Partai Politik Lokal

5.2.4. Partai Politik Lokal

Selain partai politik yang bersifat nasional, pada masa reformasi juga dimungkinkan pembentukan partai lokal, khususnya di Papua berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dan di Nangroe Aceh Darussalam berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Berdasarkan Pasal 28 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Pasal 28 Ayat Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 menyatakan sebagai berikut.

(1) Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. (2) Tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan

umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. (4) Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing.

Ketentuan yang menyatakan bahwa penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik tersebut memiliki arti dapat didirikannya partai politik lokal untuk penduduk di Papua. Hal itu juga dapat dilihat dari ketentuan pada Ayat (3) yang menegaskan sebagai partai politik di papua, yang berarti meliputi partai politik baik yang bersifat nasional maupun yang lokal, untuk memprioritaskan masyarakat asli Papua dalam rekrutmen politik.

Namun ketentuan dalam Undang-Undang tidak memberikan aturan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan maupun pembubarannya. Tidak ada ketentuan bagaimanakan tata cara dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penduduk Papua untuk membentuk partai politik. Hingga saat ini juga belum ada ketentuan pelaksanaannya dalam peraturan yang lebih rendah. Oleh karena itu ketentuan tersebut hingga saat ini belum dapat dilaksanakan, dan belum ada partai lokal Papua yang terbentuk.

Selain itu, juga belum terdapat ketentuan tata cara keikutsertaan partai politik lokal dalam pemilihan umum sebagaimana diamanatkan pada Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, baik dalam undang-undang yang mengatur pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, maupun dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Hal itu berbeda dengan keberadaan partai lokal di Aceh. Ketentuan yang cukup lengkap tentang partai lokal terdapat pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Seperti halnya pengaturan partai politik secara umum, pengaturan partai politik lokal Aceh juga meliputi banyak aspek, mulai dari pembentukan hingga pengawasan dan sanksi. Ketentuan lebih lanjut tentang partai politik lokal di Aceh diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.

Secara umum, kontruksi pengaturan partai politik lokal Aceh mengikuti kontruksi pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Ditentukan bahwa sekurang-kurangnya 50 orang Warga Negara Indonesia yang telah berusia 21 tahun dan telah berdomisili tetap di Aceh dapat membentuk partai politik lokal di Aceh. Namun anggota partai politik lokal dapat merangkap menjadi anggota partai politik nasional. Untuk dapat didaftarkan dan disahkan sebagai badan hukum, partai politik lokal harus mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% di kabupaten/kota dan 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Partai politik lokal yang telah memenuhi persyaratan, didaftarkan dan disahkan sebagai badan hukum oleh kantor wilayah departemen di Aceh yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia, melalui pelimpahan kewenangan dari Menteri yang

berwenang. 893 Asas partai politik lokal tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan

UUD 1945. Namun, Partai politik lokal dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan aspirasi, agama, adat istiadat, dan filosofi kehidupan masyarakat

Aceh. 894 Tujuan umum partai politik lokal adalah; a) mewujudkan cita-cita nasional berdasarkan UUD 1945; b) mengembangkan kehidupan demokrasi

berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan c) mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Aceh. Sedangkan tujuan khusus partai politik lokal adalah a) meningkatkan partisipasi politik masyarakat Aceh dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan b) memperjuangkan cita-cita partai politik lokal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai kekhususan dan

Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. 894 Pasal 77 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.

keistimewaan Aceh. Tujuan partai politik lokal diwujudkan secara konstitusional. 895

Pada prinsipnya, partai politik lokal hanya berhak mengikuti pemilihan umum daerah, yaitu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh

(DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK). 896 Terhadap partai lokal Aceh juga ditentukan larangan-larangan yang terkait dengan nama,

lambang, dan tanda gambar, larangan melakukan kegiatan tertentu, larangan mendirikan atau memiliki saham pada badan usaha, serta larangan menganut dan menyebarkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Kegiatan-kegiatan yang dinyatakan dilarang berdasarkan Pasal 82 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2006 meliputi 897

a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, atau peraturan perundang-undangan lain;

b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. menerima atau memberikan sumbangan kepada pihak asing dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

d. menerima sumbangan, baik berupa barang maupun uang, dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas; e. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; atau f. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusiaan.

Keberadaan partai politik lokal pada awalnya menimbulkan perdebatan politik nasional. Berbagai pihak mengkhawatirkan keberadaan partai politik lokal akan menjadi instrumen gerakan separatisme. Untuk menjalankan fungsi partai politik sebagai pengelola konflik di negara berkembang, pembentukan partai politik berdasarkan etnis sering dihindari karena dapat menimbulkan permainan politik yang sentrifugal sehingga dikhawatirkan merusak atau menggagalkan demokrasi. Oleh karena itu kecenderungan pembentukan partai politik di negara

berkembang diarahkan menjadi partai yang terpusat, agregatif, dan multietnis. 898

896 Pasal 78 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Pasal 80 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. 897 Berdasarkan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007, Gubernur selaku wakil pemerintah melakukan pengawasan partai lokal melalui penelitian dan pengecekan terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran atas larangan-larangan tersebut.

898 Reily, Op. Cit., hal 1-8.

Namun di pihak lain, terdapat pandangan yang menyetujui keberadaan partai politik lokal. Menurut Maswadi Rauf, keberadaan partai lokal diperkirakan akan mampu menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan daerah lebih baik. Terhadap partai politik lokal tidak perlu ada kekhawatiran bahwa partai lokal akan memperbesar bahaya separatisme. Sebaliknya, dengan banyaknya saluran bagi rakyat di daerah untuk menyampaikan aspirasi mereka, kecenderungan untuk munculnya gerakan separatis dapat diredam. Dengan adanya partai politik lokal, gerakan separatis dapat menjadi gerakan parlementer yang bertujuan memajukan

rakyat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 899 Berdasarkan uraian ketentuan undang-undang yang mengatur masalah

partai politik pada masa reformasi, dapat dilihat adanya kecenderungan semakin banyaknya aspek partai politik yang diatur oleh hukum negara. Hal itu sesuai dengan kecenderungan semakin pentingnya hubungan antara negara dengan partai

politik seperti yang dinyatakan oleh Mair. 900 Pengaturan masalah partai politik yang semakin kompleks juga merupakan salah satu wujud upaya

konstitusionalisasi demokrasi politik (the constitutionalization of democratic politics) 901 .

Hal itu merupakan salah satu proses institusionalisasi sistem kepartaian melalui kebijakan negara untuk mengelola konflik dan mengembangkan demokrasi. Institusionalisasi diarahkan untuk menciptakan regularitas kompetisi, keluasan akar partai dalam masyarakat, tingkat penerimaan masyarakat atas hasil

pemilihan umum, dan meningkatkan pengorganisasian internal partai politik. 902 Partai politik tidak lagi dapat dikatakan sepenuhnya sebagai asosiasi privat

berdasarkan subyek pembentuknya. Mengingat kepentingan, tujuan, dan aktivitasnya, partai politik juga merupakan badan hukum publik, bergantung kepada konteks peristiwanya. Jika menggunakan kategori yang dibuat oleh

Rauf, “Partai Politik Dalam Sistem Kepartaian”, Op. Cit., hal. 10. Bandingkan dengan Siti Zuhro, “Gagasan Pembentukan Partai Lokal dan Masa Depan Partai Lokal”, dalam Ibid., hal. 57-74. Bandingkan pula dengan Hendarmin Ranadireksa, Visi Politik Amandemen UUD’45: Menuju Konstitusi yang Berkedaulatan Rakyat 900 , (Jakarta: Yayasan Pancur Siwah, 2002), hal. 136. 901 Peter Mair, Op. Cit., hal. 7-10. Pildess, Op. Cit., hal. 2. 902 Reilly, Op. Cit., hal. 5.

Asshiddiqie, partai politik merupakan badan hukum yang mewakili kepentingan pendirinya yang menjalankan aktivitas di bidang hukum publik. 903

Pergeseran pengaturan partai politik juga menunjukkan adanya pergeseran paradigma pengaturan partai politik dari political markets ke arah paradigma managerial dan bahkan paradigma progresif. Paradigma political market diwakili oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang menghilangkan ketentuan pada masa Orde Baru yang menghalangi adanya kompetisi yang fair serta mengarahkan

partai politik. Partai politik harus dapat bersaing secara terbuka. 904 Banyaknya kelemahan partai politik dan perlunya stabilitas pemerintahan

telah menggeser paradigma tersebut kepada paradigma managerial yang menempatkan partai politik sebagai instrumen menjaga stabilitas politik dan

merajut partisipasi politik. 905 Hal itu diwujudkan dalam ketentuan mengenai persyaratan pembentukan dan persyaratan mengikuti pemilihan umum yang

semakin berat, serta ketentuan yang memberikan prinsip-prinsip dasar pengelolaan partai politik yang lebih ketat. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan tentang prinsip keanggotaan, kepengurusan dan pemilihannya, serta peraturan partai politik dan keputusan partai politik. Pergeseran juga terjadi ke arah

paradigma progressive 906 dengan semakin kompleksnya pengaturan masalah internal partai, bahkan adanya calon perseorangan untuk pemilihan kepala

daerah 907 yang saat ini juga dituntut diterapkan untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.