheznya menyatakan, “The political parties is based on free and voluntary formation … respecting the basic democratic precepts…” . Article 4 Konstitusi Perancis menyatakan, “… They must respect the principles of national souvereignty and democracy.” Article 8 Para 2 Konstitusi Korea Selatan menyatakan, “Political parties must be democratic in their objectives, organization, and activities, …”. 1020 Article 6 Konstitusi Spanyol menyatakan, “… Their internal structure and operation must be democratic.” Hal ini misalnya diatur dalam konstitusi Suriname, Spanyol, dan Fiji. Article 53 Para 3 Konstitusi
Suriname menyatakan, “In exercising their rights the political organizations shall take into account the following: a. Their goals may not be in violation of or incompatible with the Constitution and the law. ” Article 6 Konstitusi Spanyol menyatakan, “… Their creation and the exercise of their activity are free within the observance of the Constitution and the laws… ” Article 7 Konstitusi Fiji menyatakan, “… Their activities
1021 may not cotravene the constitution and the laws, …” Misalnya diatur dalam konstitusi Mozambique, Macedonia, dan Belarus. Article 33 Konstitusi Mozambique menyatakan, “Political parties shall be prohibited from advocating or resorting to violence in
order to change the political and social order of the country.” Article 20 Para 3 Konstitusi Macedonia menyatakan, “The programs and activities of political parties and other associations of citizens may not be directed at the violent destruction of the constitutional order of the Republic… ” Article 5 Para 3 Konstitusi Belarus menyatakan, “The creation and activites of political parties and other public associations that aim to change the constitutional system by force…shall be prohibited.” 1022
European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition, Op. Cit 1023 ., hal. 2-3. Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat, Op. Cit., hal. 130-134.
Misalnya, Article 31-1 Konstitusi Haiti yang menyatakan, “… They must respect the principles of national and democratic sovereignty…” ; Article 28 Para 2 Konstitusi Mali menyatakan, “They must respect the principles of national sovereignty, …” 1024
Misalnya, Article 21 Para 2 menyatakan, “Parties which, by reason on their aims or behavior of their adherents, … or to endanger the existence of the Federal Republic of Germany are unconstitutional…” 1025 Misalnya, Article 26 Konstitusi Iran yang menyatakan, “…they do not violate the principles of
independent, freedom, national unity,…” ; Article 11 Para 1 Konstitusi Mauritania menyatakan, “…their actions they do do not undermine national sovereignty…” ; Article 41 Para 4 Konstitusi Moldova menyatakan, “Parties and social/political organizations are declared unconstitutional by their aims or activities they are engaged in fighting against … the sovereignty and independent territorial integrity of the
1026 Republic Moldova.” Misalnya, Article 35 Para 2 konstitusi Afghanistan yang menyatakan, “…The party should have no affiliation to a foreign political party sources.” 1026 Republic Moldova.” Misalnya, Article 35 Para 2 konstitusi Afghanistan yang menyatakan, “…The party should have no affiliation to a foreign political party sources.”
Perlindungan terhadap ideologi negara adalah perlindungan terhadap faham atau asas tertentu yang dipandang sebagai dasar negara, misalnya
pluralisme, 1032 ajaran agama tertentu, atau bahkan prinsip sekularisme. Perlindungan ini juga diwujudkan dalam bentuk larangan partai politik menganut
atau menjalankan program berdasarkan ideologi atau faham tertentu yang dipandang bertentangan dengan ideologi dan konstitusi negara. 1033
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembubaran partai politik di Indonesia, kepentingan utama yang hendak
dilindungi adalah ideologi Pancasila, 1036 konstitusi dan kedaulatan nasional.
Misalnya, Article 7 Konstitusi Rwanda menyatakan, “… They shall be formed and shall exercise their activities freely provided that they respect …, and the security of the State. ”; Article 13 Para 5 Konstitusi Rusia menyatakan, “The establishment and the activities of public associations, whose aims and actions are …and undermining of the security of the state… are prohibited ”; Article Article 8 Para 2 Konstitusi Kongo menyatakan, “Any propaganda or any act aiming to touch the internal security of the state,… shall be
1028 unconstitutional and punished by the laws and regulations in effect.” Misalnya Article 20 Para 3 Konstitusi Macedonia menyatakan “The programs and activities of political parties and other associations of citizens may not be directed at… or at encouragement or incitement to
military aggression or ethnic, racial or religious hatred or intolerance. ”; Article 26 Para 3 Konstitusi Georgia menyatakan, “The formation and activity of such public and political associations aiming at … or propagandising war or violence, provoking national, local, religious or social animosity, shall be impermissible.”
1029 Misalnya, Article 17 Para 4 Konstitusi Brazil menyatakan, “Political Parties are forbidden to use paramilitary organizations.” ; Article 35 Para 2 Konstitusi Afghanistan menyatakan, “The party does not
have military or paramilitary aims and structure.” 1030 Misalnya Article 11 Para 1 Konstitusi Bulgaria menyatakan, “Politics in the Republic of Bulgaria shall
founded on the principle of political plurality” dan Para 4 yang menyatakan “There shall be no political parties on ethnic, racial, or religious line, …” ; Article 125 Para 2 Konstitusi Cape Verde menyatakan, “The political parties shall not adopt denominations which directly or indirectly, … the church, religion or religious creed…” 1031
Misalnya Article 26 Konstitusi Iran menyatakan, “The formation of parties, societies, political or 1032 professional associations, … is permitted provided the do not violated… the criteria of Islam…” Misalnya, Article 28 Para 2 Konstitusi Mali menyatakan, “They must respect the principles of … and the
secularity of the State.” 1033 Misalnya, Article 13 Konstitusi Polandia yang menyatakan, “Political parties and other organizations
whode programmes are based upon totalitarian methods and the modes of activity of nazism, fascism and communism, … shall be forbidden.” 1034 Pada masa Orde Lama diwujudkan dalam bentuk persyaratan menerima dan mempertahankan UUD 1945
yang memuat dasar Pancasila, serta larangan bertentangan atau bermaksud mengubah asas dan tujuan negara. Pada masa Orde Baru diwujudkan dalam bentuk kewajiban mencantumkan asas Pancasila dan UUD 1945 sebagai satu-satunya asas, larangan menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau faham Komunisme/Marxisme-Leninisme, serta ajaran atau faham lain yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pada masa reformasi diwujudkan dalam bentuk larangan menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau faham Komunisme/Marxisme-Leninisme, serta ajaran atau faham lain yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. 1035 Ketentuan yang menunjukkan tujuan perlindungan terhadap konstitusi secara jelas adalah Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, di mana dasar pembubaran partai politik adalah ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945.
Tujuan untuk melindungi tatanan demokrasi dalam ketentuan yang pernah berlaku di Indonesia hanya ada dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959 yang menyatakan bahwa partai politik dalam memperjuangkan tujuannya harus menggunakan cara damai dan demokratis. Dapat saja dikatakan bahwa tujuan melindungi demokrasi sudah tercakup dalam perlindungan terhadap konstitusi. Namun perlu diingat bahwa prinsip demokrasi lebih luas dan tidak seluruhnya tercakup dalam konstitusi tertulis.
Selain itu, dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia pengaturan pembubaran partai politik juga memiliki tujuan untuk menjaga stabilitas pemerintahan. Pada masa Orde Lama hal itu dapat dilihat dari syarat pengakuan partai politik harus mendasarkan kerjanya pada Manifesto
Presiden 17 Agustus 1959. 1037 Pada masa Orde Baru hal itu dapat dilihat pada alasan pembekuan pengurus partai politik karena tidak melaksanakan kewajiban
melaksanakan, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila. Pengertian dan cara menjalankan kewajiban tersebut ditentukan sepihak oleh pemerintah. Pada masa reformasi, kepentingan untuk menjaga stabilitas dapat dilihat dari kewajiban partai politik berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang salah satunya adalah menyukseskan pembangunan nasional.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, tujuan
pengaturan pembubaran partai politik adalah untuk melindungi ideologi 1038 ,
konstitusi 1040 , kedaulatan dan keselamatan negara . Tujuan tersebut perlu dirinci terutama untuk melindungi prinsip demokrasi dan negara hukum yang
diyakini sebagai prinsip dasar dalam UUD 1945. Hal itu dimaksudkan agar
Pada masa Orde Lama diwujudkan dalam bentuk alasan pembubaran jika sedang melakukan pemberontakan. Pada masa Orde Baru diwujudkan dalam bentuk larangan menerima dan/atau memberikan dana/dan atau sumbangan kepada pihak asing. Sedangkan pada era reformasi diwujudkan dalam bentuk larangan pembentukan partai politik yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. 1037
Pasal 3 Ayat (1) Penpres Nomor 7 Tahun 1959. 1038 Pasal 48 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Ketentuan ini dapat dibandingkan dengan
Article 13 Konstitusi Polandia yang menyatakan, “Political parties and other organizations whode programmes are based upon totalitarian methods and the modes of activity of nazism, fascism and communism, … shall be forbidden.” 1039
Pasal 68 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Ketentuan ini dapat dibandingkan dengan Article 7 Konstitusi Fiji menyatakan, “… Their activities may not cotravene the constitution and the laws, …” 1040
Pasal 48 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Ketentuan ini misalnya dapat dibandingkan dengan Article 31-1 Konstitusi Haiti yang menyatakan, “… They must respect the principles of national and democratic sovereignty… ”, dan Article 28 Para 2 Konstitusi Mali menyatakan, “They must respect the principles of national sovereignty, …” Pasal 48 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Ketentuan ini misalnya dapat dibandingkan dengan Article 31-1 Konstitusi Haiti yang menyatakan, “… They must respect the principles of national and democratic sovereignty… ”, dan Article 28 Para 2 Konstitusi Mali menyatakan, “They must respect the principles of national sovereignty, …”
Di masa yang akan datang, pengaturan pembubaran partai politik perlu juga ditujukan untuk melindungi keamanan nasional. Program atau kegiatan partai politik yang dapat mengganggu keamanan nasional misalnya adalah yang dapat menimbulkan kerusuhan sosial. Tujuan ini dielaborasi lebih lanjut ke dalam alasan-alasan pembubaran partai politik di masa mendatang yang akan dibahas pada sub bagian tersediri.
6.1.2. Arah Sistem Kepartaian
Pengaturan partai politik juga dimaksudkan untuk mewujudkan sistem kepartaian yang dipandang sesuai dengan kondisi bangsa. Pengaturan yang bertujuan untuk mengembangkan sistem kepartaian dalam negara demokrasi harus tanpa memberikan keistimewaan terhadap partai politik tertentu dan atau menghilangkan hak pembentukan partai politik baru. Jika dilihat dari jumlah major party di negara-negara demokrasi, sistem kepartaian yang berkembang adalah sistem dua partai atau sistem multi partai. Sedangkan sistem satu partai
merupakan salah satu ciri dari kepartaian negara otokrasi. 1041 Antara sistem dua partai dan sistem multipartai, masing-masing memiliki
kelemahan dan kelebihan. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Lijphart, sistem dua partai merupakan tipikal model demokrasi mayoritas, sedangkan
sistem multi partai merupakan tipikal negara demokrasi konsensus. 1042 Jika dilihat dari karakteristik demokrasi di Indonesia, terutama yang
berkembang pasca reformasi, dapat ditentukan bahwa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi konsensus. Indonesia adalah sebuah negara dengan masyarakat yang plural baik dari sisi agama, ideologi, bahasa, budaya, etnis, ataupun ras. Tidak ada negara pada masyarakat yang plural menggunakan demokrasi mayoritas karena cenderung mengakibatkan minoritas tidak memiliki akses terhadap kekuasaan. Dalam demokrasi mayoritas, kelompok minoritas cenderung
1042 Kelsen, General Theory of Law and State, Op. Cit., hal. 301-302. Lijphart, Op. Cit., hal. 63.
terpinggirkan. Oleh karena itu, negara-negara yang memiliki keragaman lebih baik menganut model demokrasi konsensus. 1043
Karakteristik demokrasi konsensus juga dapat dilihat dari susunan kabinet yang selalu merupakan koalisi atau pembagian kekuasaan di antara beberapa partai politik. Antara kekuasaan Presiden (executive power) dan kekuasaan DPR (legislative power) bersifat seimbang. Presiden tidak dapat membubarkan DPR, dan DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Hal itu merupakan konsekuensi sistem presidensiil yang dianut Indonesia. Pada model demokrasi mayoritas, kekuasaan kabinet lebih dominan karena kabinet diisi oleh orang-orang yang merupakan pimpinan partai mayoritas dalam parlemen. Selain itu, peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat diuji terhadap Undang-undang Dasar. Hal
itu merupakan karakteristik demokrasi model konsesus. 1044 Sedangkan demokrasi mayoritas tidak mengenal judicial review karena menganut supremasi parlemen.
Dengan demikian, sistem kepartaian yang sesuai dengan model demokrasi Indonesia, model demokrasi konsensus, adalah sistem multi partai. Namun, patut dipertimbangkan kelemahan sistem multi partai yang mengakibatkan pemerintahan kurang stabil. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, sistem multi partai yang dikembangkan akan lebih baik jika merupakan sistem multi partai sederhana dengan beberapa partai dominan.
6.1.3. Paradigma Pengaturan
Dilihat dari sisi hubungan antara negara dan partai politik, pada bab kedua telah diuraikan lima paradigma pengaturan partai politik yang dikemukakan oleh Persily dan Cain, yaitu managerial, libertarian, progressive, poltical markets, dan
pluralist 1045 . Berdasarkan pengaturan partai politik pada periode Orde Lama dan Orde Baru, paradigma yang digunakan adalah managerial. Hal itu sesuai dengan
sifat rejim Orde Lama dan Orde baru yang cenderung otoriter. 1046 Pergeseran terjadi pada masa reformasi demokrasi, yang pada awalnya cenderung political
1044 Ibid, hal. 32 – 33. Ibid, hal. 41.
1046 Persily dan Cain, Op. Cit., hal. 4. Moh. Mahfud M.D. membedakan konfigurasi politik menjadi demokratis dan otoriter. Konfigurasi tersebut dibuat berdasarkan tiga indikator, yaitu peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan pers, dan
peranan eksekutif. Berdasarkan indikator tersebut, Mahfud menggolongkan periode demokrasi terpimpin (1959-1966) dan Orde Baru (1966-1998) dalam konfigurasi politik otoriter. Lihat, Moh. Mahfud MD, Op. Cit., hal. 4 dan 355.
markets , namun selanjutnya diimbangi dengan unsur-unsur paradigma managerial dan progressive. Hal itu dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 6.1. Paradigma Pengaturan Partai Politik
Paradigma
Periode Peraturan
Pengaturan
1. Penpres No. 7 Tahun 1959 2. Perpres No. 13 Tahun 1960
Managerial Orde Lama
3. Perpres No. 25 Tahun 1960
1. UU No. 3 Tahun 1975 2. PP No. 9 Tahun 1975
Managerial Orde Baru
3. UU No. 3 Tahun 1985 4. PP No. 19 Tahun 1986
1. UU No. 2 Tahun 1999
Political Markets Libertarian
Reformasi Libertarian
1. UU No. 31 Tahun 2002
Political Markets
2. UU No. 24 Tahun 2003
Managerial Progressive
Paradigma managerial pada masa Orde Lama dan Orde Baru dapat dilihat dari kedudukan partai politik yang diposisikan sebagai instrumen negara untuk
menjaga stabilitas. 1047 Pengaturan partai politik diarahkan untuk menyederhanakan partai politik pada masa Orde Lama 1048 dan membentuk sistem kepartaian terbatas pada masa Orde Baru. 1049 Mengingat partai politik
ditempatkan sebagai instrumen negara, negara dapat melakukan intervensi terhadap partai politik, 1050 serta peran partai politik dibatasi melalui mekanisme
Pada masa Orde Lama, partai politik diposisikan sebagai salah satu alat untuk menjalankan demokrasi terpimpin. Hal itu dapat dilihat dari Penjelasan Umum Penpres Nomor 7 Tahun 1959 yang menyatakan bahwa Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 ternyata tidak berhasil mencapai stabilitas politik, oleh karena itu dipandang tiba saatnya untuk mencabut Maklumat tersebut serta mengatur perkembangan partai politik sebagai alat demokrasi sehingga dapat berlangsung dalam suasana demokrasi terpimpin. Sedangkan pada masa Orde Baru paradigma managerial dapat dilihat dari konsideran “menimbang” huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 yang menyatakan “bahwa dengan adanya tiga organisasi kekuatan sosial politik tersebut, diharapkan agar Partai-Partai Politik dan Golongan Karya benar-benar dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan Bangsa, stabilitas nasional serta terlaksananya percepatan pembangunan. 1048
Hal ini dapat dilihat mulai dari latar belakang munculnya Penpres Nomor 7 Tahun 1959 terutama gagasan Presiden Sukarno mengubur partai-partai politik, hingga judul Penpres itu sendiri, yaitu “Sjarat-Sjarat dan Penjederhanaan Kepartaian”.
1049 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 menyatakan secara tegas bahwa yang dimaksud dengan organisasi kekuatan sosial politik terdiri atas
PPP, PDI, dan Golkar. Hal itu berarti membatasi organisasi politik hanya pada tiga organisasi tersebut. Apalagi dalam undang-undang tidak ada ketentuan yang mengatur pembentukan partai baru. 1050
Pada tataran normatif, hal itu dapat dilihat dari mekanisme pengakuan dan pembubaran partai politik periode Orde Lama yang wewenangnya ada pada Presiden. Demikian pula halnya dengan pembekuan Pada tataran normatif, hal itu dapat dilihat dari mekanisme pengakuan dan pembubaran partai politik periode Orde Lama yang wewenangnya ada pada Presiden. Demikian pula halnya dengan pembekuan
Pada masa reformasi, paradigma pengaturan partai politik mengalami pergeseran. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, paradigma yang
menguat adalah political markets. 1052 Partai politik lebih ditempatkan sebagai bentuk kebebasan berserikat yang diakui dan diperlukan di alam demokrasi. 1053
Kebebasan tersebut menempatkan partai politik pada awalnya sebagai organisasi privat individu walaupun aktivitas dan tujuannya bersifat publik. 1054 Adanya
kebebasan tersebut juga mengarah pada sistem multi partai 1055 serta pengakuan kemandirian 1056 partai politik sesuai dengan tujuan dan aspirasi politik yang
berbeda-beda agar dapat menawarkan pilihan politik kepada masyarakat. Partai politik juga memiliki peran besar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa
dan bernegara. 1057 Paradigma political markets dalam perkembangannya diimbangi dengan
paradigma manajerial berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 yang memberikan persyaratan lebih ketat untuk pendirian partai politik yang diarahkan
pengurus partai politik pada masa Orde Baru yang juga dimiliki oleh Presiden, bahkan meliputi juga wewenang pengawasan dan pembinaan. Sedangkan pada tingkat praktik pada masa Orde Lama terlihat dari pembekuan Partindo tanpa memiliki dasar hukum. Pada masa Orde Baru intervensi dapat dilihat pada proses pembentukan Parmusi dan PNI yang harus dilakukan sesuai kehendak Presiden, serta proses fusi partai politik yang dipaksakan. 1051
Untuk mengimbangi kekuatan partai politik pada masa Orde Lama, disamping pengangkatan anggota DPRGR dan MPRS dari unsur kekaryaan, juga dibentuk Dewan Nasional. Sedangkan pada masa Orde Baru untuk membatasi kekuatan partai politik, sebagian anggota DPR dan MPR diangkat dari unsur golongan kekaryaan ABRI dan non ABRI. 1052
Persily and Cain, Op Cit., hal. 6-8.
1054 Lihat konsideran “Menimbang” huruf c, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 menyatakan “Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan Partai Politik adalah setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik
Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggota maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum.” 1055
Partai politik bebas didirikan setelah memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Bahkan Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa sekurang-kurangnya 50 orang WNI yang telah berusia 21 tahun dapat membentuk partai politik. 1056
Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 menyatakan bahwa kedaulatan partai politik berada di tangan anggota. Sedangkan Ayat (4)-nya menyatakan bahwa partai politik bersifat mandiri dalam mengatur rumah tangga organisasinya. Selain itu, syarat pembekuan dan pembubaran partai politik juga diatur lebih mendetail dengan kewenangan pada MA setelah adanya keputusan hukum yang tetap dan MA telah memberikan peringatan tertulis sebanya tiga kali. 1057
Semua anggota DPR dan DPRD dipilih oleh rakyat dari calon yang diajukan oleh partai politik. Selain itu calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, pemilihan kepala daerah dilakukan berdasarkan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 oleh DPRD sehingga peran partai politik pun sangat besar.
untuk membentuk sistem multi partai sederhana. 1058 Selain itu, juga terdapat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang mengatur mekanisme pembubaran
partai politik yang bertentangan dengan UUD 1945. Namun demikian kebebasan pembentukan partai politik tetap dijamin, bahkan dapat dibentuk partai politik
lokal berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 1059 dan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006, 1060 sehingga unsur paradigma political markets
masih tetap ada. Di sisi lain pada periode tersebut juga mulai terlihat unsur-unsur paradigma progressive berupa pengaturan yang lebih komprehensif untuk
memastikan berjalannya demokrasi hingga pada tataran internal partai politik. 1061 Unsur paradigma progressive juga dapat dilihat dari reformasi demokrasi dengan
menerapkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, pemilihan anggota DPD dari calon perseorangan, dan dibukanya kesempatan bagi calon
perseorangan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah. 1062 Lima paradigma pengaturan partai politik memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing sehingga kurang tepat apabila hanya dipilih salah satu paradigma saja untuk diterapkan dalam pengaturan partai politik di masa
mendatang. 1063 Untuk mewujudkan pengaturan partai politik sesui dengan tujuan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan hukum, unsur-unsur dari
setiap paradigma dapat diakomodasikan.
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 menyatakan bahwa untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem multi partai sederhana. 1059 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang memberikan
hak bagi penduduk Papua membentuk Partai politik, namun belum dapat dilaksanakan karena tidak ada ketentuan lebih lanjut tentang partai politik lokal di Papua 1060 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang juga memberikan hak
masyarakat Aceh membentuk partai politik lokal dengan pengaturan yang lebih lengkap dan telah ada Peraturan Pemerintah pelaksananya (PP No. 20 Tahun 2007). 1061 Selain fungsi, hak, dan kewajiban, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 juga mengatur kedaulatan
partai dan kepengurusan partai politik yang harus dipilih secara demokratis. 1062 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Diucapkan pada Sidang Pleno yang terbuka untuk umum pada Senin, 23 Juli 2007. Perkembangan terbaru dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemilu terkait reformasi sistem pemilihan adalah dianutnya sistem pemilihan proporsional daftar terbuka yang mempertimbangkan perolehan suara calon minimal 30% dalam penentuan perolehan kursi. 1063
Kelebihan dan kekurangan masing-masing paradigma pengaturan telah diuraikan pada Bab Kedua.
Tabel 6.2. Paradigma Pengaturan Partai Politik di Masa Mendatang
Paradigma Unsur
Libertarian
Kebebasan berserikat dan perlakuan yang sama
Political Markets
Menawarkan pilihan kepada para pemilih
Managerial
Perlunya stabilitas pemerintahan
Progressive Demokratisasi internal dan adanya kekuatan penyeimbang partai politik
Pluralist Demokratisasi internal dengan jumlah dan luas dukungan partai politik yang memadai
Sebagai dasar acuan pengaturan partai politik adalah bahwa partai politik merupakan organisasi kelompok kepentingan yang harus dijamin sesuai dengan
prinsip kebebasan berserikat, berpendapat, dan bebas dari diskriminasi negara. 1064 Hal itu merupakan pandangan dasar paradigma libertarian. Hal itu sejalan pula
dengan pandangan political markets, bahwa tujuan partai politik adalah menawarkan pilihan kepada pemilih. 1065 Sukses tidaknya suatu partai politik
bergantung kepada keberhasilan memberikan pilihan kepada konsumen pemilih. Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan pengaturan agar prosedur demokrasi yang kompetitif dapat berjalan.
Pengaturan negara, yang menurut paradigma libertarian harus dihindari untuk mencegah intervensi negara, tetap dibutuhkan agar pemerintahan yang terwujud dapat berjalan stabil seperti yang menjadi pandangan paradigma
managerial 1066 . Namun, pengaturan itu harus dilakukan secara terukur agar tidak menjadi intervensi yang berlebihan seperti pengistimewaan pada partai politik
tertentu ataupun pembatasan pembentukan partai politik. 1067 Pengaturan juga diarahkan untuk mendorong proses demokratisasi partai
politik. Hal itu diperlukan untuk mencegah munculnya kepentingan minoritas yang memanipulasi suara pemilih dan timbulnya oligarki baik internal partai politik maupun dalam sistem politik seperti yang dikhawatirkan oleh pandangan progressive dan pluralist. Untuk itu pengaturan partai politik diimbangi oleh
1065 Percily and Cain, Op Cit., hal. 5 footnote no. 27. 1066 Ibid., hal. 7. Ibid., hal. 4.
1067 Pengistimewaan partai politik tertentu atau pembatasan pembentukan partai politik adalah salah satu ciri negara otokratis. Lihat, Kelsen, General Theory, Op. Cit., hal. 265.
pengaturan prosedur pemilihan umum yang dapat mengontrol dan mengimbangi kekuasaan partai politik. Salah satunya adalah adanya calon perseorangan, sistem
pemilihan yang mengedepankan calon dan prosedur pemilihan langsung. 1068 Partai politik juga harus memiliki mekanisme demokrasi internal dengan dukungan
jumlah yang mencukupi serta sebaran yang luas. 1069 Arah pengaturan partai politik juga patut mempertimbangkan pedoman
dari Venice Commission yang telah dikemukakan pada Bab Kedua. Jika diadopsikan di Indonesia pedoman tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut. 1070
1. Negara harus mengakui bahwa setiap orang mempunyai hak berorganisasi secara bebas dalam partai politik. Persyaratan pendaftaran partai politik
tidak dimaksudkan untuk melanggar hak-hak tersebut. 1071
2. Jika ada pembatasan terhadap pelaksanaan hak dasar melalui partai politik tersebut harus tetap konsisten dan relevan dengan ketentuan perlindungan hak asasi manusia dalam UUD 1945 dan instrumen hak asasi manusia
lainnya baik nasional maupun internasional. 1072
3. Persyaratan terkait dengan pendaftaran harus merupakan sesuatu yang memang diperlukan dalam masyarakat demokratis dan secara obyektif proporsional antara tujuan yang hendak dicapai dan persyaratannya. Prosedur pendaftaran partai politik harus tidak berlebihan (excessive) baik terkait dengan keterwakilan teritorial maupun keanggotaan minimal.
Percily and Cain, Op Cit., hal. 6.
1070 Ibid., hal. 9; bandingkan dengan Lijphart, Op. Cit., hal. 243-257. European Commission for Democracy Through Law (Venise Commission), Guideline on Prohibition, Op. Cit . hal. 130-134.
1071 Hal ini merupakan konsekuensi jaminan kebebasan berserikan dalam Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945. Jaminan terhadap kebebasan berserikat merupakan hal yang esensial dalam negara demokrasi.
Oleh karena itu dalam konstitusi demokrasi selalu terdapat jaminan kebebasan berserikat. Misalnya Article 6 Para 1 Konstitusi Georgia menyatakan “Everyone shall have the right to form and join public associations, including trade union” ; Article 21 Konstitusi Jepang menyatakan, “Freedom of assembly and association as well as speech, press and all other forms of expression are guaranted”; dan Article 18 Konstitusi Afrika Selatan menyatakan, “Everyone has the right to freedom of association.” 1072
Berdasarkan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 pembatasan dapat dilakukan yang ditetapkan dengan undang- undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang asil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis. Pembatasan tersebut juga terdapat dalam Article 29 Para 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Di negara-negara lain pembatasan tersebut juga diatur, misalnya Section 32 Para 2 Konstitusi Fiji menyatakan, “A law may limit, or may authorise the limitation of the right to freedom of association: (a) in the interests of national security, public safety, public order, public morality or public health; (b) for the purpose of imposing reasonable restrictions on the holders of public offices in order to secure their impartial service; but only to the extent that the limitation is reasonable and justifiable in a free and democratic society.”
4. Negara harus selalu netral dalam proses pembentukan, pendaftaran dan aktivitas partai politik, serta tidak memberikan keistimewaan pada partai politik tertentu. Semua partai politik harus diberikan kesempatan yang
sama untuk berpartisipasi. 1073
5. Pelarangan atau pembubaran partai politik dibenarkan dalam kasus partai politik melakukan tindakan dengan menggunakan kekerasan sebagai alat politik untuk menjatuhkan tatanan demokrasi konstitusional dan
bertentangan dengan UUD 1945. 1074
6. Sebelum meminta lembaga yudisial yang berkompeten untuk melarang atau membubarkan partai, pemerintah atau organ negara lain harus menilai, dengan memperhatikan situasi negara, apakah partai tersebut benar-benar menjadi ancaman bagi kebebasan dan tatanan politik yang demokratis atau hak-hak indivudu, atau apakah tidak ada tindakan lain
yang kurang radikal untuk mencegah bahaya tersebut. 1075
7. Pelarangan atau pembubaran partai politik harus merupakan konsekuensi dari temuan yudisial tentang pelanggaran konstitusional yang tidak biasa
serta diambil berdasarkan prinsip proporsionalitas. 1076 Upaya-upaya tersebut harus berdasarkan bukti yang cukup bahwa partai politik itu
sendiri, tidak hanya individu anggotanya, yang melakukan pelanggaran serta menggunakan cara yang tidak konstitusional.
Hal ini sesuai dengan prinsip non diskriminasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 dan sesuai dengan prinsip persamaan dihadapan hukum yang dijamin Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Selain itu, prinsip ini juga di kemukakan oleh Persily and Cain dengan istilah principles of equal treatment sebagai salah satu prinsip pengaturan partai poltik. Lihat Persily and Cain, Op. Cit., hal. 12. 1074
Sesuai dengan pembatasan berdasarkan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Maksud bertentangan dengan UUD 1945 sudah meliputi bertentangan dengan tujuan dan dasar negara, prinsip negara hukum dan demokrasi, kedaulatan, dan keamanan nasional. Dapat dibandingkan misalnya dengan Article 3 Para 1 Konstitusi Hungaria yang menyatakan, “In the Republic of Hungary, political parties may be freely founded and may act in freedom provided they show respect for the Constitution and the statutes of constitutional 1075 law.” Thomas Ayres menyebut ketentuan ini dengan istilah “party dissolution as a “drastic measure” to be
applied “only in the most serious cases”. Lihat, Thomas Ayres, Batasuna Banned: The Dissolution of Political Parties Under the European Convention of Human Rights , www.bc.edu/schools/law/lawreviews/meta-elements/journals/bciclr/ 27_1/02_TXT.htm 1076 , 14/03/2007, hal. 3.
Dapat dibandingkan dengan Chapter I Article 5 Para 19 yang menyatakan, “Association may only be compulsorily dissolved or have their activities suspended by court decision, and, in the first case, only if the decision is final and unappealable”; dan Article 12 Para 2 Konstitusi Yunani yang menyatakan, “An association may not be dissolved for violating the laws or a fundamental provision of by-laws without a court decision.”