Perubahan UUD 1945

5.2.2. Perubahan UUD 1945

Pada waktu proses perubahan UUD 1945, juga dibahas ketentuan- ketentuan yang terkait dengan partai politik. Pembahasan ketentuan yang menyangkut partai politik antara lain terjadi dalam pembahasan ketentuan tentang tata cara pemilihan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pada saat itu masih terdapat dua alternatif, yaitu pemilihan dilakukan oleh MPR, dan pemilihan

Pasal 17 dan 18 UU Nomor 2 Tahun 1999.

secara langsung oleh rakyat di mana pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. 853 Namun perubahan itu

baru dapat disetujui dalam perubahan ketiga pada 2001 menjadi Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

Pembahasan lain terkait dengan keberadaan partai politik adalah pada saat pembahasan ketentuan tentang pemilihan umum. Dalam rapat lobi dan tim perumus Panitia Ad Hoc I BP MPR 6 Juni 2000, sempat mengemuka perlunya memasukkan partai politik dalam konstitusi. Masalahnya adalah apakah menjadi

heading 854 tersendiri atau subheading dari ketentuan tentang pemilihan umum. Hal itu terkait dengan materi yang akan diatur dalam bab tentang pemilihan

umum. Anggota Valina Singka Subekti mengusulkan bahwa pengaturan itu meliputi eksistensi dan tanggungjawab partai. Bahkan, anggota Soedijarto mengusulkan adanya ketentuan Ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut.

Partai politik peserta pemilihan umum harus benar-benar merupakan wujud kemauan politik rakyat dan wakil aspirasi kepentingan rakyat dari segala lapisan masyarakat. 855

Ketentuan tersebut diakui diambil dari ketentuan dalam konstitusi Jerman. Adanya pendapat yang menghendaki pengaturan partai politik tersebut sesuai dengan pendapat Kelsen yang menyatakan bahwa konstitusi dapat mengatur

pembentukan dan aktivitas partai politik. 856 Namun, dalam rapat tersebut tercapai kesepakatan bahwa partai politik

terkait dengan ketentuan dalam bab pemilihan umum adalah sebatas partai politik sebagai peserta pemilihan umum. Masalah partai politiknya sendiri tidak diatur secara khusus. Sedangkan eksistensi partai politik secara umum, rujukannya

Lihat Risalah Rapat Tim Perumus Panitia Ad Hoc I BP MPR tanggal 26 Mei 2000, hal. 1-17; Risalah Rapat Singkronisasi Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 9 Oktober 2000, hal. 6 dan 11; dan Risalah Rapat Lobi Sinkronisasi Panitia Ad Hoc I badan Pekerja MPR, tanggal 12 September 2001.

854 Lihat pernyataan Pimpinan Rapat, Jacob Tobing, dalam Risalah Rapat Lobi dan Tim Perumus Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, tanggal 06 Juni 2000, hal. 3-6. 855

Risalah Rapat Lobi dan Tim Perumus Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, Op. Cit., hal. 10-11. 856 Kelsen, Op. Cit., hal 295 Risalah Rapat Lobi dan Tim Perumus Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, Op. Cit., hal. 10-11. 856 Kelsen, Op. Cit., hal 295

Pembahasan tersebut menghasilkan ketentuan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 sebagai bagian dari perubahan ketiga, yang berbunyi “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”. Sedangkan ketentuan tentang eksistensi dan tanggungjawab partai politik tidak diatur secara khusus dalam ketentuan pasal tersendiri. Menurut mantan anggota PAH I BP MPR yang terlibat dalam perumusan perubahan UUD 1945, Hamdan Zoelva, usulan adanya ketentuan khusus mengenai partai politik tersebut tidak ada kelanjutannya karena usulan itu tidak termasuk dalam rumusan rancangan yang telah disetujui. Selain itu, pada saat usulan itu disampaikan tidak ada anggota yang memiliki rumusan

pasal yang mengatur partai politik tersebut. 858 Pembicaraan lain terkait dengan partai politik adalah pada saat

pembahasan mengenai Mahkamah Konstitusi. Salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi yang dikemukakan adalah memutus pembubaran partai politik. 859

Wewenang tersebut diusulkan oleh Tim Ahli Panitia Ad Hoc I BP MPR pada Rapat Pleno Ke-19 Panitia Ad Hoc BP MPR pada 29 Mei 2001. 860 Hal itu

selanjutnya selalu menjadi bagian pembicaraan dalam pembahasan tentang Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. 861

Pembahasan tersebut menghasilkan ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah memutus pembubaran partai politik.

858 Risalah Rapat Lobi dan Tim Perumus Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, Op. Cit., hal 12-14. Hamdan Zoelva juga menambahkan bahwa mekanisme pembahasan pada saat itu adalah terhadap rancangan yang telah disepakati. Jika ada usulan baru, harus disetujui semua anggota terlebih dahulu untuk

dapat dibahas. Hal ini dikemukakan Hamdan Zoelva menjawab pertanyaan penulis pada suatu forum di 859 Apartemen Allson Jakarta, 26 Oktober 2007. Lihat pendapat anggota I Dewa Gede Palguna pada rapat lobi Panitia Ad Hoc I badan Pekerja MPR. Risalah Rapat Lobi Panitia Ad Hoc I badan Pekerja MPR, tanggal 8 Juni 2000, hal. 40. Lihat pula pernyataan

pimpinan rapat, Jacob Tobing pada Rapat Sinkronisasi Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 13 Juli 2000. 860 861 Risalah Rapat Pleno Ke-19 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, tanggal 29 Mei 2001. Lihat Risalah Rapat Pleno Ke-20 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, tanggal 5 Juli 2001; Risalah