Bentuk-Bentuk Pembubaran Dalam Peraturan dan Praktik

6.3.1. Bentuk-Bentuk Pembubaran Dalam Peraturan dan Praktik

Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan praktik pembubaran yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, pembubaran secara paksa oleh otoritas negara terwujud dalam beberapa macam cara, baik dalam bentuk kebijakan maupun keputusan yang mengakibatkan hilangnya eksistensi hukum partai politik

sehingga dapat dimasukkan dalam kategori pembubaran partai politik. 1102 Bentuk- bentuk pembubaran berdasarkan peraturan perundang-undangan dan praktik

pelaksanaannya di Indonesia dapat dilihat pada tabel 6.3. berikut ini.

Tabel 6.3.

Bentuk-Bentuk Pembubaran Partai Politik

Periode Peraturan

Bentuk

Praktik

Orde Lama

1. Penpres No. 7

1. Penyederhanaan

1. Penolakan pengakuan PSII

Tahun 1959.

melalui proses

Abikusno, PRN Bebasa, PRI dan

2. Perpres No. 13

pengakuan Parpol.

PRN Djody (Keppres No.

Tahun 1960.

2. Pembubaran oleh

3. Perpres No. 25

Presiden dengan

2. Pembubaran Masjumi (Keppres

pembubaran diri

3. Pembubaran PSI (Keppres No.

Parpol.

201/1960). 4. Pembekuan Partai Murba (Keppres No. 21/1965)

Orde Baru

1. Penpres No. 7

Pembubaran PKI (Keppres No.

Tahun 1959.

1/3/1966 dasar hukumnya

2. Perpres No. 13

Supersemar, dikuatkan dengan Tap

Tahun 1960.

MPRS No. XXV/MPRS/1966).

3. Perpres No. 25

Pembekuan Partindo (Keppres Nomor

Tahun 1960.

57 Tahun 1968)

1. UU No. 3 Tahun

1. Kebijakan Fusi

Fusi Partai Politik menjadi PPP, PDI,

1975 1103 Parpol.

dan Golkar (Tap MPR No.

2. PP No. 9 Tahun

2. Pembekuan Pengurus

IV/MPR/1973 dan UU No. 3 Tahun

Parpol oleh Presiden.

3. UU No. 3 Tahun 1985. 4. PP No. 19 Tahun 1986

Reformasi UU No. 2 Tahun 1999. 1. Pembubaran oleh MA. 1. Gugatan pembekuan dan/atau

2. Pembekuan sementara

pembubaran Partai Golkar

oleh pengadilan.

(Perkara 01.G/WPP/2000 tidak dapat diterima, Perkara 02.G/WPP/2001 ditolak). 2. Maklumat Presiden 23 Juli 2001, pembekuan Partai Golkar (dinyatakan bertentangan dengan

Hakim Maruarar Siahaan menyatakan bahwa memang terdapat berbagai bentuk hilangnya eksistensi hukum partai politik. Namun semua bentuk tersebut pada kenyataannya adalah pembubaran. Wawancara pada 1103 25 Oktober 2007. Kebijakan fusi dalam Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Tap MPRS Nomor

XXII/MPRS/1966 yang mengamanatkan penyederhanaan partai politik dan Tap MPR Nomor IV/MPR/1973 yang menegaskan bahwa pemilihan umum berikutnya akan diikuti oleh dua partai politik dan satu golongan karya, padahal saat itu terdapat lebih dari dua partai politik.

hukum oleh Fatwa MA No. KMA 419/7/2001, dan dinyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum oleh Tap MPR No. I/MPR/2001)

1. Pasal 24C Ayat

1. Pembubaran oleh MK.

(1) UUD 1945.

2. Pembekuan sementara

2. UU No. 31 Tahun

(1 tahun) oleh

pengadilan.

3. UU No. 24 Tahun

3. Pembatalan status

badan hukum oleh pemerintah.

Berdasarkan tabel di atas, dilihat dari sisi praktiknya, terdapat peristiwa pembubaran partai politik yang dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Namun di sisi lain juga terdapat praktik pembubaran yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu.

Praktik pembubaran yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku adalah penolakan pengakuan partai politik pada masa Orde Lama, Pembubaran Masjumi dan PSI, kebijakan fusi partai politik pada masa Orde Baru, serta gugatan pembekuan dan pembubaran Partai Golkar di MA pada masa reformasi. Di antara praktik pembubaran tersebut, gugatan pembekuan dan pembubaran Partai Golkar di MA tidak berakhir dengan pembekuan atau pembubaran Partai Golkar karena putusan MA menyatakan gugatan tidak dapat

diterima untuk satu perkara, dan satu perkara lainnya ditolak. 1104 Sedangkan praktik pembubaran yang tidak sesuai dengan ketentuan

hukum yang berlaku adalah pembekuan Partai Murba pada masa Orde Lama, 1105

pembubaran PKI 1107 dan pembekuan Partindo pada masa Orde Baru, serta Pembekuan Partai Golkar 1108 melalui Maklumat Presiden tanggal 23 Juli 2001

Perkara No. 01.G/WPP/2000 diputus tidak dapat diterima pada tanggal 13 Maret 2000 karena berkaitan dengan Perkara No. 521/PDT.G/1999/PN.JKT.PST yang masih dalam proses persidangan sehingga perkara No. 01.G/WPP/2000 dinilai belum waktunya diajukan ke MA. Sedangkan Perkara 02.G/WPP/2001 diputus ditolak pada 31 Juli 2001 karena tidak cukup bukti yang menunjukkan bahwa Partai Golkar telah melanggar batasan dan aturan pendanaan pemilihan umum. 1105

Berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 tidak dikenal adanya pembekuan partai politik. 1106 Ketentuan yang berlaku pada saat itu adalah Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Namun ketentuan hukum

sebagai dasar Keppres Nomor 1/3/1966 adalah Supersemar, bukan Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Keppres Nomor 1/3/1966 juga dibuat tanpa ada pertimbangan dari MA seperti disyaratkan oleh Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Keppres Nomor 1/3/1966 ditandatangani oleh Soeharto sebagai pengemban Supersemar, bukan oleh Presiden pada saat itu, yaitu Soekarno.

1107 Dalam ketentuan yang berlaku pada saat itu, yaitu Penpres Nomor 7 Tahun 1959, tidak diatur pembekuan partai politik. 1108

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, wewenang pembekuan partai politik ada pada MA.

pada masa reformasi. 1109 Pembekuan Partai Golkar melalui Maklumat Presiden 23 Juli 2001 tidak berlaku efektif karena dinyatakan bertentangan dengan hukum

oleh Fatwa MA No. KMA 419/7/2001. Fatwa tersebut selanjutnya dikuatkan dengan Tap MPR No. I/MPR/2001 yang menyatakan bahwa Maklumat tersebut tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.

Berdasarkan pembubaran dalam peraturan perundang-undangan dan praktiknya, dapat diklasifikasikan pembubaran partai politik berdasarkan jenis tindakan pembubaran menjadi enam, yaitu tidak diakuinya partai politik yang telah ada, pembubaran sebagai konsekuensi kebijakan fusi partai politik, perintah membubarkan diri, pembubaran oleh pemerintah, pembubaran berdasarkan putusan pengadilan, dan pembekuan partai politik. Klasifikasi bentuk-bentuk pembubaran tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 6.4.

Klasifikasi Jenis Pembubaran dalam Peraturan

Klasifikasi

Bentuk dalam Peraturan

Tidak diakuinya parpol yang telah ada 1. Pengakuan parpol berdasarkan Penpres No. 7 Tahun 1959.

2. Pembatalan status badan hukum parpol berdasarkan UU No. 31 Tahun 2002

Pembubaran sebagai konsekuensi kebijakan fusi Fusi partai politik yang diamanatkan Tap MPRS parpol

Nomor XXII/MPRS/1966 dan Tap MPR No. IV Tahun 1973, diwujudkan dengan UU No. 3 Tahun 1975.

Perintah membubarkan diri Pembubaran berdasarkan Penpres No. 7 Tahun 1959.

Pembubaran oleh pemerintah

Pembubaran berdasarkan putusan pengadilan 1. Pembubaran berdasarkan putusan MA, berdasarkan UU No. 2 Tahun 1999. 2. Pembubaran dengan putusan MK berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 (diatur lebih lanjut dalam UU No. 31 Tahun 2002 dan UU No. 24 Tahun 2003).

Pembekuan Partai Politik 1. Pembekuan pengurus parpol berdasarkan UU No. 3 Tahun 1975 dan perubahannya. 2. Pembekuan parpol berdasarkan berdasarkan putusan MA, berdasarkan UU No. 2 Tahun 1999. 3. Pembekuan parpol berdasarkan putusan pengadilan, berdasarkan UU No. 31 Tahun 2002.

Pembekuan Partai Murba baru dicairkan atau direhabilitasi pada awal Orde Baru melalui Keppres Nomor 21 Tahun 1966. Sedangkan pembekuan Partindo hingga saat ini belum direhabilitasi ataupun ditindaklanjuti dengan pembubaran, namun dalam praktinya Partindo telah hilang eksistensinya.

Sedangkan jenis tindakan pembubaran jika dilihat dari praktik yang terjadi dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 6.5. Jenis Pembubaran dalam Praktik

Klasifikasi

Bentuk dalam Praktik

Tidak diakuinya parpol yang telah ada Penolakan pengakuan PSII Abikusno, PRN Bebasa, PRI dan PRN Djody berdasarkan Keppres No. 129 Tahun 1961.

Pembubaran sebagai konsekuensi kebijakan Fusi partai politik: fusi parpol

1. Fusi PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik menjadi Partai Indonesia Perjuangan. 2. Fusi NU, Parmusi, PSII, dan Perti menjadi Partai Persatuan Pembangunan.

Perintah membubarkan diri 1. Pembubaran Masjumi dengan Keppres No. 200/1960.

2. Pembubaran PSI dengan Keppres No. 201/1960.

Pembubaran oleh pemerintah Pembubaran PKI berdasarkan Keppres Nomor 1/3/1966.

Pembubaran berdasarkan putusan Gugatan pembubaran Partai Golkar di MA. pengadilan

Perkara 01.G/WPP/2000 tidak dapat diterima, dan Perkara 02.G/WPP/2001 ditolak.

Pembekuan Partai Politik 1. Pembekuan Partai Murba melalui Keppres No.

21 Tahun 1965. 2. Pembekuan Partindo melalui Keppres Nomor

57 Tahun 1968. 3. Maklumat Presiden tanggal 23 Juli 2001.

6.3.1.1. Tidak Diakuinya Partai Politik yang Telah Ada

Pertama, adalah pembubaran dengan cara tidak mengakui eksistensi partai politik yang sebelumnya telah sah sebagai badan hukum partai politik. Pada masa Orde Lama, pembubaran dengan cara ini diatur dalam Perpres Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai Politik yang merupakan pelaksanaan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Partai-partai politik yang telah ada dan sah sebagai badan hukum diharuskan melaporkan kepada Presiden disertai dengan

persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. 1110 Apabila Presiden menilai bahwa

Persyaratan yang harus dipenuhi untuk diakui sebagai partai politik diatur pada Pasal 5 Penpres Nomor 7 Tahun 1959, yaitu harus mempunyai cabang-cabang yang tersebar paling sedikit seperempat jumlah Daerah Tingkat I dan jumlah cabang-cabang tersebut harus sekurang-kurangnya seperempat dari Daerah Tingkat II seluruh Indonesia. Selain itu, Pasal 3 Perpres Nomor 13 Tahun 1960 menambahkan persyaratan jumlah Persyaratan yang harus dipenuhi untuk diakui sebagai partai politik diatur pada Pasal 5 Penpres Nomor 7 Tahun 1959, yaitu harus mempunyai cabang-cabang yang tersebar paling sedikit seperempat jumlah Daerah Tingkat I dan jumlah cabang-cabang tersebut harus sekurang-kurangnya seperempat dari Daerah Tingkat II seluruh Indonesia. Selain itu, Pasal 3 Perpres Nomor 13 Tahun 1960 menambahkan persyaratan jumlah

Dalam praktiknya, dari proses pengakuan partai politik pada masa Orde Lama berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959, terdapat 4 partai politik yang sebelumnya sah sebagai partai politik, tidak diakui keberadaannya sebagai partai

politik, yaitu PSII Abikusno, PRN Bebasa, PRI, dan PRN Djody. 1111 Dengan ditolaknya pengakuan tersebut, keempat partai itu tidak lagi memiliki status

sebagai badan hukum sehingga kehilangan eksistensi hukumnya. Bentuk pembubaran yang memiliki persamaan dengan pembubaran dengan cara tidak diakuinya suatu partai politik adalah pembatalan status badan hukum partai politik yang telah ada berdasarkan undang-undang lama namun tidak menyesuaikan diri dengan undang-undang baru sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Berdasarkan ketentuan tersebut, partai politik yang sudah sah sebagai badan

hukum berdasarkan undang-undang yang lama 1112 , diharuskan menyesuaikan diri 1113 dalam waktu 9 bulan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2002. Jika tidak menyesuaikan diri, akan dibatalkan keabsahannya sebagai badan hukum dan tidak diakui keberadaannya. 1114

Pengakuan Presiden berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan pembatalan keabsahan badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 merupakan bentuk pengakuan hukum negara sebagai total legal order

anggota seluruhnya sekurang-kurangnya 150 ribu orang dan yang dianggap sebagai cabang adalah yang anggotanya minimal 50 orang. 1111 1112 Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1961. 1113 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan menyesuaikan diri dengan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2002. Namun, karena terkait dengan persoalan pengakuan sebagai badan hukum, maka penyesuaian dalam hal ini tentu berkaitan dengan persyaratan pendaftaran partai politik yang memang terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Dalam Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 terdapat syarat tambahan yaitu memiliki kepengurusan sekurang-kurangnya di 50% dari jumlah provinsi, 50% kepengurusan di kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% kepengurusan di kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Selain itu, persyaratan tambahan lain adalah memiliki kantor tetap. 1114

Ketentuan semacam ini juga terdapat dalam Article 46 Para 1 dan 2 Law on Political Parties Rumania, yang menyatakan “(1) Political parties existing at the date of the coming into force of the present law shall continue to function on the basis of the legal deeds of registration valid at the date of setting up; (2) Within six months after the coming into force of the present law, the existing political parties shall comply with this provisions, following the legal procedure established under Article 17 to 19.” Namun demikian patut dicatat bahwa yang melakukan proses pendaftaran dan memberikan status badan hukum kepada partai politik adalah pengadilan, yaitu Tribunal of the Municipality of Bucharest (Article 17 Law on Political Parties).

terhadap partai politik sebagai partial legal order. 1115 Pengakuan adalah manifestasi dari pemberian status badan hukum sehingga partai politik diakui

sebagai subyek hukum (legal personality) 1116 yang dapat melakukan tindakan hukum serta menyandang hak dan kewajiban hukum. Dengan tidak diakuinya

suatu partai politik, maka tidak memperoleh status badan hukum sehingga organisasi tersebut dipandang tidak ada dari sisi hukum serta tidak dapat menjadi subyek hukum tersendiri yang berbeda dari para anggotanya.

Proses pendaftaran dan pengakuan status badan hukum suatu partai politik lazimnya dilakukan pada saat pertama kali pendirian suatu partai politik. 1117 Hal

itu merupakan proses yang harus dilalui agar organisasi partai politik yang pada awalnya bukan merupakan subyek hukum menjadi subyek hukum. Pendaftaran dan pengakuan adalah proses hukum negara sebagai total legal order menentukan apakah organisasi tersebut sebagai partial legal order telah memenuhi syarat untuk diakui sebagai badan hukum. Jika suatu partai politik gagal mendapatkan pengakuan negara atau ditolak pendaftarannya pada saat pertama kali berdiri, hal itu bukan merupakan tindakan pembubaran karena partai politik tersebut belum memiliki status badan hukum.

Hal itu berbeda dalam kasus pengakuan partai politik berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan pembatalan keabsahan badan hukum partai politik berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Partai politik yang diharuskan melaporkan dan menyesuaikan diri adalah partai politik yang telah sah sebagai badan hukum sehingga sudah menjadi subyek hukum. Apabila partai tersebut tidak diakui atau dibatalkan keabsahannya sebagai badan hukum, maka status badan hukum dan eksistensinya sebagai subyek hukum akan hilang. Hal itu berarti terjadi perubahan status hukum dari ada menjadi tidak ada yang sama

1116 Kelsen, General Theory of Law, Op. Cit., hal. 99-100. Ibid., hal. 190-191. Pendaftaran sebagai proses pengakuan sebagai pribadi hukum dapat dilihat misalnya dalam Article 20 Law on Political Parties Rumania yang menyatakan, “The political party acquires legal

personality as from the date when the final decision of the court with regard to the admission of the applications of registration was delivered.” Dapat dibandingkan pula dengan Article 6 Para 2 Law on Political Parties of Mongolia yang menyatakan “The party shall become a legal person upon registration.” 1117

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 ketentuan keharusan penyesuaian diri dengan konsekuensi pembatalan keabsahan sebagai badan hukum ini tidak ada. Pendaftaran hanya pada saat pertama kali pendirian partai politik juga dapat dilihat pada Article 6 Para 1 Law on Political Parties of Mongolia yang menyatakan, “The Supreme Court of Mongolia shall examine the materials for the party’s registration and shall officially place the party into the state register within 21 days if the charter and the programme of the party correspond to the provisions of the Constitution, this law and othe law of Mongolia…” Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 ketentuan keharusan penyesuaian diri dengan konsekuensi pembatalan keabsahan sebagai badan hukum ini tidak ada. Pendaftaran hanya pada saat pertama kali pendirian partai politik juga dapat dilihat pada Article 6 Para 1 Law on Political Parties of Mongolia yang menyatakan, “The Supreme Court of Mongolia shall examine the materials for the party’s registration and shall officially place the party into the state register within 21 days if the charter and the programme of the party correspond to the provisions of the Constitution, this law and othe law of Mongolia…”

partai politik. 1118 Dalam praktik, pengakuan oleh otoritas negara mirip dengan putusan

pengadilan atas kasus konflik perpecahan partai politik yang putusannya mengakui salah satu pihak sebagai kepengurusan yang sah, dan pihak lain dengan sendirinya tidak sah. Pihak kepengurusan yang sah mendapatkan hak untuk

menggunakan nama dan identitas suatu partai politik yang dipersengketakan. 1119 Namun demikian, kasus itu tidak dapat dilihat sebagai pembubaran partai politik

karena obyek yang dipersengketakan adalah kepengurusan yang sah dari suatu partai politik, bukan partai politiknya itu sendiri. Eksistensi partai politik tetap ada dan diakui terlepas dari pihak mana yang menjadi pengurus partai politik tersebut.

6.3.1.2. Pembubaran Sebagai Konsekuensi Kebijakan Fusi Partai

Kedua, adalah pembubaran yang terjadi sebagai konsekuensi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Pada masa Orde Baru, kebijakan pengaturan partai politik adalah menjadikan partai politik sebagai sarana menjaga stabilitas pemerintahan melalui proses penyederhanaan. Penyederhanaan dilakukan melalui fusi partai politik.

Pembubaran ini merupakan bentuk pembubaran yang khas karena dilakukan tanpa adanya keputusan pembubaran oleh pemerintah secara langsung. Namun demikian, tetap dapat dikategorikan sebagai pembubaran karena dua hal. Pertama, kebijakan fusi partai politik merupakan kebijakan yang dipaksakan, sehingga penggabungan partai politik yang terjadi tidak murni dari kehendak partai politik itu sendiri untuk menggabungkan diri. Kedua, fusi partai politik menyebabkan hilangnya eksistensi hukum partai-partai politik yang menggabungkan diri.

Kebijakan fusi partai politik sebagai pemaksaan penggabungan partai politik dapat dilihat dengan adanya peraturan yang mengharuskan adanya

European Commission for Democracy Through Law (Venise Commission), Guideline on Prohibition, Op. Cit ., hal. 2. Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat, Op. Cit., hal. 130-134. 1119 Kasus perpecahan partai politik ini misalnya adalah perpecahan dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa

antara kubu Matori Abdul Jalil dengan kubu Abdurrahman Wahid, kemudian antara kubu Alwi Sihab dengan kubu Muhaimin Iskandar.

penyederhanaan partai politik sebelum fusi terjadi. 1120 Dalam Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1973 tentang Pemilihan Umum telah ditentukan bahwa pemilu

1977 hanya diikuti oleh tiga peserta yaitu dua Partai Politik dan satu Golongan Karya. 1121 Padahal saat itu terdapat 10 partai politik yang sah sebagai badan

hukum dan telah mengikuti Pemilu 1971, yaitu Golkar, NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, IPKI, dan Murba. Upaya pemaksaan tersebut juga dilakukan dengan mengadakan pertemuan antara Presiden Soeharto dengan pimpinan partai politik pada 27 Pebruari 1970 yang mendorong pengelompokkan

dan penggabungan partai politik. 12 Dengan telah adanya ketentuan dalam Ketetapan MPR Nomor

VIII/MPR/1973 yang telah menentukan bahwa pemilu 1977 diikuti oleh dua golongan politik dan satu golongan karya, maka tidak ada pilihan lain bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilu selanjutnya, kecuali melakukan fusi menjadi dua partai politik dan satu golongan karya. Akhirnya pada 5 Januari 1973, NU, Parmusi, PSII, dan Perti melakukan fusi atau menggabungkan diri menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Selanjutnya, pada 10 Januari 1973, PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik melakukan fusi atau menggabungkan diri menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Fusi tersebut dikukuhkan dengan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1975 baik terhadap proses fusi 1123 maupun keberadaan dua partai politik dan satu golongan karya sebagai organisasi kekuatan sosial politik. 1124

Adanya fusi yang diikuti dengan penutupan kesempatan pembentukan partai politik baru telah memberikan monopoli hanya kepada dua partai politik dan satu

golongan karya. Hal itu secara esensial bertentangan dengan demokrasi. 1125

Proses fusi partai politik tidak dapat disamakan dengan penggabungan yang dilakukan atas kehendak dari partai politik itu sendiri. Proses fusi pada masa

Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 menyatakan “Pemerintah bersama-sama DPR-GR segera membuat Undang-undang yang mengatur kepartaian, keormasan, dan kekaryaan yang menuju pada penyederhanaan.” 1121 Pasal 3 Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1973 tentang Pemilihan Umum menyatakan, “Pemilihan

Umum yang dimaksud pada pasal 1 Ketetapan ini diikuti oleh dua Golongan Politik dan satu Golongan Karya.” 12 Pada saat itu penggabungan disarankan berdasarkan pengelompokkan tekanan aspek pembangunan yang

menjadi program partai politik, yaitu kelompok materiil-spirituil, kelompok spirituil-materiil, dan golongan karya. Lihat, Ali Moertopo, Op. Cit., hal. 75. 1123 1124 Lihat Konsideran Menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. Lihat Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. 1125 It is essential for democracy only that the formation of new parties should not be excluded, and that no party should be given a priveleged position or a monopoly . Lihat, Kelsen, General Theory of Law, Op. Cit., hal. 295.

awal Orde Baru dilakukan sebagai pelaksanaan kebijakan dan ketentuan yang telah dibuat. Sedangkan penggabungan atas kehendak partai politik sendiri tentu

akan dilakukan berdasarkan Anggaran Dasar setiap partai politik. 1126 Akibat terjadinya fusi, status badan hukum partai politik yang

menggabungkan diri berakhir, dan terbentuk badan hukum partai politik baru hasil fusi. Dengan terbentuknya PPP sebagai partai politik yang memiliki status badan hukum, status badan hukum partai politik NU, Parmusi, PSII, dan Perti berakhir. Demikian pula halnya dengan adanya PDI sebagai badan hukum partai politik, status badan hukum partai politik PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik telah berakhir.

Namun demikian, dalam kasus fusi partai politik ini, terdapat organisasi yang meskipun telah kehilangan status badan hukumnya sebagai partai politik, tetapi tetap berlanjut eksistensinya sebagai organisasi yaitu berubah menjadi organisasi kemasyarakatan. Organisasi tersebut dalam praktik menjadi salah satu unsur kekuatan dari suatu partai politik walaupun dari sisi hukum keanggotaan partai politik adalah perorangan, bukan organisasi. NU misalnya, tetap eksis sebagai organisasi keagamaan dan menjadi bagian dari PPP sebelum menyatakan

keluar pada Muktamar Tahun 1984. 1127 Parmusi juga tetap eksis sebagai organisasi dan menjelma menjadi Persaudaraan Muslimin Indonesia. PSII pada

masa Orde Baru tetap menjadi salah satu organisasi unsur PPP, namun pada Pemilu 1999 muncul menjadi partai tersendiri yang mengikuti pemilihan

umum. 1128 Sedangkan dari unsur yang berfusi ke dalam PDI, PNI selama masa Orde

Baru menjadi salah satu unsur dari PDI, namun pada pemilu 1999 muncul dua partai dengan nama PNI, yaitu PNI Marhaenisme dan PNI-Supeni. 1129 IPKI juga

Dapat dibandingkan dengan Pasal 20 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa partai politik bubar apabila “b. menggabungkan diri dengan partai politik lain.” Dapat dibandingkan pula dengan Article 22 Political Parties Act yang menyatakan “The political party shall be dissolved when: 1. merging with or joining another party”, serta Article 36 Law on the Political Parties Kamboja yang menyatakan “A political party may declare its merging with another party in accordance with its statutes. If the statute does not provide for the merging, the General Assembly shall make a decision.” 1127

Muktamar di PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, 8-12 Desember 1984. http://gp-ansor.org/?p=3542, 7/04/2008. 1128 Pada Pemilu 1999 terdapat dua partai dengan nama PSII, yaitu PSII dengan Ketua Umum Taufiq R. Tjokroaminoto, dan PSII 1905 dengan Ketua Umum Ohan Sudjana. Namun kedua partai ini tidak memperoleh suara yang signifikan dan tidak lolos electoral treshold. 1129

PNI Marhaenisme dengan Ketua Umum Sukmawati Sukarnoputri dan PNI-Supeni dengan Ketua Umum Supeni.

tetap eksis sebagai organisasi kemasyarakatan yang pada masa Orde Baru menyatakan menyalurkan aspirasi politiknya ke Golkar. 1130 Pada Pemilu 1999

organisasi tersebut menjadi partai politik sendiri yang mengikuti pemilihan umum. Partai Murba pada masa Orde Baru menjadi salah satu unsur dari PDI. Pada Pemilu 1999 muncul Partai Murba sebagai partai politik peserta pemilu

sendiri. 1131 Parkindo pada masa Orde Baru menjadi Partisipasi Kristen Indonesia. 1132 Pada masa reformasi juga muncul Partai Kristen Indonesia

(Parkindo) namun tidak mengikuti pemilihan umum, dan pada Pemilu 2004 bergabung ke PDKB. 13

Adanya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan keormasan sebagai kelanjutan dari partai politik yang melakukan fusi pada awal Orde Baru walaupun statusnya sebagai badan hukum partai politik telah berakhir, menunjukkan kekhasan dari kebijakan fusi tersebut. Namun, kebijakan fusi yang dipaksakan tersebut jelas telah menimbulkan pembubaran suatu partai politik, walaupun tidak selalu diikuti dengan pembubaran sebagai organisasi. Kekhasan tersebut juga dapat dilihat dari salah satu bukti adanya pemaksaan pada saat kebijakan fusi dilaksanakan, apalagi partai-partai yang semula berfusi tersebut ada yang menjadi partai politik sendiri yang memperoleh status badan hukum dan mengikuti pemilu pada masa reformasi.

6.3.1.3. Perintah Membubarkan Diri

Ketiga, adalah pembubaran dengan cara memerintahkan kepada partai politik untuk membubarkan diri, jika tidak dilaksanakan akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Model pembubaran ini dianut pada masa Orde Lama berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 yang dilaksanakan dengan Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Keputusan Presiden tentang pembubaran partai politik tidak sekaligus merupakan keputusan pembubaran partai politik, tetapi memerintahkan

kepada partai politik untuk membubarkan diri dalam waktu 30 x 24 jam. 1134 Jika tidak membubarkan diri maka partai itu dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai

JJ/Rus, Soeprapto Lantik DPW IPKI Kalimantan Barat, Harian Kompas,Senin 21 April 1997. 1131 Bahkan, pada 13 Januari 2007 juga dideklarasikan Partai Murba Indonesia dengan Ketua Umum Kusni,

yang menyatakan sebagai kelanjutan Partai Murba yang ikut dalam Pemilu 1955. Lihat, Oktamandjaja Wiguna, Partai Murba Indonesia Dideklarasikan, Tempo Interaktif, 13 Januari 2007. 1132 13 Agus Basri dan Kartoyo Ramelan, PARKINDO, Majalah Gatra, No. 1/II, 18 November 1995. 1134 GCM, Parkindo Bergabung ke Partai PDKB, http://www.glorianet.org/arsip/b4533.html, 07/04/2008. Pasal 8 Perpres Nomor 13 Tahun 1960.

terlarang. 1135 Dengan demikian pembubaran ini merupakan pembubaran paksa atas perintah negara. Partai politik hanya memiliki dua pilihan, yaitu

membubarkan diri atau dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang.

Apabila partai politik membubarkan diri, maka proses pembubarannya dilakukan menurut Anggaran Dasar partai yang bersangkutan, termasuk pengurusan harta kekayaan serta penyelesaian hak dan kewajiban organisasi. Jika partai politik dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang, berarti pembubaran dilakukan secara langsung oleh negara. Dengan demikian tata cara pembubaran dan akibatnya terhadap organisasi diselesaikan menurut hukum negara. Namun demikian, tidak terdapat ketentuan yang mengatur apakah partai politik yang diperintahkan untuk membubarkan diri juga akan berstatus sebagai partai terlarang dan tidak boleh didirikan lagi.

Pembubaran dengan cara memerintahkan kepada partai yang bersangkutan untuk membubarkan diri dalam praktiknya terjadi saat pembubaran Partai

Masjumi 1137 dan PSI . Namun demikian, jika dilihat dari judul diktum menetapkan pada Keppres Nomor 200 Tahun 1960 yang membubarkan Partai

Masjumi adalah “Membubarkan Partai Politik Masjumi, termasuk bagian- bagian/tjabang-tjabang/ranting-rantingnja diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia”. Demikian pula halnya dengan diktum menetapkan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 menyatakan “Membubarkan Partai Politik Masjumi, termasuk bagian-bagian/tjabang-tjabang/ranting-rantingnja diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia”. Dengan demikian Keputusan Presiden tersebut adalah keputusan pembubaran partai politik, hanya saja cara pembubarannya ditentukan dapat dilakukan sendiri oleh partai politik yang bersangkutan dalam waktu 30 kali

24 jam, dan jika tidak dilakukan akan dibubarkan oleh pemerintah dan dinyatakan sebagai partai terlarang sesuai dengan Pasal 9 Ayat (2) Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Pasal 8 Ayat (2) Perpres Nomor 13 Tahun 1960.

Pembubaran tersebut tidak berdasarkan putusan pengadilan ataupun setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Peran pengadilan dalam proses pembubaran tersebut hanyalah memberikan

Pasal 9 Perpres Nomor 13 Tahun 1960. 1136 Berdasarkan Keppres Nomor 200 Tahun 1960. Partai ini menyatakan pembubaran diri pada 13 September

1960. Lihat, Syaifullah, Op. Cit., hal. 219-221, dan Deliar Noer, Partai Politik, Op Cit., hal. 388. 1137 Berdasarkan Keppres Nomor 201 Tahun 1960.

pertimbangan walaupun ditentukan bahwa untuk memberikan pertimbangan tersebut MA mengadakan pemeriksaan dengan acara bebas dan dapat mendengarkan saksi dan ahli di bawah sumpah. Namun demikian, pertimbangan hukum MA tersebut bukan merupakan vonis, melainkan pertimbangan yang sifatnya tidak mengikat Presiden.

Dalam praktiknya, Masjumi dan PSI memilih membubarkan diri sebelum dinyatakan sebagai partai terlarang. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan untuk menghindari status sebagai partai terlarang dan agar bisa menyelamatkan harta kekayaan partai serta dapat melakukan upaya hukum. Dalam pandangan pimpinan Masjumi saat itu, apabila menjadi partai terlarang maka tidak dapat mengurus

harta kekayaan partai dan tidak dapat melakukan upaya hukum. 1138 Dilihat dari sisi Keputusan Presiden yang diktum “menetapkan”-nya

menyatakan membubarkan partai politik, serta dari sisi peran MA yang hanya memberikan pertimbangan kepada Presiden, jenis pembubaran ini hampir sama dengan pembubaran oleh pemerintah yang akan dibahas pada sub bahasan

selanjutnya. 1139 Perbedaannya terletak pada cara pembubaran dan peran lembaga peradilan. Untuk pembubaran oleh pemerintah, pembubaran dilakukan secara

langsung dan serta merta melalui keputusan pemerintah, tanpa memberikan kesempatan atau memerintahkan kepada partai politik untuk membubarkan diri. Dari sisi peran pengadilan, pembubaran oleh pemerintah sama sekali tanpa melibatkan peran pengadilan sedangkan perintah membubarkan diri dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan MA, walupun sifatnya tidak mengikat.

Kekuasaan pemerintah, dalam hal ini Presiden, untuk membubarkan partai politik sangat membahayakan kehidupan demokrasi. Hal itu karena pada prinsipnya pemerintahan dalam sistem demokrasi adalah pemerintah partai atau koalisi beberapa partai politik. Jika pemerintah memiliki kekuasaan membubarkan partai politik, maka kekuasaan tersebut dapat dimanfaatkan oleh partai politik yang sedang menguasai pemerintahan untuk membubarkan partai politik

Lihat, Syaifullah, Op. Cit. Masjumi juga mengajukan gugatan atas pembubaran tersebut ke Pengadilan Jakarta. Pengadilan Jakarta memutus tidak berwenang mengadili karena perkara ini terkait dengan kebijakan politik dan masalah konstitusi. Terhadap putusan itu diajukan banding, namun menurut Deliar Noer tidak pernah diputuskan. Lihat, Deliar Noer, Partai Politik, Op. Cit. 1139

Yaitu dalam kasus pembubaran PKI berdasarkan Keppres Nomor 1/3/1966.

saingannya. Hal itu menimbulkan persaingan tidak sehat dalam demokrasi dan mengarah kepada otoritarianisme. 1140

Di negara lain, kekuasaan pemerintah yang agak besar dalam proses pembubaran partai politik adalah di Pakistan. Namun demikian, keputusan pemerintah adalah pada tingkat pengumuman bahwa suatu partai politik memperoleh pendanaan asing, atau dibentuk dan melakukan kegiatan yang mengganggu kedaulatan atau integritas negara, atau menggerakan terorisme. Pengumuman tersebut dalam waktu 15 hari harus disampaikan kepada MA. MA

Pakistan yang akan menentukan pembubaran partai tersebut. 1141

6.3.1.4. Pembubaran oleh Pemerintah

Keempat, adalah pembubaran oleh pemerintah tanpa melalui proses hukum bahkan tanpa adanya peran lembaga peradilan sama sekali. Pembubaran model ini terjadi pada saat pembubaran PKI yang dilakukan melalui Keppres Nomor 1/3/1966 yang ditandatangi oleh Letjen Soeharto atas nama Presiden. Keputusan tersebut selanjutnya dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Proses pembubaran PKI dilakukan tidak berdasarkan aturan hukum yang berlaku, yaitu Penpres Nomor 7 Tahun 1959, tetapi berdasarkan Surat Perintah 11 Maret 1966.

Keputusan pembubaran tersebut dilakukan tanpa adanya pertimbangan dari MA seperti diatur dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Dalam konsiderannya hanya disebutkan memperhatikan putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh yang terlibat Gerakan 30 September/PKI. Pembubaran tersebut tanpa memberikan pertanyaan kepada pimpinan PKI seperti yang pernah dilakukan terhadap Masjumi dan PSI. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa dalam pembubaran tersebut faktor politik lebih berperan.

Hal itu dapat dibandingkan dengan pembubaran dalam bentuk perintah membubarkan diri berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 yang menentukan

1141 Lihat Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat…, Op. Cit., hal. 205 Chapter III Article 15 The Political Parties Order 2002 Pakistan menyatakan “(1) Where the Federal Government is satifistied that a political party is a foreign-aided party or has been formed or is operating in

a manner prejudicial to the sovereignty or integrity of Pakistan or is indulging in terorism, it shall make such declaration by a notification in the official Gazette. (2) Within fifteen days of making a declaration under clause (1), the Federal Government shall refer the matter to the Supreme Court whose decision on such reference shall be final. (3) Where the Supreme Court upholds the declaration made against a political party under clause (1), such party shall stand dissolved forthwith.” Adanya kewenangan pada pemerintah juga bertentangan dengan netralitas negara terhadap partai politik. Lihat European Commission for Democracy Through Law (Venise Commission), Guideline on Prohibition, Op. Cit., hal. 130.

bahwa Presiden dalam memutuskan pembubaran partai politik dilakukan dengan mendengar pertimbangan MA. 1142 Demikian pula dengan pembubaran partai

politik di Pakistan yang walaupun pernyataan awalnya dilakukan oleh Pemerintahan Federal, namun kata akhir ada pada MA Pakistan. 1143

Pembubaran oleh pemerintah bertentangan dengan prinsip pengaturan pembubaran partai politik di negara hukum dan demokrasi. Salah satu prinsip yang dilanggar adalah bahwa pembubaran partai politik harus merupakan konsekuensi dari temuan yudisial tentang pelanggaran konstitusional. Putusan

pembubaran diambil berdasarkan prinsip proporsionalitas. 14

6.3.1.5. Pembubaran Berdasarkan Putusan Pengadilan

Kelima, adalah pembubaran berdasarkan putusan pengadilan. Bentuk pembubaran ini terdapat pada masa reformasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang menjadi wewenang Mahkamah Agung, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Mahkamah Agung dapat membubarkan partai politik yang melakukan pelanggaran tertentu. Pelaksanaan wewenang itu dilakukan dengan terlebih dahulu mendengar keterangan dari Pengurus Pusat Partai Politik dan setelah melalui proses peradilan

yang memiliki kekuatan hukum yang tetap. 1145 Dengan demikian, proses pembubaran partai politik oleh MA berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1999 harus melalui proses pengadilan untuk membuktikan pelanggaran yang dilakukan. Jika proses pengadilan tersebut telah diputus dan memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat dilanjutkan dengan proses peradilan pembubaran

untuk memeriksa keterangan dari pengurus partai pilitik yang bersangkutan 1146 . Bahkan sebelum proses peradilan pembubaran partai politik, MA harus

memberikan peringatan tertulis sebanyak 3 kali berturut-turut selama 3 bulan.

Pasal 6 dan Pasal 7 Perpres Nomor 13 Tahun 1960.

14 Chapter III Article 15 The Political Parties Order 2002 Pakistan. . Lihat European Commission for Democracy Through Law (Venise Commission), Guideline on Prohibition, Op. Cit., hal. 134.

1146 Pasal 17 Ayat (2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Negara-negara lain yang memberikan wewenang pembubaran partai politik kepada Mahkamah Agung diantaranya adalah Eritrea, Mongolia, Pakistan, Yordania, dan Afghanistan.

Salah satu kelemahan dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 adalah tidak menentukan siapa yang dapat mengajukan gugatan pembubaran partai politik, apakah setiap warga negara atau MA sendiri yang juga

memegang fungsi pengawasan partai politik. 1147 Pada masa berlakunya undang- undang tersebut, pernah terjadi gugatan pembubaran Partai Golkar yang diajukan

oleh Pijar Indonesia mewakili sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anti Orde Baru. Namun gugatan itu ditolak oleh Mahkamah Agung. Walaupun demikian, dari gugatan tersebut dapat diketahui bahwa setiap orang dapat mengajukan gugatan pembubaran partai politik karena penggugat pada saat itu yang terdiri dari perseorangan, partai politik, dan beberapa organisasi non

pemerintah dinyatakan memiliki kedudukan hukum. 1148 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 digantikan dengan Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2002 di mana yang memutus pembubaran partai politik adalah Mahkamah Konstitusi sesuai dengan perubahan UUD 1945. 1149 Ketentuan tentang

pembubaran partai politik melalui proses pengadilan di Mahkamah Konstitusi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi. 1150 Pemohon perkara pembubaran partai politik ke MK adalah pemerintah. 1151

Alasan pembubaran partai politik menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 adalah jika pengurus partai politik menggunakan partainya untuk melakukan kegiatan menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/ Marxisme-Leninisme sehingga dituntut berdasarkan Undang- Undang Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan

kejahatan terhadap keamanan negara. 1152 Sedangkan alasan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 adalah ideologi, asas, tujuan, program,

dan kegiatan partai politik yang bertentangan dengan UUD 1945. 1153

Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999.

1149 Lihat Putusan MA Perkara No. 02.G/WPP/2001, 31 Juli 2001. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Negara-negara lain yang memberikan wewenang pembubaran partai politik kepada Mahkamah Konstitusi diantaranya adalah Rumania, Azerbaijan, Taiwan, Jerman, Armenia,

Bulgaria, Georgia, Korea Selatan, Moldova, Polandia, Slovakia, Slovenia, Turki, Thailand, dan Hungaria. 1150 Lihat Pasal 68 sampai dengan 73 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.

1152 Pasal 68 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 1153 Pasal 19 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Pasal 68 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.

Pembubaran partai politik oleh lembaga peradilan tersebut sesuai dengan salah satu pedoman yang dibuat oleh Venice Commission yang menyatakan bahwa pembubaran partai politik secara paksa harus merupakan konsekuensi dari temuan yudisial terhadap pelanggaran konstitusional yang tidak biasa dan diambil berdasarkan prinsip proporsionalitas. Selain itu pedoman Venice Commission juga menyatakan bahwa pembubaran partai politik harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi atau lembaga yudisial lain yang tepat dengan prosedur yang

menjamin due process, keterbukaan, dan pengadilan yang fair. 1154

6.3.1.6. Pembekuan Partai Politik

Bentuk pembubaran keenam adalah pembekuan partai politik. Namun demikian patut diingat bahwa pembekuan partai politik tidak selalu dapat dimaknai sebagai pembubaran, walaupun untuk jangka waktu tertentu partai politik yang dibekukan mengalami akibat hukum yang sama dengan pembubaran, yaitu tidak dapat mewujudkan eksistensinya sebagai badan hukum melalui kegiatan-kegiatannya. Jika pembekuan telah dicabut, maka eksistensi partai politik yang bersangkutan pulih kembali, bukan sebagai partai politik baru, tetapi tetap sebagai badan hukum partai politik seperti sebelum dibekukan. Namun, terdapat praktik di mana pembekuan tidak pernah dicabut sehingga partai politik kehilangan eksistensinya hingga saat ini.

Pada masa Orde Lama, walaupun berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960 tidak dikenal istilah pembekuan partai politik, namun dalam praktik terjadi pembekuan partai politik. Partai yang dibekukan adalah Partai Murba berdasarkan Keppres Nomor 21 Tahun 1965. Pembekuan Partai Murba baru dicabut dan direhabilitasi pada 17 Oktober 1966

pada awal kekuasaan Orde Baru. 15 Di awal Orde Baru juga terjadi praktik pembekuan partai politik, yaitu

terhadap Partindo. Walaupun saat itu ketentuan yang berlaku, Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960, tidak mengenal pembekuan partai politik. Pembekuan itu diikuti dengan pemberhentian anggota-anggotanya

European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition, Op. Cit. , hal. 130-134. 15 Sundhaussen, Op. Cit., hal. 318-319; dan Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional, Op.

Cit ., hal. 10-11. Pembekuan ini dicairkan pada awal Orde Baru melalui Keppres Nomor 21 Tahun 1966. Lihat, Muchtar Pakpahan, Op. Cit., hal. 81.

yang menjadi anggota DPRGR melalui Keppres Nomor 57 Tahun 1968. 1156 Hingga saat ini pembekuan itu tidak pernah dicabut.

Pembekuan baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 dengan istilah pembekuan pengurus tingkat pusat partai politik. Pembekuan dilakukan oleh Presiden yang juga memegang kekuasaan pengawasan terhadap partai politik setelah mendengar keterangan dari pengurus partai politik dan

mendengar pertimbangan Mahkamah Agung. 1157 Dalam praktiknya, sepanjang Orde Baru belum pernah terjadi pembekuan partai politik.

Pada masa reformasi, pembekuan partai politik diatur dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1999. Pembekuan partai politik menjadi wewenang Mahkamah Agung setelah mendengar keterangan dari Pengurus Pusat partai

politik dan melalui proses peradilan. 1158 Pembekuan diartikan sebagai menghentikan sementara kepengurusan dan/atau kegiatan partai politik. 1159

Walaupun pembekuan diputuskan oleh pengadilan, namun dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tidak ditentukan batas waktu pembekuan dan apakah tindak lanjut dari pembekuan tersebut. Hal itu dapat merugikan partai politik yang bersangkutan karena pencairan kembali partai politik yang dibekukan bergantung kepada batas waktu putusan pembekuan tersebut, atau putusan MA yang mencairkan kembali partai politik yang bersangkutan.

Pada masa reformasi pernah terdapat gugatan pembekuan menjadi satu dengan gugatan pembubaran Partai Golkar namun ditolak oleh MA. 1160 Selain itu,

pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pernah dikeluarkan Maklumat yang salah satu isinya membekukan Partai Golkar. 1161 Namun

Maklumat itu tidak efektif dan dianggap tidak memiliki kekuatan hukum oleh fatwa Mahkamah Agung yang dikukuhkan dengan Ketetapan MPR. 1162

Pembekuan partai politik juga dikenal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Namun, dalam undang-undang ini secara tegas dinyatakan sebagai pembekuan sementara paling lama satu tahun. Pembekuan itu merupakan sanksi

1157 Sundhaussen, Op. Cit., hal. 317; dan Muchtar Pakpahan, Op. Cit., hal. 80. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975.

1159 Pasal 17 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. 1160 Penjelasan Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Putusan MA Perkara No. 02.G/WPP/2001, 31 Juli 2001. Lihat, O. C. Kaligis & Associate, Op. Cit., hal.

3-84. 1161 1162 Maklumat Presiden RI Tanggal 22 Juli 2001. Surat Ketua MA Nomor KMA 419/7/2001. Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001.

yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan jika partai politik melakukan pelanggaran tertentu. 1163 Namun demikian tidak terdapat ketentuan yang mengatur tindak

lanjut pembekuan tersebut baik jika partai yang bersangkutan tidak lagi melakukan pelanggaran, ataupun dalam hal partai politik melakukan pelanggaran serupa. Tidak adanya ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian bagi partai politik yang dibekukan. Walaupun disebut sebagai pembekuan sementara, namun dapat terjadi setelah jangka waktu pembekuan sementara berakhir tidak dilakukan pencairan kembali. Selain menimbulkan ketidakpastian, hal itu dapat menghambat perkembangan partai politik, apalagi jika pembekuan diajukan menjelang pelaksanaan pemilihan umum.

Di Yordania, pembekuan partai politik ditentukan harus diikuti dengan pengajuan pembubaran partai politik. Pengadilan dapat membekukan suatu partai politik atas permintaan pemerintah, namun dalam waktu delapan hari pemerintah

harus mengajukan perkara pembubaran partai politik tersebut. 1164